Share

2. Nomor sepuluh

Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur.

Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan.

Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci.

Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini.

Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponselku diserbu pesan masuk setelah tersambung wifi masjid. Belum sempat memeriksa pesan masuk, satu panggilan dari Gita menghalangi.

“Halo, Git?”

“Ca, kamu di mana? Masih di kampus enggak?”

“Iya masih, ada apa?” Aku membereskan mukena yang tadi kupakai.

“Kamu ke GOR Juanda dong, yang di depan fakultas teknik. Temenin aku nonton pertandingan basket.”

“Aku baru banget kelar kelas, lepek banget penampilan aku. Kamu tau sendiri kalau hari ini jadwaku padat banget.” Mukaku sangat kusut. Hari rabu merupakan hari paling melelahkan. Bayangkan saja, aku berangkat ke kampus pukul setengah tujuh pagi, istirahat selama satu jam lalu lanjut lagi hingga selesai pukul setengah tujuh malam. Dua belas jam waktuku dihabiskan untuk belajar di kampus.

“Ayolah, aku pikir Rayhan ngajak jalan ke AP, eh malah nyuruh aku buat nonton dia tanding basket,”

“Lagian bukannya kamu tanya dulu. Aku malu Git, kucel banget.”

“Aku bawa face mist sama parfum kok.” Sebenarnya aku tidak tega membiarkan Gita berada di GOR yang ramai sendirian. Tapi pergi ke sana dengan tampilan seperti gelandangan begini bukan pilihan yang baik juga.

“Kamu bawa jaket atau kardigan enggak? Aku ke sana sekarang.”

“Bawa kok. Nanti kalau udah di depan GOR kabari aku lagi ya. Makasih banyak Eca-ku. Emang cuma Eca temen paling cantik yang aku punya. Love you.” Gita memutus sambungan sepihak. Giliran ada maunya muji-muji.

**

Suasana di luar GOR tidak terlalu ramai. Berbanding terbalik dengan suasana di dalam GOR yang dipenuhi sorak penuh dukungan. Sepertinya pertandingan sudah dimulai. Aku masih menunggu Gita keluar. Aku duduk di kursi depan GOR sambil membenarkan barang bawaanku. Tas ransel ditambah dengan satu jinjingan menemaniku selama satu hari ini. Aku bingung harus ditaruh di mana semua barang-barang ini. Tidak mungkin aku membawa ‘mereka’ ikut ke dalam. 

“Eca!” Suara Gita terdengar dari sebelah kanan.

“Aku pulang aja deh, kamu juga ikut pulang. Tinggal bilang ke Rayhan kamu ada keperluan mendadak. Lihat aja, barang bawaanku banyak banget.” Aku menunjukkan tas ransel dan jinjingan yang menggelembung.

“Ih jangan gitu, kamu temenin aku, ya? Barang bawaan kamu taruh di motor Rayhan aja.” pinta Gita sambil menunjukkan tatapan memelas. Ia menarik tanganku menuju salah satu motor yang terparkir di hadapanku. Setelah meletakkan dengan aman, aku ditarik lagi menuju GOR.

Suasana ramai menyambutku. Sahutan dari para penggemar memenuhi GOR untuk menyemangati tim jagoannya. Ada tim pengiring musik untuk menyemangati para pemain, yang saling bersahutan dengan tim pengiring musik pihak lawan. Tim seperti Gita tak kalah banyak. Sekelompok perempuan yang bukan fokus ke jalannya pertandingan, tetapi pada pesona pemain yang makin terlihat tampan dalam balutan kaus penuh keringat juga ikut meramaikan.

Pandanganku terpusat pada tempat para pemain di seberang sana. Seorang laki-laki duduk sambil menenggak air mineral dengan khidmat. Tidak menghiraukan suasana bising GOR yang makin meriah ketika salah satu tim mencetak skor. Tatapan tajam itu seperti tak asing bagiku. Dada bidang yang tercetak di tubuhnya memberi kesan maskulin.

“Git, aku kayak pernah ketemu sama orang itu, deh,” ucapku sambil menyenggol lengan Gita.

“Yang nomor sepuluh itu?” Aku membalas dengan anggukkan kepala.

“Dia kating Rayhan, mahasiswa tingkat akhir dari fakultas teknik. Kamu bisa aja papasan sama dia secara enggak sengaja,” jelas Gita. Kebetulan itu pasti terjadi karena fakultasku dan dia bersebelahan.

Pertandingan kembali dimulai setelah salah satu tim meminta time out. Tetapi laki-laki nomor sepuluh itu kembali duduk ke kursinya. Berbeda dengan Rayhan dan keempat orang lain yang bergegas menuju posisi masing-masing di lapangan. Dia pasti kelelahan. Kaus hitam yang membalut tubuhnya sangat dipenuhi keringat.

“Asik banget sih lihat cowok ganteng nya. Awas nanti malah naksir!” ujar Gita sambil menyenggol lenganku.

“Apaan sih, Git. Aku lagi coba ingat-ingat lagi, rasanya kita enggak cuma papasan biasa aja.”

“Iya deh, mana mungkin juga temen aku ini bisa langsung naksir cowok dari pandangan pertama? Kalau kamu begitu, kencan buta yang aku buat udah membuahkan hasil.”

Jawaban Gita membuatku mendengus. Lagi pula aku sudah melarangnya untuk tidak perlu repot-repot mencarikanku  pasangan. Tapi aku selalu kalah oleh keras kepalanya. Meski begitu, dia juga salah satu orang yang menyayangiku dengan tulus.

“Karena minggu kemarin gagal, kamu enggak bisa paksa aku lagi untuk ikut kencan buta yang kamu buat, ya. Perjanjiannya begitu dan Rayhan saksinya!” balasku mengancamnya.

“Iya iya, udah dulu debatnya. Aku mau fokus lihat Rayhan main dulu!” Aku tau maksudnya adalah fokus mengamati visual yang dipacarkan Rayhan saat bermain basket. Pesona laki-laki ketika sedang olahraga memang akan meningkat beberapa kali lipat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status