Mereka menuju parkiran dan ketika mendapati bahwa mobil Sergio adalah Ford biasa dengan bak belakang terbuka yang sudah cukup butut, Tilly membelalak lagi.
“Ini mobilmu?” tanyanya kaget.
“Iya, masuklah! Walau di luarnya butut, di dalamnya bersih.”
Sergio masuk tanpa membukakan Tilly pintu untuknya.
Gadis itu terperangah menatap bahwa dia akan menaiki mobil seperti ini.
Seumur-umur dia hanya tahu mobil ini untuk mengangkut barang atau bahan bangunan. Bagaimana kini dia harus naik mobil seperti ini?
“Kenapa tidak masuk? Jangan bilang kau berharap ayahmu menawariku mobil Bentley?”
Mendengar sindiran Sergio, Tilly pun mendengus, lalu masuk dan membanting pintu mobil. “Jangan harap terlalu tinggi! Bentley, huh? Terlalu mahal untuk seorang menantu! Kau menjadi menantu ayahku saja sudah sangat sangat bagus! Jangan berharap terlalu tinggi, saat jatuh rasanya akan terlalu sakit.”
Bukannya
Menyadari Sergio menatapnya, meskipun rindu mendera hatinya, nyatanya Tilly sontak membuang pandangan ke arah lain.Entah kenapa. Dia sendiri tak mengerti. Hatinya teringat kejadian di gudang. Suara lembut gadis itu terus teringang di telinga Tilly, menambah bensin di api kecemburuannya.Tilly memejamkan kedua matanya rapat-rapat untuk mengusir dengungan suara-suara tadi.“Ayo, Sergio, silakan duduk. Tilly, duduk juga sana. Kita mulai makan malam kita. Aku sudah lapar sekali.” Suara ayahnya menggema membuat Tilly kembali menatap Sergio.Pria itu sudah menarik kursi di samping kiri ayahnya, untuk duduk. Tapi sebelum duduk, Sergio melirik ke arah Tilly. Tatapan mereka bertaut lagi.Jika Tilly tak salah dengar, dehaman lirih dan singkat keluar dari bibir Sergio. Pria itu seperti mengumpulkan energi untuk menghadapi Tilly.Tilly tahu itu. Tilly sadar, karena memang menghadapi dirinya bukanlah hal yang mudah. Sergio saja sampai kelelahan. Tidak h
Di hadapannya, Jane tersentak, “Ha? Maksudnya?”“Ah? Tidak apa-apa. Hanya saja, Sergio juga sempat memanggilku tuan puteri. Rasanya panggilan itu seperti sebuah sindiran padaku setiap kali sikapku keterlaluan padanya.”“Oh, ya bisa jadi, sih. Tapi, aku tadi bukan menyindir lho, Tilly. Tapi kan karena kamu adik bos, jadinya kupanggil Tuan Puteri.”Tilly memanyunkan bibirnya. “Sampai sekali lagi, denda setengah bulan gaji!”“Apa? Perampokan itu!” seru Jane marah sembari dia mengambil tas kerjanya dan hendak melangkah pulang.“Ya, sudah aku ke gudang dulu.”“Oke, dadaaaah!”Mereka berpisah jalan dan Tilly menyeberangi tanah lapang yang kosong di tengah-tengah lingkungan kantor.Ketika tiba di depan gudang, suasana di sana sudah sepi. Hampir seluruh karyawan sudah tiba di gerbang kantor untuk pulang.Tilly melangkah masuk ke gudang, dan melih
Seminggu berlalu dengan Tilly yang merajuk dan tidak hadir sama sekali ke kantor. Dia mengurung dirinya dalam kamar. Hingga Tamara pun merasa heran.Sementara itu, Sergio dan Trevor mulai mengumpulkan berbagai jebakan dan bukti atas apa yang pernah dilakukan Aldrick.Sergio sudah mengantongi rekaman CCTV koridor hotel di mana Aldrick terlihat memasuki kamar Tilly sebelum dirinya tiba. Dan Trevor pun sudah menyewa detektif untuk mengusut adakah korupsi dan penggelapan yang dilakukan Aldrick.Setelah semua terkumpul, Trevor memanggil Tilly.Ditunjukkan bukti itu, Tilly terkejut. Tetapi memory nya yang shock membuat kepalanya kembali sakit.“Ini tidak mungkin!” sahutnya saat melihat rekaman CCTV hotel.“Pasti ada yang sudah mengedit waktu kedatangan Aldrick di sini!” seru Tilly menolak semua bukti yang ada.“Ini yang sesungguhnya, Tilly. Tidak ada yang mengeditnya!” seru Trevor yang frustrasi. Dia tak mengerti jalan pikiran Tilly.
Mereka sudah di rumah Trevor dan disambut ramah dan hangat oleh kedua orang tua Tilly.Makan malam semeja penuh telah tersedia.Mereka pun duduk bersama seperti dahulu kala saat Tilly baru saja menikah dengan Sergio.Hingga di tengah-tengah makan malam, Tilly dengan lidah tajamnya berkata pada ayahnya.“Padre, apa kau tau ... aku baru saja menemukan rekaman CCTV di hari libur kantor, tapi ada yang mengangkut-angkut kayu dari gudang ke mobilnya. Di hari libur!”Sergio yang sedang makan, tiba-tiba saja terhenti gerakannya. Garpu dan pisaunya langsung tergeletak di atas meja, menimbulkan bunyi berdenting.Meski begitu, dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi rahangnya terlihat bergerak menahan kesalnya.“Apa maksudmu, Tilly?” tanya Trevor dengan raut yang sudah menunjukkan kejengkelan.Tilly pun ikutan jengkel karena benar dugaannya. Ayahnya itu sudah terlalu memuja Sergio hingga apapun kejelekan yang dibeberkan tentang Sergio, akan dianggap tak ada.Setelah mengelap mulutnya dengan elegan, T
Tilly menatap manik mata Sergio dan dia mengiyakan meski lidahnya kelu sebelum akhirnya kepalanya mengangguk pelan.Malam itu, mereka kembali ke rumah Sergio.Tilly kembali menyusuri langkahnya di kamar berpetak kecil dan duduk di tempat tidur Sergio.Rasanya dia seperti kembali ke tempatnya. Seperti kembali ke cangkangnya. Tilly heran dengan rasa hatinya sendiri.Saat bersiap untuk tidur, dia melihat Sergio kembali menggelar kardusnya di ruang depan dan tidur di lantai.Ada rasa tak tega, tapi Tilly mengabaikannya. Dia kembali ke kamar dan berbaring.“Bukan Sergio yang hendak memperkosamu, Tilly! Lagipula, dia suamimu, untuk apa dia melakukan semua itu?”Suara ayah-nya bergema membuat Tilly tak kunjung bisa memejamkan matanya. Jika di pikir-pikir, benar juga. Sergio tidak perlu melakukan semua yang terjadi di hotel waktu itu. Dia memiliki segala hak untuk itu.Ah, entahlah. Tilly seperti tersesat dalam pikirannya sendiri. ***Pagi datang dengan cepat. Tilly terbangun
“Lalu bagaimana, Dok? Sakit sekali ...” ringis Tilly lirih sampai-sampai air matanya mulai menetes karena sakit yang sedari tadi tak berkurang sedikitpun.Sergio menarik bahu Tilly lagi dan memeluknya lagi. Tilly yang sedang menahan sakit, menerima perlakuan itu tanpa banyak protes. Dia merasa nyaman ada tempat bersandar, ada sosok yang menguatkannya.“Saya akan beri obat penghilang sakit dosis yang lebih tinggi. Silakan nanti tebus di apotik,” kata dokter lagi dan menuliskan resep dengan cepat.Setelah diberikan, Sergio memapah Tilly dalam pelukannya untuk berjalan keluar.“Kau tunggu sini, ya. Aku ke apotik di sana,” bisik Sergio seraya mendudukkan Tilly di kursi antrian.“Tidak! Aku ikut. Aku tidak mau sendiri,” rengek Tilly yang merasa tak berdaya dan ketakutan jika Sergio tidak di sampingnya. Dia takut rasa sakit di kepalanya menjadi semakin kuat.“Ya, sudah. Ayo.”Sergio kembali memapah Tilly menuju apotik yang berjarak di ujung koridor.Setelah menebus obat, Sergio juga bergera