= Flashback lima tahun yang lalu =
"Bagaimana menurutmu? Apa kau mau melakukannya?"
Tampak sosok seorang wanita yang sedang memegang berkas di tangannya. Raut mukanya terlihat datar dan tenang. Kedua mata besarnya yang berwarna hijau akhirnya terangkat, memandang pria di depannya. "Ya. Aku mau melakukannya. Tapi apa kamu yakin, Gabe? Kamu mau memilihku untuk menjadi isterimu?"
Gabriel memundurkan tubuhnya, menyender pada kursi di belakangnya. Kepalanya memandang ke luar jendela restoran. Saat ini, keduanya sedang makan siang di salah satu restoran di dekat kantornya.
Para pejalan kaki yang lalu-lalang di depannya, membuat pria itu sejenak terdiam dan pikirannya melalang buana, entah kemana. Ia baru menoleh kembali saat mendengar panggilan halus dari arah depannya.
"Gabriel?"
Menatap wanita di depannya, benaknya berfikir cepat. Ia memandang perempuan itu dengan lebih intens. Mengamati satu demi satu bagian yang ada di tubuhnya.
Sosok wanita itu sangat sempurna. Tubuhnya s*ntal dan tinggi. Kulitnya putih dan halus, seperti boneka. Kedua matanya yang hijau terlihat memancar cerdas. Ia juga memiliki bibir seksi yang berwarna merah. Dan meski memiliki rambut pirang yang lurus namun tidak seperti anggapan banyak orang, Arienne memiliki otak yang cerdas dan tajam. Membuatnya berhasil memiliki karir yang cemerlang meski masih berusia muda.
Ia sangat sempurna. Kecuali satu hal. Tidak, mungkin ada dua hal.
"Ya. Aku yakin. Kau memang orang yang tepat, Arienne."
"Boleh aku tahu alasannya? Kenapa kamu memilihku? Karena setahuku, banyak wanita di luar sana yang bersedia untuk menjadi isterimu, Gabriel."
Kedua mata hitam Gabriel menunduk, memandang berkas yang masih ada di tangan Arienne. "Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, kalau kau sudah membaca berkas itu, Anne."
Tampak bibir seksi wanita itu terangkat sedikit, membuatnya terlihat anggun dan elegan. Jari-jari lentiknya mengetuk-ketuk meja makan dan menimbulkan suara berirama yang rendah. Tampak wanita itu berfikir sebentar, sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.
"Sepertinya, aku memang kandidat yang sempurna untukmu, Gabe."
Kepala Gabriel meneleng dan tampak senyum tipis terukir di bibirnya yang maskulin.
Benar. Wanita ini adalah kandidat yang sempurna baginya. Pertama, ia adalah wanita yang dingin dan tidak berperasaan. Selama mengenalnya lebih dari 5 tahun, belum pernah Gabriel melihatnya menangis ataupun mengeluarkan emosi seperti wanita kebanyakan. Dengan ini, pria itu yakin Arienne tidak akan pernah menuntutnya macam-macam, terutama karena wanita itu pun tidak membutuhkan harta benda.
"Kau bisa keluar dari rumah itu, dan aku pun akan terhindar dari tuntutan untuk memiliki keturunan. Kita setuju untuk tidak memiliki anak, bukan?"
Kembali kepala Arienne mengangguk-angguk. Ia memang sudah lama ingin keluar dari rumah keluarganya, tapi tidak pernah bisa. Keluarganya yang cukup kolot, tidak pernah membiarkannya untuk mandiri selama ia masih belum menikah. Dan menikahi pria di depannya ini, sepertinya salah satu jalan untuk dapat pergi dari sana. Terutama karena rumah itu sudah menjadi neraka baginya. Dan karena ia juga-
"Jadi? Kau setuju?"
Lamuan Arienne terputus dengan pertanyaan Gabriel. Mengerjapkan mata, ia memandang pria di depannya ini. Bibirnya mengulas senyum, tapi hatinya terasa pedih. Ia sangat tahu kenapa Gabriel memilihnya, dari sekian banyak wanita di luaran sana.
"Hanya untuk lima tahun?"
Pria di depannya mengangguk sekali. "Ya. Hanya lima tahun. Sampai grandmamma bosan untuk bertanya. Dan pada saat itu kita akan bercerai, karena kita tidak bisa memiliki keturunan. Kau pun tentu sudah bisa hidup mandiri, tanpa harus kembali pada keluargamu lagi."
Pandangan Arienne turun dan kepalanya kembali mengangguk-angguk, meski hatinya terasa sakit di dalam. "Alasan yang sangat logis."
Melihat kalau wanita itu tampak masih berfikir, kali ini Gabriel-lah yang akhirnya bertanya. "Apa yang menjadi keraguanmu? Bukannya ini sama-sama menguntungkan kita berdua, Anne?"
Mata hijau Arienne yang bulat menatap polos pada pria di depannya, membuat Gabriel tergelak ketika ia melihat ada sinar yang berbeda di sana. "Jangan katakan kalau kau jatuh cinta padaku!"
Pernyataan itu membuat kedua alis indah Arienne terangkat tinggi dan bibirnya tersenyum. "Memangnya kenapa kalau aku jatuh cinta padamu? Apa itu salah?"
Suara tawa Gabriel memelan dan sebagai gantinya, sorot yang dingin memancar dari kedua matanya yang hitam. "Candaanmu sama sekali tidak lucu, Anne! Karena kalau kau sampai menyukaiku, maka aku tidak akan menawarkan hal ini padamu!"
Dengan marah, Gabriel bangkit dari duduknya dan meraih berkas yang ada di bawah tangan Arienne dengan cukup kasar, menghempaskan tangan wanita itu di atasnya.
Hampir saja Gabriel melangkah menjauh, ketika ia merasakan ada yang menahannya. Menunduk, Gabriel melihat tangan lentik Arienne memegang berkas yang ada di genggaman tangannya dengan erat. Tampak kedua mata hijaunya menyipit dan memandangnya dingin.
"Seingatku, aku tidak pernah mengatakan kalau telah jatuh cinta padamu, Gabriel. Aku tidak serendah para wanitamu yang selama ini melayanimu dengan tidak punya harga diri! Kalau masih memerlukan bantuanku, maka duduk lagi di kursimu. Karena aku tidak akan menerima tawaranmu ini untuk kedua kalinya."
Tatapan datar wanita ini di depannya akhirnya membuat Gabriel kembali menghempaskan b*kongnya di kursinya. Kepalanya mendongak angkuh saat menatap wanita itu. "Jangan pernah mengatakannya lagi. Aku tidak pernah suka wanita yang mengutarakan cinta padaku!"
Mendengar itu, kepala Arienne meneleng dan ia terkekeh pelan. "Kamu jangan khawatir, karena aku tidak akan pernah menjadi wanita seperti itu. Kamu telah mengenalku selama ini. Apakah aku pernah melakukan sesuatu dengan emosional seingatmu?"
Menghela nafasnya berat, Gabriel menyilangkan tangan di d*danya. Entah mengapa, tapi kata-kata itu sedikit membuatnya merasa sedikit sesak. Terlihat pria itu menggertakan giginya sebelum berbicara. "Tidak pernah. Kau adalah wanita paling dingin yang pernah kutemui selama ini, Anne. Kau bahkan tidak ragu menampar asistenmu saat dia berbuat salah."
Kekehan Arienne kembali terdengar, dan wanita itu menegakkan tubuh di kursinya. Ia memegang berkas di tangannya dan mengeluarkan sebuah pena dari tas tangannya. Tampak ia menggoreskan tandatangan berharganya di kertas itu. Selama beberapa saat, ia memandang berkas itu sebelum akhirnya menyerahkannya pada pria di depannya yang menerimanya dengan dingin.
"Kapan upacaranya?"
"Secepatnya."
Tampak Arienne menatap pena di tangannya dan memutar-mutarnya pelan. Ia tersenyum dan akhirnya memandang Gabriel yang terlihat sedang mengamati berkas yang baru dibubuhi tandatangannya.
Pria di depannya ini sangat tampan. Ia berambut hitam, dengan kedua mata hitam yang legam. Warna mata yang cukup langka. Ia juga memiliki hidung yang mancung dan bibir yang sangat maskulin. Pria ini sangat manis saat tersenyum, karena ia memiliki lesung di salah satu pipinya. Sayangnya, ia jarang tersenyum. Tubuhnya tinggi dan berotot. Siapapun yang melihatnya, pria atau wanita, akan mengatakannya sebagai pria yang tampan dan memiliki gen yang unggul untuk memiliki keturunan.
Mereka telah saling mengenal lebih dari lima tahun yang lalu, karena terlibat dalam salah satu bisnis. Gabriel bergerak di bidang transportasi, sedangkan Arienne memiliki bisnis batu bara. Keduanya mengelola bisnis keluarga, yang semakin lama semakin berkembang di bawah kepemimpinan keduanya.
Keduanya berhasil membawa perusahaan mereka sampai puncak, karena keduanya bertangan dingin. Dan juga bertangan besi. Tidak jarang para karyawannya melihat atasan mereka menghajar seseorang yang tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya. Dan pada saat itu, sikap yang keras dan otoriter memang diperlukan karena bisnis mereka adalah bisnis yang cukup keras. Arienne bahkan harus menjadi seorang lelaki, jika ia tidak mau dil*cehkan oleh para karyawannya yang kebanyakan para pria.
Pola pikir mereka yang mirip dalam memandang kehidupan, membuat keduanya dapat menjadi rekan bisnis yang cukup akrab. Seringkali keduanya bertukar pikiran mengenai perusahaan dan saling memberikan solusi untuk permasalahan yang terjadi. Keduanya cocok sebagai seorang partner.
Itulah hal kedua yang membuat Gabriel memilih Arienne sebagai calon isterinya. Ia tahu wanita itu tidak mencintainya dan cukup yakin, kalau ia pun tidak akan pernah jatuh hati padanya. Hidupnya sudah terlalu rumit tanpa harus dipusingkan dengan masalah cinta. Dan ia juga tahu kalau Arienne tidak akan pernah mau memiliki anak, mengingat Gabriel cukup mengetahui kalau wanita itu tidak menyukai anak kecil.
Pikiran pria itu tersela ketika mendengar pertanyaan halus dari Arienne. "Aku ingin memastikan sesuatu."
Menutup berkas di depannya, mata hitam Gabriel memandang tajam calon isterinya. "Silahkan."
"Selama lima tahun terikat, apakah kita akan melakukan hubungan suami-isteri? Dan apakah kamu akan memiliki pasangan main di luar?"
Sejenak, Gabriel terdiam mendengar pertanyaan itu. Kedua matanya mengerjap dan memandang wanita di depannya dengan lebih intens. Ia cukup terkejut ketika mendengar kata-kata wanita itu selanjutnya.
"Hanya satu syaratku, Gabe. Selama kita menikah, tidak boleh ada perselingkuhan. Baik dari pihakku, atau pun pihakmu. Aku akan melakukan kewajibanku sebagai isteri, lahir dan batin. Dan aku juga berharap, kamu akan melakukannya juga. Kalau kamu merasa tidak sanggup memenuhinya, maka lebih baik perjanjian ini kita akhiri sampai di sini saja."
Lidah Gabriel terasa kelu mendengar ultimatum itu, tapi akhirnya ia mengangguk. "Aku setuju. Aku juga tidak suka ada orang ketiga dalam pernikahan kita."
Sambil tersenyum cantik, tangan kanan Arienne terulur yang disambut Gabriel dengan kuat dan mantap. "Bagus. Kalau begitu, kita sepakat."
Tanpa sepengatahuan Gabriel, wanita yang dianggapnya dingin dan tidak berperasaan ini sebenarnya telah menaruh hati padanya. Dan perasaan itu sangatlah dalam, membuat Arienne semakin tersiksa selama ia menjalani pernikahan sandiwaranya ini dengan pria yang dicintainya.
Tapi masalahnya, wanita itu sangat rela untuk melakukannya. Ia rela melakukan segalanya untuk pria yang dikasihinya. Karena ia tahu, kalau ia tidak akan pernah dapat menyentuh pria itu sampai kapan pun juga, kalau ia tidak menyetujui usulan ini.
Meski hanya untuk dapat menyentuh pria itu, ia rela dirinya memendam sakit selama bertahun-tahun.
Arienne Liliana Dalton lahir dalam keluarga Dalton yang kaya raya. Ayahnya, Maurice Dalton memiliki bisnis pertambangan dan juga perkapalan yang berkembang pesat. Ia menyetok bahan bakar dan bahan baku, membuatnya memiliki cabang di beberapa negara. Hal ini membuatnya seringkali terbang ke berbagai belahan dunia untuk mengurus bisnisnya, dan juga selingkuhannya di beberapa tempat.Kehidupan ganda ayahnya, sudah diketahui oleh isteri dan juga anaknya sedari ia kecil. Tidak jarang, ayahnya pun membawa beberapa wanitanya ke dalam rumah mereka dan bermain gila di sana. Sepertinya pria itu sengaja melakukannya, agar bisa terlepas dari isterinya yang seorang sosialita.Dan yang terparah, ibunya pun membalas dengan melakukan hal yang sama seperti suaminya. Ia membawa teman mainnya yang jauh lebih muda darinya, dan mengenalkannya dengan tidak tahu malu pada anak dan juga suaminya yang menanggapinya dengan acuh-tak acuh. Kedua orangtua itu melupakan, kalau mereka memiliki seorang anak yang mas
Pernikahan antara Theodore Gabriel Hamilton dengan Arienne Liliana Dalton dilangsungkan dengan meriah. Kedua keluarga yang cukup berkuasa itu akhirnya bersatu dalam ikatan pernikahan, yang tentunya membuat Maurice Dalton cukup gembira. Akhirnya, ia memiliki sosok seorang anak lelaki yang selama ini diinginkannya dalam diri Theodore Hamilton. Ia juga mengira bahwa akan ada merger di antara dua keluarga, membuat kekuasannya semakin meningkat nantinya.Kekuasaan yang bertambah, berarti uang yang akan lebih melimpah. Uang yang melimpah, maka semakin banyak pula wanita yang akan tergila-gila padanya nanti. Sama sekali tidak terfikir olehnya, mengenai apakah anak perempuannya bahagia atau tidak dengan pernikahannya.Kegembiraan pria baya ini berakhir ketika menantu yang baru mengucapkan sumpah satu hari yang lalu, menjatuhkan bom di ruang makan keluarga malam itu."Jadi, karena keluarga Dalton dan Hamilton sudah bersatu maka aku kira tidak ada salahnya membicarakan mengenai kemungkinan bisn
"Darimana kau?"Pertanyaan itu dilontarkan oleh Gabriel, segera setelah Arienne memasuki kediaman mereka.Meletakkan tas tangannya di sofa, Arienne menghampiri suaminya yang tampak berdiri kaku di depan meja makan. Pria itu masih mengenakan jas dan dasi, menandakan kalau ia baru saja sampai dari kantor.Mengelus jas pria itu, Arienne membantu suaminya membuka jas dan juga dasinya. Sambil merapihkan kedua pakaian itu yang diletakkan di lengannya, ia berkata santai. "Dari rumah sakit. Papa meninggal."Penjelasan isterinya yang dingin menghentikan kegiatan Gabriel yang sedang menggulung lengan bajunya. Kedua alisnya yang tebal berkerut dalam. "Maurice meninggal?"Kepala Arienne mengangguk, dan Gabriel tidak menemukan tanda apapun yang menunjukkan kalau isterinya sedih dengan berita itu."Kau tidak apa?"Kedua mata hijau yang menatap Gabriel tampak jernih, dan kembali wanita itu mengangguk. "Ya. Aku baik-baik saja. Mama sempat histeris, tapi sudah ditenangkan oleh dokter. Untuk sementara,
"Apa kekuranganku, Gabe?"Tidak ada. Kau sempurna, honey. Sangat sempurna.Kedua mata Gabriel yang hitam hanya memandang isterinya dalam diam, meski hatinya memberontak. Ia tidak ingin berpisah dari wanita ini, tapi ia sudah tidak tahan lagi. Karena ia juga tidak pernah tahu apa yang ada dalam otak wanita itu, membuatnya selalu bertanya-tanya saat ia berhadapan dengan isterinya."Kenapa kau menanyakan ini, Arienne? Kau sudah tahu dari awal, kalau aku tidak mencintaimu. Kita tidak saling mencintai. Pernikahan ini ada untuk keuntungan kita berdua. Kau dapat keluar dari rumah itu, dan aku terhindar dari omelan keluarga. Apalagi yang ingin kau ketahui?"Posisi Arienne tampak santai saat menatap foto pernikahan mereka berdua yang tegantung di salah satu dinding. Bukan reaksi seperti ini yang diharapkan oleh Gabriel, tapi itulah Arienne. Wanita itu selalu datar. Selalu terkontrol."Aku tahu. Tapi aku ingin tahu, apa kekuranganku sebagai seorang isteri, Gabriel. Aku berhak untuk tahu kan? Pa
Malam itu seperti biasa, mereka makan malam dengan penuh sopan santun dan etiket. Setelah itu, keduanya pun tampak duduk di sofa sambil menonton acara di TV yang sebenarnya sama sekali tidak menjadi perhatian mereka. Benak suami-isteri itu penuh dengan berbagai macam pemikiran."Apa rencanamu besok?" Sambil lalu Arienne bertanya pada suaminya yang sedang duduk di sebelahnya."Tidak ada. Seharian sepertinya aku akan di rumah karena lusa aku ke luar negeri."Informasi itu membuat Arienne mengangguk singkat. Ia sudah terbiasa dengan jadwal Gabriel yang harus pergi di waktu week end, membuat keduanya cukup jarang menghabiskan waktu bersama di hari libur."Ke mana sekarang ini?""Amerika, kemudian Italia dan Perancis."Kembali kepala isterinya mengangguk. Ia bertanya lagi dengan pelan. "Berapa lama?"Ada jeda yang singkat sebelum akhirnya Gabriel menjawab pelan. "Sekitar tiga minggu."Jawaban itu membuat kepala Arienne berpaling dengan sangat cepat pada suaminya. "Tiga minggu? Tapi Gabe, k
Setelah merasakan suaminya benar-benar terlelap di belakangnya, perlahan Arienne bangkit dari tidurnya.Duduk bersandar di kepala tempat tidur, wanita itu menutupi tubuh polosnya dengan selimut dan menatap Gabriel yang sangat terlelap seperti bayi. Raut pria itu tenang dan mulutnya sedikit terbuka.Tangan lentiknya mengusap-usap rambut tebal pria itu yang berwarna hitam selama beberapa saat. Pelan, ia menunduk dan mengecup kening suaminya penuh perasaan. Kedua matanya berair, ketika mengingat beberapa waktu lagi ia harus akan melepaskan lelaki ini untuk selamanya.Arienne sangat ingin mempertahankan Gabriel di sisinya, tapi ia sangat tahu prioritas pria itu dalam hidupnya. Theodore Gabriel Hamilton adalah seorang pengusaha yang sangat ambisius. Yang ada di benaknya adalah untuk membesarkan usaha keluarganya. Menjadi semakin besar, dan semakin berkuasa. Saat ini, kesempatan itu tengah datang apalagi dengan runtuhnya kerajaan Dalton, membuat peluang itu terbuka semakin lebar.Seringnya
"Tidak ada lagi yang tertinggal?"Kepala hitam Gabriel menggeleng pelan. Terlihat pria itu sudah siap dengan koper besarnya dan menatap isterinya dalam diam. Pikirannya kalut saat ini.Tersenyum, Arienne merapihkan syal yang meliliti leher suaminya yang jenjang. "Jangan lupa jaga makanmu di sana. Cuaca sangat dingin. Aku tidak mau kamu sakit selama bekerja di sana. Ya, Gabe?"Lagi, kepala Gabriel hanya mengangguk. Pandangannya turun. Entah kenapa, tapi ia tidak sanggup untuk menatap isterinya yang saat ini sedang berdiri di depannya.Tidak menyadari kekalutan suaminya, kedua tangan mungil Arienne mengusap sepanjang lengan suaminya dan akhirnya menggenggam kedua tangan besar suaminya erat. Ia menimang-nimangnya sebentar dan mengusapnya pelan. Ketika akhirnya melepasnya, tiba-tiba tangan Gabriel mencekal pergelangannya.Mata hijau Arienne membesar dan pandangannya bertanya. "Gabe...?"Masih belum mampu berkata-kata, Gabriel hanya memandang isterinya. Kedua bola matanya yang gelap berger
Selama dua minggu lebih perjalanannya ke luar negeri, adalah siksaan bagi Gabriel. Pria itu dengan sangat angkuh berusaha menepiskan rasa rindunya pada isterinya sendiri, yang malah membuatnya uring-uringan selama ia berada di kamar hotel.Ia masih dapat menyisihkan perasaannya di siang hari, ketika kesibukannya menghadiri banyak konferensi bisnis dan juga pertemuan dengan beberapa pengusaha yang cukup menyita waktunya seharian penuh. Tapi beda ceritanya dengan saat ia sudah kembali ke kamar hotelnya yang besar, luas tapi sepi. Beberapa kali pria itu merasa mengalami halusinasi ketika ia melihat ke arah tempat tidur besar yang ada di tengah ruangan. Ia seolah dapat melihat sosok isterinya yang polos, tampak terbaring seksi dengan senyuman di wajahnya.Pemandangan yang semakin lama semakin menyiksanya ini, seringkali membuat tubuh Gabriel merasakan panas dan gemetar tanpa diinginkannya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia pun terpaksa melakukan kegiatan yang selama hidupnya sama