Share

3. Gagal Pulang

Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan.

Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita.

Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan.

“Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sambil tersenyum. Padahal tadi dia sempat sebal karena lama menunggu.

“Eh, kenalin ini bang Dika,” ujar Rayhan sambil menepuk bahu laki-laki yang kebetulan berhadapan denganku. Tiba-tiba bang Dika mengulurkan tangannya sambil berkata, “Dika.”

“Kesha,” ucapku sambil membalas jabatan tangannya. Tatapan matanya masih tajam seperti saat di lapangan tadi.

“Bang, habis ini ada acara lagi ‘gak? Makan bareng kita aja!” ajak Rahyan.

“Iya, Bang. Biar Eca enggak jadi nyamuk nantinya,” ucap Gita membuatku melotot. Apa-apaan ini? Kenapa harus aku yang dijadikan sebagai alasan agar laki-laki ini ikut? saat melirih sedikit ke tempat bang Dika, aku merasa dia sedang menatapku tanpa berkutik. Dia pasti menilaiku sebagai perempuan gampangan. Awas kamu Gita!

“Boleh,” balas bang Dika.

“Bareng Eca ya, Bang! Nanti ketemu di tempat biasa!” ujar Rahyan sambil menggandeng tangan Gita, lalu berjalan menuju motor miliknya. Karena barang-barangku disana semua, aku ikut melangkah juga mengikuti mereka, menjauh dari bang Dika.

“Han, kenapa harus aja dia, sih? Kita bertiga aja udah cukup!” protesku dengan suara pelan. Aku takut perkataanku bisa terdengar oleh orang yang aku maksud.

“Udah lama juga engga ngobrol bareng dia, jadi enggak ada salahnya buat ajak dia sekalian.”

“Enggak apa kali, Ca. Kalau enggak sama dia, kamu harus naik ojol, itung-itung hemat pengeluaran juga, kan?” timpal Gita sedikit masuk akal.

“Tapi...”

“Udah sana kamu susul bang Dika! Dia cape loh, baru beres tanding,” ucap Gita memotong ucapanku sambil memberikan barang-barangku. Baiklah aku kalah. Aku tidak bisa menentang apa yang sudah Gita putuskan. Meski aku orang yang keras kepala, aku tidak bisa mengalahkan keras kepalanya Gita.

Dengan langkah pelan aku menghampiri bang Dika yang sudah siap di atas motornya. Saat sampai di hadapannya, ia mengulurka tangan ke arahku.

“Tasnya taruh di depan aja, biar nyaman duduknya,” ucapnya.

“Eh, enggak ribet kok, bang. Aku pegang aja,” balasku sambil tersenyum. Tas ini akan aku gunakan untuk membentuk jarak dengannya. Enggak ada yang menjamin jika dia tidak akan modus mengerem secara dadakan, bukan?

Setelah duduk dengan nyaman, motor ini mulai bergerak mengikuti kendaraan lain memadati jalanan. Gita dan Rayhan sudah terlebih dahulu berangkat. Perjalanan yang akan terasa panjang karena kami saling bungkam suara. Aku tidak tau akan dibawa kemana malam ini. Tapi melihat jalan yang dipilih, sepertinya Gita ingin mengunjungi kafe yang baru dibuka beberapa minggu lalu.

Dugaanku tidak meleset. Motor ini berhenti di depan kafe tersebut. Suasana malam ini cukup ramai pengunjung. Aku berharap Gita ataupun Rayhan sebelumnya sudah mereservasi meja terlebih  dahulu. Baru saja akan masuk ke dalam, ponsel di saku berdering panjang. Secara kebetulan, ponsel bang Dika pun ikut berdering. Terdapat satu panggilan masuk di ponselku dari Gita.

“Halo, Git?”

“Eca, maaf banget yaa, aku sama Rayhan enggak bisa ke tempat itu sekarang. Ban motor Rayhan bocor, ini lagi cari tambal ban.”

“Loh, kenapa tadi kita enggak ketemu?”

“Kamu tadi lewat jalan Jaksa? Aku lewat jalan Permata.” Awalnya aku menyangka ini hanya alasan Gita saja agar aku bisa berdua dengan bang Dika. Tetapi dari penjelasannya sepertinya dia tidak berbohong.

“Ake sana sekarang, ya?”

“Enggak usah, Ca. Kamu temenin bang Dika aja. Ini juga lagi nunggu jemputan dari sepupu Rayhan.” Jawaban Gita membuatku lega.

“Yaudah, nanti kamu kabari aku lagi ya.”

“Siap, have fun yaa, dia baik kok. Rayhan yang jamin!” ucap Gita menutup sambungan telepon.

Sekarang apa yang harus aku lakukan? Apa lebih baik pulang saja? Bang Dika juga pasti kelelahan setelah pertandingan tadi. Tubuhku juga lelah. Ingin sekali kembali ke kosan untuk membersihkan diri lalu kemudian tidur sampai pagi. Kegiatan hari ini sangat menguras banyak energi. Aku yakin bang Dika juga merasa seperti itu. Oke, aku akan meminta bang Dika untuk pulang saja karena orang yang mengajak kami ke sini tidak bisa hadir.

“Kesha,” panggilnya membuatku menatap ke arahnya.

“Rahyan bilang ban motornya bocor. Enggak apa kan kalau kita makan berdua aja?” tanyanya. Sepertinya orang yang tadi menelponnya itu Rayhan. Ucapannya sangat bertolak belakang dengan apa yang aku pikirkan tentangnya.

“Kalau abang mau pulang juga enggak apa, kok, nanti aku bisa pesan ojol,” ucapku sedikit menolak ajakannya.

“Makan dulu aja, nanti pulang Dika yang antar. Ayo!” ajaknya. Baiklah, aku kembali bertemu dengan orang keras kepala dan tak bisa terbantahkan. Hari ini aku kembali kalah. Tidak bisa mengikuti kata hatiku untuk segera pulang ke kosan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status