Tanpa menoleh, Gia langsung bangkit dan terus melangkah meninggalkan gedung tempat pesta itu. Sialnya, saat dia melangkah keluar gerimis melanda.
“Tak bisakah menunggu hingga aku tiba di rumah,” ucap Gia menaikkan pandangannya, seolah berbicara pada awan yang membawa hujan kecil itu.
Sia-sia saja, Gia terus melangkah dengan kaki pincangnya. Setidaknya, kondisi Gia sudah lebih baik. Dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat penyangga.
Hingga akhirnya Gia tiba di halte. Gia mengistirahatkan tubuhnya, duduk dan berteduh seraya mengatur hati serta perasaannya. Jelas sekali dia menahan diri agar air matanya tak menerobos keluar, tetapi sia-sia saja.
“Jangan cengeng, Gia!” perintahnya pada dirinya sendiri.
Gia pun menarik napas panjang, hingga akhirnya dia berhasil menguasai dirinya. Tepat setelah air matanya tak menetes, sebuah bus datang. Agar tak kesulitan naik, Gia mengangkat ujung gaunnya dan langsung memilih kursi paling belakang agar tak mengganggu penumpang, berharap mendapatkan ketenangan di sana.
Dari posisi itu, Gia bisa melihat jelas pemandangan di luar sana. Entah apa yang terjadi di malam ini, dia melihat beberapa pria memberikan perlindungan pada pasangannya agar tak terkena guyuran air hujan. Hanya perlakuan kecil, tetapi sangat romantis.
Hati Gia menjerit. Dia tak pernah mendapatkan semua itu, bahkan sebuah kasih sayang pun sudah tak pernah ada. Gia menunduk, lalu meremas lutut kirinya. Kaki itulah yang membuatnya pincang.
“Ayah, aku merindukanmu.”
Dari kedua sudut netranya meluncur butiran bening, tiba-tiba saja merindukan mendiang ayahnya. Gia belum pernah dipermalukan seperti tadi, dipandang hina sebagai manusia cacat dan tak berguna.
Ingatannya tertuju pada kejadian tahun lalu. Saat sebuah kendaraan menabrak sepeda motor yang dikendari Gia dan Billy—ayahnya. Naas, sang ayah tak tertolong dan Gia harus mengalami cacat permanen. Kondisi kakinya tak bisa kembali normal.
Si Penabrak itu adalah Ray. Wilson—kakenya Ray memberi cucunya dua pilihan, mendekam di penjara atau menikahi Gia. Gadis itu tak memiliki keluarga lain selain ayahnya.
Wilson tak memberi cucunya pilihan dan mengancam akan mencoret Ray dari daftar pewaris keluarga. Meskipun Gia tahu Ray adalah kekasih Grace, yang dulu menjadi sahabatnya, dia pun tak punya pilihan melawan Wilson.
Ray beranggapan Dia hanyalah benalu yang membuat malu, memisahkan hubungan cintanya dengan Grace. Selama tiga tahu menikah Ray tak pernah melirik Gia, meskipun tinggal di pethouse yang sama. Perjuangan dan pengabdiannya tak pernah terlihat.
Lamunan Gia buyar ketika bus yang membawanya berhenti mendadak dengan suara decitan rem yang memecah hening. Halte tempat dia harus turun akhirnya tiba. Dengan buru-buru, Gia menyeka air matanya dan bangkit berdiri. Namun, langkahnya terasa berat, terhambat oleh gaun panjang yang ia kenakan.
"Sial, gaun ini benar-benar menyulitkan," gumamnya dengan nada frustasi sambil mengangkat ujung kainnya agar tak terseret.
Gia melangkah dengan tertatih, tubuhnya condong sedikit ke depan untuk menyeimbangkan kaki pincangnya. Dia ikut dalam antrian penumpang yang perlahan turun dari bus. Tapi tanpa ia sadari, ujung gaunnya tersangkut di sela pintu bus saat menuruni anak tangga terakhir.
Ketika bus mulai bergerak perlahan meninggalkan halte, Gia merasa tubuhnya tersentak ke belakang. Kedua bola mata membelalak melihat gaunnya tertarik ke arah bus yang melaju. Dengan kaki pincangnya, Gia berlari terpincang-pincang mencoba mengikuti laju bus. Napasnya memburu, ia berteriak panik.
"Berhenti! Tolong, berhenti!" teriak Gia keras.
Para penumpang yang baru saja turun bersama menyadari keadaannya. Mereka mulai berteriak-teriak, mencoba memperingatkan sopir bus. Salah satu dari mereka melambaikan tangan dengan penuh semangat ke arah jendela depan.
Bus mendadak berhenti, tubuh Gia hampir terjerembab. Pintu bus langsung terbuka dan Gia meraih ujung gaunnya yang kusut dari sela pintu. Bukannya meminta maaf, sopir bus itu justru memarahinya.
"Heh! Perhatikan pakaianmu! Lihat akibatnya, nyaris bikin kecelakaan!" Sopir itu menghardik dengan nada kasar, ekspresinya penuh amarah.
Gia berdiri terpaku, merasa disudutkan. Sebelum dia bisa menjawab, sang sopir menambahkan ocehannya, "Kamu itu pincang! Kalau tahu tidak bisa jalan normal, lebih baik diam di rumah saja daripada menyusahkan orang lain!"
Tubuh Gia langsung mematung dengan wajah merah dan napas tersengah-engah. Ia menahan perasaan malu dan marah yang berkecamuk. Jantungnya masih berdetak keras akibat insiden barusan.
Kedua tangan Gia mengepal keras, gemetar menahan amarah dan rasa malu yang membakar dada. Ia menunduk, menghindari tatapan para penumpang yang masih memandangnya dengan berbagai ekspresi, kasihan, heran, atau bahkan mencemooh. Air matanya mengalir, tetapi ia segera menyekanya dengan kasar, tak ingin terlihat lebih lemah lagi.
Langkahnya tertatih menjauh dari halte. Hatinya remuk, dan ia menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba menahan tangis yang terus mengancam pecah.
“Kenapa nasibku selalu sial!” Gia memekik dalam hati.
Sebuah percakapan mengalihkan perhatian Gia saat dia baru saja memasuki lobi apartemen. Percakapan seorang ayah dan putranya menarik minatnya, hingga membuat wanita berhenti.
“Burung ini pincang, kasian kalau dibiarkan terbang bebas. Aku ingin merawatnya hingga sembuh dalam sangkar cantik ini?” ucap si anak sedih.
“Ayah sangat menghargai niat baikmu, Sayang. Tapi, jika kamu mengurungnya di dalam sangkar ... burung itu tidak bebas dan justru akan membuatnya sulit untuk berjalan lagi.”
Si ayah memberikan pengertian jika di alam bebas bisa menyembuhkan kaki pincangnya. Hingga akhirnya anak kecil itu menurut dan mau memberikan sangkar burungnya. Bak disadarkan realita, Gia menatap dirinya dan sekelilingnya.
“Burung pincang itu ibarat aku dan kemewahan ini adalah sangkar yang membelengguku. Aku bisa sembuh jika keluar dari sangkar ini dan alam akan menyembuhkan lukaku,” ucap Gia pada dirinya sendiri. "Aku harus pergi dari sini dan aku berhak bahagia."
“Ibu, kenapa dia belum bangun juga?” tanya Claire menatap cemas.Wajah Ray terlihat tenang, tampak tertidur pulas. Sudah 4 jam pasca operasi, belum juga menunjukkan tanda akan sadar. Suara monitor tetap stabil, tetapi membuat mereka cemas.“Ah, dia bangun,” seru Charlie menunjuk jari telunjuk Ray yang bergerak perlahan.“Kamu benar.” Claire berseru riang.Napas Gia berembus lega. Serentak mereka menatap wajah Ray yang menunjukkan tanda-tanda tersadar. Kelopak matanya sedikit bergetar dan mulai terbuka perlahan, sementara bibirnya bergerak pelan.“Ray, kamu sudah sadar?” Suara Gia bergetar, disusul air mata haru. “Sebentar, aku panggilkan dokter!” serunya.Gerakan Gia terhenti. Tangan lemas Ray langsung tangannya. Gia urung bergerak dan kembali menatap wajah Ray.“Aku tidak akan pergi. Aku hanya akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu,” katanya lembut. Gia lantas tersenyum, mengartikan reaksi Ray yang mencemaskan dirinya.Mata Ray mengedip, isyarat persetujuan. Kemudian tangan
“Tuan Ray kehilangan banyak darah, tetapi syukurlah ... operasinya berjalan dengan baik. Kami akan memindahkan Tuan Ray ke ruang perawatan dan terus memantau perkembangan.”Penjelasan singkat dari dokter tersebut langsung membuat napas Gia berembus lega. Pintu ruang operasi terbuka lebar, memberi jalan pada ranjang brankar membawa tubuh Ray keluar. Namun, tubuh Gia mematung, tak tubuh Ray yang dibawa menjauh.“Ada apa, Nona Gia?” tanya Adam dengan kening mengkerut.Gia menunduk sejenak, lalu menggeleng. Kemudian dia tersenyum tipis pada pria di hadapannya. “Tidak apa-apa Adam. Aku lega dan bersyukur Ray baik-baik saja,” katanya.“Tolong jaga dan rawat Ray untukku,” sambung Lisa seraya menepuk lengan Adam pelan. “Aku percayakan dia padamu,” tambahnya.“Kenapa Nona ...?” tanya Adam terhenti, tetapi mengurungkan langkah kaki Gia yang hendak memutar.Adam menatapnya lekat. Terlihat jelas garis keraguan pada wajah Gia. Perasaan bersalah yang berat, seolah menahan wanita di hadapannya untuk
Asap hitam keabu-abuan mengepul memenuhi seluruh ruangan dan langsung menyesakkan dada. Pandangan mereka yang ada di sana langsung kabur dan tak jelas, tetapi indera pendengaran mereka menangkap jelas suara derap langkah pasukan terlatih mendekat.Brak! Pintu ruangan langsung terbuka. Beberapa petugas berpakaian serba hitam, lengkap dengan rompi anti peluru, senjata laras panjang di tangan dan masker oksigen, serta kaca mata pelindung. Mereka semua adalah pasukan terlatih keamanan perusahaan Wish Group Company.Mereka sigap menyergap musuh sesuai instruksi dalam diam. Tak lama Ray ikut masuk, hanya menggunakan masker oksigen dan kaca mata pelindung. Pria itu sigap langsung menemukan keberadaan Gia. Tangannya cepat melepaskan ikatan yang membelenggu wanita cantik itu, lalu menggendongnya keluar.“Ray?” Suara Gia lirih dan lemas. Gia terlalu banyak menghirup gas dari asap tersebut. Pandangannya yang kabur masih mengenali sosok yang kini menyelamatkannya.Tanpa mereka ketahui, dalam kega
“Kamu bilang lokasi ini tak akan terdeteksi? Apa ini? Mereka menemukan keberadaan kita.”Suara David menggema penuh amarah, memenuhi salah satu ruang gedung terbengkalai. Dinding di sekelilingnya sudah berjamur dan sebagian plafon mengelupas. Satu kaca jendela sudah terganti dengan triplek.Bau lumut basah dan lantai berdebu menyeruak hidung. Tangan David mengudara, bersiap melayangkan tamparan pada dua pria berpakaian serba hitam di hadapannya. Namun, suara tawa kecil penuh ejekan menghentikannya.Tawa dari Gia yang kini terikat pada kursi kayu. Wanita itu sama sekali tak merasa terintimidasi, apalagi cemas. Tentu saja wajah David semakin murka saat menatap wajahnya.“Percuma saja kamu menyandera aku, David,” ucap Gia semakin mengejek. Kemudian dia melirik pada Grace yang sama murka seperti David, lalu tersenyum miring. “Kalian hanya membuang waktu saja.”Dalam hati, Gia cemas, bingung dan penuh tanya. Dia yakin, Ray tak bergerak sendiri atau menemukan lokasinya saat ini. Mereka bisa
“Tolong jelaskan padaku, apa yang terjadi!” pinta Ray seraya mengatur posisi duduk di tengah pesatnya laju mobil yang membawanya.Kedua anak kecil itu langsung menoleh. Wajah Ray terlihat cemas dan bingung. Claire lantas menangguk, setelah keduanya saling bertukar pandang, isyarat pemikiran mereka sama.“Anda bawa laptop?” tanya Charlie tiba-tiba.Sontak saja kening Ray mengkerut, tak mengerti dengan pertanyaan pria kecil tersebut. Tatapannya lantas berpindah pada Claire yang duduk tepat di sampingnya, menjadi penghubung Ray dan Charlie. “Aku yang akan menjelaskannya, tetapi biarkan Charlie bekerja agar tak membuang waktu,” papar Claire menyadari tatapan tanyanya Ray.Sementara Doni, sopirnya, sangat terlatih. Baginya, jalan raya yang ramai dan padat, bak sirkuit balap. Apalagi mobil milik Ray memiliki semua fasilitas mewah yang tak perlu diragukan. Sekalipun mobil terseok saat mendahului beberapa kendaraan di hadapannya, para penumpangnya tak terlalu terguncang.Menyadari lampu lalu
Claire mendesis kesal. Mereka tersudut dan terkepung. Suara derap langkah sepatu pantofel semakin mendekat dari segala arah.Charlie langsung menolak panggilan dan mengaktifkan mode senyap. Napas keduanya terputus-putus, tapi akal dan pikiran bekerja lebih cepat, mencari cara untuk meloloskan diri di antara mobil-mobil yang berdekatan. Hingga akhirnya tatapan Claire tertuju pada kerikil kecil di dekat kakinya.“Charlie, buat kekacauan besar!” seru Claire memberi perintah tanpa suara.Pikiran keduanya seolah sudah terhubung. Tanpa memberi penjelasan, Charlie mengangguk mengerti. Dengan gerakan cepat, keduanya meraih beberapa batu kelikir, lalu bersamaan melemparnya ke arah mobil-mobil di sekitar mereka.Seketika alarm kendaraan di sana berbunyi saling bersahutan. Cukup untuk mengecoh fokus para pria yang mengejar keduanya. Detik berikutnya napas kedua bocah kecil itu tertahan. Tatapan mata mereka tertuju pada ujung sepatu pantofel yang mengintip di kedua sisi mobil tempat mereka bersem