Share

4. Pesan Pertama

Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor.

Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya.

“Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku.

“Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang.

“Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya.

“Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!”

“Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, padahal banyak duduk dari tadi,” ujarku seraya memeluk jinjingan di dada.

Kami melewati lorong kamar yang semua penghuninya berada di kamar masing-masing. Karena hampir semua kamar kedap suara, lorong yang cukup panjang ini terasa sepi, seperti tidak berpenghuni. Kamarku dan Gita terletak di ujung bangunan ini. Meski di ujung, kamar tersebut merupakan kamar paling nyaman karena bisa langsung mendapatkan cahaya matahari. Kamarku dan Gita tidak terhalang oleh bangunan lain sehingga jika siang hari tetap terang meski tidak menyalakan lampu.

“Udah mulai memasuki fase remaja jompo ya, Bun,” balasnya sambil merangkul bahuku.

“Semester lima nih, Bun. Maklum aja, yang setia menemani cuma minyak angin dan koyo!” balasku sambil membuka pintu kamar.  

***

Selesai membersihkan tubuh, aku langsung mengecek ponsel. Baru ditinggal sepuluh menit saja sudah banyak pesan grup yang masuk. Jadwalku besok sangat padat ternyata. Ada satu kelas pengganti pukul delapan pagi dan akan dilanjutkan dengan rapat panitia event tahunan jurusanku. Besok aku akan seharian lagi berada di kampus. Kegiatan yang tak pernah terbayangkan olehku sebelum menjadi mahasiswa semester lima.

Ratusan pesan itu terdiri dari beberapa grup. Namun ada satu pesan yang membuatku ragu untuk membukanya. Pesan tanpa nama itu membuat jariku berhenti menggulir layar ponsel. Di sana ada tiga pesan masuk dan di pesan terakhir ia hapus, ditambah dengan foto profil yang hanya menampilkan hamparan kebun teh. Hal ini membuatku teringat akan kejadian penipuan yang sedang beredar di aplikasi whatsapps. Demi menghilangkan rasa penasaran ini, aku memutuskan untuk membaca pesan itu.

+62816754*****

[Malam Kesha]

[Ini Dika]

Pesan ini telah dihapus

Melihat isi pesan itu membuatku menebak siapa orang yang memberikan nomorku kepadanya. Gita dan Rayhan merupakan kandidat terkuat dalam kasus ini. Karena terlalu malas untuk keluar kamar, aku memilih untuk menelpon Gita tanpa membalas pesan dari bang Dika.

“Kenapa, Ca?”

“Git, kamu kasih nomor aku ke bang Dika?”

“Hah?”

“Kamu ‘kan yang kasih nomor aku ke dia? Kamu tau sendiri ‘kan, Git, aku paling enggak suka kalau nomor aku sembarangan dikasih gitu aja!” Aku keluarkan perasaan kesal ketika mendengar jawabannya seolah dia tidak tau apa-apa.

“Aku enggak kasih nomor kamu ke dia, Ca. Beneran deh!”

“Terus kenapa dia bisa chat aku? Enggak mungkin banget kalau nomor aku tiba-tiba muncul di kontaknya!”

“Aku beneran enggak kasih nomor kamu ke dia, Eca! Kayaknya ini Rayhan deh, aku undang Rayhan ya, biar kita bisa tanya langsung.” Gita masih saja mengelak. Untungnya Rayhan langsung menerima panggilan grup ini.

“Sayang, kamu kasih nomor Eca ke bang Dika? Eca marah-marah ke aku!” cerocos Gita tanpa menjawab salam dari Rayhan. Aku mendengarkan sambil menggunakan serangkaian perawatan tubuh.

“Iya, Yang. Katanya tadi lupa enggak sekalian minta langsung.” Penjelasan Rayhan membuatku berhenti mengoleskan serum ke wajah.

“Tapi kamu bisa tanya aku dulu, Ray, enggak langsung kasih gitu aja,” balasku merengut, tapi tak bisa dilihat oleh Rayhan tentunya.

“Sorry, Ca. Lain kali aku bakal tanya kamu dulu. By the way, tadi baik-baik aja ‘kan kalian berdua?”

“Baik banget kayanya, Yang, pas aku buka gerbang wajahnya berseri-seri gitu!” Tiba-tiba Gita menyahuti pertanyaan Rayhan. Apa-apaan katanya? Mana ada wajah berseri, ada juga wajah lelah karena seharian ini aku menghabiskan waktu di luar kosan.

“Eh sembarangan, muka cape begitu dibilang berseri. Jangan mengada-ada ya kamu!”

“Enggak usah malu begitu lah, Ca, kamu seneng banget kan pas makan bareng abang tampan itu,” ledek Gita membuatku membanting pelan serum di tangan. Menyebalkan!

“Siapa yang tampan, Sayang?” celetuk Rayhan membuat Gita terkekeh pelan di sana.

“Uuuh, Sayangnya aku cemburu. Maksud aku abang tampan punya Eca, soalnya tampannya aku itu kamu!” Kebangetan banget duo bucin ini! Enggak bisa apa ditahan dulu bucinnya?

“Malesin ah, kalian malah sayang-sayangan. Pokoknya aku enggak suka ya kalau nomor aku disebar tanpa aku ketahui. Kalian lanjutin deh bucinnya, aku tutup ya!” Tanpa mendengar jawaban dari keduanya aku langsung mematikan sambungan telepon itu. Aku kembali meneruskan rutinitas perawatan tubuh di malam hari. Sambil menepuk pelan wajah agar serum yang kugunakan terserap sempurna, pandanganku tertuju pada ponsel di depan.

Aku belum membalas pesan dari bang Dika sejak tadi. Kalau tidak dibalas akan canggung rasanya jika tidak sengaja bertemu di kampus. Tapi aku harus balas apa? Kalau minta pendapat Gita pasti aneh jawaban yang ia sarankan. Baiklah, aku harus segera membalasnya!

[Malam juga bang Dika]

Tidak terlalu kaku bukan? Sudahlah aku tidak peduli bagaimana responnya saat melihat jawabanku. Agar skincare yang aku gunakan tidak sia-sia, aku harus segera tidur malam ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status