No one can believe or understand
How far I came just for my lovely family
I should have been there with them when the world crashed down
But now they rest with me
-Gabriel-
(Gregorian - Now We are Free)
***
Dalam sebuah area pemakaman yang luas, tampak sosok seorang pria yang sedang berdiri mematung di tengah hujan. Posisinya sangat kaku, dan kepalanya tertunduk dalam. Dengan bunga di tangan kanannya, ia menatap sebuah makam yang masih baru. Masih basah. Bahkan tanahnya pun masih belum mengering.
Hujan yang semakin lama semakin deras membasahi sekitar area itu, membuat suasana semakin terasa syahdu. Mendung di angkasa membuat penerangan sekitar menjadi remang-remang, meski hari sebenarnya masih pagi. Suara petir yang terdengar bergantian di atas kepala sang pria, tidak membuat sosok itu bergerak dari posisinya. Ia masih terdiam. Seperti patung dan matanya nanar, menatap ke bawah.
Ingatannya bergerak dari satu bayangan ke bayangan lain, ketika kenangan demi kenangan menyakitkan mulai berputar-putar di benaknya. Dan memori paling menyakitkan dan juga disesalinya mulai terbentuk di otaknya, membuatnya serasa melihat rekaman video di kedua pelupuk matanya.
Gambaran di depan matanya memperlihatkan dua orang yang saling berhadapan. Mereka sedang berada di ruang perpustakaan dan wanita yang bernama Arienne, menatap lelaki di depannya dengan datar setelah pria itu mengutarakan maksudnya. Suara wanita itu terdengar tenang ketika akhirnya bertanya, "Kamu yakin akan melakukan ini, Gabriel?"
Lelaki yang bernama Gabriel, hanya membalas tatapan itu dengan dingin. "Aku tidak memerlukan izin darimu untuk melakukannya, Arienne. Kita sudah pernah membicarakan hal ini."
Perkataan itu tampak tidak menimbulkan efek apapun pada wanita di depannya, tapi ada jeda sebelum akhirnya Arienne kembali berkata, "Tapi kita sudah lima tahun bersama. Apakah kamu tidak menganggap pernikahan kita-"
"Tidak."
Kembali jeda terasa di antara mereka. Kali ini, tatapan mata Arienne terlihat sendu saat ia mengerjapkan mata dan memandang lelaki di depannya.
"Sama sekali? Apakah selama ini, tidak ada sama sekali perasaan darimu untukku?"
Menjawab pertanyaan itu, Gabriel hanya memandang wanita di depannya dari atas ke bawah. Dan saat ia kembali menatap kedua mata yang berwarna hijau itu, tatapannya terlihat benar-benar dingin.
"Tidak ada, Arienne. Kau yang memaksaku untuk mengatakan ini."
Akhirnya Arienne menundukkan pandangannya dan ia mengangguk pelan. "Aku mengerti."
Sama sekali Gabriel tidak tahu, kalau saat itu isterinya sedang berusaha menahan air matanya yang akan keluar seperti air bah. Wanita itu tampak tegar dan kuat di luar, tapi hatinya sebenarnya sangat rapuh di dalam. Saat ia mendongak memandang suaminya kembali, sama sekali tidak terlihat kesedihan di dalamnya. Kedua matanya memancar jernih.
"Sebelumnya, aku ingin menanyakan sesuatu. Apakah kamu mau menjawabnya? Setidaknya, aku berharap kamu mau untuk menjawabnya, Gabriel. Sebelum kita benar-benar berpisah."
Entah mengapa, tapi pandangan datar Arienne tampak membuat hati Gabriel sedikit tercubit.
Ia sama sekali tidak menyangka kalau isterinya akan menanggapinya sedingin ini. Meski ia tidak mencintai Arienne, tapi tadinya Gabriel berharap isterinya akan memberikan reaksi seperti wanita kebanyakan. Manja dan emosional. Tapi selama kebersamaan mereka, tidak pernah satu kali pun Arienne melakukan sesuatu di luar kontrolnya. Dan hal ini lama-lama membuat pria itu tidak tahan lagi. Terutama karena ia pun tidak pernah mengetahui perasaan isterinya pada dirinya selama ini.
Pria itu beranjak dari posisinya dan akhirnya duduk di meja besarnya. Ia menyender di kursinya dan melipat kedua lengan di d*danya. Kepalanya meneleng pada isterinya. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
Isterinya yang berdiri menyamping masih belum memandangnya. Wanita itu hanya memandang salah satu dinding yang menampilkan foto pernikahan mereka lima tahun lalu. Suaranya yang halus terdengar lirih saat bertanya, "Apa kekuranganku?"
Kedua mata hitam Gabriel mengerjap cepat. Tidak ada.
Hampir saja ia mengucapkan dua kata itu, tapi pria itu segera menggigit lidahnya. "Kenapa kau menanyakan ini, Arienne? Kau sudah tahu dari awal, kalau aku tidak mencintaimu. Kita tidak saling mencintai. Pernikahan ini ada untuk keuntungan kita berdua. Kau dapat keluar dari rumah itu, dan aku terhindar dari omelan keluarga. Apalagi yang ingin kau ketahui?"
Kembali terasa jeda yang sunyi. Wanita itu masih memandang foto pernikahan mereka sebelum akhirnya ia bersuara lagi. "Aku tahu. Tapi aku ingin tahu, apa kekuranganku sebagai seorang isteri, Gabriel. Aku berhak untuk tahu kan? Paling tidak, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari."
Terdengar suara nafas Gabriel yang berat. Ia memandang isterinya yang cantik. Cantik dan terlihat tidak ada cacatnya, seperti boneka. Akhirnya pria itu menjawab dengan datar. "Secara keseluruhan, kau wanita yang sempurna. Isteri yang terlalu sempurna, Arienne."
Jawaban yang tidak disangka itu membuat Arienne menoleh cepat pada suaminya. Kedua matanya yang hijau terlihat membulat dan penuh cahaya. Tapi cahaya itu segera meredup saat mendengar kelanjutan kata-kata dari suaminya.
"Saking sempurnanya, aku seolah menikahi seorang robot. Kau selalu melakukan yang aku katakan. Tanpa protes. Tanpa marah. Tanpa emosi."
Kedua pasang mata yang berbeda warna itu saling menatap intens dan tanpa perasaan, Gabriel melanjutkan kata-katanya yang tidak diketahuinya telah menghancurkan hati wanita di depannya.
"Kau bahkan dingin di tempat tidur, Arienne. Aku seolah sedang bercinta dengan sebuah boneka s**s dan bukan seorang wanita. Aku membutuhkan seorang isteri dan bukan robot atau pun pembantu. Kau paham sekarang, kenapa aku ingin kita berpisah?"
"Kamu tidak pernah mengatakannya selama ini, Gabriel. Mungkin kalau kamu-"
"Tidak. Aku sama sekali tidak mau mendengarmu menyalahkanku, Arienne! Kau sendiri tahu, kalau aku tidak punya waktu untuk mengurusi permasalahan remeh-temeh seperti ini! Seharusnya, kaulah sebagai isteri yang tahu mengenai kebutuhanku sebagai seorang suami!"
Argumentasi Gabriel yang jelas-jelas tidak mau disalahkan, membuat Arienne menampilkan senyuman miring di bibirnya. "Ternyata kamu adalah pria yang sangat egois, Gabriel. Kalau kamu sadar, pernikahan adalah penyatuan dua kepribadian yang berbeda. Butuh dua orang untuk membuatnya berhasil. Tidak bisa kamu menyerahkan tanggungjawab itu hanya pada pihak wanita saja."
"Tidak ada gunanya mengungkit hal itu lagi, Arienne. Keputusanku sudah bulat. Lagipula, perjanjian kita hanya untuk lima tahun saja. Apa kau lupa?"
Kata-kata yang diucapkan dengan mantap itu tampak menonjok d*da Arienne dengan sangat kencang, membuatnya sedikit kesulitan untuk bernafas. "Aku tidak lupa. Tapi Gabe... Kita sudah mengenal lebih dari 10 tahun, dan sudah menjalani pernikahan ini selama 5 tahun. Tidak bisakah kamu-"
Suara kencang yang berasal dari tangan Gabriel yang menghantam permukaan meja kayu di depannya, membuat Arienne terlonjak kaget dan terdiam. Dan pandangan mata suaminya yang sangat keras padanya, tampak menghancurkan harapan Arienne yang tadinya masih tersisa.
"Apa perlu kukatakan dengan lebih jelas, Arienne? Aku sudah muak padamu! Aku muak dengan pernikahan sandiwara ini! Aku ingin kita berpisah! Bagian mana dari kata-kata itu yang masih belum jelas untukmu!?"
"Gabe..."
Dengan kasar, Gabriel melemparkan sebuah dokumen ke atas meja. Terlihat emosi pria itu yang sangat tinggi dan membuat bahunya yang bidang naik-turun dengan cepat. Dagunya menengadah, menunjuk berkas di depannya. "Tandatangani dokumen itu. Secepatnya!"
Raut muka isterinya yang masih terlihat datar, membuat kemarahan pria itu semakin memuncak entah kenapa. Ia sangat ingin melihat isterinya menangis. Ia sangat ingin melihat isterinya mengeluarkan emosi yang ada dalam dirinya, seperti wanita normal lainnya. Tapi pria itu tidak pernah mendapatkannya selama pernikahannya dengan wanita di depannya ini.
"Apa ini?"
"Berkas perceraian."
Terasa jeda yang sangat lama ketika itu. Dan ketika Arienne membuka mulutnya kembali, Gabriel merasakan rasa penyesalan yang sangat besar dan menghantam d*danya ketika mengingatnya kembali. Isterinya telah pergi dan dia di sini, dengan rasa penyesalan yang tidak berujung.
Kedua mata pria itu nanar menatap ke bawah. Alisnya yang tebal berkerut dalam dan tidak lama, tampak lelehan air keluar dari kedua matanya yang berwarna hitam. Pada akhirnya, tubuhnya yang tegap pun luruh ke tanah. Pria itu jatuh berlutut dan ia menundukkan kepalanya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya dan sayup-sayup, terdengar erangan lirih dari bibirnya yang berwarna pucat keunguan.
"Honey... Maafkan aku... Maafkan aku..."
Tubuh lelaki itu mulai bergetar kuat, dan posisinya semakin lama semakin menunduk. Sampai pada akhirnya, pria itu pun tersungkur ke tanah. Posisinya menelungkup. Tangannya yang mengepal, mencengkeram tanah makam yang ada di bawahnya. "Arienne..."
Kepalanya meneleng ke samping dan kedua matanya yang membuka, masih mengeluarkan air tanpa henti. Pria itu merasa nafasnya mulai terasa berat. Berat dan sesak. Ia tersengal. Tubuhnya pun kembali bergetar. Menggigil dan kedinginan, tapi di dalamnya ia merasa panas. Panas dan terbakar.
"Aku... mencintaimu..."
Suaranya serak dan lirih. Hampir tidak terdengar. Tidak lama, nafasnya yang berat perlahan-lahan berhenti. Sinar yang ada di kedua matanya yang membuka pun mulai meredup dan akhirnya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan lagi. Tubuh besarnya yang tadinya bergetar terlihat diam dan membeku.
Pria itu telah pergi menyusul isterinya.
Ia mungkin telah menyusul orang yang dicintainya. Tapi ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan dirinya.
Penyesalan yang besar tampak terpatri dalam hatinya, membuatnya tidak merelakan dirinya untuk pergi dari dunia ini. Dan ia juga belum merelakan wanita yang dicintainya, untuk pergi meninggalkannya.
Ia akan melakukan segalanya, untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya.
Meski itu berarti, ia harus menyusuri seluruh alam semesta, untuk mencari orang yang dikasihinya. Dan ia tidak akan pernah tahu, berapa lama waktu yang akan diperlukannya untuk menemukan jiwa itu.
Yang pasti, pria itu telah berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan menemukan jiwa wanita itu. Ia akan menemukannya dan menjadikannya miliknya kembali. Ia akan memperbaiki kesalahannya dulu.
Tidak peduli apapun yang terjadi dan berapa lama waktu yang dibutuhkannya.
= Suatu waktu, di suatu tempat. Nun jauh di sana ="Apa yang sedang kau lakukan di sini?""Tidak ada.""Kau sedang menatap siapa?""Tidak ada."Jawaban menyebalkan itu membuat Hermes kesal, dan ia malah semakin mengintip. Dewa pria itu sedikit mendorong bahu dewa wanita yang ada di sebelahnya, dan langsung bersiul saat berhasil melihat apa yang dari tadi dipandangi oleh rekannya ini."Malaikat...? Kau naksir salah satunya?"Raut Pandora sama sekali tidak berubah. Ia masih menyender santai di pohon dan menatap nun jauh di sana pemandangan yang hanya dapat dilihat oleh mata keduanya. Dalam pandangan mereka, terlihat sosok dua orang malaikat. Satu berambut hitam dan lainnya merah. Keduanya tampak saling berdebat tentang sesuatu, dan tampak si merah kesal dengan si hitam yang terlihat bermuka datar.Memanyunkan bibirnya, Hermes menoleh pada Pandora yang hanya membalasnya dengan muka datar."Mana yang kau suka. Yang hitam atau yang merah?"Wanita itu tidak menjawab, membuat Hermes makin pe
"Gabriel, the supreme. Apakah masih ada lagi yang ingin dirimu tanyakan pada-Ku?"Gabriel mengangkat kepalanya dan ia menggeleng pelan. "Tidak Yang Maha Kuasa lagi Maha Pendengar dan Maha Segala Tahu. Aku Gabriel, telah sangat puas dengan jawaban-Mu. Tidak ada lagi keraguan dalam hatiku. Aku telah mengambil keputusan.""Kau memang telah mengambil keputusan, Gabriel. Jauh sebelum kau bertanya pada-Ku. Dan terpujilah semua langkah yang kau ambil, karena jiwa kasih sayangmu membuatmu menjadi seorang yang tidak egois dan sangat memikirkan orang lain. Kau telah menjalankan tugasmu dengan sangat baik. Lakukan semua menurut kehendak hatimu, karena hatimu telah dituntun oleh nuranimu. Ingatlah itu."Dan setelah itu, gaung mistis itu pun menghilang. Langit perlahan berubah menjadi cerah meski awan-awan masih mengelilingi langit, pertanda kalau mendung masih belum akan berakhir. Raphael yang tadinya terbang di angkasa pun pelan turun dan menjejakkan kakinya di permukaan. Tampak kedua matanya ya
"Bagaimana dia?""Berhasil. Seharusnya.""Seharusnya?""Azrael yang datang.""Malaikat maut? Dia sendiri yang akan menyerahkannya? Pada Tuan Michael?""Ya. Sepertinya begitu. Sekarang Tuan Michael sedang menunggu kedatangan Tuan Gabriel."Kepala salah satu dari mereka menunduk dalam. "Kalau yang ini tidak berhasil juga..."D*sahan nafas berat terdengar dari sebelahnya. "Jiwa itu hanya akan menghilang. Dan-""Dan apa?"Suara yang sangat berat terdengar di belakang mereka, membuat keduanya langsung menoleh kaget dan menundukkan kepalanya hormat. "Tuan Gabriel.""Ambrosio. Persephone. Kembali kalian berdua yang menyambutku."Masih menunduk, Ambrosio menjawab pelan. "Tuan Michael sudah menunggu Anda, Tuan Gabriel."Tampak kepala Gabriel mengangguk. "Di taman suci? Azrael juga hadir?""Ya, Tuan Gabriel. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda di sana."Sejenak suasana hening dan ketika Ambrosio mengangkat kepalanya, ia tertegun melihat seraut senyum lembut terpatri di bibir pria yang dikenal
Under my dreamsI see the other sideI am the space of moonlightUnder your doorAnd you come to meet meSay you knew me beforeAnd when i'm lying by your headYou put your body into mine (Gregorian - Dark Side)***"Kat.""Gabe."Tampak dua sosok yang saling berpandangan dalam ruangan putih itu. Sosok sang wanita terbalut jubah panjang berwarna ungu gelap dan sang pria masih berbalut dengan jubah putihnya. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan tangan yang saling bertautan. Senyum tampak terpatri di bibir mereka dan untuk sesaat, dua orang itu saling memandang sosok masing-masing dengan intens. Dua pasang mata itu bergerak-gerak penuh emosi ketika akhirnya pandangan mereka kembali bertemu.Salah satu tangan Kat mengelus pipi Gabriel yang kencang dan bersih tanpa jenggot."Sudah lama sekali aku tidak melihat sosokmu yang seperti ini, Gabe..."Perkataan itu membuat Gabriel terkekeh. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu seperti ini, Kat."Kat mengangguk. "Ya. Terakhir melihatmu saa
Dalam sebuah taman yang indah, tampak sesosok pria yang tinggi dan berbadan tegap sedang mengamati bunga-bunga yang bermekaran di sana. Ia juga mengelus bunga tulip berwarna putih. Bunga kesukaannya. Dan pria berambut hitam itu tampak melamun. Ia melamun tapi bibirnya tersenyum samar. Raut wajahnya terlihat bercahaya dan bahagia. "Kau masih di sini?"Pertanyaan itu membuat kepala Gabriel mengangguk pelan, dan orang di belakangnya mendengus."Di saat aku menginginkan kau untuk segera pergi, kau masih betah berada di sini.""Aku hanya menikmati taman indahmu. Mengaguminya. Apakah kau mau aku untuk mendustakan anugerah yang telah diberikan oleh-Nya?"Kembali dengusan itu terdengar. "Tapi apakah kau harus menikmatinya di sini? Di tamanku ini? Kau bisa langsung pergi ke taman Uriel dan menikmati keindahan taman hijaunya di sana!""Tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan tamanmu ini, Apollyon. Kau diberkahi sepasang tangan dingin untuk menumbuhkan sesuatu yang indah.""Aku tersanjung den
"Jadi, kamu sudah serius akan menikahinya, Dec?"Saat ini, Gabriel sedang bersama dengan Declan di dalam ruangan kerja. Tampak keduanya duduk di sofa sambil menikmati teh, juga kue yang disajikan oleh isterinya serta calon menantunya.Meletakkan cangkir tehnya, kepala Declan mengangguk. "Ya, pap. Aku dan Angie sudah bersama sejak dua tahun ini. Aku juga sudah bertemu dengan keluarganya, dan latar belakang mereka cukup baik.""Mereka dari keluarga pebisnis juga?"Tampak Declan menggeleng pelan. "Mereka dari keluarga biasa, pap. Ayahnya Angie bekerja di perusahaan konstruksi sebagai engineer. Ibunya seorang psikolog. Adik Angie sekarang mengambil jurusan arsitektur dan akan lulus tahun depan. Ia juga sudah bekerja di sebuah perusahaan konsultan di Amerika sana sejak masih kuliah. Angie sendiri sekarang bekerja sebagai supervisor HC di HGC sudah sejak lima tahun ini. Mereka memang bukan dari keluarga kaya, tapi terpelajar." "Jadi dia bawahanmu di sana?"Pipi Declan tampak merona dan pri