Gadis itu menyerang membabi-buta kepada laki-laki yang terus berusaha menyentuhnya, Yukine merasa mual melihat cara Alga memandanginya dan tangannya terus berusaha untuk meraih tubuhnya. Bagaimanapun mereka masih memiliki hubungan darah meskipun jauh, lalu bagaimana otak rusaknya bisa berpikir demikian.
"Itu tidak akan sakit jangan melawan, aku akan pelan-pelan," bujuk Alga sambil tersenyum menyeringai lebar.
"Persetan!" pekik Yukine.
Gadis itu ingin berteriak minta tolong, dia sedang ingin melarikan diri dari tempat terkutuk ini, tapi juga dia mengetahui meskipun berteriak tidak seorangpun akan menolongnya, saat ini tidak ada pilihan lain selain mengandalkan kekuatan dirinya sendiri untuk melawan sepupunya itu.
"Kenapa kamu terus mendekap tas ini?" tanya Alga sambil berusaha mengambil tas berisikan dokumen penting dan pakaian Yukine. Barang-barang itu sangat penting tapi nyawanya juga lebih penting, sejak tadi ruang geraknya kurang bebas karena menganggap isi tas itu sangat berharga.
Tampaknya Alga semakin bersemangat melihat Yukine yang terus berusaha melawan dan tanpa ragu melayangkan sebuah pukulan tepat di pipi kirinya yang membuat pandangan Yukine seketika kabur dan kepalanya terasa kosong.
"Jadilah baik," gumam Alga sambil mengambil tas di dekapan Yukine dan melemparkannya sembarangan.
Yukine masih berusaha mensetabilkan dirinya sendiri yang sudah goyah.
Alga meraih rahang gadis itu hanya dengan satu tangan kemudian mendekatkan wajahnya sendiri sambil berseru. "Jika sejak awal kamu patuh, aku pasti akan bersikap lembut." Kata-kata manis itu terasa menjijikan untuk Yukine dan langsung membalasnya dengan meludahinya tepat di wajah Alga, dan tamparan keras langsung menghujani Yukine hingga tubuh gadis kurus itu tidak mampu menahannya lagi."Kamu sendiri yang memilih untuk aku berlaku kasar!" umpat Alga dengan marah dan tangannya sibuk menganiaya gadis tidak berdaya itu.
Hanya dengan satu tarikan, pakaian yang dikenakan oleh Yukine terkoyak. Meskipun kesadarannya mulai kabur, tapi nalurinya masih berusaha mempertahankan diri sambil bergumam tidak jelas.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" Suara itu menggelegar memenuhi ruangan yang sudah berantakan itu.
Dewi kematian berdiri di depan pintu sambil melotot ke arah mereka, Yukine melihat sosok itu baru kali ini merasa jika kehadirannya sangat dinantikannya.
"Ibu ...?" Alga dengan cepat menjauh dari Yukine yang ada di bawahnya dan merapikan dirinya sendiri meski tidak membantu apa pun. "Dia ... dia, dia yang memulainya," ujar Alga sambil menunjuk ke arah Yukine dengan terbata-bata.
Wanita bernama Maina itu langsung melotot ke arah Yukine yang sudah terkapar di lantai dengan segala keadaannya yang memperihatinkan. Yukine berusaha untuk menyangkalnya, tapi jangankan untuk menggelengkan kepala sekedar mempertahankan kesadarannya saja Yukine sudah sangat berusaha keras.
"Kau perempuan tidak tahu terima kasih," cibir wanita itu sambil menerjang ke arah Yukine. "Bagaimana kamu bisa menggoda sepupumu?"
"Apa aku terlihat sedang menggoda putramu?" gumam Yukine dengan tidak jelas sebelum kesadaran Yukine hilang dan semuanya menjadi gelap.
"Tutup pintunya!" seru Maina pada Alga bagaimanapun juga ini adalah masalah keluarga dan orang lain tidak diperbolehkan mengetahuinya.
Yang tidak diketahui oleh Yukine ketika tidak sadarkan diri Pak Tian menghubungi Maina dan melampiaskan kemarahannya atas tindakan Yukine beberapa waktu lalu dan menginginkan uangnya kembali begitu juga dengan hutang yang lalu.
Dengan tidak sabar Maina membangunkan gadis yang masih tidak sadarkan diri itu menggunakan air dan langsung diguyurkan begitu saja ke wajahnya hingga Yukine sadarkan diri.
"Aku ingin kamu melihat bagaimana akibat karena telah menentangku."
Yukine yang baru saja bangun tidak mengerti mengapa wanita ini kembali naik darah, tapi beberapa saat kemudian baru memahaminya ketika Maina membakar semua dokumen penting milik Yukine tepat di hadapannya.
"Tidak, Bibi!" rintih Yukine sambil memohon.
Yukine memohon dan berusaha menyelamatkan dokumen itu tapi Alga sudah bersiap untuk menahannya. Gadis yang sudah babak belur itu meratapi dokumen penting miliknya, semua mimpinya seperti menghilang bersama kobaran api di pelupuk mata, hingga tanpa sadar air matanya jatuh melihat impiannya pupus.
Tidak puas sampai di sana Maina menjambak rambut kusut gadis itu dan membuka matanya lebar-lebar. "Awalnya aku masih berbaik hati hanya menyuruhmu untuk menikah agar keluarga ini masih bisa dipertahankan, akan tetapi kamu begitu keras kepala memaksaku untuk berbuat lebih kejam. Aku sangat tidak menyangka jika aku memelihara seekor binatang selama ini. Kau tampak seorang gadis baik-baik yang lemah, tapi bagaimana bisa kamu sudah menjual tubuhmu." Maina terus mengoceh di depan wajah Yukine tanpa memindahkan cengkraman tangannya.
"Selain kamu banyak menggoda laki-laki di luar sana bagaimana kamu juga bisa menggoda sepupumu sendiri?"
Yukine mulai mengerti arah pembicaraan ini beberapa waktu yang lalu, Yukine mendatangi rumah Pak Tian dan mengatakan jika dirinya sudah tidak perawan lagi, sering berhubungan dengan banyak pria karena Yukine mengetahui jika dirinya tidak dapat memiliki keturunan. Semua omong kosong itu dikatakannya agar dapat lepas dari laki-laki tidak tahu diri itu, tidak menyangka jika akan menjadi bumerang untuk dirinya di kemudian waktu.
"Karena kamu sungguh tidak berharga maka Nyonya Wigiarto akan membimbingmu itu di tempat yang layak untukmu."
"Tidak, Bibi, jangan. Bibi tidak dapat menjualku ke tempat seperti itu."
"Bagaimana tidak aku membutuhkan banyak uang sekarang juga, meskipun Nyonya Wigiarto tidak dapat memberikan uang sebanyak Pak Tian, setidaknya itu lebih baik daripada tidak sama sekali."
Maina tidak mau mendengarkan lagi permohonan Yukine, wanita itu langsung keluar dan menginstruksikan Alga untuk membawanya pergi. Tubuh kurus itu diseret dengan kasar dan membawanya pergi ke tempat yang jauh, bahkan Alga menutup mulut, mata dan mengikat tangannya setelah beberapa waktu mereka sampai ke tempat Nyonya Wigiarto.
"Sangat kurus. Apa kalian tidak memberinya makan?" ujar wanita dengan riasan tebal itu.
"Setidaknya dia cantik, sedikit polesan saja sudah membuat Nyonya banyak keuntungan," sahut Alga dengan nada bicara yang lembut.
Wanita itu tidak menyahut lagi sepertinya sepakat dengan Alga, kemudian menyuruh anak buahnya mengunci Yukine di sebuah ruangan dengan masih kondisi tangan teringat.
Ruangan itu gelap dan sedikit bau pengap, debu tebal dibeberapa barang, hanya ada sedikit cahaya masuk melalui celah-celah di jendela. Yukine berusaha untuk melepaskan diri setelah cukup berusaha akhirnya ikatan itu lepas, kemudian ia langsung mengambil ponselnya di saku dan menghubungi ibunya. Itulah pertama yang ada di benaknya setelah menunggu beberapa saat panggilan itu terhubung, terdengar suara wanita di ujung sambungan.
"Ada apa? Ibu sangat sibuk sekarang. Hari ini pernikahanku, apa yang kamu butuhkan? Uang? Ibu akan mengirimkannya setelah acara selesai jangan ganggu ibu, nanti akan aku hubungi lagi."
Panggilan itu tertutup begitu saja tidak memberi waktu untuk Yukine berbicara sedikit pun, ada keheningan di ruangan itu dan kemudian disusul tawa kecil yang keluar dari bibir Yukine yang sedikit bengkak akibat pukulan dari ibu dan anak itu.
Jika ini terjadi kemarin mungkin bukan tawa yang keluar dari bibir gadis itu, tapi sebuah senyuman karena kala itu yang dibutuhkannya adalah biaya untuk pendidikan, akan tetapi saat ini uang bukanlah prioritas utama karena hidupnya sedang terancam, apa pun bisa terjadi di tempat prostitusi ini.
Otak gadis itu segera berfungsi kembali setelah bersedih untuk beberapa saat mengenang orang yang mungkin akan membantunya, tapi ternyata tidak. Yukine segera memanggil polisi panggilan itu terhubung dan mengatakan keadaannya, tapi Yukine tidak tahu di mana lokasinya saat ini polisi wanita itu memintanya untuk tenang dan polisi akan melacak keberadaannya selagi panggilan itu masih terhubung maka lokasinya pasti ditemukan dengan cepat, tapi belum juga polisi melacak keberadaannya seseorang masuk dan merebut ponsel itu.
"Bodoh," umpat laki-laki bertubuh kekar itu sambil menendang perut Yukine.
Setelannya puas memukuli Yukine, laki-laki itu memaksanya meminum sesuatu. Dengan tangannya yang kurus gadis itu menolaknya, apa pun itu pasti tidak akan baik jika meminumnya, tapi kekuatannya tidak sebanding dengan orang itu hingga cairan entah apa itu akhirnya berhasil masuk ke lambung Yukine, kemudian membuat gadis itu tak sadarkan diri.
Di pagi hari ketika bangun Yukine merasakan tenggorokan terasa tidak nyaman dan bersin terus menerus juga merasakan jika suhu tubuhnya sedikit lebih hangat daripada biasanya tapi Yukine memiliki kelas pagi apalagi dirinya harus datang ke klub hari ini karena tidak ingin menunda menjadi kuat Yukine memaksakan tubuhnya untuk bangun dan mandi air hangat. "Ini bukan apa-apa, aku pernah demam parah tapi masih bisa melakukan banyak hal," ujar Yukine meyakinkan dirinya sendiri.Akan tetapi tekatnya runtuh ketika sang permaisuri rumah ini mendengar dan melihat langsung jika sang putri bersin sampai dua kali ketika menuruni tangga."Kamu sakit?" ujar Xiyun yang sedang ada di meja makan sendirian."Tidak, ini hanya flu ringan," jawab Yukine sambil mendudukkan tubuhnya di samping wanita itu."Sudah minum obat?""Setelan sarapan.""Kamu kehujanan kemarin?""Emm ... tidak." Yukine kembali mengingat semalam memang dirinya tidak kehujanan tapi hanya menerjang hujan sebentar ketika keluar dari rumah
Balryu langsung bertanya kepokok permasalahan, sebelum berangkat pagi ini Yukine sudah memberi tahu kepada ibunya jika akan pergi keluar kota dan akan kembali malam, wanita itu awalnya tidak memperbolehkannya jika Yukine bepergian sendirian akan tetapi terlambat putrinya sudah berada di dalam kereta, Yukine memberitahu wanita itu bukan untuk meminta ijin melainkan sebuah pemberitahuan agar tidak mengkhawatirkannya."Aku akan sampai sekitar jam 7 malam jika tidak ada keterlambatan keberangkatan," jawab Yukine."Aku akan menjemputmu di stasiun. Hati-hati.""Em," Segera panggilan itu berakhir, suara laki-laki itu masih nampak dingin namun terlihat jelas jika sedang mengkhawatirkannya."Siapa?""Kakakku," Yukine menjelaskan situasinya dan mereka memutuskan untuk kembali bersama meskipun mereka naik kereta yang sama dan satu gerbong tapi mereka tidak duduk berdekatan. Setelah kereta itu sampai Damar menghampiri Yukine dan keluar stasiun bersama-sama.Ketika akan berpisah Damar sekalian men
Dengan tergesa-gesa dan tanpa arah Yukine segera meninggalkan tempat itu mereka belum bertemu tapi Yukine sudah melihat Alga dari kejauhan padahal meskipun mereka bertatap muka laki-laki itu tidak akan mungkin mengenali dirinya yang sekarang hanya saja Yukine tidak yakin dengan dirinya sendiri dapat menahan diri untuk tidak memukul wajah itu dengan kayu. Langkah itu masih tergesa-gesa tanpa tujuan pasti tapi gerimis menyadarkannya."Meskipun sudah berlalu cukup lama aku masih belum dapat menenangkan diriku," gumam Yukine pada dirinya senyuman mengejek tercipta karena kekonyolannya sendiri. Kemudian mengabaikan keberadaan laki-laki itu melanjutkan urusannya.Yukine menepi ke sebuah toko serba ada dan membeli sebuah payung tiba-tiba bibir itu tertawa kecil, Yukine menertawakan dirinya sendiri betapa konyol dan cerobohnya dirinya yang datang jauh-jauh hanya demi mengikuti perasannya dan hasilnya kini dirinya terjebak hujan dan tidak tahu akan kemana, jembatan itu masih menjadi tujuan uta
"Apakah gegeku tahu jika aku menyukainya?" Itu adalah pertanyaan pertama Yukine pada Khia Na ketika keesokan harinya ketika mereka bertemu kembali di universitas."Aku tidak tahu," jawab Khia Na sambil menggeleng pelan. Yukine mengerenyit sambil menggigit bibir bawahnya hal ini sangat menyita perhatian dan pikirannya."Kamu nampak frustasi? Kenapa aku merasa jika perasaanmu pada gegemu seperti sebuah aib.""Aku merasa malu saat memikirkannya," jawab Yukine jujur dan mengimbuhkan di dalam hatinya, "Terlebih setelah membaca diary itu." Yukine merasa merinding sampai saat ini sampai tidak berani membuka diary itu lagi."Menurutmu bagaimana reaksinya jika gege tahu tentang perasaanku?""Emm aku tidak yakin tapi di matanya kamu tetap adik kecilnya aku rasa dia memperlakukan dirimu layaknya saudara bukan sebagai seorang wanita.""Semoga saja seperti itu. Lalu apa pendapatmu tentang perasaanku ini?""Maksudnya?""Sebaiknya aku tetap jadi adiknya atau ... bagaimana jika aku jatuh cinta lagi p
Balryu menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya Yukine hanya sekilas melihatnya dan kembali minum setelah itu musik sudah bergulir di playlist berikutnya, Yukine kembali melakukan boxing tidak berani terlalu memperhatikan keberadaan Balryu usahanya akan gagal total jika terus melihatnya. Ketika melihat Yukine begitu bersemangat untuk berolahraga Balryu meninggalkan kamar itu dan Yukine dapat bernapas lega. "Akhirnya pergi juga," gumamnya sambil melirik tempat dimana pemuda itu tadinya berada. Tubuhnya terasa sangat lelah setelah melakukan beberapa putaran lagi sarung tangan itu di buang sembarangan dan kini Yukine merebahkan tubuhnya di kasur untuk merenggangkan otot-ototnya.Pintu itu di ketuk dua kali tapi segera terbuka tanpa menunggu Yukine untuk membukanya, "Turunlah aku sudah menyiapkan makan malam," ucap Balryu sambil memegangi kenop pintu.Yukine menelan ludahnya bukan karena tentang makanan yang disebutkan oleh pemuda itu akan tetapi penampilan Balryu yang masih menggu
Musik itu menggema di kamar Yukine dengan sangat keras sedangkan gadis itu begitu sibuk memukul mesin boxing bundar di depannya, pukulannya selaras dengan musik yang terputar tapi kali ini pukulannya cukup kuat berbarengan dengan gejolak emosi yang ada di hatinya karena perkataan dari Khia Na terngiang di benaknya. Yukine ingat ketika membersihkan kamar Fe Fei dan merapikan barang-barang milik gadis itu menemukan sebuah diary tapi kala itu sama sekali tidak ingin mengintip rahasia Fe Fei."Kamu menyukainya" Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya hingga Yukine mencarinya kembali barang yang mungkin menyimpan rahasia itu dan mencoba untuk mengenyampingkan rasa tidak enak hati karena mengintip rahasia orang lain meskipun ragu.Tapi ketika kembali mendengar kalimat itu kembali terlintas di otaknya fakta tentang Balryu. "Maaf," gumam Yukine lirih sambil menatap diary yang tidak terlalu besar itu dan halamannya sudah hampir penuh. Di halaman pertama nampak tulisan gadis itu belum stabil