Gia tersentuh dengan kepedulian Tina dan warga desa yang mencemaskannya, hanya karena dirinya muntah. Setelah tiba di pelabuhan Gia memutuskan untuk ke klinik. Dia perlu memastikan rasa cemas akan dugaannya sendiri.
“Kalau begitu aku temani Bibi Gia.” Lisa, gadis kecil itu menawarkan diri. “Walaupun aku masih kecil, tapi aku bisa membantu dan menjagamu, Bibi,” tambahnya antusias.
Tampaknya Lisa sangat peduli padanya. Tina yang berada di sebelahnya pun mengangguk, begitu juga yang lainnya. Namun Gia menggeleng, lalu tersenyum.
“Tidak usah, Sayang. Kamu temani dan bantu ibumu saja!” ucap Gia seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat jelas wajah Lisa.
“Tapi.” Suara Lisa lemah dan menunjukkan wajah protes.
Gia menggeleng, lalu tersenyum. Saat dia hendak bersuara, Tina menyela, “Aku setuju dengan Lisa, Gia! Lebih baik dia ikut denganmu. Percayalah, Lisa tahu lingkungan pelabuhan ini ... kamu bisa mengandalkannya,” jelasnya.
“Aku takut kamu akan tersesat dan kesulitan mencari jalan pulang. Dengan begitu aku dan yang lainnya tak akan terlalu mencemaskanmu.” Tina menambahkan, meyakinkan Gia.
Mereka yang berada di sana mengangguk. Tentu saja Lisa tersenyum senang, merasa mendapatkan dukungan. Akhirnya Gia pun mengangguk dan bersedia ditemani Lisa.
Gadis kecil itu langsung menuntunnya penuh perhatian menuju klinik kecil di sana. Hanya ada satu klinik, tetapi tak terlalu ramai. Tanpa basa basi, Gia langsung menyampaikan keluhan dan dugaannya setelah bertemu dengan dokter.
Sementara Lisa diminta untuk menunggu di luar. Gia diberikan beberapa jajanan ringan agar dia tak jenuh menunggunya. Wajah Gia tampak gelisah menunggu penjelasan dokter di hadapannya.
“Sepertinya dugaanmu benar, Bu. Lihatlah testpack ini menunjukkan garis dua, artinya kamu hamil! Selamat atas kehamilanmu,” jelas dokter itu seraya menunjukkan benda pipih di tangannya.
Dunia Gia terasa berhenti di tempat. Ia meraba perutnya yang masih datar. Di dalam sana sudah ada kehidupan baru, benih dari Ray.
Entah apa yang dirasakannya saat ini. Yang jelas Gia sangat terkejut hingga tak mampu berkata apa-apa. Wajahnya datar tanpa ekspresi hingga beberapa saat.
“Mari, saya akan tunjukkan kondisi kehamilanmu,” uca si Dokter membuyarkan ekspresi datarnya Gia.
Dokter itu menunjuk ranjang di sampingnya. Gia bingung, tetapi dia hanya bisa menurut. Hatinya campur aduk, haruskan dia bergembira untuk kehamilannya.
Gia terus tenggelam dalam rasa bingungnya. Dia hanya memperhatikan dokter yang tengah fokus pada peralatan yang diketahuinya selalu digunakan untuk memeriksa kehamilan. Hingga dokter itu tersenyum melihat layar datar di hadapannya.
“Wah, calon bayimu kembar, Bu,” ucap dokter itu seraya menunjuk layar di hadapannya. “Detak jantungnya sudah terdengar,” tambahnya.
“Mereka pasti akan menjadi anak-anak yang hebat. Sekali lagi selamat, ya Bu.”
Sungguh Gia semakin terkejut, hingga rasa bingungnya sulit untuk diungkapkan. “Aku hamil dan ini anaknya Ray? Bukan satu bayi, tetapi dua?” gumamnya tak jelas.
Ada rasa marah dan kesal, kenapa dia harus hamil anaknya Ray? Akan tetapi saat dia meraba perutnya yang masih datar, hati nuraninya menentang. Janin dalam kandungannya tak bersalah.
Perlahan senyuman terukir dan menghiasi wajah cantiknya. Bagaimanapun prosesnya, dia harus menjaganya dengan baik. Benar, Gia harus merawatnya sepenuh hati. Setidaknya kehadiran mereka tak akan membuat hidupnya kesepian.
Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, Gia keluar dengan perasaan lega. Dia harus benar-benar berhati-hati, ada nyawa yang harus dijaganya dengan baik. Tiba-tiba fokus Gia berpindah pada suara televisi di lobi klinik.
Siaran berita yang menjadi penghibur pasien di ruang tunggu menarik perhatian Gia. Timeline berita di sana tertulis, Wilson Anderson, pemilik perusahaan Wish Group Company meninggal dunia. Bibirnya bergetar, seolah tak percaya.
“Tuan Wilson meninggal?” gumamnya pelan sekali.
Hari ini dua mendapatkan dua berita mengejutkan. Kematian Wilson membuatnya sedikit merasa bersalah. Walaupun Gia membenci Ray—cucunya Wilson, tetapi kakek tua itu yang selama ini menghargainya dan membiayai hidupnya.
Tentu saja Gia turut bersedih. Namun, dia tak perlu ke sana untuk menunjukkan kesedihannya. Gia sudah memutuskan untuk tak lagi terlibat dengan mereka.
“Semoga kamu tenang di sana, Tuan Wilson. Aku akan selalu mendoakanmu,” ucap Gia tulus. Kemudian dia meraba perutnya. “Aku akan menjaga dan merawat cicitmu dengan baik. Bagaimanapun juga, aku tak bisa menentang kalau aku mengandung benih dari cucumu. Aku harap kamu memaafkanku yang terpaksa pergi.”
Tak ingin larut dalam rasa bersalah, Gia langsung melangkah pergi. Tak lupa dia menghampiri Lisa yang masih setia menunggu. Tampaknya gadis kecil itu kekenyangan.
“Oh, Bibi Gia sudah selesai?” tanya Lisa menyadari kehadirannya.
Gia hanya mengangguk dan tersenyum. Tiba-tiba wajah Lisa berubah muram, hingga Gia mengerutkan dahinya. “Ada apa, Lisa?” tanyanya cemas.
“Maaf, aku menghabiskan makanan pemberianmu,” jawab Lisa penuh sesal, seolah itu adalah kesalahan besar.
Sontak saja Gia tertawa. “Kenapa kamu harus merasa bersalah. Aku senang kalau kamu menghabiskannya ... berarti kamu menghargai pemberianku,” katanya.
“Tentu saja aku harus menghargainya,” seru Lisa kembali bersemangat. “Oh iya, bagaimana keadaanmu? Apakah Bibi Gia sakit parah?”
Lisa bertanya penuh perhatian seolah seperti dirinya adalah orang dewasa yang mencemaskan Gia. Senyuman Gia langsung terukir. Dia semakin terharu merasa sangat diperhatikan oleh gadis kecil seperti Lisa.
“Aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu dicemaskan,” jawab Gia mempertahankan senyumannya.
“Apakah Bibi Gia akan punya bayi?” tanya Lisa tiba-tiba.
Tatapannya tertuju pada foto USG di tangan Gia. “Aku pernah melihat foto seperti itu, milik Bibi Yuna. Kata ibuku Bibi Yuna akan punya bayi,” jelasnya.
“Kamu benar, aku akan punya bayi,” jawab Gia langsung.
Gadis kecil itu bersorak, seolah itu adalah berita menggembirakan. Namun, bukan hanya Lisa yang bersorak, warga desa pun turut bergembira mendengar kehamilannya. Mereka semakin memperhatikan Gia dengan baik.
Nenek Nesa dan Kakek Fred adalah orang yang paling bahagia. Mereka mengatakan kehadiran Gia membawa berkah. Bayi yang dikandung Gia adalah keturunan pulau itu, jadi harus diperlakukan dengan baik.
Gia semakin bahagia melihat antusiasnya mereka. Ini adalah tempat yang tepat untuk tetap bahagia.
“Nak, bagaimana dengan ayah dari bayimu?”
"Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar
“Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja
“Apa itu? Hampir saja tak terlihat,” celetuk salah satu karyawan di ruang keamanan IT.Beberapa orang yang berada di sebelahnya langsung menoleh dan menatap layar di hadapan karyawan tadi. Tatapan karyawan tadi tampak tajam dan tangannya piawai mengetik beberapa rumus untuk mendeteksi pergerakan sinyal yang muncul pada data base-nya. Sementara mereka yang mendekat tadi melihat layar tersebut penasaran.“Mungkinkah itu penyusup yang mencuri data perusahaan?” tebak yang lainnya dan langsung dijawab anggukan rekan-rekannya.Karyawan tadi yang bernama James, tak menjawab. Dia masih menunggu layar monitor miliknya memproses data hingga selesai. Keningnya mengkerut, begitu juga dengan rekan-rekannya dan mereka dapat mengartikan hasil yang tertera di pada layar monitor tersebut.“Statusnya akses diizinkan? Siapa yang menerobos masuk cepat?” ujar James bingung.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian berkumpul dan terus berbual?” Suara lantang dan tegas hampir mengejutkan mereka yang tengah
Tanpa sadar Gia sudah memasuki akun miliknya yang tersambung dengan perusahaan Ray. Dia mencari tahu penyebab perusahaan itu menjadi tak stabil. Mungkin karena rasa penasarannya lebih tinggi dan kalah oleh perasaan sakit hati serta prinsip yang sudah dibuatnya, untuk tak terlibat dengan Ray.Matanya memicing, menelusur dan mencari penyebab kekacauan di sana. Hanya deretan angka dan huruf yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya Gia menyadari hal ganjil di sana. Entah sadar atau tidak, tangannya menggeser mouse, hingga kursor pada layar laptopnya bergerak sesuai keinginan Gia. Layar di hadapannya menampilkan tanda sedang memuat data. Gia menatap layar laptopnya dengan cemas, seraya menggigit kuku jari jempolnya.“Apa ini?” gumam Gia sedikit terkejut.Gia berhasil menemukan sebuah data ilegal di sana dan menjadi penyebab keganjilan. Rasa penasarannya semakin meninggi membuatnya semakin jauh mencari tahu. Matanya terus tertuju pada layar dan tak berkedip sekali pun, menandakan dia
“Tapi, aku sudah tak memiliki wewenang untuk itu semua. Maaf.” Suara Gia terdengar berat dan sungkan.Adam mengangguk dan tetap tersenyum ramah. Dia bisa merasakan tatapan Gia, ada rasa berat, cemas, dan juga amarah yang terpendam. Tentunya, dia tahu apa yang alami Gia dulu.“Saya bisa mengerti, Nona Gia. Tidak perlu merasa bersalah,” ucap Adam mencoba memecahkan kecanggungan.Gia tersenyum tipis. Dulu, dia akan selalu terbuka pada Adam. Lelaki paruh baya di hadapannya begitu perhatian, bukan karena tugasnya sebagai asisten pribadi Wilson dulu. Akan tetapi, Gia merasakan tulusnya perhatian Adam, seperti seorang ayah pada anak perempuannya.Itulah kenapa Gia tak merasa cemas atau panik saat Adam muncul, walaupun di bagian dari perusahaannya Ray. Adam bisa menempatkan dirinya sebagai seorang pelindung dan profesional dalam pekerjaan. Gia pun akhirnya membalas senyuman tulus dan ramahnya Adam.“Astaga, aku lupa menyuguhkan minuman untukmu. Anda mau minum apa Pak Adam ... teh, kopi atau j
Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men