Home / Romansa / Tuan, Aku Hamil! / Sentuhan yang Tak Terduga

Share

Sentuhan yang Tak Terduga

Author: kodav
last update Last Updated: 2024-08-16 01:16:17

Namun saat mengambil Prince dari pelukanku, entah disengaja atau tidak, ujung jemarinya membelai gunung kembarku. Aku sedikit terhenyak dan tersipu, merasa canggung dengan situasi yang tiba-tiba ini.

"Maaf, Ratih," bisiknya sambil tersenyum nakal, membuat pipiku terasa panas.

Aku hanya bisa tersenyum kaku dan berusaha mengalihkan pandangan. 

"Tidak apa-apa, Tuan," jawabku pelan.

Devan menggendong Prince dengan penuh kasih sayang, sementara aku mencoba menenangkan diri dan kembali ke tugas-tugasku. Meski kejadian tadi membuatku sedikit gugup, aku berusaha untuk tetap profesional dan fokus pada pekerjaanku.

Sambil menyiapkan sarapan untuk Thalita, Devan dan kedua anak kembarnya, pikiranku sesekali melayang pada momen singkat tadi. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan dan tidak perlu terlalu dipikirkan.

Tak lama kemudian, Thalita dan kedua anak kembar, Wilma dan Wilona, bergabung di meja makan. Kehadiran mereka membawa suasana hangat dan penuh kasih. Wilma dan Wilona, yang berusia 5 tahun, tampak ceria dan bersemangat. Mereka dibantu oleh Sari, suster berusia 33 tahun yang setia merawat mereka.

Setelah memastikan semua makanan di meja sudah siap dan minuman sudah tersaji. 

"Sarapan sudah siap, Nyonya," kataku sambil tersenyum pada Thalita.

"Terima kasih, Ratih," jawab Thalita dengan anggukan dan senyum hangat.

Devan, yang saat itu masih menggendong Prince, menghampiriku. 

"Ratih, tolong lanjutkan menyuapi Prince," katanya sambil menyerahkan Prince kepadaku. Tatapannya yang mempesona membuatku sedikit tertegun sesaat.

"Baik, Tuan," jawabku sambil menerima Prince dengan hati-hati.

Aku kembali duduk di kursi dan melanjutkan menyuapi Prince yang tampak semakin ceria.  Devan dan Thalita bersama kedua anak kembar mereka, Wilma dan Wilona, duduk di meja makan. Suasana menjadi semakin hangat dan penuh kasih.

Setelah selesai sarapan, kedua anak kembar segera menuju mobil untuk berangkat sekolah, diantar oleh Pak Arif, sopir yang berusia 51 tahun. Pak Arif selalu setia dan telaten mengantar jemput anak-anak setiap harinya.

"Ayo, Nak, waktunya ke sekolah," ujar Pak Arif dengan senyum ramah, membuka pintu mobil untuk Wilma dan Wilona.

Thalita kemudian bangkit dari duduknya dan menghampiri Devan. Dengan mesra, ia memeluk dan mencium Devan. "Pap, aku antar anak-anak ke sekolah, ya. Love you," ucapnya dengan suara penuh kasih sayang.

"Love you too, Babe," balas Devan sambil meremas bokong Thalita dengan nakal, seolah ingin mengungkapkan sisi kesensualannya padaku. Aku hanya bisa menunduk dan berusaha fokus pada Prince, meski perasaanku sedikit bercampur aduk.

Devan kemudian merapikan jasnya dan melanjutkan menikmati sarapannya. Thalita mengambil tasnya dan melangkah keluar rumah.

Setelah beberapa saat, Devan selesai sarapan dan menghampiriku untuk berpamitan pada Prince.

"Prince, Papa pergi dulu ya. Prince jangan nakal ya, mmmuahh," ujarnya sambil mencium pipi anaknya dengan sayang.

"Bye Papa," jawab Prince terbata-bata dengan suara kecilnya, membuat Devan tersenyum, kemudian menyerahkan Prince kembali padaku.

"Ratih, tadi maaf ya," bisiknya sambil tersenyum nakal, membuatku tersipu.

"Ti-tidak apa-apa, Tuan," jawabku dengan suara sedikit gemetar, berusaha menyembunyikan kegugupanku. Devan mengangguk dan melangkah keluar rumah.

Rumah terasa sepi setelah kepergian mereka. Hanya ada suara gemericik air dari dapur tempat Mbok Yanti sedang mencuci piring dan suara kegiatan membersihkan yang dilakukan oleh staf lainnya. Untuk sementara, tugasku adalah menemani Prince bermain.

Namun, belaian tak disengaja itu membuat pikiranku melayang. Aku mencoba menepis bayang-bayang tersebut dan fokus pada Prince yang kini tampak ceria bermain dengan mainan-mainan favoritnya di ruang keluarga.

Memiliki anak adalah salah satu impianku, tapi entah kenapa setelah dua tahun pernikahan dengan Mas Widodo, kami belum juga dikaruniai anak. Kadang aku bertanya-tanya, apakah mungkin karena aku tidak mencintainya sepenuhnya? Pikiran ini sering melintas, mengingat pernikahan kami yang terasa lebih seperti kewajiban daripada sebuah ikatan yang hangat.

Aku bertemu dengan Mas Widodo ketika aku berusia 21 tahun dan dia 38 tahun. Sebagai seorang sopir truk logistik, dia adalah pria yang sederhana dan ramah, yang selalu memperlakukanku dengan kebaikan. Meskipun hatiku belum sepenuhnya yakin saat itu, aku berharap cinta akan berkembang seiring berjalannya waktu. Tapi kenyataannya, hubungan kami terasa datar, seakan ada jarak yang tak terlihat di antara kami.

"Mbak, obil...obil...!" seru Prince, mengalihkan pikiranku dari kenangan masa lalu. Aku tersenyum dan mengangguk, ikut bermain bersama Prince, namun dalam benakku, perasaan ganjil itu tetap ada.

Malam pertama kami seharusnya menjadi momen spesial, namun justru terasa aneh dan canggung. Ada jarak yang tak terlihat antara kami, dan entah kenapa aku merasa tak sepenuhnya hadir. Rasanya seperti menjalani sebuah peran yang bukan milikku. Malam itu berlangsung begitu cepat,

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 6 - EPILOG

    ///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 5

    Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 4

    Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 3

    ///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 2

    ///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 1

    Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status