Share

6. Tidak Terpengaruh

Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai.

Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan.

Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi.

“Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina.

“Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda.

“Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku.

“Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.”

“Siapa, Kak?”

“Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.

“Oke, makasih ya, Kak! Kalau gitu aku keluar dulu,” pamitku.

Aku meletakkan bungkusan di samping laptop sambil mengecek ponsel yang sedari tadi tidak aku sentuh. Apa orang itu bang Dika? Ada beberapa pesan dan satu panggilan tak terjawab darinya beberapa menit yang lalu.

Bang Dika

[Kesha masih di kampus?]

[Kesha bisa keluar sebentar?]

[Dika di luar ruang k15.]

Panggilan suara tak terjawab pukul 18.45

Ternyata tebakanku benar. Tanpa membalasnya, aku langsung keluar untuk menemuinya. Saat di luar, aku melihat bang Dika sedang duduk dengan pandangan yang tertuju pada ponsel. Kebangetan banget kamu Kesha, biarin dia nunggu hampir setengah jam di sini!

Suara langkahku membuat pandangannya teralihkan. Ia memasukkan ponselnya di saku jaket lalu berdiri menghadapku.

“Maaf, Bang, baru baca pesannya,” ujarku sambil tersenyum.

“Enggak apa, masih lama?” balasnya singkat.

“Kayaknya masih lama, ada apa, Bang?”

“Tadi Gita titip ini.” Ia menyodorkan tas jinjing merah kepadaku. Ku lihat sekilas di dalamnya ada jaket dan beberapa camilan. Gita sangat tau apa yang aku butuhkan sekarang meski aku tidak memintanya.

“Makasih banyak, Bang. Jadi ngerepotin,” balasku sambil tersenyum.

“Enggak kokk, nanti pulangnya bareng aja, sudah malam.”

“Eh, enggak usah, Bang. Nanti bareng sama yang lain aja,” ujarku menolak ajakannya.

“Bareng Dika aja pulangnya. Yaudah sana, lanjut lagi buat soalnya. Semangat!” balasnya tak bisa kutolak. Dia melihatku sambil tersenyum tipis dengan mata yang menatapku intens. Seketika aku terdiam tanpa kata mendapatkan tatapan itu. Mataku berkedip cepat dengan jantung yang berdebar.

“Kesha?”

“Eh, iya Bang?” Astaga apa-apaan tadi! Apa barusan aku terpana?

“Nanti kabari ya kalau pulang.”

“Iya nanti aku kabari, aku masuk dulu ya, Bang. Sekali lagi makasih banyak!” ucapku secara mundur, lalu berbalik badan meninggalkan dirinya di luar. Saat masuk ke ruangan aku tidak merasa sedingin tadi karena rasanya pipiku memanas. Ini pasti akibat perubahan suhu yang terjadi, bukan karena tatapan intens bang Dika.

Ketika sampai di tempatku, Dinda langsung menuju tempatku.

“Tadi siapa, Ca? Terus itu apaan?” tanyanya langsung menginterogasi.

“Tadi temen anterin jaket,” balasku singkat. Saat mengeluarkan jaket ternyata ada beberapa kopi kalengan juga di dalamnya. Aku langsung mengeluarkan semua isi dalam tas dan mengirim pesan kepada Gita.

[Gita cantik, makasih banyak yaa. Makin sayang kalau begini terus.]

[Photo]

Gita langsung membalas cepat pesanku.

Gita Cantik

[Sama-sama cantik]

[by the way aku cuma titip jaket aja ke Bang Dika.]

[Jadi semua makanan itu pasti dari dia.]

[Bukan dari kamu?]

[Tapi tadi dia enggak bilang apa-apa]

Gita Cantik

[Beneran, kamu tanya aja sendiri.]

[Nanti deh, tapi makasih banyak ya Git, di sini dingin banget]

Aku langsung mengunci kembali ponsel tanpa menunggu balasan dari Gita. Jaket pemberian Gita langsung aku pakai karena sekarang mulai terasa dingin. Hal ini membenarkan dugaanku tadi, bahwa apa yang bang Dika lakukan tadi tidak mempengaruhiku sama sekali.

***

Ternyata aku bisa menyelesaikan pekerjaanku sampai pukul sepuluh malam. Semua orang di sini juga terlihat mulai membereskan barang bawaan mereka.

Ponselku berdering, satu panggilan masuk dari bang Dika.

“Halo.”

“Kesha udah selesai?”

“Udah, Bang. Baru aja, maaf selesainya sampai malam begini.”

“Enggak apa, Dika ke sana sekarang, ya.”

“Oke.”

Aku segera membereskan semua barang milikku yang ternyata sangat berserakan di meja. Tak kusadari ternyata aku hampir menghabiskan camilan dari bang Dika selama membuat soal. Setelah meja yang kupakai bersih, aku berjalan menuju depan ruangan. Seperti hari-hari sebelumnya akan diadakan evaluasi singkat setiap selesai kegiatan.

“Sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih kepada temen-temen semua, atas kerja keras temen-temen di sini semua yang sudah direncanakan bisa selesai dengan baik. Agenda hari ini sudah cukup dan untuk beberapa hari ke depan temen-temen bisa istirahat dengan tenang di rumah atau kos masing-masing karena kita tinggal menunggu revisi saja,” ucap kak Vina sambil menatap semua orang di sini.

“Semoga saja enggak ada yang perlu diubah lagi dan bisa langsung dicetak. Selamat malam semua, terima kasih untuk hari ini!” tambah kak Vina menutup pertemuan hari ini. Semuanya membubarkan diri dan berjalan menuju pintu.

“Pulang bareng ya, Ca!” ajak Dinda.

“Maaf, Din, aku udah ada janji duluan.”

“Sama siapa? Temen kamu yang tadi?”

“Iya.... Itu orangnya, aku duluan ya!” Aku langsung berjalan menuju bang Dika saat keluar ruangan. Kebetulan ia berdiri tepat di depan pintu.

“Pulang sekarang?” tanyanya saat aku berdiri di hadapannya.

“Boleh.”

Kami berjalan menuju parkiran. Meski sudah mengenakan jaket, angin malam masih terasa menusuk tubuh. Aku dan angin malam yang tak bisa bersahabat. Aku teringat camilan yang tadi ia berikan.

“Bang Dika, tadi ada camilan di tas jinjingan ini, kata Gita itu bukan dari dia. Itu dari Bang Dika?” ucapku membuatnya menoleh.

“Makasih ya, Bang,” tambahku sambil tersenyum. Meski aku yakin saat ini penampilanku sudah tidak karuan.

“Sama-sama,” balasnya singkat. Dua hari mengenalnya, aku dapat menilainya sebagai laki-laki yang baik. Meski sangat irit bicara, itu murni kepribadiannya. Bukan seperti orang yang risi dengan lawan bicaranya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status