Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Ray. Wilson menampar cucunya yang masih mengenakan handuk kimono, hingga rasa kantuk Ray menghilang.
Ray bahkan menyeka sudut kanan bibirnya. Terdapat darah segar mengucur dari sana. Perih dan sakit, tetapi masih bisa dia tahan. Wajahnya tetap menunduk tanpa rasa bersalah di hadapan sang kakek.
Pintu di belakang tempatnya berdiri terbuka. Grace keluar dengan handuk kimono seperti yang dikenakan Ray. Dia tampak tersentak dan langsung berdiri di samping Ray lalu menunduk.
“Ini peringatan terakhir untukmu, Nona! Jika aku masih melihatmu bersama dengan Ray, jangan salahkan aku jika karir modeling yang kamu bangun hancur seketika!” gertak Wilson mengancam pada Grace.
Sontak saja Grace terkejut. Kedua bola matanya langsung membulat sempurna dan refleks menaikkan pandangannya melihat wajah murakanya Wilson. Bibirnya bergetar takut dan cemas.
“Kakek!” Ray memekik keras dan memberikan tatapan tak terima pada kakeknya.
Tangan lelaki itu lantas merangkul tubuh Grace, mencoba melindungi kekasihnya dari kemurkaan sang kakek. Sontak saja tingkah Ray langsung menyulut amarah Wilson, hingga tak ragu memberikan tamparan kedua. Namun, kali ini lebih keras.
“Ray!” Grace memekik panik dan ketakutan.
Tangannya langsung meraih wajah lelaki itu. kedua sudut bibirnya berdarah. “Kamu terluka.”
“Huh, menjijikan!” celetuk Wilson pada keduanya.
Wilson lantas melirik anak buahnya yang sedari tadi berada di sudut ruangan, memberi isyarat agar segera bertindak. Lelaki itu bergegas maju dan menatap Grace dengan tatapan memaksa. “Silahkan ikut dengan kami, Nona! Kami akan menunjukkan jalan agar Anda tak terbebas dari sorotan media di luar,” ucapnya sopan.
“Tidak! Aku tidak akan membiarkan Kakek membawa Grace,” seru Ray mempertahankan kekasihnya.
Sontak saja Wilson mendengus murka. “Berani sekali kamu melawanku, hah? Kamu lupa kalau kamu sudah menikah dan masih bermain api di belakang Gia dengan wanita tak tahu diri ini!” geramnya seraya menunjuk wajah keduanya.
“Tentu saja aku berani!” sahut Ray langsung. “Aku tidak mencintai wanita cacat itu! Aku hanya mencintai Grace.”
Suara Ray lantang, menunjukkan keberanian pada kakeknya. “Aku sudah cukup bersabar menerima permintaanmu dengan menikahi wanita cacat itu, tetapi hatiku hanya milik Grace,” imbuhnya.
“Ray, jangan seperti itu! Kamu tak boleh melawan kakekmu,” ucap Grace terdengar lembut seolah menenangkan amarah Ray.
“Tapi, Grace. Aku tak bisa terus berdiam saja,” sahut Ray dengan napas memburu.
Grace mengukir senyuman berat. Dia lantas menggeleng saat Ray hendak menutup mulutnya. Kemudian tangannya membelai lembut wajah lelaki itu, lalu tersenyum.
“Aku tahu, kamu hanya mencintaiku dan sangat membuatku terharu,” ucap Grace semakin lembut. “Cinta kita berdua tak akan terpisahkan. Percayalah pasti ada cara untuk kita bersatu, tetapi saat ini dengarkan kakekmu,” imbuhnya semakin lembut.
“Aku tidak akan ke mana-mana, Ray. Aku akan tetap berada di dekatmu dan mendukungmu.”
Grace menambahkan diikuti tetes air matanya.Ray luluh dengan air mata Grace. Namun, dia semakin membenci tindakan kakeknya. Sementara Wilson hanya tersenyum sinis, menyadari wanita di hadapannya pandai bersandiwara.
Wilson tak percaya dengan air mata Grace. Namun, menyadarkan cucunya adalah hal yang sulit. Ray seolah tersihir dan tak bisa membedakan akting Grace, pikirnya.
Tanpa ragu, Wilson menarik tubuh cucunya, memisahkan dengan Grace. Wanita itu terus memasang ekspresi sedih dan Ray makin tersihir seperti anak kecil yang dipisahkan dengan ibunya. Ray menatap kesal dan marah pada kakeknya, tetapi anak buahnya Wilson memberi isyarat agar Grace segera bertukar pakaian, lalu pergi.
Dugaan Wilson memang benar. Setelah memasuki kamar, wajah Grace langsung berubah dan memekik kesal tanpa suara. Dia bahkan melirik geram ke arah pintu, seolah tatapan itu ditunjukan pada Wilson.
“Dasar kakek tua bau tanah! Kapan dia matinya, sih?” celetuknya kesal. “Gara-gara dia aku sulit memiliki Ray.”
Grace menarik napas panjang seraya bergegas menuju kamar mandi. Di balik kekesalannya, Grace puas saat tahu Ray masih sangat percaya padanya.
Sementara Ray memekik meluapkan isi hatinya pada Wilson. Dia tak terima dengan kedatangan kakeknya di hotel itu. Setelah pesta tadi malam, Ray memilih menginap di hotel bersama Grace, menghabiskan malam yang indah.
“Sepertinya, kamu harus diingatkan lagi, Ray! Kamu selalu lupa kalau kamu sudah menikah dan Gia adalah istrimu,” tegas Wilson menyudahi teriakan cucunya.
“Sudah kukatakan kalau aku tak mencintainya, Kek,” balas Ray dengan tatapan tajam.
Kemudian dia menghela napas pendek seraya mengusap rambutnya ke belakang. “Dia wanita cacat dan tak layak bersanding denganku!” tegasnya.
“Ray, jaga bicaramu!” tegur Wilson hampir kehilangan kesabarannya. “Gia cacat karena ulahmu dan kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu,” tambahnya mengingatkan.
Ray memicingkan matanya. Dia lantas tersenyum getir, hingga membuat Wilson menatapnya waspada. “Bagaimana kalau itu semua adalah taktik wanita itu, Kek?” ucapnya terdengar mencurigakan.
“Taktik? Apa yang sedang kamu bicarakan?”
“Bagaimana kalau dia sengaja pura-pura tertabrak agar bisa mendekatiku dan menikah denganku? Wanita itu pasti tahu siapa aku, bukan? Pewaris Wish Group Company.”
Ray memancing rasa curiga, tetapi terdengar penuh percaya diri. Wilson refleks membulatkan kedua bola matanya. Bahkan tangannya mengepal kuat, siap melayangkan bogeman pada cucunya.
“Jaga ucapanmu, Ray!” tergur Wilson dengan napas memburu.
Dada Wilson bahkan naik turun. Dia tak menyangka jika pikiran cucunya sesempit itu. “Apa yang ada dalam pikiranmu, Ray? Karena kecelakaan itu, ayahnya meninggal dan Gia menjadi cacat ... kamu bilang itu taktik? Kamu tidak waras!”
“Ya ... bisa saja, memang awalnya hanya sebuah taktik. Ternyata nasib sial menghampirinya,” balas Ray tanpa merasa bersalah. “Aku masuk perangkap mereka dan seolah-olah aku yang bersalah ... bukankah itu terdengar masuk akal?”
Wilson tak bisa lagi menahan dirinya. Dia melayangkan tamparan lagi untuk menyadarkan cucunya. Kali ini tamparannya sangat keras sekali, hingga Ray langsung tersungkur jatuh di atas lantai.
“Kakek! Kamu tega menampar cucumu dan membela wanita cacat itu? Bahkan kamu tak mengenal siapa wanita itu?” ucap Ray lirih.
Dia bahkan menunjukkan wajah kecewa pada kakeknya. Namun, Wilson tetap pada pendiriannya. Kakek tua itu sama sekali tak merasa iba pada cucunya.
Saat Wilson hendak bersuara, pintu kamar terbuka. Grace keluar dengan gaun yang semalam dipakainya dan langsung diminta keluar. Ray menatap pilu kepergian Grace, lalu bergegas bangkit dan menatap wajah kakeknya lekat. Dia bahkan menunjukkan wajah penuh amarah pada Wilson.
“Aku mau bercerai dengan wanita cacat itu!” ucapnya tegas tanpa keraguan.
“Langkahi dulu mayatku, Rai ... baru kamu bisa bercerai dari Gia!”
“Ibu, kenapa dia belum bangun juga?” tanya Claire menatap cemas.Wajah Ray terlihat tenang, tampak tertidur pulas. Sudah 4 jam pasca operasi, belum juga menunjukkan tanda akan sadar. Suara monitor tetap stabil, tetapi membuat mereka cemas.“Ah, dia bangun,” seru Charlie menunjuk jari telunjuk Ray yang bergerak perlahan.“Kamu benar.” Claire berseru riang.Napas Gia berembus lega. Serentak mereka menatap wajah Ray yang menunjukkan tanda-tanda tersadar. Kelopak matanya sedikit bergetar dan mulai terbuka perlahan, sementara bibirnya bergerak pelan.“Ray, kamu sudah sadar?” Suara Gia bergetar, disusul air mata haru. “Sebentar, aku panggilkan dokter!” serunya.Gerakan Gia terhenti. Tangan lemas Ray langsung tangannya. Gia urung bergerak dan kembali menatap wajah Ray.“Aku tidak akan pergi. Aku hanya akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu,” katanya lembut. Gia lantas tersenyum, mengartikan reaksi Ray yang mencemaskan dirinya.Mata Ray mengedip, isyarat persetujuan. Kemudian tangan
“Tuan Ray kehilangan banyak darah, tetapi syukurlah ... operasinya berjalan dengan baik. Kami akan memindahkan Tuan Ray ke ruang perawatan dan terus memantau perkembangan.”Penjelasan singkat dari dokter tersebut langsung membuat napas Gia berembus lega. Pintu ruang operasi terbuka lebar, memberi jalan pada ranjang brankar membawa tubuh Ray keluar. Namun, tubuh Gia mematung, tak tubuh Ray yang dibawa menjauh.“Ada apa, Nona Gia?” tanya Adam dengan kening mengkerut.Gia menunduk sejenak, lalu menggeleng. Kemudian dia tersenyum tipis pada pria di hadapannya. “Tidak apa-apa Adam. Aku lega dan bersyukur Ray baik-baik saja,” katanya.“Tolong jaga dan rawat Ray untukku,” sambung Lisa seraya menepuk lengan Adam pelan. “Aku percayakan dia padamu,” tambahnya.“Kenapa Nona ...?” tanya Adam terhenti, tetapi mengurungkan langkah kaki Gia yang hendak memutar.Adam menatapnya lekat. Terlihat jelas garis keraguan pada wajah Gia. Perasaan bersalah yang berat, seolah menahan wanita di hadapannya untuk
Asap hitam keabu-abuan mengepul memenuhi seluruh ruangan dan langsung menyesakkan dada. Pandangan mereka yang ada di sana langsung kabur dan tak jelas, tetapi indera pendengaran mereka menangkap jelas suara derap langkah pasukan terlatih mendekat.Brak! Pintu ruangan langsung terbuka. Beberapa petugas berpakaian serba hitam, lengkap dengan rompi anti peluru, senjata laras panjang di tangan dan masker oksigen, serta kaca mata pelindung. Mereka semua adalah pasukan terlatih keamanan perusahaan Wish Group Company.Mereka sigap menyergap musuh sesuai instruksi dalam diam. Tak lama Ray ikut masuk, hanya menggunakan masker oksigen dan kaca mata pelindung. Pria itu sigap langsung menemukan keberadaan Gia. Tangannya cepat melepaskan ikatan yang membelenggu wanita cantik itu, lalu menggendongnya keluar.“Ray?” Suara Gia lirih dan lemas. Gia terlalu banyak menghirup gas dari asap tersebut. Pandangannya yang kabur masih mengenali sosok yang kini menyelamatkannya.Tanpa mereka ketahui, dalam kega
“Kamu bilang lokasi ini tak akan terdeteksi? Apa ini? Mereka menemukan keberadaan kita.”Suara David menggema penuh amarah, memenuhi salah satu ruang gedung terbengkalai. Dinding di sekelilingnya sudah berjamur dan sebagian plafon mengelupas. Satu kaca jendela sudah terganti dengan triplek.Bau lumut basah dan lantai berdebu menyeruak hidung. Tangan David mengudara, bersiap melayangkan tamparan pada dua pria berpakaian serba hitam di hadapannya. Namun, suara tawa kecil penuh ejekan menghentikannya.Tawa dari Gia yang kini terikat pada kursi kayu. Wanita itu sama sekali tak merasa terintimidasi, apalagi cemas. Tentu saja wajah David semakin murka saat menatap wajahnya.“Percuma saja kamu menyandera aku, David,” ucap Gia semakin mengejek. Kemudian dia melirik pada Grace yang sama murka seperti David, lalu tersenyum miring. “Kalian hanya membuang waktu saja.”Dalam hati, Gia cemas, bingung dan penuh tanya. Dia yakin, Ray tak bergerak sendiri atau menemukan lokasinya saat ini. Mereka bisa
“Tolong jelaskan padaku, apa yang terjadi!” pinta Ray seraya mengatur posisi duduk di tengah pesatnya laju mobil yang membawanya.Kedua anak kecil itu langsung menoleh. Wajah Ray terlihat cemas dan bingung. Claire lantas menangguk, setelah keduanya saling bertukar pandang, isyarat pemikiran mereka sama.“Anda bawa laptop?” tanya Charlie tiba-tiba.Sontak saja kening Ray mengkerut, tak mengerti dengan pertanyaan pria kecil tersebut. Tatapannya lantas berpindah pada Claire yang duduk tepat di sampingnya, menjadi penghubung Ray dan Charlie. “Aku yang akan menjelaskannya, tetapi biarkan Charlie bekerja agar tak membuang waktu,” papar Claire menyadari tatapan tanyanya Ray.Sementara Doni, sopirnya, sangat terlatih. Baginya, jalan raya yang ramai dan padat, bak sirkuit balap. Apalagi mobil milik Ray memiliki semua fasilitas mewah yang tak perlu diragukan. Sekalipun mobil terseok saat mendahului beberapa kendaraan di hadapannya, para penumpangnya tak terlalu terguncang.Menyadari lampu lalu
Claire mendesis kesal. Mereka tersudut dan terkepung. Suara derap langkah sepatu pantofel semakin mendekat dari segala arah.Charlie langsung menolak panggilan dan mengaktifkan mode senyap. Napas keduanya terputus-putus, tapi akal dan pikiran bekerja lebih cepat, mencari cara untuk meloloskan diri di antara mobil-mobil yang berdekatan. Hingga akhirnya tatapan Claire tertuju pada kerikil kecil di dekat kakinya.“Charlie, buat kekacauan besar!” seru Claire memberi perintah tanpa suara.Pikiran keduanya seolah sudah terhubung. Tanpa memberi penjelasan, Charlie mengangguk mengerti. Dengan gerakan cepat, keduanya meraih beberapa batu kelikir, lalu bersamaan melemparnya ke arah mobil-mobil di sekitar mereka.Seketika alarm kendaraan di sana berbunyi saling bersahutan. Cukup untuk mengecoh fokus para pria yang mengejar keduanya. Detik berikutnya napas kedua bocah kecil itu tertahan. Tatapan mata mereka tertuju pada ujung sepatu pantofel yang mengintip di kedua sisi mobil tempat mereka bersem