Share

5. Hari yang Sibuk

Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut.

Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal.

“Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya.

“Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal.

“Makasih, Kak, kalau agenda hari ini apa aja?” tanyaku sambil meletakkan barang bawaanku di meja sebelah kanannya. Seharusnya sudah tidak terlalu padat agenda hari ini karena semua soal sudah selesai di cetak dan siap untuk digunakan pada acara cerdas cermat nanti.

“Harusnya udah bisa santai, tapi ada dosen pembimbing yang mau ubah soal yang sudah kita plotkan di tiap babaknya. Jadi bakalan lembur lagi hari ini.” Penjelasannya membuat hembusan nafasku terasa berat.

Aku membuka kotak makan pemberian kak Vina tadi. Nasi putih dilengkapi dengan ayam bakar tak lupa dengan lalapan dan sambal khasnya. Makanan dari bu Intan tidak perlu diragukan lagi rasanya karena beliau memiliki tempat makan yang sudah terkenal kelezatannya. Meski memiliki jam kerja yang cukup berat, selama menjadi anggota bank soal ini perutku jarang dipenuhi dengan makanan cepat saji dengan kandungan penyedap rasa yang tinggi.

“Kalau yang lain kemana, Kak?” tanyaku padanya. Di ruangan ini hanya tersisa kak Vina dan Dinda saja. Seharusnya semua anggota sudah berkumpul di sini melihat banyaknya laptop dan tas di ruangan ini.

“Makan di Tenda hijau, sekalian salat nantinya.” Jawabannya membuatku mengangguk kemudian fokus menyantap makanan di hadapanku. Kak Vina juga kulihat lanjut menonton drama china di laptopnya.

Ruangan ini kembali hening. Kami disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Dering ponselku memecah keheningan, membuat kak Vina dan Dinda menoleh kepadaku. Aku baru sadar jika belum mengatur dering ponsel menjadi hening. Satu pesan dari bang Dika berada di paling atas pesan yang belum di baca.

Bang Dika [Masih di kampus Kesha?]

[Masih Bang, ada apa?]

Bang Dika [Udah makan siang? Kebetulan lagi bareng Gita sama Rayhan di kantin.]

[Aku lagi makan di ruang k15 Bang, dapet nasi kotak.]

Bang Dika [Oke, Gita bilang jangan pulang kemaleman.]

Dahiku menyerit membaca jawaban bang Dika. kenapa Gita enggak langsung bilang ke aku? Kenapa harus melalui bang Dika?

[Iya nanti aku usahakan.]

Setelah itu, tanda online di kontaknya menghilang. Dia tidak membalas pesanku secepat tadi. Memangnya kamu itu siapa Kesha? Lagipula dia tidak punya kewajiban untuk membalas pesanku cepat. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi. Aku melanjutkan makan siang yang tadi sempat berhenti.

Entah karena lapar atau terlalu enak sampai semua yang ada dalam kotak itu masuk ke perutku. Selesai membuang sampah bekas makan tadi, semua anggota bank soal mulai kembali ke ruangan. Mereka semua langsung duduk di hadapan laptop masing-masing. Aku pun kembali ke tempat duduk tadi, tadinya aku mau minta izin keluar ruangan tapi tidak jadi karena melihat kak Vina berjalan ke depan ruangan. Sepertinya akan ada arahan darinya mengenai pekerjaan siang ini.

“Siang semua, maaf banget agenda kita akan kembali padat hari ini, karena pak Bram dan ibu Safa minta beberapa soal diubah karena tidak sesuai dengan soal lain pada babak yang sama. Kemudian untuk soal babak final masih terlalu mudah, ibu juga minta bagian itu diganti. Pak Faisal juga minta LKPD untuk praktikum nanti. Babak yang harus diubah itu dari babak tujuh sampai semifinal. Untuk penangggung jawabnya bisa ambil amplop suratnya di aku ya, semangat semua. Pencapaian kita udah mau menuju akhir!” Penjelasan panjang kak Vina membuat aku dan anggota lain mengeluh. Aku menjadi salah satu penanggung jawab babak yang kak Vina sebutkan. Aku berharap hanya satu atau dua soal saja yang harus diperbaiki.

“Semangat, Eca!” ucap kak Vina saat aku meminta amplop soal. Entah kenapa aku merasa ucapan itu memberikan pertanda tidak baik. Benar saja, saat aku mengeluarkan lembaran soal di dalam amplop, ada banyak soal yang diberi tanda merah. Kalau dijumlahkan aku harus menyiapkan lima belas soal, hampir setengah dari total soal di babak itu.

“Kak soal aku banyak yang direvisi, sedangkan aku enggak punya stok soal banyak,” keluhku sambil memperlihatkan soal di tanganku kepada kak Vina.

“Nanti kita ambil soal lima tahun yang lalu aja. Tapi usahakan untuk buat soal baru, ya. Eca pasti bisa kok!” balas kak Vina. Bukan bisa menyelesaikan kak, tapi lebih tepatnya aku bisa begadang sampai  menyebabkan asam lambungku naik dan besoknya enggak bisa bangun karena terlalu lemas.

“Nanti kalau butuh soal lain aku ada sisa banyak, bisa kamu pakai, Ca,” sahut dari belakangku, kak Nina.

“Tenang, Ca. Kalau kamu belum beres enggak akan ditinggal sendirian di sini kok, meski itu udah tengah malam juga. Semangat!” Setidaknya aku harus bersyukur karena di sini aku tidak akan bekerja sendirian, semua orang di sini akan siap membantu dan tidak merasa keberatan membantu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status