Share

Garis Dua

Aku langsung membalikkan badanku melihat ke arah Ardian. Aku menatap Ardian tidak percaya.

“Kau mengajakku kembali padamu karena uang tabungan bersama kita?” tanyaku dengan suara pelan karena terkejut dengan apa yang dikatakan Ardian kepadaku.

Ardian, bisa-bisanya ia datang kepadaku hanya demi uang tabungan bersama. Memang, aku dan Ardian membuat tabungan bersama untuk biaya pernikahan dan masa depan kita nanti. Tentu saja yang dikumpulkan itu disimpan di dalam rekeningku. Padahal jika dipikir-pikir lagi uang tabungan itu lebih banyak diisi olehku daripada Ardian.

“Ardian, apa kau benar-benar tidak tahu malu?”

“Kiran, salahmu yang tidak mau kembali bersamaku lagi. Padahal, uang itu bisa kita miliki bersama sesuai niat awal kita. Tetapi sekarang, semuanya berbeda. Kau mengecewakanku dengan tidak mau bersamaku lagi. Jadi ... aku terpaksa meminta uang milikku kembali,” jelas Ardian seraya melangkah menghampiriku.

“Uang itu bukan milikmu lagi. Anggap saja uang yang kau tabungkan itu sebagai tanda perminta maafmu karena sudah membuatku sakit hati. Dengan begitu, aku akan memaafkanmu sepenuh hati.” Aku menyilangkan kedua tanganku dan menyimpannya di depan dada. Aku juga tersenyum miring, membuat Ardian semakin tidak terima.

“Aku tidak setuju dengan keputusanmu itu! Kembalikan uangku atau aku akan menyakitimu!” ancam Ardian dengan wajah yang terlihat begitu marah.

“Ardian, aku tidak pernah menyangka jika selama ini aku memiliki hubungan dengan orang brengsek sepertimu. Orang lain juga bisa menilai bagaimana sikap aslimu ini. Hal yang paling aku sesali seumur hidupku adalah berpacaran denganmu!”

“Kiran, kau tidak perlu mengalihkan pembicaraan! Aku hanya membutuhkan uangku kembali. Setelah itu, aku tidak akan menemuimu lagi!” pinta Ardian dengan emosi yang menggebu-gebu.

Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan. “Aku tidak akan memberikannya kepadamu. Uang itu bukan milikmu lagi!”

Aku beringsut mundur lalu melenggang keluar tanpa beban. Ardian yang tidak terima dengan semua yang aku katakan langsung membanting meja yang berada di dekatnya sampai harus diamankan oleh petugas di sana. Sementara aku, hanya bisa tersenyum menikmati kemarahan Ardian dari dalam taksi yang baru saja aku naiki.

Aku pulang setelah matahari sudah berubah menjadi bulan di atas langit. Aku memang mampir dulu ke beberapa tempat hanya untuk menenangkan pikiran dan juga jiwaku. Setelah dirasa tenang, aku memutuskan untuk pulang ke rumahku malam-malam.

“Kiran, dari mana saja kau? Mom menunggumu sejak tadi!” teriak mommy dari dapur ketika melihatku menaiki tangga menuju kamarku.

Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan mommy. Aku hanya ingin kembali menangkan diri dengan cara menyendiri di kamar. Bukan hal yang mudah bagiku melepaskan Ardian dari dalam hidupku. Ada rasa senang ketika melihat Ardian begitu marah ketika uang yang ia tabungkan tidak aku berikan. Tetapi, rasa sedih pun tidak kalah dominan di dalam hatiku membuat suasana hatiku begitu kacau.

“Kiran, buka pintunya!” Terdengar suara teriakan mommy dari balik pintu. Ia juga mengetuk pintu beberapa kali menghasilkan suara yang begitu keras. “Apa kau baru putus dengan kekasihmu sampai kau bersikap seperti ini kepada Mommy?!”

“Tinggalkan aku sendiri, Mom! Aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun.” Aku ikut berteriak dari dalam kamar.

“Kiran, jangan buat Mom terus saja marah-marah kepadamu! Kau sudah besar dan tidak pantas bersikap seperti anak kecil begini!”

“Sayang ... sudahlah. Biarkan Kiran menenangkan dirinya dulu di kamar. Mungkin, Kiran memang sedang tidak ingin menemui siapa pun dulu.” Terdengar suara ayah tiriku di balik pintu kamar.

“Ethan, mau sampai kapan kau membela Kiran terus! Jika terus saja dibiarkan sikap Kiran semakin keras kepala!” balas mommy yang masih saja marah-marah.

“Sudahlah, lebih baik kita membereskan barang-barang yang akan kita bawa pindah daripada marah-marah tidak jelas seperti ini,” ajak Ethan dengan suara tenangnya. Detik berikutnya, hanya terdengar suara langkah kaki yang menjauhi kamarku.

***

Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya kami sampai di depan sebuah rumah milik Ethan—ayah tiriku. Sebuah rumah yang cukup besar berdiri cukup kokoh di pertengahan kota. Aku masuk ke dalam rumah itu setelah Ethan membukakan pintu untukku dan juga mommy. Aku langsung menyapu seluruh pandanganku setelah melihat isi rumah. Rumah ini cukup besar dibandingkan rumahku yang dulu.

“Kiran, kamarmu di lantai dua,” ucap Ethan tiba-tiba, membuatku langsung menoleh ke arahnya.

“Lantai dua?” tanya mommy dengan kening berkerut.

“Ya, aku tahu jika Kiran lebih suka menyendiri. Jadi, aku memberi ruangan pribadi untuknya di lantai dua,” jelas Ethan seraya mengedipkan matanya ke arahku.

Selama ini, memang Ethan memperlakukanku dengan cukup baik. Namun, aku tetap membencinya karena sudah berani merebut mommy dari ayahku. Kebahagiaanku memiliki keluarga yang sempurna membuat harapanku hanya angan-angan saja ketika Ethan masuk ke dalam kehidupan mommy dan merebutnya begitu saja dari ayahku.

Aku hanya tersenyum kecut tanpa ingin membalas perkataan Ethan. Aku menarik tas koperku menuju lantai atas di mana kamarku berada. Terdapat ruang santai ketika aku sampai di ujung tangga lantai atas. Di sebelahnya ada sebuah pintu yang aku tebak adalah kamarku. Aku masuk ke dalam ruangan itu, terlihat sebuah kamar yang bernuansa biru muda bercampur warna putih. Bahkan, dekorasi yang tersimpan dengan rapi pun rata-rata berwarna biru muda. Kamar ini cukup lengkap dengan adanya kamar mandi di dalam, membuatku tidak perlu repot-repot keluar kamar jika ingin ke kamar mandi.

Tiba-tiba saja aku merasakan pusing di kepala. Perutku terasa mual seperti ingin mengeluarkan sesuatu. Aku langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkannya di sana. Memang, beberapa hari ini badanku terasa begitu tidak enak. Akan tetapi, rasa sakit seperti ini baru pertama kali aku rasakan. Aku membasuh mulutku setelah selesai, lalu duduk di atas kasur dengan perasaan gelisah.

“Tunggu, sudah berapa lama aku tidak datang bulan?” tanyaku setelah tersadar.

Aku baru teringat jika bulan ini aku terlambat datang bulan. Aku mengambil tasku dan membukanya. Aku mencari benda pipih yang selalu aku bawa kemana pun. Memang, aku menjadi khawatir setiap aku selesai berhubungan dengan Ardian. Setelah aku menemukan benda pipih itu, aku langsung kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk mengeceknya. Kali ini aku benar-benar gelisah dan juga takut.

Setelah beberapa menit menunggu, aku mengambil alat tes kehamilan itu dari gelas yang berisi urine milikku. Ketika kulihat, hasilnya seketika membuatku membulatkan kedua bola mata. Aku diam mematung dan langsung ambruk ke lantai karena tidak sanggup menahan tubuhku yang tiba-tiba saja melemas begitu saja.

Aku … hamil?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status