“Benarkah kamu adalah cucunya Maria Laffin?” tanya seorang wanita tua yang menyambut Gia di depan pintu masuk desa.
“Sepertinya memang benar, Nesa! Lihatlah wajahnya mirip dengan Maria saat masih muda,” tipal lelaki tua di samping wanita yang bertanya tadi.
Tampaknya mereka sebaya. Kemudian Gia menyerahkan selembar foto pada mereka. “Ini adalah fotoku saat kecil bersama Nenek Maria,” ucapnya menunjuk gadis kecil dalam pangkuan wanita tua.
Kedua pasangan itu memindai wajah Gia dan gadis kecil di sana. Bahkan lelaki tua itu harus memegangi kacamata bulatnya, memastikan tak salah melihat. Tak lama wajah tatapan mereka berbinar.
“Ya Tuhan. Maria, cucumu datang,” ucap wanita tua itu dengan wajah haru. “Panggil aku Nenek Nesa. Aku tetua di kampung ini yang menggantikan nenekmu,” katanya seraya menunjuk dirinya.
Kemudian dia menunjuk lelaki tua di sampingnya. “Ini suamiku, kamu bisa memanggilnya Kakek Fred,” sambung Nenek Nesa.
“Terima kasih, Nenek Nesa, Kakek Fred.” Gia membungkuk hormat pada mereka.
“Mari, Nak! Aku antar kamu ke rumah Maria,” ajak Nenek Nesa seraya merangkul Gia.
Senyuman Gia langsung mengembang sempurna. Dia berjalan mengikuti rangkulan Nenek Nesa. Hatinya merasa terharu mendapatkan sambutan baik di sana. Bahkan Kakek Fred meminta seseorang untuk membawakan bawaan Gia, walaupun hanya koper kecil dan tas berukuran sedang.
Tak banyak warga yang tinggal di sana. Mereka bahkan berdiri di sepanjang jalan masuk desa, menyambutnya dengan hangat. Jalanan di sana masih belum tersentuh aspal, hanya tanah gembur, tetapi sangat asri.
Aroma daun muda dari pepohonan yang rindang dan langit senja menambah kecantikan pemandangan desa. Lokasinya yang jauh dari pemukiman kota dan berada di pulau kecil, mungkin membuat desa itu sedikit ketinggalan dari kata modern dan kecanggihan teknologi.
Namun, itulah yang diinginkan Gia. Dengan begitu, keberadaanya tak akan bisa terdeteksi. Wanita itu benar-benar ingin menghilang.
“Inilah rumah nenekmu, Nak! Kami selalu merawatnya, mengingat pesan mendiang nenekmu untuk menjaga rumahnya dengan baik.” Suara Nenek Nesa menyadarkan lamunan Gia, tak terasa mereka berhenti di rumah dengan dinding kayu, khas tradisional dulu.
“Nenekmu selalu berkata kalau suatu hari nanti cucunya yang tinggal di kota, akan datang dan rumah ini akan menjadi tempatnya untuk menenangkan diri,” sambung Nenek Nesa haru. “Ternyata Maria benar,”
“Terima kasih, kamu sudah menjaga amanah nenekku,” balas Gia seraya genggaman tangan wanita tua di sampingnya.
Nenek Nesa membalas genggaman tangan Gia. “Tak perlu sungkan, Nak. Itu sudah menjadi kewajibanku,” katanya tulus.
“Nesa, sudah cukup! Biarkan dia beristirahat. Gadis itu pasti kelelahan setelah melewati perjalanan yang jauh.” Kakek Fred menegur.
“Ah, benar juga. Aku terlalu bahagia kedatangan cucunya Maria,” sahut Nenek Nesa diikuti tawa kecilnya, lalu menatap Gia dan berkata, “Istirahatlah, Nak. Nanti aku kirimkan makanan, kamu pasti lapar.”
Gia ingin menolak, tetapi dia merasa tak sopan. Wanita itu pun mengangguk dan memandangi kedua pasangan tua itu. Keduanya lantas menghalau warga yang sejak tadi memperhatikan Gia.
Namun, kali ini tatapan mereka bukan mengejek kondisi kakinya. Mereka seolah penasaran dan ingin mengenalnya lebih dekat. Desa ini tampaknya memang jarang kedatangan orang baru, sehingga membuat mereka sangat penasaran.
Mereka bahkan memberikan senyuman ramah pada Gia, sebelum memutar tubuh dan menuruti permintaan Nenek Sena agar tak mengganggunya. Setelah mereka menjauh, barulah Gia melangkah masuk ke dalam rumah tersebut. Senyumannya terus mengembang haru.
“Mereka benar-benar merawat rumah ini dengan baik,” gumam Gia melangkah masuk.
Hampir tak ada debu. Dapat dipastikan Gia akan betah tinggal di sana. Satu persatu ruangan dalam rumah sederhana itu dijajakinya.
Bayangan masa kecilnya saat bermain dengan sang nenek seakan berputar, hingga tak terasa air mata kerinduannya menetes. “Nek, aku datang berkunjung. Maaf, aku datang terlambat,” ucapnya lirih.
Tak ingin terbuai dengan kesedihan, Gia memilih bergegas membilas tubuhnya. Perjalanan yang jauh, membuat kulitnya terasa lengket. Tak butuh waktu lama, Gia sudah selesai membilas tubuhnya dan dia memilih menepati kamar neneknya. Hanya ada dua kamar tidur di sana.
Baru saja Gia hendak membaringkan tubuhnya, terdengar ketukan pintu. Nenek Nesa datang membawakan makanan untuknya, sesuai janjinya. “Kamu pasti lapar. Anggap saja ini ucapan selamat datang dariku,” katanya tulus.
“Jika kamu membutuhkan sesuatu, katakan saja. Rumahku yang itu,” sambung Nenek Nesa seraya menunjuk rumah kayu dengan cat hijau tua.
“Terima kasih banyak, Nek. Aku jadi merepotkanmu,” balas Gia tulus.
Wanita cantik itu benar-benar merasa terharu, hingga dia lupa tentang rasa sakit yang ditinggalkannya. Nenek Nesa tersenyum tulus, lalu membelai rambut Gia lembut. “Aku sama sekali tak merasa direpotkan, Nak. Justru aku merasa tersanjung ... kamu tak melupakan kampung halamanmu,” katanya lembut.
Gia benar-benar diterima di sana. Perlahan rasa sakit hatinya terobati. Wanita itu kini banyak tersenyum.
Setiap harinya selalu saja yang berkunjung memberikan makanan. Warga di sana sangat ramah dan membuatnya tak kesulitan berbaur dengan mereka. Hingga waktu terasa berlalu dengan cepat.
Gia merasakan banyak kebutuhan yang harus dibeli di pasar. Dia tak ingin terus mengandalkan pemberian warga, walaupun mereka memberinya dengan senang hati. Hingga pagi itu, Gia memutuskan untuk ikut dengan warga yang hendak mengirim hasil panennya ke pelabuhan.
“Hanya ada satu akses ke sana, pasarnya ada di pelabuhan. Biasanya kami akan sekalian berbelanja setelah menjual hasil panen,” jelas salah satu warga yang mengantar Gia.
Mereka benar-benar memperlakukan Gia dengan baik. Jasa neneknya yang dulu seorang tetua kampung, membuatnya sangat disegani, walaupun baru kali ini mereka melihatnya. Tak ada tatapan mencibir atau merasa jijik karena kakinya yang pincang.
“Bibi, apa kakimu sakit?”
Gia hampir terkejut saat seorang gadis kecil bertanya seraya menunjuk kaki kirinya. Dia adalah putri dari salah satu yang ikut dalam kapal menuju pelabuhan. Wanita bernama Tina itu menarik gadis kecil itu.
“Lisa, jaga bicaramu!” tegur Tina memberi nasehat. “Ayo, minta maaf pada Bibi Gia!” titahnya.
Tina merasa putrinya bertindak tidak sopan. Gadis kecil itu langsung menunduk. Tentu saja Gia merasa sungkan. “Tidak apa-apa, Bu Tina. Putrimu tidak bersalah.”
“Tidak boleh begitu, Gia. Lisa harus tahu sopan santun,” jelas Tina dengan wajah bersalahnya, lalu melirik putrinya.
“Maafkan aku sudah berbuat tidak sopan, Bibi,” ucap gadis kecil itu seraya menundukkan kepalanya.
Gia tampak bingung, tetapi haru. Wanita itu lantas mendekat dan berjongkok, hingga kini tinggi tubuhnya sama dengan Lisa. Kemudian Gia tersenyum padanya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Kamu pasti penasaran karena jalanku pincang?” tanya Gia mencoba membuat suasana hati gadis kecil itu nyaman.
Gadis kecill itu mengangguk. Gia pun tersenyum tipis. Dia merasakan tatapan Lisa adalah rasa iba dan peduli, bukan tatapan jijik seperti yang didapatkannya saat di kota.
Saat Gia hendak bersuara, tiba-tiba gelomang ombak menyapu badan kapal hampir mengejutkan seluruh penumpangnya. Perut Gia mendadak mual dan nyaris saja dia memuntahkan isi perutnya di depan Lisa. Wanita itu pun segera berlari ke tepian kapal untuk memuntahkan isi perutnya.
“Gia, kamu tidak apa-apa?” seru Tina panik.
Rasa mual pada perut Gia tak kunjung usai. Wanita itu mencoba mengingat makanan apa yang membuatnya terus mual. Hingga tiba-tiba napasnya terasa tercekat, seolah ada sesuatu yang terlewatkan saat tangannya menahan perutnya.
“Tidak mungkin. Aku pasti hanya mual karena mabuk laut. Tapi, aku sudah sebulan di sini dan belum menstruasi.”
"Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar
“Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja
“Apa itu? Hampir saja tak terlihat,” celetuk salah satu karyawan di ruang keamanan IT.Beberapa orang yang berada di sebelahnya langsung menoleh dan menatap layar di hadapan karyawan tadi. Tatapan karyawan tadi tampak tajam dan tangannya piawai mengetik beberapa rumus untuk mendeteksi pergerakan sinyal yang muncul pada data base-nya. Sementara mereka yang mendekat tadi melihat layar tersebut penasaran.“Mungkinkah itu penyusup yang mencuri data perusahaan?” tebak yang lainnya dan langsung dijawab anggukan rekan-rekannya.Karyawan tadi yang bernama James, tak menjawab. Dia masih menunggu layar monitor miliknya memproses data hingga selesai. Keningnya mengkerut, begitu juga dengan rekan-rekannya dan mereka dapat mengartikan hasil yang tertera di pada layar monitor tersebut.“Statusnya akses diizinkan? Siapa yang menerobos masuk cepat?” ujar James bingung.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian berkumpul dan terus berbual?” Suara lantang dan tegas hampir mengejutkan mereka yang tengah
Tanpa sadar Gia sudah memasuki akun miliknya yang tersambung dengan perusahaan Ray. Dia mencari tahu penyebab perusahaan itu menjadi tak stabil. Mungkin karena rasa penasarannya lebih tinggi dan kalah oleh perasaan sakit hati serta prinsip yang sudah dibuatnya, untuk tak terlibat dengan Ray.Matanya memicing, menelusur dan mencari penyebab kekacauan di sana. Hanya deretan angka dan huruf yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya Gia menyadari hal ganjil di sana. Entah sadar atau tidak, tangannya menggeser mouse, hingga kursor pada layar laptopnya bergerak sesuai keinginan Gia. Layar di hadapannya menampilkan tanda sedang memuat data. Gia menatap layar laptopnya dengan cemas, seraya menggigit kuku jari jempolnya.“Apa ini?” gumam Gia sedikit terkejut.Gia berhasil menemukan sebuah data ilegal di sana dan menjadi penyebab keganjilan. Rasa penasarannya semakin meninggi membuatnya semakin jauh mencari tahu. Matanya terus tertuju pada layar dan tak berkedip sekali pun, menandakan dia
“Tapi, aku sudah tak memiliki wewenang untuk itu semua. Maaf.” Suara Gia terdengar berat dan sungkan.Adam mengangguk dan tetap tersenyum ramah. Dia bisa merasakan tatapan Gia, ada rasa berat, cemas, dan juga amarah yang terpendam. Tentunya, dia tahu apa yang alami Gia dulu.“Saya bisa mengerti, Nona Gia. Tidak perlu merasa bersalah,” ucap Adam mencoba memecahkan kecanggungan.Gia tersenyum tipis. Dulu, dia akan selalu terbuka pada Adam. Lelaki paruh baya di hadapannya begitu perhatian, bukan karena tugasnya sebagai asisten pribadi Wilson dulu. Akan tetapi, Gia merasakan tulusnya perhatian Adam, seperti seorang ayah pada anak perempuannya.Itulah kenapa Gia tak merasa cemas atau panik saat Adam muncul, walaupun di bagian dari perusahaannya Ray. Adam bisa menempatkan dirinya sebagai seorang pelindung dan profesional dalam pekerjaan. Gia pun akhirnya membalas senyuman tulus dan ramahnya Adam.“Astaga, aku lupa menyuguhkan minuman untukmu. Anda mau minum apa Pak Adam ... teh, kopi atau j
Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men