Tiba-tiba, ponsel Lara berbunyi dan itu pesan dari Jenggala, pembicaraan antara Lara dan Bentara akhirnya terputus sampai di sana, setelahnya tidak ada aktivitas lain yang dilakukan Lara selain memainkan ponselnya. Tidak peduli dengan Bentara ataupun Lara dan Anggi, bahkan dia tidak peduli dengan makanan yang sudah dipesannya.“Ngilang …” Isi Pesan dari Jenggala.Lara membacanya kembali dan kembali pula mengecek apakah pengirim pesan benar-benar Jenggala. Faktanya, pengirim pesan itu memanglah Jenggala. Bibir Lara nampak menyunggingkan senyum . bagaimana hatinya tidak berbunga jika ternyata orang yang disukainya itu mencari-cari dirinya. Tidak ada hal lain yang menjadi penyebabnya kecuali Mas Gala memang sedang rindu pada Lara, toh dia sendiri yang mengetakan bahwa project podcast itu tidak lagi dilanjutkan, jadi alasannya mencari Lara bukan karena masalah pekerjaan.Lara memikirkan sejenak kalimat apa yang hendak dia kirimkan ke whatsapp Mas Gala sebagai balasan. Setelah beberapa de
“Ya, soalnya, emangnya ada orang yang suka aku selama itu? Dan lebih nggak percaya lagi karena aku mendengarnya dari Aria.” Ujar Lara.Mendengar itu, Bentara tertawa kecil.“Omong-omong, kenapa daritadi kamu nggak nanya alamat rumah aku.” Tanya Lara, “Jangan bilang kamu sudah tahu juga?” Lanjutnya bertanya.Bentara terdiam sejenak, Lara menoleh ke arahnya dan dilihatnya Bentara melengkungkan senyum. Tak lama kemudian pria itu membelokkan stir mobilnya pada lorong yang mengarah ke kompleks rumah Lara.“Are you serious, Bentara?” Aria terlihat gemas karena pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban yang pasti.“Maaf kalau sebelumnya ini kamu anggap nggak sopan.” Ucap Bentara, “Tapi kamu tenang aja, aku nggak pernah buntuti kamu sampai ke rumah kok.” Lanjutnya.Lara mengembuskan napas lega setelah mendengar pejelasan itu. Hampir saja dia pingsan ketakutan karena saat ini tengah berada dalam satu mobil berdua dengan seorang psikopat seperti yang di film-film.“Kamu beneran takut?” Tanya B
“Ya sudah deh. Terserah kamu, Mas. Lagian aku juga bukan siapa-siapa yang harus dikabarin terus.”“Kok tiba-tiba langsung ngomong gitu sih, Ra?”“Ngomong gitu apa?”“Ngomong kalau kamu bukan siapa-siapa.”“Terus salahnya di mana kalau aku ngomong gitu, memang kenyataannya gitu kan?”“Ra, are you ok?”“I’am ok.” Jawab Lara, “Ya sudah Mas, Lara mau istirahat, ya.” Lanjutnya.“Tunggu dulu, Mas tau pasti ada yang salah.” Mas Gala berusaha menahan untuk mengakhiri panggilan telepon itu.“Memang ada yang salah Mas. Lara yang nggak beres. Lara yang marah-marah nggak jelas. Lara yang banyak nuntut hal yang bukan hak Lara, Lara bikin Mas Gala bingung, Lara bikin Mas Gala merasa bersalah padahal semua perasaan itu nggak seharusnya Mas Gala rasakan sama sekali. Keputusan Mas Gala sekarang, harus tetap melakukan apa yang udah jadi planning kamu tanpa menghiraukan maunya Lara yang nggak banget ini. Maafin Lara ya, Mas. Lara nggak tau kenapa Lara kayak gini.” Ucap Lara. Bertubi-tubi. Tanpa jeda.“H
“Apakah semua kejadian yang menimpa orang-orang itu selalu menjadi tanggung jawabku?” Gumam Lara, seraya melanjutkan langkahnya dengan pelan dan membiarkan Bentara dan Aria berjalan semakan jauh di depannya, hingga kedua punggung orang itu tidak terlihat lagi olehnya.Dia menenadahkan kepalanya ke langit dan melihat awan hitam menggumpal-gumpal di sana, sebagaimana gumpalan hitam yang ada di hatinya saat ini. Lara tak mengerti dengan cara kerja semesta yang tak pernah memihak padanya. Di saat dia menyukai seorang pria dia tak pernah dianggap, namun saat ada seorang pria yang menyukainya, dia dituntut untuk menganggap perasaan pria itu, dengan selalu bersikap manis padanya sebagai balasan sikap pria itu.“Persetan dengan semua cowok di dunia ini.” Ujarnya dambari menendang-nendang kerikil kecil di depannya dengan pelan. Dia terus menunduk hingga sepasang kaki yang dibalut kaus kaki pendek semata kaki dan juga sepatu kets berdiri tepat di hadapannya dan menghentikan langkahnya.“Anggi?”
“Hey!” Lara berteriak untuk menghentikan langkah kaki Aria, tetapi sahabatnya itu terus melangkah pergi.“Dasar aneh!” Umpat Lara, “Dia dan Bentara sama anehnya, seharusnya mereka berdua saja yang pacaran! Dia pikir aku benar-benar akan pergi menemui cowok itu apa, hah?!” Lanjutnya, menggerutu seorang diri.Lara kemudian melanjutkan langkahnya dan memilih jalan berputar agar tidak berpasasan dengan Aria dan juga agar dia tidak melewati parkiran kampus. Tetapi di tengah perjalanannya itu, Lara teringat sesuatu yang kemudian menghentikan langkahnya. Dia ingat ngobrolannya ddengan Anggi dan jika dia menemui Bentara maka dia memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang telah dirinya dan Anggi sepakati.“Benar juga, lagipula kapan lagi aku punya kesempatan untuk mengatakan ke Bentara bahwa aku sudah punya pacar kalau bukan saat ini.” Dia berbicara dengan dirinya sendiri, setelah itu memutar langkah dan bertekad akan menemui Bentara.Saat Lara hampir tiba di parkiran, dia melihat Aria dan
BRAKKH!Aria menggebrak meja kantin di mana Lara meletakkan makanan-makanan yang hendak di makananya. Sontak hal ini membuat Lara terlonjak dari bangkunya. Meskipun sudah mengantisipasi bahwa Aria pasti akan sangat marah padanya, tetapi apa yang sudah di lakukan Aria sudah berlebihan.“Apa-apaan, sih, Ar?” Lara bangun dari bangkunya.“Sudah keterlaluan kamu Ra.” Ujar Aria dengan penuh amarah.“Keterlaluan dalam hal apa? Masalah Bentara lagi?” Lara juga tak mau kalah untuk meninggikan suaranya.“Sumpah ya, aku nggak habis pikir sama kamu.” Cibir Aria, “Ternyata ada ya manusia berhati batu kayak kamu!” Lanjutnya.“Aku seharusnya yang nggak habis pikir sama kamu.” Balas Lara. “Bisa-bisanya kamu sangat ngejaga perasaan laki-laki itu daripada perasaan sahabat dan sepupu kamu sendiri!” Lanjutnya, beberapa detik kemudian Lara baru menyadari bahwa ada yang salah dari ucapannya barusan.“Sepupu?” tanya Aria untuk memperjelas.Lara tahu dia tidak boleh mengatakan apapun dan memilih untuk pergi.
“Halo, Ra.” Ujar Mas Gala dari sebrang telepon. “Mas beneran nggak ganggu kan?” Lanjutnya.“Enggak kok, Mas. Santai kok.” Jawab Lara.“Kamu lagi di mana?” Tanya Mas Gala.“Lagi di rumah, nih.” Jawab Lara.“Maksud Mas di dalam atau di luar?” Tanya Mas Gala lagi.“Di dalam, Mas. Di kamar.” Ujar Lara.“Yah sayang banget dong.” Ucap Mas Gala.“Kenapa emangnya, Mas?” tanya Lara.“Di luar langitnya sedang indah.” Gumam Mas Gala, “coba deh kamu keluar, Ra.” Lanjutnya.Lara bergegas ke luar, menuju balkon kamarnya. Ternyata langit sedang mendung dan mereka berdua lupa kalau mereka itu adalah dua orang yang saling terpisah pulau.“Hmm …” Lara menghela napas, “Mas Gala lupa ya, kalau di kota Mas langitnya bagus, belum tentu di sini juga bagus. Kita kan beda pulau.” Lanjutnya.“Astaga, kok bisa Mas gak kepikiran sampai ke sana, ya?” Ucap Mas Gala, “Apa karena Mas ngerasa kamu deket banget.” Lanjutnya.Lara terdiam, tak menjawab apa-apa, atau lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa.“Halo, R
Lara tak kuasa melengkungkan senyum. Senyum yang telah lama tak menghiasi wajahnya. Senyuman yang hanya bisa terjadi pada orang-orang yang sedang jatuh cinta, semburat merah merekah di pipinya. Sekali lagi Lara terselamatkan karena dia hanya berbicara melalui sambungan telepon sehingga Mas Gala tak perlu melihat wajahnya yang memerah.“Mas Gala serius ngomong kayak gitu?” Tanya Lara.“Mas nggak tau sampai kapan bisa nahan ini semua, Ra.” Jawab Lara, “Maafin Mas ya kalau ini bikin kamu nggak nyaman.” Lanjutnya.“Sama sekali nggak kok, Mas.” Gumam Lara. “Sebenarnya, jauh sebelum malam hujan, Lara sudah merasa bahwa perasaan Lara buat Mas Gala berubah.” Lanjutnya.“Berubah gimana, Ra?” Tanya Mas Gala.“Berubah jadi lebih dari teman atau abang.” Jawab Lara.“Serius?”“Ya.”“Kenapa bisa?”“Nggak tau, Mas.” Jawab Lara. “Awalnya Lara sedih banget pas tau ada yang nyakitin Mas Gala. Setelah itu nggak tau kenapa Lara nggak pernah bisa berhenti mikirin Mas Gala.” Lanjutnya, Lara merasa sangat m