Langit sudah gelap ketika Anne dan Samuel tiba di rumah. Anne berjalan pelan memasuki ruang tamu, wajahnya terlihat murung dan penuh rasa sedih.Samuel yang berjalan di belakangnya memperhatikan dengan seksama. Dia bisa melihat bagaimana istrinya itu tampak berbeda—seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.Anne duduk di sofa dan meletakkan tasnya di samping, lalu menarik napas panjang.“Samuel?” ucapnya lirih.Samuel yang sudah melepas jas kerjanya ikut duduk di sampingnya, menatap lekat wajah Anne yang tampak pucat dan lelah.“Ada apa, Anne? Kau terlihat tidak seperti biasanya. Kau masih ingin berada di panti, hm?”Anne menggeleng pelan kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Aku hanya kasihan pada Lucas. Kau tahu? Dia baru saja kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan tragis. Tidak ada keluarga yang bisa menampungnya, jadi Ibu Merry membawanya ke panti.”Samuel mengerutkan kening, ikut merasakan kesedihan yang terpancar dari mata istrinya. “Usianya berapa tahun?” tanya
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Anne melangkahkan kakinya menuju gerbang panti asuhan yang dulu menjadi rumahnya selama bertahun-tahun.Di tangannya, dia membawa dua kantong besar berisi makanan dan minuman.Aroma roti manis dan ayam goreng menguar dari dalam kantong itu, membuat Anne tersenyum kecil membayangkan wajah gembira anak-anak panti saat melihatnya.Begitu dia membuka pintu, suara tawa dan teriakan anak-anak langsung menyambutnya.“Anne!” seru Merry sambil tergopoh-gopoh menghampiri. Senyum hangat Merry selalu berhasil membuat hati Anne terasa nyaman.“Selamat sore, Bu.” Anne menyerahkan kantong yang dibawanya.“Ini ada sedikit makanan dan minuman untuk anak-anak. Aku juga bawakan jus dan susu, siapa tahu mereka ingin minum yang segar.”Merry menerima kantong itu dengan mata berbinar. “Astaga, Anne. Kau tak perlu repot-repot seperti ini. Tapi, terima kasih. Anak-anak pasti senang sekali.”Anne tersenyum lembut. “Aku yang harus berterima kasih, Bu. Karena kalian semua
Anne berdiri di dapur pagi itu tengah menyiapkan sarapan sambil bersenandung kecil. Aroma roti panggang dan sup hangat memenuhi udara. Hatinya terasa jauh lebih ringan dibandingkan hari-hari sebelumnya.Ia sudah bertekad untuk tidak lagi menyinggung soal anak kepada Samuel. Ia tahu, suaminya sedang dalam masa sibuk yang luar biasa di kantor, dan ia tak ingin menjadi beban tambahan yang membuat Samuel semakin tertekan.Anne menata piring di meja makan dengan hati-hati. Sudah lama dia tak melihat Samuel tersenyum, dan diam-diam dia berharap pagi ini pria itu akan sedikit lebih hangat padanya.Suara langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Anne langsung menoleh dan melihat Samuel yang gagah dengan setelan jas hitam rapi, wajahnya tampak seperti biasa: dingin dan tak terbaca.Namun, di balik ketegasan itu, mata Samuel sempat melirik Anne dengan lembut, sesuatu yang jarang ia tunjukkan.“Selamat pagi,” sapa Anne dengan senyum manis. “Sarapan sudah siap.”Samuel hanya mengangguk lalu
Malam itu udara terasa pekat dengan aroma anggur merah dan cahaya lilin yang masih tersisa di meja makan.Samuel menutup botol anggur sementara pandangannya tak lepas dari Anne yang sedang membereskan piring dengan senyum lembut.“Biarkan saja,” ucap Samuel serak dan berat oleh sesuatu yang lebih dari sekadar kehangatan.Anne menoleh dan menatapnya dengan alis terangkat. “Kalau tidak dibereskan sekarang, besok pagi kita—”Kata-katanya terhenti ketika Samuel mendekat. Tangannya terulur dan menahan jemari Anne yang masih menggenggam piring. Tatapan matanya dalam, seakan menyimpan bara yang tak lagi bisa dipadamkan.“Besok bisa menunggu. Malam ini, aku hanya ingin kau.”Anne tercekat. Piring di tangannya diletakkan begitu saja di meja. Dalam detik berikutnya, Samuel menariknya hingga tubuh mereka rapat.Dada bidangnya menempel pada dada Anne hingga membuatnya bisa merasakan detak jantung pria itu yang berdegup kencang, seirama dengan debar miliknya.Lelaki itu menunduk lalu bibirnya meny
Aroma harum memenuhi udara rumah megah itu. Di dapur yang bersih dan tertata rapi, Anne tampak sibuk memotong sayuran dan memeriksa kuah kaldu yang tengah mendidih.Malam ini ia ingin menyiapkan makan malam yang spesial untuk Samuel, suaminya.Bukan hanya sekadar hidangan, tapi juga bentuk cintanya, permintaan maaf, dan harapannya agar hubungan mereka kembali hangat seperti dulu.Anne bersenandung pelan, bibirnya tersungging senyum tipis. Tangannya cekatan menuangkan saus rahasia ke dalam wajan, kemudian mengaduknya dengan penuh perhatian.Ia memilih menu berbeda dari makan siang tadi—jika siang tadi ia membuatkan makanan favorit Samuel berupa steak dengan saus jamur, kali ini ia memasak pasta seafood yang Samuel sukai sejak mereka pertama kali berkencan.Di sudut dapur, seorang pelayan wanita bernama Rina memperhatikan sambil tersenyum geli. Ia lalu menggoda majikannya.“Wah, Nyonya Anne kelihatan sumringah sekali malam ini,” ujarnya sambil menyandarkan tubuh ke meja.“Masakan ini pa
“Papa,” panggil Jeane dengan mata yang berkilat penuh rasa ingin tahu. “Bagaimana? Apa Papa sudah bicara dengan Samuel?”James menghela napas panjang lalu mengangguk. “Ya. Aku sudah bicara dengannya, Jeane.”Wajah Jeane langsung berseri. Dia melangkah maju, seolah sebentar lagi akan mendengar kabar baik yang sudah lama ia tunggu.“Lalu? Bagaimana? Apa dia … akhirnya mau mendengar penjelasan kita? Atau … dia bersedia melepaskan Anne?”Namun, yang keluar dari bibir James membuat senyum Jeane runtuh dalam sekejap.“Samuel tidak akan pernah menceraikan Anne,” ujar James dengan nada datar namun pasti.Seolah petir menyambar di siang bolong, Jeane membeku. “A-apa?” suaranya bergetar penuh ketidakpercayaan.“Papa, itu tidak mungkin! Samuel! Dia … dia harusnya sadar siapa yang terbaik untuknya!”James menatap anaknya dengan tatapan dalam lalu menggeleng pelan. “Tidak, Jeane. Dari cara Samuel bicara, aku bisa melihat betapa dia mencintai Anne.“Dia bahkan tidak memberikan celah sedikit pun unt