Home / Fantasi / To The Moon and Back, Only for You / Chapter 2 - The truth in her heart

Share

Chapter 2 - The truth in her heart

Author: Jnxdoe
last update Last Updated: 2022-09-19 17:57:50

= Flashback lima tahun yang lalu =

"Bagaimana menurutmu? Apa kau mau melakukannya?"

Tampak sosok seorang wanita yang sedang memegang berkas di tangannya. Raut mukanya terlihat datar dan tenang. Kedua mata besarnya yang berwarna hijau akhirnya terangkat, memandang pria di depannya. "Ya. Aku mau melakukannya. Tapi apa kamu yakin, Gabe? Kamu mau memilihku untuk menjadi isterimu?"

Gabriel memundurkan tubuhnya, menyender pada kursi di belakangnya. Kepalanya memandang ke luar jendela restoran. Saat ini, keduanya sedang makan siang di salah satu restoran di dekat kantornya.

Para pejalan kaki yang lalu-lalang di depannya, membuat pria itu sejenak terdiam dan pikirannya melalang buana, entah kemana. Ia baru menoleh kembali saat mendengar panggilan halus dari arah depannya.

"Gabriel?"

Menatap wanita di depannya, benaknya berfikir cepat. Ia memandang perempuan itu dengan lebih intens. Mengamati satu demi satu bagian yang ada di tubuhnya.

Sosok wanita itu sangat sempurna. Tubuhnya s*ntal dan tinggi. Kulitnya putih dan halus, seperti boneka. Kedua matanya yang hijau terlihat memancar cerdas. Ia juga memiliki bibir seksi yang berwarna merah. Dan meski memiliki rambut pirang yang lurus namun tidak seperti anggapan banyak orang, Arienne memiliki otak yang cerdas dan tajam. Membuatnya berhasil memiliki karir yang cemerlang meski masih berusia muda.

Ia sangat sempurna. Kecuali satu hal. Tidak, mungkin ada dua hal.

"Ya. Aku yakin. Kau memang orang yang tepat, Arienne."

"Boleh aku tahu alasannya? Kenapa kamu memilihku? Karena setahuku, banyak wanita di luar sana yang bersedia untuk menjadi isterimu, Gabriel."

Kedua mata hitam Gabriel menunduk, memandang berkas yang masih ada di tangan Arienne. "Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, kalau kau sudah membaca berkas itu, Anne."

Tampak bibir seksi wanita itu terangkat sedikit, membuatnya terlihat anggun dan elegan. Jari-jari lentiknya mengetuk-ketuk meja makan dan menimbulkan suara berirama yang rendah. Tampak wanita itu berfikir sebentar, sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.

"Sepertinya, aku memang kandidat yang sempurna untukmu, Gabe."

Kepala Gabriel meneleng dan tampak senyum tipis terukir di bibirnya yang maskulin.

Benar. Wanita ini adalah kandidat yang sempurna baginya. Pertama, ia adalah wanita yang dingin dan tidak berperasaan. Selama mengenalnya lebih dari 5 tahun, belum pernah Gabriel melihatnya menangis ataupun mengeluarkan emosi seperti wanita kebanyakan. Dengan ini, pria itu yakin Arienne tidak akan pernah menuntutnya macam-macam, terutama karena wanita itu pun tidak membutuhkan harta benda.

"Kau bisa keluar dari rumah itu, dan aku pun akan terhindar dari tuntutan untuk memiliki keturunan. Kita setuju untuk tidak memiliki anak, bukan?"

Kembali kepala Arienne mengangguk-angguk. Ia memang sudah lama ingin keluar dari rumah keluarganya, tapi tidak pernah bisa. Keluarganya yang cukup kolot, tidak pernah membiarkannya untuk mandiri selama ia masih belum menikah. Dan menikahi pria di depannya ini, sepertinya salah satu jalan untuk dapat pergi dari sana. Terutama karena rumah itu sudah menjadi neraka baginya. Dan karena ia juga-

"Jadi? Kau setuju?"

Lamuan Arienne terputus dengan pertanyaan Gabriel. Mengerjapkan mata, ia memandang pria di depannya ini. Bibirnya mengulas senyum, tapi hatinya terasa pedih. Ia sangat tahu kenapa Gabriel memilihnya, dari sekian banyak wanita di luaran sana.

"Hanya untuk lima tahun?"

Pria di depannya mengangguk sekali. "Ya. Hanya lima tahun. Sampai grandmamma bosan untuk bertanya. Dan pada saat itu kita akan bercerai, karena kita tidak bisa memiliki keturunan. Kau pun tentu sudah bisa hidup mandiri, tanpa harus kembali pada keluargamu lagi."

Pandangan Arienne turun dan kepalanya kembali mengangguk-angguk, meski hatinya terasa sakit di dalam. "Alasan yang sangat logis."

Melihat kalau wanita itu tampak masih berfikir, kali ini Gabriel-lah yang akhirnya bertanya. "Apa yang menjadi keraguanmu? Bukannya ini sama-sama menguntungkan kita berdua, Anne?"

Mata hijau Arienne yang bulat menatap polos pada pria di depannya, membuat Gabriel tergelak ketika ia melihat ada sinar yang berbeda di sana. "Jangan katakan kalau kau jatuh cinta padaku!"

Pernyataan itu membuat kedua alis indah Arienne terangkat tinggi dan bibirnya tersenyum. "Memangnya kenapa kalau aku jatuh cinta padamu? Apa itu salah?"

Suara tawa Gabriel memelan dan sebagai gantinya, sorot yang dingin memancar dari kedua matanya yang hitam. "Candaanmu sama sekali tidak lucu, Anne! Karena kalau kau sampai menyukaiku, maka aku tidak akan menawarkan hal ini padamu!"

Dengan marah, Gabriel bangkit dari duduknya dan meraih berkas yang ada di bawah tangan Arienne dengan cukup kasar, menghempaskan tangan wanita itu di atasnya.

Hampir saja Gabriel melangkah menjauh, ketika ia merasakan ada yang menahannya. Menunduk, Gabriel melihat tangan lentik Arienne memegang berkas yang ada di genggaman tangannya dengan erat. Tampak kedua mata hijaunya menyipit dan memandangnya dingin.

"Seingatku, aku tidak pernah mengatakan kalau telah jatuh cinta padamu, Gabriel. Aku tidak serendah para wanitamu yang selama ini melayanimu dengan tidak punya harga diri! Kalau masih memerlukan bantuanku, maka duduk lagi di kursimu. Karena aku tidak akan menerima tawaranmu ini untuk kedua kalinya."

Tatapan datar wanita ini di depannya akhirnya membuat Gabriel kembali menghempaskan b*kongnya di kursinya. Kepalanya mendongak angkuh saat menatap wanita itu. "Jangan pernah mengatakannya lagi. Aku tidak pernah suka wanita yang mengutarakan cinta padaku!"

Mendengar itu, kepala Arienne meneleng dan ia terkekeh pelan. "Kamu jangan khawatir, karena aku tidak akan pernah menjadi wanita seperti itu. Kamu telah mengenalku selama ini. Apakah aku pernah melakukan sesuatu dengan emosional seingatmu?"

Menghela nafasnya berat, Gabriel menyilangkan tangan di d*danya. Entah mengapa, tapi kata-kata itu sedikit membuatnya merasa sedikit sesak. Terlihat pria itu menggertakan giginya sebelum berbicara. "Tidak pernah. Kau adalah wanita paling dingin yang pernah kutemui selama ini, Anne. Kau bahkan tidak ragu menampar asistenmu saat dia berbuat salah."

Kekehan Arienne kembali terdengar, dan wanita itu menegakkan tubuh di kursinya. Ia memegang berkas di tangannya dan mengeluarkan sebuah pena dari tas tangannya. Tampak ia menggoreskan tandatangan berharganya di kertas itu. Selama beberapa saat, ia memandang berkas itu sebelum akhirnya menyerahkannya pada pria di depannya yang menerimanya dengan dingin.

"Kapan upacaranya?"

"Secepatnya."

Tampak Arienne menatap pena di tangannya dan memutar-mutarnya pelan. Ia tersenyum dan akhirnya memandang Gabriel yang terlihat sedang mengamati berkas yang baru dibubuhi tandatangannya.

Pria di depannya ini sangat tampan. Ia berambut hitam, dengan kedua mata hitam yang legam. Warna mata yang cukup langka. Ia juga memiliki hidung yang mancung dan bibir yang sangat maskulin. Pria ini sangat manis saat tersenyum, karena ia memiliki lesung di salah satu pipinya. Sayangnya, ia jarang tersenyum. Tubuhnya tinggi dan berotot. Siapapun yang melihatnya, pria atau wanita, akan mengatakannya sebagai pria yang tampan dan memiliki gen yang unggul untuk memiliki keturunan.

Mereka telah saling mengenal lebih dari lima tahun yang lalu, karena terlibat dalam salah satu bisnis. Gabriel bergerak di bidang transportasi, sedangkan Arienne memiliki bisnis batu bara. Keduanya mengelola bisnis keluarga, yang semakin lama semakin berkembang di bawah kepemimpinan keduanya.

Keduanya berhasil membawa perusahaan mereka sampai puncak, karena keduanya bertangan dingin. Dan juga bertangan besi. Tidak jarang para karyawannya melihat atasan mereka menghajar seseorang yang tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya. Dan pada saat itu, sikap yang keras dan otoriter memang diperlukan karena bisnis mereka adalah bisnis yang cukup keras. Arienne bahkan harus menjadi seorang lelaki, jika ia tidak mau dil*cehkan oleh para karyawannya yang kebanyakan para pria.

Pola pikir mereka yang mirip dalam memandang kehidupan, membuat keduanya dapat menjadi rekan bisnis yang cukup akrab. Seringkali keduanya bertukar pikiran mengenai perusahaan dan saling memberikan solusi untuk permasalahan yang terjadi. Keduanya cocok sebagai seorang partner.

Itulah hal kedua yang membuat Gabriel memilih Arienne sebagai calon isterinya. Ia tahu wanita itu tidak mencintainya dan cukup yakin, kalau ia pun tidak akan pernah jatuh hati padanya. Hidupnya sudah terlalu rumit tanpa harus dipusingkan dengan masalah cinta. Dan ia juga tahu kalau Arienne tidak akan pernah mau memiliki anak, mengingat Gabriel cukup mengetahui kalau wanita itu tidak menyukai anak kecil.

Pikiran pria itu tersela ketika mendengar pertanyaan halus dari Arienne. "Aku ingin memastikan sesuatu."

Menutup berkas di depannya, mata hitam Gabriel memandang tajam calon isterinya. "Silahkan."

"Selama lima tahun terikat, apakah kita akan melakukan hubungan suami-isteri? Dan apakah kamu akan memiliki pasangan main di luar?"

Sejenak, Gabriel terdiam mendengar pertanyaan itu. Kedua matanya mengerjap dan memandang wanita di depannya dengan lebih intens. Ia cukup terkejut ketika mendengar kata-kata wanita itu selanjutnya.

"Hanya satu syaratku, Gabe. Selama kita menikah, tidak boleh ada perselingkuhan. Baik dari pihakku, atau pun pihakmu. Aku akan melakukan kewajibanku sebagai isteri, lahir dan batin. Dan aku juga berharap, kamu akan melakukannya juga. Kalau kamu merasa tidak sanggup memenuhinya, maka lebih baik perjanjian ini kita akhiri sampai di sini saja."

Lidah Gabriel terasa kelu mendengar ultimatum itu, tapi akhirnya ia mengangguk. "Aku setuju. Aku juga tidak suka ada orang ketiga dalam pernikahan kita."

Sambil tersenyum cantik, tangan kanan Arienne terulur yang disambut Gabriel dengan kuat dan mantap. "Bagus. Kalau begitu, kita sepakat."

Tanpa sepengatahuan Gabriel, wanita yang dianggapnya dingin dan tidak berperasaan ini sebenarnya telah menaruh hati padanya. Dan perasaan itu sangatlah dalam, membuat Arienne semakin tersiksa selama ia menjalani pernikahan sandiwaranya ini dengan pria yang dicintainya.

Tapi masalahnya, wanita itu sangat rela untuk melakukannya. Ia rela melakukan segalanya untuk pria yang dikasihinya. Karena ia tahu, kalau ia tidak akan pernah dapat menyentuh pria itu sampai kapan pun juga, kalau ia tidak menyetujui usulan ini.

Meski hanya untuk dapat menyentuh pria itu, ia rela dirinya memendam sakit selama bertahun-tahun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • To The Moon and Back, Only for You   Chapter 83 - EPILOG

    = Suatu waktu, di suatu tempat. Nun jauh di sana ="Apa yang sedang kau lakukan di sini?""Tidak ada.""Kau sedang menatap siapa?""Tidak ada."Jawaban menyebalkan itu membuat Hermes kesal, dan ia malah semakin mengintip. Dewa pria itu sedikit mendorong bahu dewa wanita yang ada di sebelahnya, dan langsung bersiul saat berhasil melihat apa yang dari tadi dipandangi oleh rekannya ini."Malaikat...? Kau naksir salah satunya?"Raut Pandora sama sekali tidak berubah. Ia masih menyender santai di pohon dan menatap nun jauh di sana pemandangan yang hanya dapat dilihat oleh mata keduanya. Dalam pandangan mereka, terlihat sosok dua orang malaikat. Satu berambut hitam dan lainnya merah. Keduanya tampak saling berdebat tentang sesuatu, dan tampak si merah kesal dengan si hitam yang terlihat bermuka datar.Memanyunkan bibirnya, Hermes menoleh pada Pandora yang hanya membalasnya dengan muka datar."Mana yang kau suka. Yang hitam atau yang merah?"Wanita itu tidak menjawab, membuat Hermes makin pe

  • To The Moon and Back, Only for You   Chapter 82 - His final decision (2)

    "Gabriel, the supreme. Apakah masih ada lagi yang ingin dirimu tanyakan pada-Ku?"Gabriel mengangkat kepalanya dan ia menggeleng pelan. "Tidak Yang Maha Kuasa lagi Maha Pendengar dan Maha Segala Tahu. Aku Gabriel, telah sangat puas dengan jawaban-Mu. Tidak ada lagi keraguan dalam hatiku. Aku telah mengambil keputusan.""Kau memang telah mengambil keputusan, Gabriel. Jauh sebelum kau bertanya pada-Ku. Dan terpujilah semua langkah yang kau ambil, karena jiwa kasih sayangmu membuatmu menjadi seorang yang tidak egois dan sangat memikirkan orang lain. Kau telah menjalankan tugasmu dengan sangat baik. Lakukan semua menurut kehendak hatimu, karena hatimu telah dituntun oleh nuranimu. Ingatlah itu."Dan setelah itu, gaung mistis itu pun menghilang. Langit perlahan berubah menjadi cerah meski awan-awan masih mengelilingi langit, pertanda kalau mendung masih belum akan berakhir. Raphael yang tadinya terbang di angkasa pun pelan turun dan menjejakkan kakinya di permukaan. Tampak kedua matanya ya

  • To The Moon and Back, Only for You   Chapter 81 - His final decision (1)

    "Bagaimana dia?""Berhasil. Seharusnya.""Seharusnya?""Azrael yang datang.""Malaikat maut? Dia sendiri yang akan menyerahkannya? Pada Tuan Michael?""Ya. Sepertinya begitu. Sekarang Tuan Michael sedang menunggu kedatangan Tuan Gabriel."Kepala salah satu dari mereka menunduk dalam. "Kalau yang ini tidak berhasil juga..."D*sahan nafas berat terdengar dari sebelahnya. "Jiwa itu hanya akan menghilang. Dan-""Dan apa?"Suara yang sangat berat terdengar di belakang mereka, membuat keduanya langsung menoleh kaget dan menundukkan kepalanya hormat. "Tuan Gabriel.""Ambrosio. Persephone. Kembali kalian berdua yang menyambutku."Masih menunduk, Ambrosio menjawab pelan. "Tuan Michael sudah menunggu Anda, Tuan Gabriel."Tampak kepala Gabriel mengangguk. "Di taman suci? Azrael juga hadir?""Ya, Tuan Gabriel. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda di sana."Sejenak suasana hening dan ketika Ambrosio mengangkat kepalanya, ia tertegun melihat seraut senyum lembut terpatri di bibir pria yang dikenal

  • To The Moon and Back, Only for You   Chapter 80 - The time is coming (2)

    Under my dreamsI see the other sideI am the space of moonlightUnder your doorAnd you come to meet meSay you knew me beforeAnd when i'm lying by your headYou put your body into mine (Gregorian - Dark Side)***"Kat.""Gabe."Tampak dua sosok yang saling berpandangan dalam ruangan putih itu. Sosok sang wanita terbalut jubah panjang berwarna ungu gelap dan sang pria masih berbalut dengan jubah putihnya. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan tangan yang saling bertautan. Senyum tampak terpatri di bibir mereka dan untuk sesaat, dua orang itu saling memandang sosok masing-masing dengan intens. Dua pasang mata itu bergerak-gerak penuh emosi ketika akhirnya pandangan mereka kembali bertemu.Salah satu tangan Kat mengelus pipi Gabriel yang kencang dan bersih tanpa jenggot."Sudah lama sekali aku tidak melihat sosokmu yang seperti ini, Gabe..."Perkataan itu membuat Gabriel terkekeh. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu seperti ini, Kat."Kat mengangguk. "Ya. Terakhir melihatmu saa

  • To The Moon and Back, Only for You   Chapter 79 - The time is coming (1)

    Dalam sebuah taman yang indah, tampak sesosok pria yang tinggi dan berbadan tegap sedang mengamati bunga-bunga yang bermekaran di sana. Ia juga mengelus bunga tulip berwarna putih. Bunga kesukaannya. Dan pria berambut hitam itu tampak melamun. Ia melamun tapi bibirnya tersenyum samar. Raut wajahnya terlihat bercahaya dan bahagia. "Kau masih di sini?"Pertanyaan itu membuat kepala Gabriel mengangguk pelan, dan orang di belakangnya mendengus."Di saat aku menginginkan kau untuk segera pergi, kau masih betah berada di sini.""Aku hanya menikmati taman indahmu. Mengaguminya. Apakah kau mau aku untuk mendustakan anugerah yang telah diberikan oleh-Nya?"Kembali dengusan itu terdengar. "Tapi apakah kau harus menikmatinya di sini? Di tamanku ini? Kau bisa langsung pergi ke taman Uriel dan menikmati keindahan taman hijaunya di sana!""Tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan tamanmu ini, Apollyon. Kau diberkahi sepasang tangan dingin untuk menumbuhkan sesuatu yang indah.""Aku tersanjung den

  • To The Moon and Back, Only for You   Chapter 78 - Heredity

    "Jadi, kamu sudah serius akan menikahinya, Dec?"Saat ini, Gabriel sedang bersama dengan Declan di dalam ruangan kerja. Tampak keduanya duduk di sofa sambil menikmati teh, juga kue yang disajikan oleh isterinya serta calon menantunya.Meletakkan cangkir tehnya, kepala Declan mengangguk. "Ya, pap. Aku dan Angie sudah bersama sejak dua tahun ini. Aku juga sudah bertemu dengan keluarganya, dan latar belakang mereka cukup baik.""Mereka dari keluarga pebisnis juga?"Tampak Declan menggeleng pelan. "Mereka dari keluarga biasa, pap. Ayahnya Angie bekerja di perusahaan konstruksi sebagai engineer. Ibunya seorang psikolog. Adik Angie sekarang mengambil jurusan arsitektur dan akan lulus tahun depan. Ia juga sudah bekerja di sebuah perusahaan konsultan di Amerika sana sejak masih kuliah. Angie sendiri sekarang bekerja sebagai supervisor HC di HGC sudah sejak lima tahun ini. Mereka memang bukan dari keluarga kaya, tapi terpelajar." "Jadi dia bawahanmu di sana?"Pipi Declan tampak merona dan pri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status