Share

Bab. 8

Author: Disi77
last update Last Updated: 2024-12-11 22:57:57

“Benarkah kamu adalah cucunya Maria Laffin?” tanya seorang wanita tua yang menyambut Gia di depan pintu masuk desa.

“Sepertinya memang benar, Nesa! Lihatlah wajahnya mirip dengan Maria saat masih muda,” tipal lelaki tua di samping wanita yang bertanya tadi. 

Tampaknya mereka sebaya. Kemudian Gia menyerahkan selembar foto pada mereka. “Ini adalah fotoku saat kecil bersama Nenek Maria,” ucapnya menunjuk gadis kecil dalam pangkuan wanita tua.

Kedua pasangan itu memindai wajah Gia dan gadis kecil di sana. Bahkan lelaki tua itu harus memegangi kacamata bulatnya, memastikan tak salah melihat. Tak lama wajah tatapan mereka berbinar.

“Ya Tuhan. Maria, cucumu datang,” ucap wanita tua itu dengan wajah haru. “Panggil aku Nenek Nesa. Aku tetua di kampung ini yang menggantikan nenekmu,” katanya seraya menunjuk dirinya.

Kemudian dia menunjuk lelaki tua di sampingnya. “Ini suamiku, kamu bisa memanggilnya Kakek Fred,” sambung Nenek Nesa.

“Terima kasih, Nenek Nesa, Kakek Fred.” Gia membungkuk hormat pada mereka.

“Mari, Nak! Aku antar kamu ke rumah Maria,” ajak Nenek Nesa seraya merangkul Gia.

Senyuman Gia langsung mengembang sempurna. Dia berjalan mengikuti rangkulan Nenek Nesa. Hatinya merasa terharu mendapatkan sambutan baik di sana. Bahkan Kakek Fred meminta seseorang untuk membawakan bawaan Gia, walaupun hanya koper kecil dan tas berukuran sedang.

Tak banyak warga yang tinggal di sana. Mereka bahkan berdiri di sepanjang jalan masuk desa, menyambutnya dengan hangat. Jalanan di sana masih belum tersentuh aspal, hanya tanah gembur, tetapi sangat asri.

Aroma daun muda dari pepohonan yang rindang dan langit senja menambah kecantikan pemandangan desa. Lokasinya yang jauh dari pemukiman kota dan berada di pulau kecil, mungkin membuat desa itu sedikit ketinggalan dari kata modern dan kecanggihan teknologi.

Namun, itulah yang diinginkan Gia. Dengan begitu, keberadaanya tak akan bisa terdeteksi. Wanita itu benar-benar ingin menghilang.

“Inilah rumah nenekmu, Nak! Kami selalu merawatnya, mengingat pesan mendiang nenekmu untuk menjaga rumahnya dengan baik.” Suara Nenek Nesa menyadarkan lamunan Gia, tak terasa mereka berhenti di rumah dengan dinding kayu, khas tradisional dulu.

“Nenekmu selalu berkata kalau suatu hari nanti cucunya yang tinggal di kota, akan datang dan rumah ini akan menjadi tempatnya untuk menenangkan diri,” sambung Nenek Nesa haru. “Ternyata Maria benar,”

“Terima kasih, kamu sudah menjaga amanah nenekku,” balas Gia seraya genggaman tangan wanita tua di sampingnya.

Nenek Nesa membalas genggaman tangan Gia. “Tak perlu sungkan, Nak. Itu sudah menjadi kewajibanku,” katanya tulus.

“Nesa, sudah cukup! Biarkan dia beristirahat. Gadis itu pasti kelelahan setelah melewati perjalanan yang jauh.” Kakek Fred menegur.

“Ah, benar juga. Aku terlalu bahagia kedatangan cucunya Maria,” sahut Nenek Nesa diikuti tawa kecilnya, lalu menatap Gia dan berkata, “Istirahatlah, Nak. Nanti aku kirimkan makanan, kamu pasti lapar.”

Gia ingin menolak, tetapi dia merasa tak sopan. Wanita itu pun mengangguk dan memandangi kedua pasangan tua itu. Keduanya lantas menghalau warga yang sejak tadi memperhatikan Gia.

Namun, kali ini tatapan mereka bukan mengejek kondisi kakinya. Mereka seolah penasaran dan ingin mengenalnya lebih dekat. Desa ini tampaknya memang jarang kedatangan orang baru, sehingga membuat mereka sangat penasaran.

Mereka bahkan memberikan senyuman ramah pada Gia, sebelum memutar tubuh dan menuruti permintaan Nenek Sena agar tak mengganggunya. Setelah mereka menjauh, barulah Gia melangkah masuk ke dalam rumah tersebut. Senyumannya terus mengembang haru.

“Mereka benar-benar merawat rumah ini dengan baik,” gumam Gia melangkah masuk.

Hampir tak ada debu. Dapat dipastikan Gia akan betah tinggal di sana. Satu persatu ruangan dalam rumah sederhana itu dijajakinya.

Bayangan masa kecilnya saat bermain dengan sang nenek seakan berputar, hingga tak terasa air mata kerinduannya menetes. “Nek, aku datang berkunjung. Maaf, aku datang terlambat,” ucapnya lirih.

Tak ingin terbuai dengan kesedihan, Gia memilih bergegas membilas tubuhnya. Perjalanan yang jauh, membuat kulitnya terasa lengket. Tak butuh waktu lama, Gia sudah selesai membilas tubuhnya dan dia memilih menepati kamar neneknya. Hanya ada dua kamar tidur di sana.

Baru saja Gia hendak membaringkan tubuhnya, terdengar ketukan pintu. Nenek Nesa datang membawakan makanan untuknya, sesuai janjinya. “Kamu pasti lapar. Anggap saja ini ucapan selamat datang dariku,” katanya tulus.

“Jika kamu membutuhkan sesuatu, katakan saja. Rumahku yang itu,” sambung Nenek Nesa seraya menunjuk rumah kayu dengan cat hijau tua. 

“Terima kasih banyak, Nek. Aku jadi merepotkanmu,” balas Gia tulus.

Wanita cantik itu benar-benar merasa terharu, hingga dia lupa tentang rasa sakit yang ditinggalkannya. Nenek Nesa tersenyum tulus, lalu membelai rambut Gia lembut. “Aku sama sekali tak merasa direpotkan, Nak. Justru aku merasa tersanjung ... kamu tak melupakan kampung halamanmu,” katanya lembut.

Gia benar-benar diterima di sana. Perlahan rasa sakit hatinya terobati. Wanita itu kini banyak tersenyum.

Setiap harinya selalu saja yang berkunjung memberikan makanan. Warga di sana sangat ramah dan membuatnya tak kesulitan berbaur dengan mereka. Hingga waktu terasa berlalu dengan cepat.

Gia merasakan banyak kebutuhan yang harus dibeli di pasar. Dia tak ingin terus mengandalkan pemberian warga, walaupun mereka memberinya dengan senang hati. Hingga pagi itu, Gia memutuskan untuk ikut dengan warga yang hendak mengirim hasil panennya ke pelabuhan.

“Hanya ada satu akses ke sana, pasarnya ada di pelabuhan. Biasanya kami akan sekalian berbelanja setelah menjual hasil panen,” jelas salah satu warga yang mengantar Gia.

Mereka benar-benar memperlakukan Gia dengan baik. Jasa neneknya yang dulu seorang tetua kampung, membuatnya sangat disegani, walaupun baru kali ini mereka melihatnya. Tak ada tatapan mencibir atau merasa jijik karena kakinya yang pincang.

“Bibi, apa kakimu sakit?” 

Gia hampir terkejut saat seorang gadis kecil bertanya seraya menunjuk kaki kirinya. Dia adalah putri dari salah satu yang ikut dalam kapal menuju pelabuhan. Wanita bernama Tina itu menarik gadis kecil itu.

“Lisa, jaga bicaramu!” tegur Tina memberi nasehat. “Ayo, minta maaf pada Bibi Gia!” titahnya.

Tina merasa putrinya bertindak tidak sopan. Gadis kecil itu langsung menunduk. Tentu saja Gia merasa sungkan. “Tidak apa-apa, Bu Tina. Putrimu tidak bersalah.”

“Tidak boleh begitu, Gia. Lisa harus tahu sopan santun,” jelas Tina dengan wajah bersalahnya, lalu melirik putrinya.

“Maafkan aku sudah berbuat tidak sopan, Bibi,” ucap gadis kecil itu seraya menundukkan kepalanya.

Gia tampak bingung, tetapi haru. Wanita itu lantas mendekat dan berjongkok, hingga kini tinggi tubuhnya sama dengan Lisa. Kemudian Gia tersenyum padanya.

“Tidak apa-apa, Sayang. Kamu pasti penasaran karena jalanku pincang?” tanya Gia mencoba membuat suasana hati gadis kecil itu nyaman.

Gadis kecill itu mengangguk. Gia pun tersenyum tipis. Dia merasakan tatapan Lisa adalah rasa iba dan peduli, bukan tatapan jijik seperti yang didapatkannya saat di kota.

Saat Gia hendak bersuara, tiba-tiba gelomang ombak menyapu badan kapal hampir mengejutkan seluruh penumpangnya. Perut Gia mendadak mual dan nyaris saja dia memuntahkan isi perutnya di depan Lisa. Wanita itu pun segera berlari ke tepian kapal untuk memuntahkan isi perutnya.

“Gia, kamu tidak apa-apa?” seru Tina panik. 

Rasa mual pada perut Gia tak kunjung usai. Wanita itu mencoba mengingat makanan apa yang membuatnya terus mual. Hingga tiba-tiba napasnya terasa tercekat, seolah ada sesuatu yang terlewatkan saat tangannya menahan perutnya.

“Tidak mungkin. Aku pasti hanya mual karena mabuk laut. Tapi, aku sudah sebulan di sini dan belum menstruasi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 50 End

    “Ibu, kenapa dia belum bangun juga?” tanya Claire menatap cemas.Wajah Ray terlihat tenang, tampak tertidur pulas. Sudah 4 jam pasca operasi, belum juga menunjukkan tanda akan sadar. Suara monitor tetap stabil, tetapi membuat mereka cemas.“Ah, dia bangun,” seru Charlie menunjuk jari telunjuk Ray yang bergerak perlahan.“Kamu benar.” Claire berseru riang.Napas Gia berembus lega. Serentak mereka menatap wajah Ray yang menunjukkan tanda-tanda tersadar. Kelopak matanya sedikit bergetar dan mulai terbuka perlahan, sementara bibirnya bergerak pelan.“Ray, kamu sudah sadar?” Suara Gia bergetar, disusul air mata haru. “Sebentar, aku panggilkan dokter!” serunya.Gerakan Gia terhenti. Tangan lemas Ray langsung tangannya. Gia urung bergerak dan kembali menatap wajah Ray.“Aku tidak akan pergi. Aku hanya akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu,” katanya lembut. Gia lantas tersenyum, mengartikan reaksi Ray yang mencemaskan dirinya.Mata Ray mengedip, isyarat persetujuan. Kemudian tangan

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 49

    “Tuan Ray kehilangan banyak darah, tetapi syukurlah ... operasinya berjalan dengan baik. Kami akan memindahkan Tuan Ray ke ruang perawatan dan terus memantau perkembangan.”Penjelasan singkat dari dokter tersebut langsung membuat napas Gia berembus lega. Pintu ruang operasi terbuka lebar, memberi jalan pada ranjang brankar membawa tubuh Ray keluar. Namun, tubuh Gia mematung, tak tubuh Ray yang dibawa menjauh.“Ada apa, Nona Gia?” tanya Adam dengan kening mengkerut.Gia menunduk sejenak, lalu menggeleng. Kemudian dia tersenyum tipis pada pria di hadapannya. “Tidak apa-apa Adam. Aku lega dan bersyukur Ray baik-baik saja,” katanya.“Tolong jaga dan rawat Ray untukku,” sambung Lisa seraya menepuk lengan Adam pelan. “Aku percayakan dia padamu,” tambahnya.“Kenapa Nona ...?” tanya Adam terhenti, tetapi mengurungkan langkah kaki Gia yang hendak memutar.Adam menatapnya lekat. Terlihat jelas garis keraguan pada wajah Gia. Perasaan bersalah yang berat, seolah menahan wanita di hadapannya untuk

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 48

    Asap hitam keabu-abuan mengepul memenuhi seluruh ruangan dan langsung menyesakkan dada. Pandangan mereka yang ada di sana langsung kabur dan tak jelas, tetapi indera pendengaran mereka menangkap jelas suara derap langkah pasukan terlatih mendekat.Brak! Pintu ruangan langsung terbuka. Beberapa petugas berpakaian serba hitam, lengkap dengan rompi anti peluru, senjata laras panjang di tangan dan masker oksigen, serta kaca mata pelindung. Mereka semua adalah pasukan terlatih keamanan perusahaan Wish Group Company.Mereka sigap menyergap musuh sesuai instruksi dalam diam. Tak lama Ray ikut masuk, hanya menggunakan masker oksigen dan kaca mata pelindung. Pria itu sigap langsung menemukan keberadaan Gia. Tangannya cepat melepaskan ikatan yang membelenggu wanita cantik itu, lalu menggendongnya keluar.“Ray?” Suara Gia lirih dan lemas. Gia terlalu banyak menghirup gas dari asap tersebut. Pandangannya yang kabur masih mengenali sosok yang kini menyelamatkannya.Tanpa mereka ketahui, dalam kega

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 47

    “Kamu bilang lokasi ini tak akan terdeteksi? Apa ini? Mereka menemukan keberadaan kita.”Suara David menggema penuh amarah, memenuhi salah satu ruang gedung terbengkalai. Dinding di sekelilingnya sudah berjamur dan sebagian plafon mengelupas. Satu kaca jendela sudah terganti dengan triplek.Bau lumut basah dan lantai berdebu menyeruak hidung. Tangan David mengudara, bersiap melayangkan tamparan pada dua pria berpakaian serba hitam di hadapannya. Namun, suara tawa kecil penuh ejekan menghentikannya.Tawa dari Gia yang kini terikat pada kursi kayu. Wanita itu sama sekali tak merasa terintimidasi, apalagi cemas. Tentu saja wajah David semakin murka saat menatap wajahnya.“Percuma saja kamu menyandera aku, David,” ucap Gia semakin mengejek. Kemudian dia melirik pada Grace yang sama murka seperti David, lalu tersenyum miring. “Kalian hanya membuang waktu saja.”Dalam hati, Gia cemas, bingung dan penuh tanya. Dia yakin, Ray tak bergerak sendiri atau menemukan lokasinya saat ini. Mereka bisa

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 46

    “Tolong jelaskan padaku, apa yang terjadi!” pinta Ray seraya mengatur posisi duduk di tengah pesatnya laju mobil yang membawanya.Kedua anak kecil itu langsung menoleh. Wajah Ray terlihat cemas dan bingung. Claire lantas menangguk, setelah keduanya saling bertukar pandang, isyarat pemikiran mereka sama.“Anda bawa laptop?” tanya Charlie tiba-tiba.Sontak saja kening Ray mengkerut, tak mengerti dengan pertanyaan pria kecil tersebut. Tatapannya lantas berpindah pada Claire yang duduk tepat di sampingnya, menjadi penghubung Ray dan Charlie. “Aku yang akan menjelaskannya, tetapi biarkan Charlie bekerja agar tak membuang waktu,” papar Claire menyadari tatapan tanyanya Ray.Sementara Doni, sopirnya, sangat terlatih. Baginya, jalan raya yang ramai dan padat, bak sirkuit balap. Apalagi mobil milik Ray memiliki semua fasilitas mewah yang tak perlu diragukan. Sekalipun mobil terseok saat mendahului beberapa kendaraan di hadapannya, para penumpangnya tak terlalu terguncang.Menyadari lampu lalu

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 45

    Claire mendesis kesal. Mereka tersudut dan terkepung. Suara derap langkah sepatu pantofel semakin mendekat dari segala arah.Charlie langsung menolak panggilan dan mengaktifkan mode senyap. Napas keduanya terputus-putus, tapi akal dan pikiran bekerja lebih cepat, mencari cara untuk meloloskan diri di antara mobil-mobil yang berdekatan. Hingga akhirnya tatapan Claire tertuju pada kerikil kecil di dekat kakinya.“Charlie, buat kekacauan besar!” seru Claire memberi perintah tanpa suara.Pikiran keduanya seolah sudah terhubung. Tanpa memberi penjelasan, Charlie mengangguk mengerti. Dengan gerakan cepat, keduanya meraih beberapa batu kelikir, lalu bersamaan melemparnya ke arah mobil-mobil di sekitar mereka.Seketika alarm kendaraan di sana berbunyi saling bersahutan. Cukup untuk mengecoh fokus para pria yang mengejar keduanya. Detik berikutnya napas kedua bocah kecil itu tertahan. Tatapan mata mereka tertuju pada ujung sepatu pantofel yang mengintip di kedua sisi mobil tempat mereka bersem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status