Gia terdiam dan membeku. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan Nenek Nesa. Wanita itu menunduk mencoba mencari jawaban yang tepat.
“Aku dan dia memutuskan untuk berpisah, Nek,” jawab Gia pelan sekali.
Bukan tak ingin menceritakan yang sebenarnya. Menurut Gia, dia tak perlu menceritakan derita dan sakit hatinya pada orang lain. Itu sama saja membuka luka di hatinya, pikir Gia.
Lebih baik fokus pada dirinya dan kandungannya saat ini. Tak ada waktu untuk mengingatnya atau mengenangnya. Gia hanya perlu mengubur semua itu dan itu adalah keputusan yang baik, yakinnya.
“Jadi, dia tidak tahu kalau kamu sedang hamil?” tanya Nenek Nesa dengan suara lembut.
Gia menggeleng, lalu tersenyum getir. “Lebih baik dia tak perlu tahu, Nek,” jawabnya.
Kulit tangan keriputnya Nenek Nesa membelai lembut rambut Gia, hingga wanita itu mendongakan wajahnya. Nenek Nesa tersenyum memberikan dukungan. Hati Gia terasa damai, merasa diperhatikan.
“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, maka aku hanya bisa mendukungmu. Aku harap kamu tak akan menyesalinya suatu hari nanti,” ucap Nenek Nesa lembut dan penuh pengertian.
Tentu saja Gia tak akan menyesalinya. Keputusan meninggalkan Ray saja sudah sangat tepat. Dia akan hidup damai di sini dengan anak-anaknya kelak.
Di sini Gia mendapatkan banyak perhatian. Warga desa memperlakukan Gia dengan baik. Hingga tak terasa kehamilannya terus berkembang dengan baik dan tiba waktunya melahirkan.
Gia melahirkan di desa itu, tak ada waktu membawanya ke pusat pelabuhan, melahirkan di klinik. Mereka mengandalkan seorang tabib desa yang dikenal sangat telaten. Dengan penuh perjuangan Gia melahirkan dua bayi kembar, lelaki dan perempuan.
Kelahiran dua bayi Gia membawa kebahagiaan warga di Desa itu. Dua bayi itu dianggap anugerah dan kelahiran kembar yang jarang terjadi. Mereka bersuka cita.
“Bibi Gia, aku boleh memberikan nama untuk bayimu?” tanya Lisa, gadis kecil yang selama ini menjadi teman dan sahabat Lisa di sana.
Tina memberikan tatapan protes pada putrinya, tetapi Gia yang masih terlihat kelelahan setelah perjuangan panjang mengangguk setuju. “Tentu saja. Apa nama yang ingin kamu berikan?” tanyanya.
“Bagaimana kalau Charlie dan Claire? Kedua nama itu memiliki arti pemberani, cerdas dan ceria ... aku pernah membaca arti nama itu di buku pelajaranku,” jelas Lisa memberi usul.
“Wah, itu sangat menarik. Aku suka,” jawab Gia diakhiri senyuman lebarnya. “Charlie Laffin dan Claire Laffin. Aku menggunakan nama belakang nenekku, Maria Laffin.”
Kedua bola mata Lisa langsung berbinar. “Benarkan Bibi setuju?” tanyanya meyakinkan.
Lisa mengangguk dan tersenyum senang. Nenek Nesa dan mereka yang mendapingi proses kelahiran Gia turut bahagia. Hidup Gia menjadi sangat lengkap dan berwarna.
“Sarah, bukankah kamu adalah tabib yang handal, bisakah kamu menyembuhkan kakinya Gia?” Suara Nenek Nesa hampir mengejutkan Gia.
Wanita tua itu bertanya pada tabib yang membantu proses kelahiran Gia. Tabib wanita itu tak segera menjawab. Dia lantas mendekat pada Gia dan meminta izin memeriksa kaki kirinya.
Tangannya terasa panas saat menyentuh pangkal paha Gia. Sarah memejamkan kedua bola matanya, seolah merasakan sesuatu di sana. Kemudian dia membuka matanya disusul senyuman yang terukir lebar.
“Tentu saja aku bisa melakukannya,” katanya pada Nenek Nesa.
Kemudian Sarah menatap Gia dengan tatapan cemas. “Aku bisa membuat kakimu bisa berjalan dengan normal, tetapi prosesnya akan sedikit menyakitkan ... karena aku membenarkan beberapa saraf pada kakimu. Mungkin harus dilakukan beberapa kali sampai benar-benar sembuh. Apa kamu bisa menahannya?”
Gia melongo. Bukan karena membayangkan rasa sakitnya, tetapi ia seolah tak percaya. Bukankah dokter sudah mengatakan kalau kakinya mengalami cacat permanen.
“Tentu saja aku pasti bisa menahannya,” ucap Gia dengan air mata haru yang mengalir deras.
Pastinya Lisa akan bisa menahannya, jika memang benar kakinya bisa berjalan dengan baik lagi. Rasa syukur tak henti terucap dari bibirnya. Gia merasa datang ke tempat yang tepat.
Ternyata ucapan Sarah memang benar. Wanita berusia 65 tahun itu memberikan beberapa pijatan pada titik-titik tertentu pada tubuh Gia, tetapi rasa sakitnya hampir tak tertahankan. Gia tetap menahannya dan Sarah pun melakukannya hingga beberapa kali pertemuan.
Seraya mendapatkan pengobatan, Gia merawat Charlie dan Claire yang tumbuh dengan baik. Bahkan sangat baik, dibantu oleh Nenek Nesa, dan warga lainnya yang selama ini mendukung Gia. Tentunya Lisa, gadis kecil itu ikut merawat si kembar.
Semakin bertambahnya usia, wajah si kembar menunjukkan kemiripan yang identik. Wajah keduanya mirip dengan Ray, termasuk hidung, alis dan bentuk bibirnya. Namun, iris mata keduanya mirip dengan Gia.
“Kenapa harus ada kemiripan dengan Ray?” gumam Gia tiba-tiba terasa berat saat menyadari itu semua.
Gia segera menggelengkan kepalanya cepat. “Apa yang kamu tanyakan, Gia? Mereka itu adalah anak-anakku, tak sepantasnya kamu mengeluhkan hal itu. Yang terpenting mereka sehat dan tumbuh dengan kasih sayang yang cukup ... cukup darimu saja,” tegasnya.
Setelah Charlie dan Claire bisa berjalan, Sarah sudah berhasil mengobati kakinya. Gia kini bisa berjalan dengan baik. Akan tetapi, sebuah kekhawatiran muncul dalam benak Kakek Fred dan Nenek Nesa saat si Kembar memasuki usia sekolah.
“Gia, apa tidak sebaiknya Charlie dan Claire bersekolah di Kota saja. Di sana pendidikan mereka lebih terjamin. Aku merasakan kecerdasan si Kembar sangat luar biasa, bahkan bisa jauh darimu. Percayalah,” saran Nenek Sena.
“Aku pun merasakan hal yang sama, Gia. Charlie, dia pendiam, tapi sangat pintar dan Claire ... dia sangat pemberani, meskipun perempuan.” Kakek Fred mendukung ucapan istrinya.
Gia terdiam. Sebagai ibu, tentu saja dia merasakan hal itu semua. Kedua anaknya berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan yang terbaik.
“Soal biaya, kamu tak perlu cemas. Sebagian lahan di Desa ini adalah milik nenekmu. Aku mengelolanya dengan baik,” kata Nenek Nesa mengira diamnya Gia karena uang. “Selama ini aku gunakan untuk pembangunan desa. Sepertinya sudah saatnya untuk bekal kamu dan kedua anakmu,” tambahnya.
“Bukan itu yang aku cemaskan, Nek. Hanya saja aku bingung mulai dari mana,” balas Gia langsung.
Perjalanan hidupnya terasa berjalan dengan baik. Namun, itu justru membuatnya cemas. Jika kembali ke kota, berarti dia harus berjuang di sana lagi dan bukan tidak mungkin akan bertemu dengan Ray.
Namun, Charlie dan Claire harus mendapatkan pendidikan serta kehidupan yang terbaik. Kota di sana itu sangat luas. Kenapa harus cemas jika bertemu dengan Ray? Gia bisa memilih sisi lain yang tak sulit dijangkau oleh Ray.
“Ibu, kenapa dia belum bangun juga?” tanya Claire menatap cemas.Wajah Ray terlihat tenang, tampak tertidur pulas. Sudah 4 jam pasca operasi, belum juga menunjukkan tanda akan sadar. Suara monitor tetap stabil, tetapi membuat mereka cemas.“Ah, dia bangun,” seru Charlie menunjuk jari telunjuk Ray yang bergerak perlahan.“Kamu benar.” Claire berseru riang.Napas Gia berembus lega. Serentak mereka menatap wajah Ray yang menunjukkan tanda-tanda tersadar. Kelopak matanya sedikit bergetar dan mulai terbuka perlahan, sementara bibirnya bergerak pelan.“Ray, kamu sudah sadar?” Suara Gia bergetar, disusul air mata haru. “Sebentar, aku panggilkan dokter!” serunya.Gerakan Gia terhenti. Tangan lemas Ray langsung tangannya. Gia urung bergerak dan kembali menatap wajah Ray.“Aku tidak akan pergi. Aku hanya akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu,” katanya lembut. Gia lantas tersenyum, mengartikan reaksi Ray yang mencemaskan dirinya.Mata Ray mengedip, isyarat persetujuan. Kemudian tangan
“Tuan Ray kehilangan banyak darah, tetapi syukurlah ... operasinya berjalan dengan baik. Kami akan memindahkan Tuan Ray ke ruang perawatan dan terus memantau perkembangan.”Penjelasan singkat dari dokter tersebut langsung membuat napas Gia berembus lega. Pintu ruang operasi terbuka lebar, memberi jalan pada ranjang brankar membawa tubuh Ray keluar. Namun, tubuh Gia mematung, tak tubuh Ray yang dibawa menjauh.“Ada apa, Nona Gia?” tanya Adam dengan kening mengkerut.Gia menunduk sejenak, lalu menggeleng. Kemudian dia tersenyum tipis pada pria di hadapannya. “Tidak apa-apa Adam. Aku lega dan bersyukur Ray baik-baik saja,” katanya.“Tolong jaga dan rawat Ray untukku,” sambung Lisa seraya menepuk lengan Adam pelan. “Aku percayakan dia padamu,” tambahnya.“Kenapa Nona ...?” tanya Adam terhenti, tetapi mengurungkan langkah kaki Gia yang hendak memutar.Adam menatapnya lekat. Terlihat jelas garis keraguan pada wajah Gia. Perasaan bersalah yang berat, seolah menahan wanita di hadapannya untuk
Asap hitam keabu-abuan mengepul memenuhi seluruh ruangan dan langsung menyesakkan dada. Pandangan mereka yang ada di sana langsung kabur dan tak jelas, tetapi indera pendengaran mereka menangkap jelas suara derap langkah pasukan terlatih mendekat.Brak! Pintu ruangan langsung terbuka. Beberapa petugas berpakaian serba hitam, lengkap dengan rompi anti peluru, senjata laras panjang di tangan dan masker oksigen, serta kaca mata pelindung. Mereka semua adalah pasukan terlatih keamanan perusahaan Wish Group Company.Mereka sigap menyergap musuh sesuai instruksi dalam diam. Tak lama Ray ikut masuk, hanya menggunakan masker oksigen dan kaca mata pelindung. Pria itu sigap langsung menemukan keberadaan Gia. Tangannya cepat melepaskan ikatan yang membelenggu wanita cantik itu, lalu menggendongnya keluar.“Ray?” Suara Gia lirih dan lemas. Gia terlalu banyak menghirup gas dari asap tersebut. Pandangannya yang kabur masih mengenali sosok yang kini menyelamatkannya.Tanpa mereka ketahui, dalam kega
“Kamu bilang lokasi ini tak akan terdeteksi? Apa ini? Mereka menemukan keberadaan kita.”Suara David menggema penuh amarah, memenuhi salah satu ruang gedung terbengkalai. Dinding di sekelilingnya sudah berjamur dan sebagian plafon mengelupas. Satu kaca jendela sudah terganti dengan triplek.Bau lumut basah dan lantai berdebu menyeruak hidung. Tangan David mengudara, bersiap melayangkan tamparan pada dua pria berpakaian serba hitam di hadapannya. Namun, suara tawa kecil penuh ejekan menghentikannya.Tawa dari Gia yang kini terikat pada kursi kayu. Wanita itu sama sekali tak merasa terintimidasi, apalagi cemas. Tentu saja wajah David semakin murka saat menatap wajahnya.“Percuma saja kamu menyandera aku, David,” ucap Gia semakin mengejek. Kemudian dia melirik pada Grace yang sama murka seperti David, lalu tersenyum miring. “Kalian hanya membuang waktu saja.”Dalam hati, Gia cemas, bingung dan penuh tanya. Dia yakin, Ray tak bergerak sendiri atau menemukan lokasinya saat ini. Mereka bisa
“Tolong jelaskan padaku, apa yang terjadi!” pinta Ray seraya mengatur posisi duduk di tengah pesatnya laju mobil yang membawanya.Kedua anak kecil itu langsung menoleh. Wajah Ray terlihat cemas dan bingung. Claire lantas menangguk, setelah keduanya saling bertukar pandang, isyarat pemikiran mereka sama.“Anda bawa laptop?” tanya Charlie tiba-tiba.Sontak saja kening Ray mengkerut, tak mengerti dengan pertanyaan pria kecil tersebut. Tatapannya lantas berpindah pada Claire yang duduk tepat di sampingnya, menjadi penghubung Ray dan Charlie. “Aku yang akan menjelaskannya, tetapi biarkan Charlie bekerja agar tak membuang waktu,” papar Claire menyadari tatapan tanyanya Ray.Sementara Doni, sopirnya, sangat terlatih. Baginya, jalan raya yang ramai dan padat, bak sirkuit balap. Apalagi mobil milik Ray memiliki semua fasilitas mewah yang tak perlu diragukan. Sekalipun mobil terseok saat mendahului beberapa kendaraan di hadapannya, para penumpangnya tak terlalu terguncang.Menyadari lampu lalu
Claire mendesis kesal. Mereka tersudut dan terkepung. Suara derap langkah sepatu pantofel semakin mendekat dari segala arah.Charlie langsung menolak panggilan dan mengaktifkan mode senyap. Napas keduanya terputus-putus, tapi akal dan pikiran bekerja lebih cepat, mencari cara untuk meloloskan diri di antara mobil-mobil yang berdekatan. Hingga akhirnya tatapan Claire tertuju pada kerikil kecil di dekat kakinya.“Charlie, buat kekacauan besar!” seru Claire memberi perintah tanpa suara.Pikiran keduanya seolah sudah terhubung. Tanpa memberi penjelasan, Charlie mengangguk mengerti. Dengan gerakan cepat, keduanya meraih beberapa batu kelikir, lalu bersamaan melemparnya ke arah mobil-mobil di sekitar mereka.Seketika alarm kendaraan di sana berbunyi saling bersahutan. Cukup untuk mengecoh fokus para pria yang mengejar keduanya. Detik berikutnya napas kedua bocah kecil itu tertahan. Tatapan mata mereka tertuju pada ujung sepatu pantofel yang mengintip di kedua sisi mobil tempat mereka bersem