"Wah, rupanya benar Anda. Apa kabar, Nona Ariest?" Masih dengan senyum lebarnya sosok itu mengulurkan tangan untuk menyalami Jane.
Jane bergeming, hanya menatap sosok itu tanpa berkedip berusaha mengenali rupa yang sekilas terlihat familiar.
Namun, sel-sel otaknya tidak mampu memberinya gambaran lebih banyak. Sosok tampan pemilik senyum bersahabat itu tetap saja masih asing di ingatannya.
Dengan tatapan bingung, akhirnya Jane menyambut uluran tangan lelaki itu.
"Maaf, saya tidak bisa mengingat Anda. Apakah kita saling mengenal?" tanya Jane ragu.
Manik berwarna coklat itu tak beranjak memandangi paras Jane yang terlihat bingung. Tanpa melepaskan senyumnya, ia menjawab pertanyaan Jane dengan nada ceria.
"Bisa ya, bisa juga tidak. Namun, satu yang pasti kita sudah bertemu beberapa hari yang lalu di pesta pertunanganan Anda," jawab sosok itu memberikan clue.
Jane kembali memutar memorinya, mencoba mengingat nama-nama yang dikenalka
Sekitar pukul sembilan malam, Aaron sampai di kediaman keluarga Caldwell. Perasaannya tidak enak karena sejak senja tadi Jane tidak bisa dihubungi. Sementara asistennya di atelier mengatakan Jane sudah pulang sejak sore. "Kau baik-baik saja kan, Jane?" gumamnya risau. Aaron langsung menuju East Wing. Dengan cepat turun dari mobil lalu mengetuk pintu East Wing dengan harapan Jane akan membuka pintu, menyambutnya dengan senyum indah yang selalu membuat jantung Aaron berdetak kencang. Namun, ia harus menelan kenyataan pahit. Pintu itu terbuka, tapi bukan Jane yang membukanya. Seorang pelayan menyambut, dan mengatakan Jane belum pulang. "Apakah dia ada menelepon atau mengirimkan pesan?" tanya Aaron khawatir. "Tidak ada, Tuan Muda," jawab pelayan itu sopan. "Baiklah. Tolong kabari aku jika dia sudah kembali," titahnya kemudian. Aaron kembali ke mobilnya, memacu Mercedes SLR McLaren miliknya menuju South Wing. Sebelum masuk ke rumah,
Tanpa komando, Aaron dan Chris melesat menuju mobil mereka masing-masing. "Pakai mobilku saja, Chris. Lebih cepat," ujar Aaron. Chris mengerti. Tanpa berpikir panjang ia segera berpindah kendaraan. Aaron langsung menekan pedal gas dengan kekuatan maksimal, berharap bisa segera sampai di alamat yang GPS tracker tadi tunjukkan. Mobil yang dikendarai Aaron melaju kencang, bergerak lincah mencari celah untuk mendahui kendaraan yang berada di depannya. Rolex di pergelangan tangannya telah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi jalanan tetap ramai seolah orang-orang di kota itu tidak pernah tidur. Untuk pertama kalinya Aaron mengutuk kondisi kota kelahirannya itu. "Di perempatan itu kita belok kanan saja, Bos. Lebih cepat, karena jalan satu arah," ujar Chris memberi saran. Aaron mengangguk, menuruti perkataan Chris. Hanya dalam hitungan menit, mereka sampai di alamat yang dituju. Chris bergerak cepat, terlebih da
Jane kaget, tidak menyangka jika ada orang lain selain dirinya di ruangan itu. "Siapa kau? Apa kau dalang semua ini?" sergah Jane emosi. "Kau bicara apa, Nona? Kondisi kita sama, jangan menuduh sembarangan," protes sosok itu pelan. Ia meringis menahan rasa nyeri di belakang kepala yang tiba-tiba terasa menusuk. Sepertinya selain dibius, ia juga mengalami pukulan di belakang kepalanya. "Apakah ... Kau juga dalam keadaan terikat?" tanya Jane penasaran. Ia menoleh ke belakang, mencoba melihat sosok itu tapi percuma. Indra penglihatannya terbatas. Dari posisinya Jane hanya bisa melihat bayangan tubuh pria itu lewat sudut matanya. "Ya, persis seperti dirimu. Bedanya pakaianku masih lumayan lengkap, sementara kau ...," Sosok itu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia yakin Jane pasti tahu kelanjutan kalimatnya itu. Jane terdiam dengan wajah merah. "Sial, jadi pria ini berbaring terikat di belakangku, memandangi tubuhku
Lindsay tertawa penuh kemenangan melihat Jane yang hanya bisa berseru kaget dengan kedua tangan dan kaki terikat. "Surprise!" serunya kemudian. Tubuh jangkung itu kembali menegakkan punggung, lalu bersedekap dengan angkuh. Sepasang netranya menatap Jane dengan penuh kebencian. Jane mendengkus sambil membuang muka, menolak bertatap muka lebih lama dengan wanita itu. "Tatap mataku, jalang!" Lindsay kembali menundukkan tubuhnya, mencengkram rahang Jane dengan kuat, memaksa tunangan Aaron itu untuk melihat ke arahnya. "Bukankah sudah aku katakan padamu, Nona. Aku akan buktikan siapa yang lebih pantas mendampingi Aaron. Aku, yang tumbuh bersamanya, atau kau gadis murahan yang telah menghabiskan malam dengan Felipe Calderon?" seringai Lindsay. Lepas berkata itu, Lindsay mengeluarkan tawa lepas penuh kemenangan. Ia merasa rencananya berjalan lancar. Tidak lama lagi ia kembali bisa mendekati pria tampan yang telah menjadi impiann
"Laporan forensik sudah saya terima, Bos," lapor Chris langsung begitu dirinya bertemu Aaron siang itu. Di sebuah private room restoran mewah, Aaron dan Chris menggelar pertemuan rahasia. Jauh dari pandangan orang-orang yang mengenal mereka. Sebagaimana namanya, private room benar-benar memberikan privasi tinggi bagi tamu VIP mereka. Dinding kedap suara, dan layanan khusus yang bisa diminta via intercom. Jadi, tidak akan ada yang bisa masuk ke ruangan itu tanpa izin, dan juga tidak akan ada telinga yang bisa mencuri dengar pembicaraan penting mereka. Aaron sengaja memilih tempat itu agar dia dan Chris bisa bicara dengan leluasa tanpa diketahui oleh orang lain. Sampai detik ini, tidak ada satu pun orang yang tahu jika Jane menghilang secara misterius. "Bagaimana hasilnya?" tanya Aaron tak sabar. "Sesuai harapan kita, Bos. Kamar hotel itu bersih dari sidik jari Jane ataupun Calderon. Begitu juga seprai dan benda-benda lainnya di atas ranja
Jane telah selesai memberikan kesaksiannya, begitu juga Felipe yang ternyata lebih dahulu selesai sejak sepuluh menit yang lalu. "Anda pulang sekarang, Nona Ariest?" tanya Felipe ketika ia melihat Jane dan Aaron melintas di lobby. Serentak Jane dan Aaron menghentikan langkah, menoleh ke arah Felipe yang terlihat datang mendekat. "Ya, Tuan. Saya sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan tempat tidur yang nyaman," kelakar Jane disertai tawa yang renyah. Felipe turut tertawa, ia mengerti apa yang Jane rasakan karena dirinya juga menginginkan hal yang sama. "Ya, kita memang sangat membutuhkan itu saat ini," sahut Felipe. "Maaf jika saya menahan Anda lebih lama. Saya hanya ingin menyampaikan rasa terimakasih saya pada Anda, Nona Ariest. Saya berhutang budi kepada Anda, jadi kapanpun Anda membutuhkan bantuan jangan sungkan untuk menghubungi saya. Dengan senang hati saya akan meluangkan waktu untuk Anda," ujar Felipe, menawarkan niat baik
Aaron menghempaskan tasnya dengan kasar, lalu berjalan mondar mandir dengan sebelah tangan berada di pinggang. Sementara tangan satunya lagi memegang ponsel di telinga kiri. "Ya, tolong ke ruanganku sekarang," titahnya. Selang beberapa menit, sosok yang ditunggu muncul di ruangan berdinding kaca itu. Dia adalah Joshua, sang Manajer HRD, salah satu orang terdekat Aaron. Deru napasnya memburu, terlihat jelas kalau ia segera berlari begitu mendengar titah dari Aaron. "Bagaimana? Kau sudah mendapatkan hasil yang aku minta?" tanya Aaron langsung tanpa basa-basi. "Saya masih mengumpulkan datanya, Bos. Janjinya siang ini paling lambat," jawabnya. "Menurutmu ... apakah sesuai dugaan kita?" tanya Aaron lagi. "Saya tidak ingin berandai-andai, Bos. Namun, dari bukti yang terkumpul sejauh ini sepertinya dugaan Anda memang tidak salah." "Baiklah. Kabari aku secepatnya jika kau sudah terima file-file itu semua." Joshua mengangguk, la
Apakah yang paling mengecewakan selain patah hati karena cinta? Mungkin pengkhianatan seorang teman adalah salah satu jawabannya. Teman adalah seseorang yang paling berarti, bahkan terkadang melebihi keberadaan keluarga sendiri. Dengan teman seseorang bisa berbagi banyak hal, sampai hal-hal paling rahasia sekalipun. Teman mungkin bukan orang pertama yang ikut tertawa saat dirimu bahagia, tapi teman selalu jadi orang pertama yang menangis saat dirimu sedang berduka. Teman sejati akan saling peduli dan melindungi satu sama lain. Kali ini Aaron harus menghadapi kekecewaan itu untuk yang ke dua kalinya. Dikhianati dengan begitu keji oleh teman sendiri. Daniel, teman Aaron sejak sama-sama berjuang meraih gelar sarjana, juga teman yang selalu ia andalkan saat membangun TCC di awal-awal dirinya menjadi CEO. Jika dihitung, usia pertemanan mereka mungkin sudah lebih dari dua puluh tahun. Begitu banyak kepercayaan yang telah Aaron curahkan padanya. Begi