“Tuan, apa tidak sebaiknya mengatakan yang sebenarnya pada Tuan Ray tentang Nona Gia?”
Adam—asisten pribadinya Wilson memberikan usul, tetapi Wilson langsung menggelengkan kepalanya. Setelah memastikan cucunya meninggalkan hotel tanpa ada yang memata-matai, Wilson langsung memilih pulang. Ray yang seorang pewaris harus menjaga imejnya dari kejaran para wartawan berita.
“Ray harus bisa menghargai ketulusan dan pengorbanan Gia. Dia harus tahu kalau wanita itu sangat berharga,” ucap Wilson dengan tatapan berat.
“Tapi, Grace, semakin berani dan Tuan Ray menjadi semakin tak terkendali,” balas Adam mengutarakan pendapatnya.
Wilson hanya terdiam. Pikirannya terasa penuh, hingga dia harus memijat kepalanya. Dadanya bahkan terasa sesak, hingga dia harus menghela napas panjang agar bisa melegakannya.
“Tuan, Anda tidak apa-apa?” tanya Adam cemas.
“Aku baik-baik saja, Adam!” jawab Wilson tanpa menoleh dan terus memegangi dadanya yang terasa semakin menghimpit jantung.
Adam merasakan ponselnya bergetar. Ia segera meminta izin untuk menjawab panggilan itu. Dalam sekejap, raut wajahnya berubah tegang saat mendengar suara di ujung telepon.
Setelah panggilan berakhir, Adam dengan cepat menggulir layar ponselnya. “Tuan, lihat ini,” ucapnya sambil menyerahkan ponsel kepada Wilson.
Wilson mengambil kaca mata bulat dari saku jasnya, mengenakannya dengan tergesa, lalu memeriksa layar ponsel Adam. Mata tua Wilson langsung membelalak. Sebuah video dari pesta tadi malam tersebar di media sosial.
Meski wajah Gia dan Grace dalam video itu disamarkan, komentar-komentar di bawahnya penuh hujatan kepada wanita cacat. Wajah Wilson memerah, amarah meluap. Ia melemparkan ponsel kembali pada Adam.
“Bereskan semuanya sekarang!” perintahnya dengan nada menahan amarah.
“Baik, Tuan!” jawab Adam cepat. Ia langsung menghubungi beberapa orang.
Sementara Wilson tampak semakin gelisah. Napasnya memburu, tangannya mencengkeram dada. Dadanya terasa dihimpit dan jantungnya terasa diremas kuat.
“Dadaku sakit sekali.” Wilson mengerang lirih.
“Tuan, kau baik-baik saja?” tanyanya Adam panik.
Wajah Wilson pucat, keringat dingin mengucur deras. Adam semakin panik dan segera menghentikan panggilannya. “Ke rumah sakit, sekarang!” perintah Adam kepada sopir.
Tanpa menunda, sopir itu mempercepat laju mobil. Wilson terkulai, erangan kecil terus keluar dari mulutnya. Adam menggenggam tangannya erat, berharap mereka tidak terlambat.
Sementara Gia baru selesai membasuh wajahnya. Semalaman dia tak bisa tidur. Gia menatap pantulan wajahnya pada cermin kamar mandi, seraya memikirkan cara untuk keluar dan bebas.
Rangkaian kejadian tadi malam menyadarkanya, jika dia berada di tempat yang salah. Keberadaannya tak pernah dihargai oleh Ray. Gia tersenyum yakin setelah menemukan sebuah ide untuk terbebas, lalu bergegas keluar dari kamar mandi.
Gia terkejut saat membuka pintu, Ray berada di kamarnya dengan tatapan penuh amarah. Wanita itu refleks memundurkan langkah kakinya dengan perasaan cemas.
Belum pernah dia melihat Ray menatapnya berapi-api seperti itu. Lelaki itu terus mendekat secara perlahan seolah siap menerkamnya hidup-hidup. Tenggorokan Gia terasa tercekak, membuatnya kesulitan bersuara. Hingga akhirnya Ray berhasil mengekang geraknya, menyudutkannya ke dinding.
“Apa yang kamu lakukan pada kakekku, sehingga dia begitu tunduk padamu?” tanya Ray dengan tatapan tajamnya.
“A—apa yang kamu bicarakan, Ray? Aku tak mengerti,” jawab Gia terbata dan nadanya bergetar, cemas serta takut.
Ray berdesis sinis. “Tak usah pura-pura tak mengerti. Kamu pasti tahu kalau Kakek Wilson begitu mempertahankan keberadaanmu di sisiku,” ujarnya.
Gia menelan saliva cemasnya. Ray semakin mengerikan, hingga membuatnya merasa tak berdaya. Tangan kekar Ray lantas mencengkram rahang Gia kuat.
“Katakan apa yang kau sembunyikan dariku?!” Ray membentak, matanya menatap tajam wajah Gia yang pucat. “Aku tahu kakekku tidak mudah percaya pada orang asing.”
“Aku tidak menyembunyikan apapun, Ray!” Gia merintih. Wajahnya menegang, cengkeraman Ray pada rahangnya semakin kuat.
“Jangan bohong!” Ray berteriak.
Tatapan Ray tiba-tiba bergeser ke tubuh Gia, yang masih terbalut handuk kimono tipis setelah mandi. Ia memicingkan mata, senyum sinis terukir di bibirnya.
“Kenapa ditutupi?” Ray mencibir saat Gia buru-buru menarik handuknya, mencoba menutupi bagian tubuh yang terekspos. “Apakah itu yang kau tawarkan pada kakekku untuk mendapatkan tempat di sini?”
Gia tersentak, tatapan terkejutnya beralih menjadi kemarahan. Ia merasa direndahkan oleh tuduhan keji Ray. Cengkeraman Ray pada rahangnya melemah, dan Gia tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Ray, membuat wajahnya terpaksa berpaling. Pipinya memerah, sisa panas tamparan terasa menyengat. Ray mematung sesaat, matanya membelalak tak percaya. Dalam satu hari, ini adalah tamparan kedua, pertama dari kakeknya, dan sekarang dari Gia.
“Kau berani menamparku?!” Ray berteriak penuh amarah.
“Kamu sudah keterlaluan, Ray!” balas Gia dengan suara tegas. Dia hanya mempertahankan harga dirinya.
Ray terkejut. Ini pertama kalinya Gia melawan. Biasanya, Gia memilih diam dan menundukkan kepala setiap kali ia melontarkan kata-kata kasar.
“Kau pikir kamu siapa, hah? Jalang seperti kamu pasti memanfaatkan kakekku! Apa kamu memohon-mohon agar dia menikahkanku denganmu?” ucap Ray menuduh, tetapi lebih seperti penghinaan.
Gia melotot dan napasnya memburu. Belum sempat ia membalas, tatapan Ray kembali turun, menelusuri tubuhnya. Pandangan lelaki itu berubah, penuh hasrat dan gairah.
Tanpa aba-aba, Ray menarik tubuh Gia dengan kasar dan mendorongnya ke kasur. Gia tersentak, berusaha bangkit, tetapi Ray sudah menindihnya.
“Apa yang mau kau lakukan? Hentikan, Ray!” Gia meronta, kedua tangannya berusaha mendorong dada lelaki itu.
Namun, Ray tak peduli. Nafsu dan kemarahan telah menguasainya. Dalam pikirannya, Gia adalah wanita licik yang tak pantas dihormati. Gia terus melawan, tubuhnya meronta di bawah Ray.
“Lepaskan aku, Ray! Kau gila!” Gia berteriak keras. Panik dan marah menguasai dirinya.
Air mata dan teriakan Gia justru semakin memacu adrenalinnya. Ray tersenyum puas melihat Gia tersiksa. Dia tak mengizinkan Gia melawan.
“Kalau kau menyentuhku, aku tak akan diam saja, Ray. Kau akan menyesal!”
"Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar
“Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja
“Apa itu? Hampir saja tak terlihat,” celetuk salah satu karyawan di ruang keamanan IT.Beberapa orang yang berada di sebelahnya langsung menoleh dan menatap layar di hadapan karyawan tadi. Tatapan karyawan tadi tampak tajam dan tangannya piawai mengetik beberapa rumus untuk mendeteksi pergerakan sinyal yang muncul pada data base-nya. Sementara mereka yang mendekat tadi melihat layar tersebut penasaran.“Mungkinkah itu penyusup yang mencuri data perusahaan?” tebak yang lainnya dan langsung dijawab anggukan rekan-rekannya.Karyawan tadi yang bernama James, tak menjawab. Dia masih menunggu layar monitor miliknya memproses data hingga selesai. Keningnya mengkerut, begitu juga dengan rekan-rekannya dan mereka dapat mengartikan hasil yang tertera di pada layar monitor tersebut.“Statusnya akses diizinkan? Siapa yang menerobos masuk cepat?” ujar James bingung.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian berkumpul dan terus berbual?” Suara lantang dan tegas hampir mengejutkan mereka yang tengah
Tanpa sadar Gia sudah memasuki akun miliknya yang tersambung dengan perusahaan Ray. Dia mencari tahu penyebab perusahaan itu menjadi tak stabil. Mungkin karena rasa penasarannya lebih tinggi dan kalah oleh perasaan sakit hati serta prinsip yang sudah dibuatnya, untuk tak terlibat dengan Ray.Matanya memicing, menelusur dan mencari penyebab kekacauan di sana. Hanya deretan angka dan huruf yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya Gia menyadari hal ganjil di sana. Entah sadar atau tidak, tangannya menggeser mouse, hingga kursor pada layar laptopnya bergerak sesuai keinginan Gia. Layar di hadapannya menampilkan tanda sedang memuat data. Gia menatap layar laptopnya dengan cemas, seraya menggigit kuku jari jempolnya.“Apa ini?” gumam Gia sedikit terkejut.Gia berhasil menemukan sebuah data ilegal di sana dan menjadi penyebab keganjilan. Rasa penasarannya semakin meninggi membuatnya semakin jauh mencari tahu. Matanya terus tertuju pada layar dan tak berkedip sekali pun, menandakan dia
“Tapi, aku sudah tak memiliki wewenang untuk itu semua. Maaf.” Suara Gia terdengar berat dan sungkan.Adam mengangguk dan tetap tersenyum ramah. Dia bisa merasakan tatapan Gia, ada rasa berat, cemas, dan juga amarah yang terpendam. Tentunya, dia tahu apa yang alami Gia dulu.“Saya bisa mengerti, Nona Gia. Tidak perlu merasa bersalah,” ucap Adam mencoba memecahkan kecanggungan.Gia tersenyum tipis. Dulu, dia akan selalu terbuka pada Adam. Lelaki paruh baya di hadapannya begitu perhatian, bukan karena tugasnya sebagai asisten pribadi Wilson dulu. Akan tetapi, Gia merasakan tulusnya perhatian Adam, seperti seorang ayah pada anak perempuannya.Itulah kenapa Gia tak merasa cemas atau panik saat Adam muncul, walaupun di bagian dari perusahaannya Ray. Adam bisa menempatkan dirinya sebagai seorang pelindung dan profesional dalam pekerjaan. Gia pun akhirnya membalas senyuman tulus dan ramahnya Adam.“Astaga, aku lupa menyuguhkan minuman untukmu. Anda mau minum apa Pak Adam ... teh, kopi atau j
Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men