Pintu mobil terbuka perlahan, disambut hembusan angin malam yang lembut dan aroma segar dari taman bunga di halaman depan.Alvaro turun lebih dulu, menggendong Zolin yang masih terlelap di pundaknya, sementara Amora menyusul dengan langkah pelan, mengayun pelukan hangat untuk Emran yang telah kembali tertidur nyenyak.Suasana rumah terasa damai. Hangat. Seolah menyambut mereka pulang dari sebuah perjalanan kecil yang sarat makna.Setelah menidurkan Zolin di ranjangnya dan meletakkan Emran ke dalam boks bayi, mereka keluar dari kamar dengan langkah ringan, menjaga keheningan demi dua malaikat kecil itu.Di ruang keluarga yang remang dan hanya disinari lampu temaram di dinding, mereka saling berpandangan dalam diam.Tak ada kata.Hanya tatap penuh rasa.Amora menunduk, memainkan ujung lengan bajunya, seolah menyibukkan diri dari kebingungan harus bicara apa.Sementara Alvaro bersandar di dinding, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, mencoba tampak santai... padahal detak jantungny
Pelan-pelan, senyuman muncul di wajah Amora. Tapi bukan senyum biasa. Itu senyum yang tercipta dari rasa haru, dari luka yang perlahan sembuh, dari hati yang mulai percaya bahwa kebahagiaan bisa datang kembali.Namun Amora dengan cepat menggelengkan kepalanya. Ia harus kembali sadar diri dan mengingat statusnya.Zolin mungkin memang menginginkannya menjadi seorang Mommy, tapi tidak demikian dengan Alvaro.Lagipula, setelah pernikahannya yang tak pernah jelas dengan Randy, Amora tak ubahnya seperti wanita yang buruk di mata masyarakat. Ia memiliki seorang anak, tapi tak pernah terlihat bersama suaminya. Mengaku pernah menikah, tapi tanpa satu pun bukti yang bisa menguatkan. Bahkan surat cerai atau pernyataan talak pun tak ia miliki.Di mata orang-orang, ia hanyalah perempuan dengan masa lalu kelam. Dan anak yang ia lahirkan… seringkali dipandang sebagai anak tanpa status yang sah. Anak yang dianggap lahir di luar ikatan resmi, layaknya anak haram.Ia mengusap ujung matanya yang berembu
Amora sedang sibuk di dalam vila, merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang. Sementara itu, Alvaro duduk di tepi pantai sambil menikmati matahari terbenam. Sinar matahari senja menyapu permukaan laut, memantulkan warna keemasan yang menenangkan. Di pangkuannya, Emran tertawa-tawa kecil sambil mengoceh, kedua tangannya menepuk-nepuk dada Alvaro dengan ceria.Tak jauh dari sana, Zolin tengah asyik membuat istana pasir. Gaunnya sedikit kotor, namun wajahnya penuh semangat.Liburan seperti ini sudah lama menjadi impian Zolin. Dulu, ia hanya bisa membayangkan bisa berjalan-jalan ke pantai sambil menggenggam tangan Daddy dan neneknya. Namun siapa sangka, hari ini mimpi itu menjadi kenyataan, bahkan jauh lebih indah dari yang pernah ia bayangkan. Ia tidak hanya berlibur bersama Daddy, tetapi juga bersama wanita yang sangat ia sayangi, Mommy Amora. Wanita yang kini selalu ada untuknya, menyisir rambutnya setiap pagi, dan mencium keningnya setiap malam sebelum tidur.Bonus paling manis
Lorong rumah sakit itu perlahan kembali tenang. Para pengunjung mulai berdatangan, perawat sibuk lalu lalang, dan kehidupan terlihat seperti biasa.Di salah satu sudut lorong lantai dua, di balik tirai ruang tunggu keluarga, seorang wanita berdiri diam, sedikit menunduk, mengenakan hoodie abu-abu dan masker tipis yang menutupi separuh wajahnya.Miranda.Dia tidak benar-benar pulang seperti yang Randy minta semalam. Setelah keluar dari lorong ICU, ia hanya berpura-pura menekan tombol lift. Begitu pintu tertutup, ia menekan lantai lain, lalu kembali naik diam-diam dengan rute berbeda.Kini, ia berdiri di tempat yang hampir tersembunyi, hanya satu langkah dari kaca panjang yang menghadap ke ruang ICU.Matanya tajam, mengarah lurus ke dalam ruangan di mana Dewi terbaring. Tatapannya bukan tatapan iba, melainkan penuh ancaman dingin.Dari posisinya, Miranda bisa melihat Randy duduk di samping tempat tidur ibunya. Ia menggenggam tangan Dewi dan terlihat begitu hancur.Miranda mendecih pelan
Cahaya bulan jatuh tenang di permukaan laut, memantul lembut seperti lukisan alam yang tenang. Suasana terasa damai dan hangat, seperti pelukan dari semesta.Di ruang tengah yang diterangi cahaya temaram, Zolin mendekati Amora sambil menguap kecil."Mommy... aku sudah ngantuk," ucapnya manja, sambil menutup mulut dengan punggung tangan mungilnya.Gadis kecil itu tampak kelelahan. Begitu sampai di villa, ia langsung bermain di pantai hingga sore hari. Jadi wajar jika Zolin sudah mengantuk. Meskipun saat ini masih jam 8."Ayo kita tidur," kata Amora dengan tersenyum hangat. Namun sebelum Amora menyelesaikan kalimatnya, Alvaro sudah lebih dulu menyambar tawaran itu, dengan nada penuh semangat."Apa Zolin mau tidur sama Daddy?" tawarnya sambil mengedipkan mata penuh harap.Zolin menggeleng cepat. "Enggak. Aku mau tidur sama Mommy dan adik Emran," jawabnya polos, sambil memeluk boneka kelinci kesayangannya.Alvaro tertawa kecil, berpura-pura kecewa. "Duh, Daddy kalah saing, nih."Zolin me
lMalam semakin larut. Lorong rumah sakit mulai sepi, hanya terdengar langkah kaki perawat dan dentingan alat infus dari beberapa ruangan.Randy duduk di bangku panjang, tepat di depan ruang ICU. Satu-satunya tempat di mana ibunya kini berjuang antara hidup dan mati.Wajahnya tampak lelah. Matanya memerah. Jas mahal yang ia kenakan sejak pagi kini kusut, dasinya dilonggarkan, dan rambutnya acak-acakan seperti tak pernah ia sentuh lagi sejak keluar dari rapat tadi siang.Ia menunduk dalam-dalam, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas lutut.Satu jam berlalu.Dua jam berlalu.Tapi rasa sesak di dadanya tak juga mereda.Randy bukan sedang menunggu waktu. Ia sedang menunggu jawaban, apakah Tuhan akan memberinya kesempatan kedua, atau merampas satu-satunya wanita yang masih menyebut namanya dengan kasih.Suara pintu terbuka. Seorang perawat keluar dari ruang ICU.Randy langsung berdiri. “Bagaimana kondisi ibu saya?”Perawat itu mengangguk pelan. “Tekanan darah serta denyut jantungn