Share

2. Hanya Bayangan

PLAK!

Paman George tiba-tiba menamparku. Kepalaku mendadak pusing, Aku bingung dengan kenyataan yang berada di hadapanku saat ini. Pengakuan Lily dan tamparan dari Paman George. Belum sempat aku menanyakan apa salahku, Paman George menatapku dengan tajam sambil menunjuk mukaku.

"Anna, inikah balasanmu kepada kami?! Kami sudah berbaik hati menampungmu, tapi kau malah memberi kesusahan kepada kami!"

Darah yang mengalir dari sudut bibirku terasa anyir. Aku berusaha menegakkan badanku lalu menatap balik Paman George. "Apa salahku?"

"Masih bertanya salahmu apa?! Kau menyuruh orang untuk menculik Lily dan berpura-pura menolong kami dengan menawarkan diri untuk menggantikan Lily di altar."

Setelah itu, Paman George mengambil sapu lalu memukulku dengan keras sehingga aku jatuh ke lantai. Pukulan di punggungku rasanya sakit sekali. Seperti mati rasa, aku menahannya dan tidak ingin menangis.

Aku tidak habis pikir, kemarin Paman George yang memintaku untuk menggantikan posisi Lily di altar pernikahan. Tapi sekarang kenapa mereka menuduhku, aku yang merencanakan penculikan? Drama apa ini? Aku yakin kejadian kemarin bukanlah ilusi. Bahkan kesucianku yang telah direnggut oleh David adalah nyata.

Melihatku tidak menangis, Paman George semakin marah lalu ingin memukulku kembali.

"Cukup, kau ingin membunuhnya?" suara Bibi Amanda menghentikan gerakan tangan Paman George.

Aku menoleh setelah bunyi sapu terdengar jatuh ke lantai.

"David sayang, maafkan kesalahan Anna. Dia hidup tanpa bimbingan orang tua. Kita harus memakluminya jika dia punya pikiran iri dan berusaha memisahkan kita." Kata-kata Lily terdengar memberikan dukungan simpati padaku. Padahal secara tidak langsung dia menuduhku bahwa aku bersalah dengan kesalahan yang mereka tuduhkan padaku.

Aku melirik wajah Lily dan kulihat sudut bibirnya tersenyum mengejekku. Tangannya bergelayut manja di lengan David, suami sahku yang kemarin menikahiku secara resmi di mata hukum agama.

Aku beralih melirik David, samar-samar aku melihat ada penyesalan di dalam matanya. Namun itu sekilas saja, setelah itu berganti dengan tatapan dingin yang seakan menusukku.

"Cukup, kita bicarakan saja nanti." David meninggalkan kami diikuti Lily menuju ke ruang tamu.

"Kita belum selesai, setelah David pulang. Aku akan memberimu pelajaran!" Paman George mengancamku lalu menarik tangan Bibi Amanda menyusul David dan Lily ke ruang tamu.

Dari jauh aku melihat David dan Lily duduk berdekatan dengan tangan kedua saling bertaut. Inilah gambaran pasangan yang sebenarnya. Hangat dan penuh cinta. Tidak seperti hubunganku dan David.

Aku hanya anak yatim piatu, sudah terbiasa hidup sendiri dan kesepian. Ejekan dan hinaan serta perundungan sudah menjadi makanan sehari-hariku. Namun kejadian ini sangat menyakiti batinku. Aku di sini korban, mereka membohongiku, menjebakku dan menuduhku. Melimpahkan kesalahan mereka padaku di mata David.

Kebohongan Lily, pembelaan David dan rencana licik Paman George membuatku berpikir, kehadiranku seperti bayangan. Tidak bernilai dan tinggal di dalam kegelapan tanpa ada orang yang menginginkan kehadiranku.

Aku hanya bisa menahan nyeri di punggungku, saat menaiki tangga, satu undakan bertambah pula kesakitan yang berada di tubuhku.

Kurebahkan tubuhku yang terasa remuk di ranjang, mataku lelah selelah jiwaku. Air mataku akhirnya mengalir setelah kutahan beberapa menit yang lalu.

Ingatanku melayang di saat aku bertemu David untuk pertama kalinya.

Di pemakaman orang tuaku, saat diriku merasakan kesedihan terdalam. Aku seperti menemukan cahaya kehidupan di tengah redupnya hatiku.

Saat itu aku melihat David tergeletak di jalan raya dalam keadaan pingsan dan kepalanya berlumur darah.

"Tolong selamatkan aku." David menatapku dengan penuh harap lalu pingsan.

Saat itu, umurku masih delapan tahun. Tubuhku kurus dan kecil, aku bingung bagaimana cara untuk menolong David. Aku makin panik setelah melihat darah keluar dari kepalanya David. Aku berlari mencari pertolongan. Namun karena area pemakaman yang sepi dan hari semakin gelap menjadikan aku kesulitan menemukan seseorang.

Air mataku mengalir, kesedihan kembali melingkupi ruang hatiku karena tidak berhasil mencari bantuan.

Aku berusaha membawa tubuh David dengan gerobak kecil yang kebetulan ada di dekat tong sampah. Dengan sekuat tenaga aku menarik tubuh David, umur kami bertaut sekitar lima tahun jika kutebak. Tubuh tinggi David menjadikanku kesulitan untuk menaikkannya ke atas gerobak. Namun aku sangat khawatir, takut jika David juga menyusul kedua orang tuaku yang sudah berada di surga.

"Hei, bertahanlah." Kugoncang-goncangkan tubuh David agar dia terjaga. Tapi sepertinya darah yang keluar dari kepalanya semakin banyak.

Aku semakin panik, dengan sekuat tenaga aku menarik tubuh David lalu memasukkannya ke gerobak. Setelah itu aku menarik gerobak itu dengan sekuat tenaga ke arah rumah sakit kecil di dekat pemakaman. Untung saja hari itu suasana cerah sehingga jalanan tidak licin.

Dengan napas yang terengah dan peluh yang membasahi tubuhku. Akhirnya kami sampai di rumah sakit. Tanpa menurunkan tubuh David, aku berlari memanggil suster.

"Suster tolong saya, saya mohon." Aku menarik tangan salah satu suster yang berada di hadapanku.

"Pergi sana!" Suster itu menepis tanganku karena melihat penampilanku yang kotor dan penuh darah. Keadaan tubuhku yang kurus dan kecil membuat suster itu mengabadikan permohonanku, mungkin karena takut aku tidak bisa membayar biaya rumah sakit.

Gagal meminta bantuan suster, aku tetap berusaha. Hingga aku bertemu dengan seorang dokter muda. Aku menangis, bersimpuh di hadapannya sambil memegang salah satu kakinya.

"Kak, tolong bantu saya." Aku meminta dengan sepenuh hati.

"Ada apa, Sayang?"

Tidak kusangka, reaksinya berbeda dengan suster tadi. Dokter muda berkacamata itu tersenyum dan membimbingku untuk bangun.

"Teman saya kecelakaan, tolong selamatkan dia."

"Oh ya, di mana temanmu berada?"

"Di sana," aku menarik tangan dokter muda itu ke arah halaman di mana gerobak kecil yang berisikan David berada.

"Astaga!" dokter muda itu terkejut lalu menggendong David.

"Siapkan meja operasi!" Dokter muda itu berteriak hingga para suster menoleh lalu tergopoh-gopoh mengerumuni dokter muda itu. Semenit kemudian, David dibawa masuk dan aku hanya bisa berdo'a kepada Tuhan agar David selamat.

Tiga jam berlalu, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Aku melihat David terbaring di brankar, didorong keluar. Dan tiba-tiba saja segerombolan orang-orang berbaju hitam mengawalnya sehingga aku tidak bisa mendekatinya. Dokter muda itu dikerubungi banyak wartawan yang mewawancarainya. Dari televisi rumah sakit aku baru tahu jika David adalah pewaris tunggal dari keluarga konglomerat, keluarga Walles. Keluarga terkaya di Georgia.

Aku menginap semalaman di rumah sakit karena ingin bertemu David, memastikan jika dia baik-baik saja. Rasa lapar di perutku tidak kuhiraukan. Karena rasa lelah, aku tertidur di bangku kosong di depan kamar rawatnya David.

Keesokan harinya, aku melihat David didorong keluar dari kamar rawatnya, aku hanya bisa menatap tanpa bisa mendekatinya. Tidak kusangka, tiba-tiba brankarnya David berhenti lalu segerombolan orang itu menyingkir, memberi jalan padaku. Tangan David melambai padaku dan aku mendekatinya. Dia tersenyum padaku lalu menggenggam tanganku.

"Terima kasih, tunggu aku kembali. Aku pasti akan mencarimu."

Setelah itu, David didorong ke mobil ambulans untuk dipindahkan ke rumah sakit yang lebih elit.

Janji dan senyum David kuingat sampai saat ini. Semuanya bagai mimpi, hingga kami bertemu lagi satu tahun yang lalu.

Namun, mengapa David datang ke rumah Paman George untuk melamar Lily?

Megapa dia tidak ingat dengan diriku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status