Share

Pandangan Pertama

Sesaat sebelum mobil hitam pekat itu sampai pada tujuannya, seketika mata pria yang habis mabuk itu terbuka. Matanya langsung memicing melihat gadis yang tertidur pulas di sana. Zio sama sekali tidak menyadari kalau Willy sudah sadarkan diri, dia sibuk menyetir dan fokus pada jalanan. 

Mata tajam Willy masih belum teralihkan memandangi Jeasy. Entah kenapa, dia terus meneliti tubuh yang terlihat seksi itu. Walaupun pakaian Jeasy tidaklah minim, tetapi pria itu mampu menangkap postur tubuh Jeasy yang indah dan menggoda. 

'Tubuhnya menarik juga,' batin Willy menyeringai. Sisi negatifnya mulai keluar.

"Oh, astaga! Apa yang aku pikirkan?" kilahnya setelah sadar dari pikiran buruk tersebut. Sontak Zio langsung menoleh dan mendapati tuannya yang sudah sadar. 

"Will, kau sudah sadar?"

Tak ada jawaban, Willy sibuk memijat pelipisnya.

"Tepat sekali, kau sadar dan kita sudah sampai," lanjut Zio menghentikan mobilnya. Sebuah rumah bercat cream terpampang di samping mereka.

"Bawa wanita ini masuk juga, dan panggilkan dokter untuk mengobati lukanya," pinta Willy seraya turun dari mobil. Zio masih belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. 

"Maaf, Will. Cassie sudah ditemukan, dia ada di dalam," sela Zio mencegat langkah Willy sejenak. 

Kilatan di mata pria itu terlihat, dia tampak senang mendengarnya. Namun, raut kesedihan kembali datang lagi di wajah tampan itu. "Syukurlah tuan putriku selamat. Tapi, sepertinya malam ini aku tidak bisa menemuinya. Keadaanku sedang kacau dengan bau aroma minuman."

Zio paham, pria itu sangat enggan menunjukkan sisi buruknya pada Cassie. "Kau benar, Willy. Dan mungkin juga sekarang Cassie sudah tidur."

Willy tak merespons, dia kembali berjalan dan langsung membersihkan diri. 

¤¤¤¤¤

Kelopak berbulu mata lentik itu terbuka secara perlahan. Sengatan matahari yang menembus celah jendela membuat wanita itu terbangun. Netranya langsung mengarah pada langit-langit ruangan yang putih polos. Lalu beralih pada dinding ruangan yang bernuansa grey-white. Jeasy tampak asing melihat ruangan tersebut.

Ia juga baru sadar, luka di kakinya sudah tertutup perban dengan rapi. Akan tetapi, entah kenapa rasa sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia berpikir, setelah diobati sakit di lukanya akan hilang. Namun, ini malah sebaliknya. 

"Sshh ... perih sekali," raung Jeasy mencoba menggerakan kaki. "Astaga! Kenapa kakiku juga kaku?" Faktanya, kaki kanan wanita itu tak bergerak sedikit pun.

Tiba-tiba suara terdengar, menampilkan seorang pria berahang tegas dengan sorotan mata teguh yang terkesan tajam, pun alis tebal yang tampak sempurna, hidung bangirnya yang mancung juga memesona, apalagi bibir yang sedikit bervolume itu sungguh menggoda, tak lupa bulu halus di dagunya membuat pria itu tak ada duanya.

Jeasy sampai tidak bisa berkutik, dada wanita itu seketika bergemuruh hebat. Jantung wanita mana yang akan aman jika seorang pria memasuki kamar yang di dalamnya terdapat seorang perempuan? Membayangkan sepasang lawan jenis berdua di dalam kamar membuat Jeasy sontak langsung tersadar dari kekonyolan pikirannya.

"S-siapa kau?" tanya Jeasy terkejut sekaligus panik. 

"Aku pemilik rumah ini. Semalam kau pingsan, dan aku sudah mengobati luka di kakimu."

Jeasy sedikit mengernyit, bagaimana bisa orang asing membantunya sampai berlebihan seperti ini? Dia rela memberi pengobatan kepada orang yang tidak ia kenal. 

"Dokter bilang, luka di kakimu sudah busuk dan infeksi. Jadi wajar saja kalau sekarang luka itu malah terasa lebih sakit dan kakimu menjadi kaku. Berarti obatnya sedang bereaksi dan itulah efek sampingnya. Ah, ya, sebuah peluru juga berhasil ditemukan dari sana. Aku tahu itu luka akibat tembakan," lanjut Willy memaparkan. 

Jeasy menunduk, lalu berkata, "Terima kasih, kau sudah menolongku."

Willy hanya menatap wanita itu datar. Dengan tangannya yang dimasukan ke dalam saku celana, membuat pria itu tampak keren untuk dipandang. "Kau istirahatlah, sebentar lagi akan ada sarapan yang diantar ke sini."

"T-tidak perlu. Aku tidak lapar," elak Jeasy berbohong. Padahal, ia sangat lapar karena belum makan sejak kemarin malam. Namun, ia tidak mau semakin merepotkan pria itu. 

"Aku tidak suka dibantah." Setelah mengucapkan itu, Willy langsung keluar dengan langkah jenjang. 

Tepat saat dia pergi, satu pelayan wanita datang membawa senampam makanan. "Silakan dimakan, Nona."

Jeasy hanya mengangguk, tapi ia punya satu pertanyaan yang sedari tadi mengganjal di hatinya. "Um, maaf. Boleh aku bertanya? Pria yang tadi masuk ke kamar ini, itu siapa?"

"Dia Tuan Willy."

Sekarang Jeasy mengetahui nama pria itu, pria yang sudah menolongnya. Tanpa sadar senyuman di bibir ranumnya mengembang. Akan tetapi, secepatnya ia membuang pikiran untuk terus memuja pria tersebut. Karena hal itu tidak benar, mana mungkin dia jatuh cinta pada orang yang baru saja ia kenal. 

Sekarang Jeasy hanya merenung, dirinya sangat ingin sekali pulang. Namun, untuk menghubungi seseorang saja tidak bisa. Karena ponselnya sejak kemarin sudah tertinggal di jalanan tempat ia bertemu dengan Cassie, dan mungkin sekarang pasti benda itu sudah hilang entah ke mana. 

¤¤¤¤¤

"Daddy!" teriak seorang gadis kecil saat hendak pergi ke ruang makan. Ia langsung berlari menghampiri pria yang sedang berjalan ke arahnya. "Cassie sangat merindukan Daddy," ucapnya sembari memeluk Willy. 

Willy tampak mendekap tubuh kecil itu dengan erat. "Daddy juga sangat merindukanmu, Sayang." Tanpa sadar, cairan bening tertampung di sudut mata pria itu. "Kau baik-baik saja, Tuan Putriku? Apa ada yang luka? Ada yang sakit? Coba katakan pada Daddy," lanjutnya menunjukan kepedulian.

Cassie hanya menggeleng dengan polos. "I'm fine, Dad," jawabnya seraya tersenyum.

"I'm sorry, Sun. Daddy baru bisa menemuimu sekarang. Daddy juga telah gagal menjagamu, sehingga orang-orang itu berhasil menculik putri kesayangan Daddy." Willy sungguh merasa dirinya adalah sosok ayah yang tidak baik. Air matanya menetes begitu saja di hadapan sang putri. 

Tangan mungil itu seketika mengusap cairan bening yang terkucur di pipi Willy. "Don't cry, Daddy. Ini bukan salah Daddy. Lagipula, Cassie sudah selamat. Jadi Daddy tenang saja. Don't be sad, okay?"

Senyuman di bibir pria itu terbentuk bak bulan sabit, ia segera menghapus air matanya. "Anak Daddy memang pemberani, sudah bisa mengalahkan para penculik itu. You're the best!"

"Aunty Jeasy yang pemberani, Dad," celetuk Cassie seraya menunjukkan deretan gigi.

"Aunty Jeasy? Siapa dia?"

"Dia yang sudah menolongku. Bahkan, Aunty Jeasy juga rela tertembak demi aku."

Mendengar kata 'tertembak', ia jadi teringat dengan seseorang yang baru saja ia jumpai. "Ikut Daddy, Sayang." Willy hendak membawa Cassie, tetapi suara Zio tiba-tiba datang mencegatnya.

"Tuan Putri," panggil Zio, Cassie pun menoleh. "Ini kalungmu yang kemarin terjatuh.

"Wah, terima kasih Om Zio." Gadis kecil itu langsung meraih kalung tersebut.

"Ya sudah sekarang kau sarapan dulu," sambung Willy mengelus rambut sang putri. Dia telah melupakan tujuannya tadi untuk mengajak Cassie.

Keduanya sudah berada di meja makan, menikmati santapan pagi hari untuk menciptakan energi. Willy terus menatap sendu putrinya yang sedang memakan roti dengan sangat lahap. Ia tahu betul, selama dua hari ini pasti Cassie tidak merasakan makanan seenak itu. Dia telah gagal menjadi sosok ayah. 

Tiba-tiba lamunannya buyar kala seseorang keluar dari kamar di dekat ruang makan. Langkahnya yang pincang membuat Wiily memicing. "Kenapa kau keluar? Mau ke mana?" tanyanya dingin.

"Aku ingin pulang. Lagipula, kakiku sudah lumayan membaik."

Mendengar itu, Cassie pun menoleh. Matanya membulat menangkap siapa yang ada di sana. "Aunty Jeasy?"

"Cassie?"

Anak itu langsung bangkit, ia segera memeluk Jeasy penuh sayang. "Aunty kok bisa ada di sini?" Jeasy masih bergeming, dia sedang mencerna keadaan sekarang. "Maafin Cassie, Aunty. Kemarin Cassie malah pergi tanpa menemui Aunty dulu. Cassie sungguh lupa karena terlalu senang."

Jeasy tersenyum, dia berjongkok seraya mengelus pipi anak itu dengan lembut. "Tidak apa, Sayang. Aunty baik-baik saja, kok."

"Daddy, ini Aunty Jeasy yang Cassie ceritakan tadi. Dia yang sudah menyelamatkanku, Dad," celotehnya pada Willy yang masih duduk di meja makan. 

Jeasy terkejut, ternyata pria itu adalah ayah dari anak yang sudah ditolongnya. Padahal, tadinya Jeasy berpikir kalau Willy masih bujangan. Karena dia terlihat masih muda dengan wajah tampannya.

'Jadi ... luka di kakinya itu akibat dia menolong putriku?' gumam Willy di dalam hati. Ia sungguh tersentuh dengan apa yang dilakukan gadis itu. Dia pun bangkit dan menghampiri Cassie juga Jeasy. 

"Ternyata kau yang sudah menolong putriku?" Pertanyaan Willy hanya ditanggapi dengan anggukan singkat dari Jeasy. "Terima kasih banyak. Aku sangat berhutang padamu."

"Tidak, Pak. Kau sudah membalasnya dengan menolongku juga mengobati lukaku."

"Itu tidak cukup dibanding kau yang sudah mempertaruhkan nyawa demi anakku."

Jeasy menunduk, entah kenapa dia tidak berani beradu pandang terlalu lama dengan pria di depannya. "Saya menolong Cassie dengan senang hati, Pak. Saya ikhlas, jadi Bapak tidak perlu merasa berhutang budi."

Willy tertegun mendengar perkataan itu, ia baru melihat wanita seperti Jeasy selama hidupnya. "Kau ingin apa?" tanya Willy.

"Tidak perlu, Pak. Aku hanya ingin pulang."

"Kaki Aunty masih sakit, sebaiknya Aunty tinggal di sini dulu sampai kaki Aunty benar-benar sembuh. Cassie tidak mau Aunty kenapa-napa." Anak itu tampak sedih. Willy bisa melihat kalau putrinya sangat menyukai Jeasy. 

"Putriku benar. Setidaknya biarkan kami merawatmu sampai pulih. Anggap saja itu sebagai rasa terima kasih walaupun tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan."

"T-tidak, Pak. Aku juga sudah baik-baik saja. Aku harus pulang."

"Daddy ... jangan biarkan Aunty pergi. Kumohon ...," rengek Cassie berkaca-kaca. Dia sangat tidak mau kehilangan Jeasy. "Kalau Daddy membiarkan Aunty pergi, Cassie akan mogok makan! Atau lebih baik Cassie kembali diculik saja biar Aunty Jeasy menolong Cassie lagi dan akan terus berada di dekat Cassie."

Jeasy tercengang mendengar itu, Cassie sampai bertingkah berlebihan terhadapnya. Dia jadi tidak tega. "Cassie, maafkan Aunty. Tapi Aunty harus pulang, Aunty masih punya banyak urusan di luar sana."

"Sayangnya, permintaan putriku tidak bisa dibantah. Apa yang dia inginkan harus dia dapatkan," tegas Willy. Cassie tersenyum senang di tengah tangisannya. "Memangnya urusan apa yang jauh lebih penting dari putriku?" lanjut Willy dengan nada yang mulai tidak suka. Sejak dulu, dia memang sudah memanjakan putrinya. 

"A-aku harus melanjutkan proses interview yang sempat tertunda kemarin. Kalau tidak, kesempatanku untuk bekerja akan hilang," jawab Jeasy gugup. 

"Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerja di sini."

"M-maksudnya?"

"Kau jadi pengasuh untuk putriku."

Jeasy menganga, perjuangannya selama ini untuk mendapat gelar S, IT ternyata hanya berujung pada pekerjaan sebagai pengasuh? Itu sungguh di luar dugaan.

"Maaf, Pak. Tapi saya tidak berpengalaman dalam mengurus seorang anak."

"Aunty, please ... mau, ya? Cassie sudah sangat suka pada Aunty, Cassie sayang sama Aunty."

Jeasy sungguh dibuat bingung. Di sisi lain, ia tidak mau membuat sedih anak itu. 

"Lihat, putriku sudah sangat berharap padamu. Jadi saya harap tidak ada penolakan," sarkas Willy terkesan memaksa. "Jika perlu, saya akan membayarmu dua kali lipat. Dan mulai detik ini juga kau sudah harus bekerja. Tidak perlu pulang, keperluanmu akan aku penuhi di sini."

Jeasy terdiam, dia masih bergulat dengan pikiran. Pada akhirnya, ia tidak bisa berkata apa-apa. Apalagi, melihat gadis kecil itu menangis terus mengharapkan dirinya ada di sana. 

¤¤¤¤¤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status