Share

8. Terbiasa

Lengan kirinya yang tertabrak setir sepeda motor itu terasa sangat nyeri, dan karena hal itu juga lah ia bisa sampai terjatuh seperti ini. Kedua siku dan tangannya berdarah karena ia buat tumpuan saat terjatuh tadi. Serta kedua lututnya yang juga berdarah karena berciuman dengan lantai trotoar yang sama sekali tidak mulus ini.

Lidia melihat motor itu terus melaju kencang turun dari terotoar dan menghilang di tikungan jalan besar ini. Entah mengapa, rasa-rasanya kejadian ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, tetapi telah direncanakan sebelumnya. Karena menurutnya sangatlah janggal seseorang menaiki motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalan khusus pejalan kaki ini. Dan lagi, setelah benar-benar menyerempet Lidia tadi, motor tersebut langsung turun ke jalan raya dan langsung pergi menjauh dari sini.

Dan yang paling mengganggu pikirannya adalah, orang tadi memakai helm yang menutupi seluruh wajah, juga jaket serta sarung tangan hitam yang dipakai rapi oleh penabraknya itu. Semua tampak sangat mencurigakan. Ia benar-benar tidak bisa melihat wajah pelaku tersebut sama sekali. Sudah sangat jelas sekali, bahwa kejadian ini memang benar-benar telah direncanakan sebelumnya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya wanita penjual sandwich yang tadi sempat dibeli oleh Lidia.

Setelah melihat Lidia terjatuh tadi, wanita tersebut langsung berlari untuk segera menolongnya. Karena sepagi ini di kawasan tersebut masih sepi, tak ada pilihan lain baginya selain menolong Lidia yang terserempet motor dengan mengenaskan tadi.

Lidia yang telah bangkit lalu berjalan menuju ke tempat duduk terdekatnya ini, masih tidak bisa menjawab pertannya dari wanita di hadapannya. Karena masih sedikit kaget dan bingung. Ditambah lagi pikirannya yang berkecamuk tentang siapa sebenarnya penabrak tadi dan apa yang sebenarnya terjadi padanya kini. Terlalu banyak kejanggalan yang ia lihat dari kejadian barusan.

“Hei..” panggil penjual sandwich lagi sambil mengguncangkan kedua bahu Lidia.

Lidia yang langsung sadar pun menoleh pada wanita yang baru menolongnya tersebut, lalu beralih ke arah beberapa luka yang ada di tubuhnya karena mulai terasa semakin perih.

“Aku baik-baik saja, terima kasih telah menolongku.”

“Kau yakin? Dengan luka seperti ini?” tanya wanita tersebut ragu dan khawatir.

Setelah itu Lidia pun berdiri dan memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Meskipun sebenarnya tidak, tapi ia tidak mau lebih merepotkan wanita yang seharusnya kini menjaga food truck-nya itu.

“Lihat? Kau tenang saja, aku baik. Terima kasih sekali lagi karena telah menolongku,” ujar Lidia sambil berjalan menuju ke arah pot di mana ia menaruh sandwichnya tadi.

Sebelum benar-benar menyeberang dan kembali, ia menyempatkan diri untuk tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda rasa terima kasihnya pada penjual sandwich baik hati tersebut.

Sembil berjalan masuk ke dalam kantor yang masih belum banyak orang ini, Lidia terus memandangi luka-luka yang ia peroleh dari kecelakaan tadi. Jika dipikir-pikir lagi, hal ini mengingatkannya dengan insiden saat SMA dulu. Saat Gio, teman sekelasnya itu menjegalnya sampai jatuh tersungkur dan terluka di bagian yang hampir mirip dengan lukanya saat ini. Hanya kurang mimisan saja, pasti semua akan tampak sama persis mengenaskannya.

Lidia memasuki lift dengan napas kesal. Kemeja blouse putih berharganya kini tampak lusuh, bahkan di bagian kedua sikunya sudah berlubang karena terjatuh tadi. Dan juga karena rok miliknya panjangnya tidak sampai menutup lutut, alhasil luka di area situlah yang tampak paling parah.

Namun, semua itu sama sekali tidak menjadi masalah bagi Lidia. Rasa sakit yang ia rasakan saat ini, sama sekali tidak sebanding dengan semua luka yang pernah ia terima sejak dahulu. Yang awalnya hanya terbiasa dengan luka dan rasa sakit, kini semua itu bahkan telah menjadi teman dekatnya selama hidup.

Setelah lift terbuka, Lidia sekali lagi memantapkan diri. Untuk hari ini, meskipun diawali dengan kejadian tidak mengenakkan, ia akan tetap melakukan yang terbaik bagi perusahaannya. Ia pasti bisa mengatasi semuanya. Asalkan ia bisa mempercayai diri sendiri dan berusaha keras, pasti ada jalan. Walau jalan tersebut penuh liku dan batu.

Lidia merapihkan poni tipisnya yang ternyata sedikit berantakan, sebelum masuk ke ruangannya. Ia memandang dirinya dari pantulan kaca kecil di pintu ruangannya tersebut. Untung saja, rambut panjangnya yang telah dikuncir sangat rapi itu tidak ikut berantakan. Jadi, ia tak perlu merapikannya lagi.

“Astaga!! Bu Lidia, kamu kenapa?” tanya Kira dengan nada terkejut setelah melihat Lidia masuk dalam keadaan yang mengenaskan.

“Sudah kubilang, aku tidak suka dipanggil Ibu. Aku bukan ibumu. Panggil Lidia saja,” ungkap Lidia dengan menghiraukan pertanyaan seketarisnya tadi.

“Baiklah baiklah, Lidia. Kenapa bisa sampai seperti ini?” tanya Kira sambil memeriksa semua luka yang dimiliki oleh CEO muda di depannya ini.

“Kecelakaan kecil, aku baik-baik saja. Tapi pakaianku ini sama sekali tidak baik. Bisa minta tolong kau carikan baju baru? Aku tidak bisa pulang sekarang, karena sudah hampir jam masuk kantor.”

“Baiklah akan segera aku carikan. Dan bagaimana dengan luka-lukamu ini? Perlu ke rumah sakit?” tanya Kira sambil sibuk memeriksa tablet miliknya untuk langsung mengurus apa yang baru saja diminta oleh Lidia tersebut.

“Tidak perlu, aku hanya perlu kotak P3K. Aku bisa mengobatinya sendiri,” jelasnya sambil mengusap darah yang sedikir menetes dari siku dan lututnya itu menggunakan tissue yang sempat ia ambil tadi.

“Kau yakin?” tanya Kira ragu.

“Sangat yakin. Luka seperti ini tidak ada apa-apanya, kau tahu. Aku pernah beberapa kali lebih parah,” jawab Lidia dan diakhiri dengan kekehan renyah.

Kira melihat wanita muda sangar di depannya ini dengan hanya menggelengkan kepala saja. Ia pun segera mengambilkannya kotak P3K dari lemari kecil khusus, yang memang khusus untuk peralatan medis dalam penanganan pertama.

Setelah memberikan kotak tersebut pada Lidia, yang kini sudah duduk di sofa ruangan ini. Kira lihat, Lidia memang benar-benar lihai dan telaten dalam mengobati luka-lukanya. Bahkan ia tidak mengeluh sedikitpun, atau setidaknya meringis kesakitan. Namun tidak, Lidia mengurus semua lukanya dengan raut sangat tenang.

Tidak lama setelah itu, Kira pergi keluar ruangan tersebut dan langsung kembali dengan membawa pakaian ganti yang diminta oleh Lidia tadi.

“Setelah ini kita langsung mulai mengevaluasi anggota direksi, dari para semua direktur sampai ke divisi-divisi yang ada di perusahaan ini. Kita harus memperbaiki seluruh departemen. Aku ingin melihat kinerja mereka selama ini, dan memperbaiki sistem-sistem rapuh yang bisa jadi akan menyebabkan suatu kesalahan ataupun kerugian nantinya,” jelas Lidia setelah menerima pakaian yang telah dibawakan untuknya tersebut.

“Baiklah.. Sekarang kau urus saja dirimu dahulu. Jika butuh apa-apa langsung hubungi aku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status