Share

Dua Orang Pengkhianat

Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku sendiri. Mataku terbelalak melihat benda pipih yang ada di tangan. Terdapat dua garis berwarna merah di sana, pertanda jika aku sedang mengandung.

“Aku ... hamil?” Suaraku gemetar karena benar-benar takut. “Bagaimana bisa aku hamil?”

Aku memegang dengan erat alat tes kehamilan itu, lalu berjalan keluar kamar mandi dengan gontai. Kemudian, aku duduk di kasur dengan perasaan yang begitu gelisah bercampur takut. Kenapa aku tidak menyadari kehamilanku jauh-jauh hari?

“Ardian, kau benar-benar membuatku tersiksa meski pun sudah terlepas darimu!”

“Kiran,” panggil mommy yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Memang, kebiasaan mommy selalu seperti itu, membuat privasiku sedikit terganggu.

Dengan gerakan cepat aku langsung menyembunyikan benda pipih dan panjang itu ke belakang tubuhku. Aku tidak ingin mommy tahu jika aku hamil.

“Ada apa Mom?” tanyaku dengan suara gugup karena hampir saja aku ketahuan tengah memegang alat tes kehamilan itu.

Mommy mengerutkan keningnya ketika melihat tingkahku. Namun, dengan cepat aku mencoba bersikap sebiasa mungkin agar mommy tidak curiga.

“Mom, ada apa?” tanyaku sekali lagi karena sejak tadi ia hanya diam mematung memperhatikanku.

“Ah, apa kau lapar, Kiran? Sebentar lagi kita akan makan malam bersama. Mom harap kau akan segera turun.”

Aku hanya menganggukkan kepalaku mengiyakan keinginan mommy. Aku turun dari ranjang lalu mengikutinya turun ke lantai dasar dan langsung menuju dapur. Ethan sudah berada di dapur dan tengah memasak sesuatu. Memang, Ethan begitu pandai memasak. Umurnya berbeda 8 tahun lebih muda dari mommy. Ia juga cukup tampan untuk pria berumur 35 tahun. Tampan, kaya raya, dan juga pandai memasak, Ethan sudah seperti pria idaman setiap wanita. Aku tidak mengerti kenapa Ethan bisa mencintai mommy yang berumur jauh di atasnya. Namun, tak bisa dipungkiri mommy masih terlihat cantik dengan tubuhnya yang ramping dan juga terawat itu. Bahkan, jika aku jalan berdua bersama mommy di keramaian, orang-orang selalu menganggap kami adalah kakak beradik. Makannya tidak heran jika banyak yang mencintai mommy selain ayah.

Aku duduk di salah satu kursi yang kosong. Sudah ada beberapa makanan yang tersaji di atas meja. Tak berselang lama, Ethan datang dengan semangkuk makanan yang tadi dimasaknya, lalu disimpan di atas meja. Kemudian, kami hanya saling diam menikmati makan malam yang cukup lezat di lidah ini. Hanya ada suara dentingan piring yang saling bersahutan satu sama lain. Hingga Ethan berdehem dan menyesap segelas air putih di depannya.

“Kiran,” panggil Ethan membuatku menoleh ke arahnya. “Jadi ... apa rencanamu kali ini? Apa kau mau melanjutkan kuliahmu atau bekerja?”

Aku kembali mengalihkan pandangan dari Ethan ke arah makananku. Seketika itu juga aku menjadi tidak berselera makan. Cita-citaku masih tinggi, masa depanku juga masih panjang. Tentu saja aku ingin sekali meraih harapanku untuk bisa bekerja di tengah-tengah kota seperti yang selalu aku inginkan sejak dulu. Namun, mengingat aku yang sekarang sedang hamil membuat harapanku langsung sirna begitu saja.

“Kiran, kau sudah dewasa. Umurmu hampir menginjak 23 tahun dan kau tidak memiliki kegiatan apa pun. Mom tidak mau kau terus-menerus seperti ini. Kiran, tidak selamanya kau akan hidup bersama Mommy!” timpal mommy karena aku hanya diam saja tanpa ingin menjawab pertanyaan mereka.

“Mom, aku sedang tidak mau membahas hal seperti ini,” ucapku dengan suara yang begitu malas.

“Kiran, jangan sampai Mommy marah karena sikapmu yang seperti ini! Mom mau kau bekerja atau memiliki teman seperti yang lainnya. Bukannya mengurung dirimu sendiri tanpa ingin bergaul dengan siapa pun. Apa mungkin, kau seperti ini karena kekasihmu itu?” cecar mommy seraya menatap tajam ke arahku.

Aku hanya bisa menoleh sekilas. “Mom, aku sudah bilang tidak ingin membahas hal seperti ini. Aku akan menentukan hidupku sendiri!”

“Menentukan bagaimana? Mom benar-benar khawatir dengan sikapmu yang tidak biasanya seperti ini,” balas mommy seraya menyesap minuman miliknya.

“Sayang, sudahlah. Kiran sedang tidak mau membahasnya. Kita bisa melakukannya lain kali setelah Kiran sudah siap,” ucap Ethan mencoba menengahi antara aku dan mommy.

“Aku sudah kenyang,” ucapku tiba-tiba seraya bangkit dari dudukku lalu berjalan meninggalkan mommy dan juga Ethan.

“Kiran, Mommy belum selesai berbicara denganmu,” teriak mommy yang ikut berdiri dari duduknya. Namun, Ethan dengan segera memegang mommy dan mencoba menenangkannya.

***

Aku sudah sampai di kotaku yang lama setelah berangkat pagi-pagi sekali tanpa sepengetahuan mommy maupun Ethan. Aku melakukan semua ini untuk bertemu dengan Ardian karena meminta pertanggung jawaban setelah apa yang sudah Ardian lakukan kepadaku. Aku tidak ingin bayi ini lahir tanpa seorang ayah. Aku mengirim pesan kepada mommy setelah taksi yang kutumpangi sampai di sebuah apartemen di mana Ardian tinggal.

Aku langsung turun dan berjalan masuk ke dalam gedung yang sudah berdiri kokoh cukup lama itu. Aku mencoba menghubungi Ardian terlebih dahulu. Namun, nomor ponselnya tidak aktif. Entah Ardian mematikan ponselnya atau memblokir nomorku, hingga membuatku tidak bisa lagi menghubunginya. Aku masuk ke dalam lift lalu menekan tombol angka 9 di mana Ardian tinggal di sana. Beberapa menit kemudian, pintu lift terbuka. Aku langsung bergegas keluar dari lift dan berjalan menuju apartemen milik Ardian.

Aku menarik napasku dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Sebenarnya, dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin bertemu lagi dengan Ardian. Dengan pindahnya aku ke kota lain, aku berniat untuk memulai hidup baru dan melupakan Ardian seolah pria itu tidak pernah hadir ke dalam hidupku. Namun ternyata takdir berkata lain, membuatku mau tidak mau harus bertemu Ardian lagi. Pria brengsek itu harus tahu jika aku sedang hamil anaknya. Bagaimanapun, aku harus meminta pertanggung jawaban darinya untuk menikahiku. Aku tidak ingin membuat keluargaku malu jika aku sedang hamil di luar nikah.

Aku menekan password rumah Ardian. Beruntungnya, password-nya masih sama dan belum diganti oleh sang pemilik. Aku masuk ke dalamnya tanpa permisi karena sejak tadi Ardian tidak membuka pintu untukku. Tampak sepi tidak ada siapa pun saat aku masuk ke dalamnya. Hingga aku tak sengaja menangkap sepatu wanita di rak sepatu. Aku langsung mengerutkan keningku dan bergegas mencari keberadaan Ardian.

Ketika aku berdiri di kamar Ardian, aku bisa mendengar jelas suara desahan yang saling bersahutan dari dalam. Aku kembali mematung dibuatnya, otakku mencoba mencerna semua yang kudengar begitu jelas ini. Tanganku bergetar saat meraih pegangan pintu. Kucoba menguatkan hatiku dan membuka pintu kamar Ardian lebar-lebar. Seketika itu juga, aku tidak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku sendiri.

“Ardian? Resa?” pekikku dengan air mata yang mengalir begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status