Anne duduk di sofa ruang tengah sambil memeluk bantal kecil di pangkuannya. Lampu temaram membuat wajahnya terlihat pucat.Matanya kosong, namun bibirnya terkatup rapat seolah menahan segala yang ingin diucapkan.Pintu utama terbuka disertai suara derit engsel yang nyaris memecahkan keheningan.Samuel masuk dan masih mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut, dasinya terlepas setengah, dan rambutnya berantakan.Pandangannya langsung menangkap sosok Anne yang melamun. Ada kerut tipis di keningnya saat ia melangkah mendekat.“Apa yang kau lakukan di sana, Anne?” tanya Samuel dingin.Anne menoleh pelan kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Hanya sedang memikirkan apa yang bisa aku lakukan setelah malam ini.”Samuel mengerutkan keningnya, tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Anne tadi. "Ke mana kau hari ini?" tanyanya mengalihkan ucapan Anne tadi.“Rumah sakit,” jawabnya singkat.Samuel berhenti di depannya dan menatapnya dengan alis terangkat. "Kau sakit?"Anne menggeleng pe
Pagi itu, Anne memutuskan pergi ke rumah sakit seorang diri tanpa memberitahu Samuel.Mobilnya melaju pelan di jalanan yang belum terlalu ramai, sementara pikirannya dipenuhi rasa gelisah.Sesampainya di rumah sakit, Anne langsung menuju bagian pendaftaran dan menunggu namanya dipanggil.Ruang konsultasi dokter kandungan itu beraroma wangi lembut, dipenuhi cahaya alami dari jendela besar di sudut ruangan.Dokter yang menangani Anne, seorang wanita paruh baya bernama dr. Ratna, menyapanya ramah.“Sudah berapa lama menikah, Nyonya Anne?” tanya dr. Ratna sambil mencatat di berkas yang ada di hadapannya itu.“Empat tahun, Dok,” jawab Anne pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara pena yang menari di atas kertas.“Selama ini pernah program khusus untuk hamil?” tanyanya lagi.Anne menggeleng dengan pelan. “Tidak. Awalnya kami masih ingin mengalir saja. Tapi, sampai sekarang belum ada tanda-tanda.”Dokter mengangguk sambil tersenyum, lalu memulai pemeriksaan. Sentuhan profesional itu membu
Anne memukul-mukul dada Samuel sambil menangis lirih.Tangannya gemetar, tetapi pukulannya keluar begitu saja, dilandasi rasa sakit yang menumpuk di dalam dada.Samuel tidak mengelak, tidak mengangkat tangan untuk menahan, hanya berdiri diam memandang wajah istrinya yang memerah karena tangis.“Samuel, kau sangat egois, kau tahu?” pekik Anne seraya menatap lirih wajah Samuel.“Kau itu keras kepala, tidak mau mendengarkanku. Sebenarnya apa yang kau inginkan dari rumah tangga ini, Samuel?” tanya Anne dengan suara lirihnya.“Aku sudah lelah menghadapi sikap dinginmu, sikap tak pedulimu padaku. Tapi, di saat aku ingin pergi, kau justru menolaknya. Apa yang ada di otakmu sebenarnya, huh?”Anne menutup wajahnya dan terus menangis sambil menundukkan kepalanya. Dia menangis lirih lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan.“Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini padaku?” ucapnya lagi.Samuel tetap tak bicara. Matanya hanya menatap lurus, dalam, seolah sedang membaca setiap inci emos
Rumah terasa lengang ketika Anne pulang sore itu.Dia menutup pintu dengan perlahan dan mencoba mengatur napas setelah perjalanan yang panjang.“Samuel tampaknya belum pulang,” gumamnya kemudian melangkahkan kakinya lagi hendak masuk ke dalam kamar.Namun, langkahnya seketika terhenti begitu melihat sebuah paket tergeletak di atas meja ruang tamu. Amplop cokelat panjang, tanpa pengirim yang jelas, hanya namanya yang tertulis rapi di pojok kanan atas.Alis Anne berkerut. “Paket untukku? Dari siapa?” Dia lalu mengambilnya dan jantungnya mulai berdetak sedikit lebih cepat dengan perasaan yang mulai tidak enak.Tidak ada yang memberitahu sebelumnya bahwa ia akan menerima sesuatu hari ini. Dengan hati-hati, dia merobek bagian atas amplop itu.Beberapa lembar foto terjatuh ke atas meja. Anne meraih foto teratas dan seketika napasnya tercekat.Itu Samuel.Samuel bersama Clarissa.“A-apa ini?” gumamnya dengan mata membola, masih bingung dengan foto yang dia genggam itu.Mereka berada di dalam
Pagi itu rumah terasa terlalu sepi. Sinar matahari menembus celah gorden kamar, menerangi ranjang yang kini hanya terisi setengah.Anne membuka mata perlahan, dan yang pertama ia lihat adalah sisi ranjang Samuel yang sudah kosong.Selimut di sana terlipat seadanya, meninggalkan lekukan samar tempat tubuh lelaki itu berbaring malam sebelumnya.Tidak ada suara pintu kamar mandi, tidak ada aroma kopi yang biasanya tercium dari dapur. Hanya kesunyian.Samuel sudah pergi bahkan tanpa sepatah kata. Seolah malam tadi tidak pernah terjadi. Seolah sentuhan tergesa dan penuh amarah itu hanyalah mimpi buruk yang ingin ia hapus dari ingatan.Anne duduk di tepi ranjang seraya menatap kosong ke arah pintu.Dadanya terasa berat, pikirannya dipenuhi tanda tanya.Ia menggigit bibirnya mengingat lagi bagaimana Samuel memandangnya semalam—tajam, penuh kepemilikan, tetapi tanpa kelembutan sedikit pun.Setelah sekian lama dia diabaikan, semalam justru menjadi momen yang membuatnya semakin bingung akan per
Tiba-tiba, Samuel meraih pergelangan tangan Anne dan menggenggamnya dengan kuat. "Jangan pernah bicara seperti itu lagi, Anne!” desisnya dengan nada tajam.Anne terkejut dan menatap nanar wajah Samuel. "Kenapa? Takut aku benar?"Samuel menggeleng, tapi wajahnya tidak menunjukkan penolakan yang meyakinkan."Karena kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”"Kalau begitu, ceritakan padaku. Bagaimana mungkin aku tahu kalau kau saja terus menyembunyikan semuanya dariku.” Anne berucap lirih seraya menahan diri untuk terpancing oleh ucapan Samuel.Anne mengangkat wajahnya dan matanya berkaca-kaca. “Kalau kau tidak mau lagi padaku—”Anne tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Samuel sudah melangkah cepat dan meraih kedua lengannya dan mendorongnya hingga punggungnya menempel pada dinding kamar.Tubuh Samuel mendekat, begitu dekat hingga Anne bisa merasakan panas napasnya di wajahnya.“Jangan pernah,” Samuel mendesis, “jangan pernah lagi bicara soal cerai di depanku.”Jemarinya mencen