Share

Bab. 2

Author: Disi77
last update Last Updated: 2024-11-10 09:07:07

Tanpa menoleh, Gia langsung bangkit dan terus melangkah meninggalkan gedung tempat pesta itu. Sialnya, saat dia melangkah keluar gerimis melanda.

“Tak bisakah menunggu hingga aku tiba di rumah,” ucap Gia menaikkan pandangannya, seolah berbicara pada awan yang membawa hujan kecil itu.

Sia-sia saja, Gia terus melangkah dengan kaki pincangnya. Setidaknya, kondisi Gia sudah lebih baik. Dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat penyangga. 

Hingga akhirnya Gia tiba di halte. Gia mengistirahatkan tubuhnya, duduk dan berteduh seraya mengatur hati serta perasaannya. Jelas sekali dia menahan diri agar air matanya tak menerobos keluar, tetapi sia-sia saja.

“Jangan cengeng, Gia!” perintahnya pada dirinya sendiri.

Gia pun menarik napas panjang, hingga akhirnya dia berhasil menguasai dirinya. Tepat setelah air matanya tak menetes, sebuah bus datang. Agar tak kesulitan naik, Gia mengangkat ujung gaunnya dan langsung memilih kursi paling belakang agar tak mengganggu penumpang, berharap mendapatkan ketenangan di sana.

Dari posisi itu, Gia bisa melihat jelas pemandangan di luar sana. Entah apa yang terjadi di malam ini, dia melihat beberapa pria memberikan perlindungan pada pasangannya agar tak terkena guyuran air hujan. Hanya perlakuan kecil, tetapi sangat romantis. 

Hati Gia menjerit. Dia tak pernah mendapatkan semua itu, bahkan sebuah kasih sayang pun sudah tak pernah ada. Gia menunduk, lalu meremas lutut kirinya. Kaki itulah yang membuatnya pincang.

“Ayah, aku merindukanmu.”

Dari kedua sudut netranya meluncur butiran bening, tiba-tiba saja merindukan mendiang ayahnya. Gia belum pernah dipermalukan seperti tadi, dipandang hina sebagai manusia cacat dan tak berguna.

Ingatannya tertuju pada kejadian tahun lalu. Saat sebuah kendaraan menabrak sepeda motor yang dikendari Gia dan Billy—ayahnya. Naas, sang ayah tak tertolong dan Gia harus mengalami cacat permanen. Kondisi kakinya tak bisa kembali normal.

Si Penabrak itu adalah Ray. Wilson—kakenya Ray memberi cucunya dua pilihan, mendekam di penjara atau menikahi Gia. Gadis itu tak memiliki keluarga lain selain ayahnya. 

Wilson tak memberi cucunya pilihan dan mengancam akan mencoret Ray dari daftar pewaris keluarga. Meskipun Gia tahu Ray adalah kekasih Grace, yang dulu menjadi sahabatnya, dia pun tak punya pilihan melawan Wilson.

Ray beranggapan Dia hanyalah benalu yang membuat malu, memisahkan hubungan cintanya dengan Grace. Selama tiga tahu menikah Ray tak pernah melirik Gia, meskipun tinggal di pethouse yang sama. Perjuangan dan pengabdiannya tak pernah terlihat.

Lamunan Gia buyar ketika bus yang membawanya berhenti mendadak dengan suara decitan rem yang memecah hening. Halte tempat dia harus turun akhirnya tiba. Dengan buru-buru, Gia menyeka air matanya dan bangkit berdiri. Namun, langkahnya terasa berat, terhambat oleh gaun panjang yang ia kenakan.  

"Sial, gaun ini benar-benar menyulitkan," gumamnya dengan nada frustasi sambil mengangkat ujung kainnya agar tak terseret.  

Gia melangkah dengan tertatih, tubuhnya condong sedikit ke depan untuk menyeimbangkan kaki pincangnya. Dia ikut dalam antrian penumpang yang perlahan turun dari bus. Tapi tanpa ia sadari, ujung gaunnya tersangkut di sela pintu bus saat menuruni anak tangga terakhir.

Ketika bus mulai bergerak perlahan meninggalkan halte, Gia merasa tubuhnya tersentak ke belakang. Kedua bola mata membelalak melihat gaunnya tertarik ke arah bus yang melaju. Dengan kaki pincangnya, Gia berlari terpincang-pincang mencoba mengikuti laju bus. Napasnya memburu, ia berteriak panik.  

"Berhenti! Tolong, berhenti!" teriak Gia keras.  

Para penumpang yang baru saja turun bersama menyadari keadaannya. Mereka mulai berteriak-teriak, mencoba memperingatkan sopir bus. Salah satu dari mereka melambaikan tangan dengan penuh semangat ke arah jendela depan.  

Bus mendadak berhenti, tubuh Gia hampir terjerembab. Pintu bus langsung terbuka dan Gia meraih ujung gaunnya yang kusut dari sela pintu. Bukannya meminta maaf, sopir bus itu justru memarahinya.

"Heh! Perhatikan pakaianmu! Lihat akibatnya, nyaris bikin kecelakaan!" Sopir itu menghardik dengan nada kasar, ekspresinya penuh amarah.  

Gia berdiri terpaku, merasa disudutkan. Sebelum dia bisa menjawab, sang sopir menambahkan ocehannya, "Kamu itu pincang! Kalau tahu tidak bisa jalan normal, lebih baik diam di rumah saja daripada menyusahkan orang lain!"  

Tubuh Gia langsung mematung dengan wajah merah dan napas tersengah-engah. Ia menahan perasaan malu dan marah yang berkecamuk. Jantungnya masih berdetak keras akibat insiden barusan.

Kedua tangan Gia mengepal keras, gemetar menahan amarah dan rasa malu yang membakar dada. Ia menunduk, menghindari tatapan para penumpang yang masih memandangnya dengan berbagai ekspresi, kasihan, heran, atau bahkan mencemooh. Air matanya mengalir, tetapi ia segera menyekanya dengan kasar, tak ingin terlihat lebih lemah lagi.  

Langkahnya tertatih menjauh dari halte. Hatinya remuk, dan ia menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba menahan tangis yang terus mengancam pecah.  

“Kenapa nasibku selalu sial!” Gia memekik dalam hati.

Sebuah percakapan mengalihkan perhatian Gia saat dia baru saja memasuki lobi apartemen. Percakapan seorang ayah dan putranya menarik minatnya, hingga membuat wanita berhenti.

“Burung ini pincang, kasian kalau dibiarkan terbang bebas. Aku ingin merawatnya hingga sembuh dalam sangkar cantik ini?” ucap si anak sedih.

“Ayah sangat menghargai niat baikmu, Sayang. Tapi, jika kamu mengurungnya di dalam sangkar ... burung itu tidak bebas dan justru akan membuatnya sulit untuk berjalan lagi.”

Si ayah memberikan pengertian jika di alam bebas bisa menyembuhkan kaki pincangnya. Hingga akhirnya anak kecil itu menurut dan mau memberikan sangkar burungnya. Bak disadarkan realita, Gia menatap dirinya dan sekelilingnya.

“Burung pincang itu ibarat aku dan kemewahan ini adalah sangkar yang membelengguku. Aku bisa sembuh jika keluar dari sangkar ini dan alam akan menyembuhkan lukaku,”  ucap Gia pada dirinya sendiri. "Aku harus pergi dari sini dan aku berhak bahagia."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 41

    "Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 40

    “Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 39

    “Apa itu? Hampir saja tak terlihat,” celetuk salah satu karyawan di ruang keamanan IT.Beberapa orang yang berada di sebelahnya langsung menoleh dan menatap layar di hadapan karyawan tadi. Tatapan karyawan tadi tampak tajam dan tangannya piawai mengetik beberapa rumus untuk mendeteksi pergerakan sinyal yang muncul pada data base-nya. Sementara mereka yang mendekat tadi melihat layar tersebut penasaran.“Mungkinkah itu penyusup yang mencuri data perusahaan?” tebak yang lainnya dan langsung dijawab anggukan rekan-rekannya.Karyawan tadi yang bernama James, tak menjawab. Dia masih menunggu layar monitor miliknya memproses data hingga selesai. Keningnya mengkerut, begitu juga dengan rekan-rekannya dan mereka dapat mengartikan hasil yang tertera di pada layar monitor tersebut.“Statusnya akses diizinkan? Siapa yang menerobos masuk cepat?” ujar James bingung.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian berkumpul dan terus berbual?” Suara lantang dan tegas hampir mengejutkan mereka yang tengah

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 38

    Tanpa sadar Gia sudah memasuki akun miliknya yang tersambung dengan perusahaan Ray. Dia mencari tahu penyebab perusahaan itu menjadi tak stabil. Mungkin karena rasa penasarannya lebih tinggi dan kalah oleh perasaan sakit hati serta prinsip yang sudah dibuatnya, untuk tak terlibat dengan Ray.Matanya memicing, menelusur dan mencari penyebab kekacauan di sana. Hanya deretan angka dan huruf yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya Gia menyadari hal ganjil di sana. Entah sadar atau tidak, tangannya menggeser mouse, hingga kursor pada layar laptopnya bergerak sesuai keinginan Gia. Layar di hadapannya menampilkan tanda sedang memuat data. Gia menatap layar laptopnya dengan cemas, seraya menggigit kuku jari jempolnya.“Apa ini?” gumam Gia sedikit terkejut.Gia berhasil menemukan sebuah data ilegal di sana dan menjadi penyebab keganjilan. Rasa penasarannya semakin meninggi membuatnya semakin jauh mencari tahu. Matanya terus tertuju pada layar dan tak berkedip sekali pun, menandakan dia

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 37

    “Tapi, aku sudah tak memiliki wewenang untuk itu semua. Maaf.” Suara Gia terdengar berat dan sungkan.Adam mengangguk dan tetap tersenyum ramah. Dia bisa merasakan tatapan Gia, ada rasa berat, cemas, dan juga amarah yang terpendam. Tentunya, dia tahu apa yang alami Gia dulu.“Saya bisa mengerti, Nona Gia. Tidak perlu merasa bersalah,” ucap Adam mencoba memecahkan kecanggungan.Gia tersenyum tipis. Dulu, dia akan selalu terbuka pada Adam. Lelaki paruh baya di hadapannya begitu perhatian, bukan karena tugasnya sebagai asisten pribadi Wilson dulu. Akan tetapi, Gia merasakan tulusnya perhatian Adam, seperti seorang ayah pada anak perempuannya.Itulah kenapa Gia tak merasa cemas atau panik saat Adam muncul, walaupun di bagian dari perusahaannya Ray. Adam bisa menempatkan dirinya sebagai seorang pelindung dan profesional dalam pekerjaan. Gia pun akhirnya membalas senyuman tulus dan ramahnya Adam.“Astaga, aku lupa menyuguhkan minuman untukmu. Anda mau minum apa Pak Adam ... teh, kopi atau j

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   36

    Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status