Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi saat mentari hangat menyapa kulit lengan Anne yang sedikit tersingkap membuat wanita itu terbangun.
Pertama yang dilihat adalah sisi kanannya yang biasa digunakan Samuel. Tempat itu kosong, dan membuatnya tersenyum kecut.
Sejak pulang dari pesta itu, suaminya sama sekali tidak menyentuhnya bahkan untuk bersuara pun tidak ada. Anne mendengus lirih, lalu ia bangkit dan memaksa kakinya melangkah menuju ke kamar mandi.
Beberapa saat setelah merasa tubuhnya segar, ia pun keluar dari kamar. Suasana rumah pagi hari terlihat rapi bahkan cenderung sepi tanpa aktivitas.
Anne langsung berjalan menuju ke dapur tempat biasa ia menghabiskan waktu untuk membuang rasa sepi yang sering melanda beberapa bulan terakhir ini.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan dengan pernikahan ini, Anne?"
"Suami yang gila kerja atau memang sudah menginginkan kehadiranmu?"
Kedua lengan Anne terus bergerak meskipun bibirnya berbicara sendiri. Pikirannya pun ikut berkelana mencari sesuatu yang membuat ia betah diperlakukan seperti itu.
"Hampir setiap hari hanya berteman dengan alat masak bahkan saat sudah terhidang pun masih tetap tidak tersentuh. Sebenarnya apa yang kau lakukan di luar sana, hingga hadirku sama sekali tidak layak untuk kau lihat meskipun hanya beberapa detik, Samuel?"
Anne terus bermonolog sambil memasak menyiapkan beberapa hidangan untuk makan malam.
Seharian wanita itu berkutat di dapur hanya ingin menyajikan sesuatu hal baru untuk suaminya. Menu yang mungkin bisa mengurangi kelelahan bekerja.
"Nyonya, istirahat dulu. Tidak baik memforsir tenaga seperti itu," kata pembantu Anne dengan nada sopan.
Anne mengangkat kepalanya agar dapat melihat sosok wanita paruh baya yang sesekali datang ke rumah hanya untuk membantu membersihkan rumah.
Selama ini Anne mempekerjakan wanita itu paruh waktu, hal ini sengaja dia lakukan untuk menjaga hubungan suami istri. Namun, apa yang dia usahakan masih jauh dari kata berhasil.
"Tidak apa, ini juga akan selesai. Jika semua kerjaan selesai, kau boleh pulang sekarang." Anne berkata sambil mulai menyajikan hasil masakannya ke meja makan.
"Perlu saya bantu, Nyonya?"
Anne tersenyum, dia kemudian menggelengkan kepala tanda jika tidak membutuhkan bantuan dari wanita tersebut.
Maka dengan sopan wanita itu pamit pulang. Anne mengulum senyum dan tidak lupa mengucap terima kasih atas kedatangannya hari itu.
"Akhirnya semuanya selesai, semoga malam ini apa yang aku usahakan membawa hasil yang memuaskan."
Usai berkata sendiri, Anne berjalan ke kamar berniat untuk membersihkan tubuhnya dari asap dapur.
Malam ini dia ingin agar Samuel mau ungkap semua alasan perubahan sikapnya beberapa bulan terakhir.
Akan tetapi hingga jam makan malam berlalu, sosok suaminya sama sekali belum tampak. Membuat pikiran Anne malayang tidak karuan. Beberapa perkiraan telah muncul dalam otaknya.
Masakan yang awalnya dingin pun kembali dingin meskipun sudah dipanasi olehnya. Anne duduk berpangku tangan di meja makan sambil menatap iba pada semua hasil masakannya.
Beberapa kali pandangan wanita cantik itu tertuju pada dinding yang terdapat jam. Mulut mungilnya pun sudah tidak bisa dikondisikan, dia sering menguap. Namun, sekuat niatnya, Anne berusaha tetap terjaga demi satu tujuan yaitu kejujuran.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya terdengar suara deru mesin kendaraan, senyum Anne seketika muncul di wajah cantiknya. Dia lantas bangkit dari duduknya dan berlari kecil menyambut kedatangan suaminya penuh ceria. Pintu terbuka,
"Selamat malam, Samuel. Sini, biar aku bantu bawakan," sapa Anne dengan lembut.
Pria itu tetap diam meskipun dia sudah memberikan tas kerjanya pada Anne. Dengan lembut, Anne menerima tas itu lalu dia berjalan mengikuti langkah Samuel.
"Apa kau mau makan malam dulu? Jika iya, akan kupanaskan lagi untuk kesekian kali?"
Samuel tidak merespon kalimat istrinya itu, kakinya yang panjang terus melangkah menuju ke kamar. Anne segera menyusul dari belakang.
"Tunggulah di sini, biar kusiapkan air hangat untukmu mandi agar tubuhmu tetap terjaga kesehatannya," kata Anne lalu dia segera berjalan masuk ke kamar mandi untuk menyiapkan semua.
"Tidak perlu."
Jawaban dingin dan datar dari mulut Samuel mampu menghentikan waktu untuk Anne. Ia berdiri mematung di tempat itu dengan tatapan nanar pada sosok pria yang selama ini dicintai.
Semua usahanya seharian ini sudah pasti tidak akan membawa hasil yang memuaskan, "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Samuel?"
"Aku sudah berusaha hingga sampai di titik ini, tetapi kau tetap dingin dan datar terhadapku," keluh Anne pada akhirnya.
"Aku hanya capek dengan semua pekerjaan di kantor tidak lebih, Anne. Mengertilah!"
"Selama ini aku selalu mencoba mengerti semua urusanmu baik itu di kantor maupun di dalam rumah, tetapi kau sama sekali tidak melihatku. Kenapa kau jadi seperti ini padaku, Samuel?" Suara Anne mulai berbalut isak tangis.
Semua sudah dia tahan agar hatinya tidak terluka. Tetapi ternyata perlakuan suaminya sudah tidak dapat ditekan lagi.
Perlahan, bulir bening meluncur dari sudut mata indah itu. Samuel masih tetap tidak peduli, untuk melihat wajah Anne pun terasa enggan.
"Sudah, hentikan tangismu itu. Jangan kekanak-kanakan seperti itu, aku tidak apa-apa. Hanya pekerjaan yang melimpah saja," kata Samuel datar sambil melepas kemejanya lalu dilempar begitu saja ke keranjang pakaian kotor.
Anne masih diam menatap sosok suaminya yang berjalan masuk ke kamar mandi, bibirnya bergetar dengan kedua tangan mencengkeram ujung blaouse warna salem.
Tatapannya mulai berkabut, perlahan ia melangkah dan duduk di ujung ranjang menunggu Samuel hingga selesai.
"Kenapa masih diam diri di sana? Kau tidak ingin membereskan makan malam itu?" tanya Samuel begitu ia keluar dari kamar mandi.
Samuel keluar dengan rambut basah bahkan sisa air masih sesekali meluncur jatuh di wajah tampannya membuat Anne berpikir jauh mungkinkah suaminya itu memiliki wanita lain di luar sana. Beberapa malam setiap pria itu pulang larut malam pasti akan mandi dengan rambut basah.
Membayangkan hal itu membuat dada Anne terasa sesak, bibirnya terkatup rapat bahkan lidahnya menjadi kelu.
Untuk menyuarakan isi hati pun terasa sulit, kata yang sudah tersusun di otak tidak dapat keluar karena tenggorakannya tercekat. Hanya suara tangis terisak yang akhirnya lolos dari tenggorokan.
"Aku ngantuk, hentikan tangisanmu itu. Akan lebih baik jika kau pergi bereskan semua kotoran itu di meja makan!" Suara berat dan datar Samuel membuat tubuh Anne langsung berdiri lalu berjalan keluar.
Wanita itu terus berjalan menuju ruang makan, pandangannya menyapu seluruh isi meja itu. Semua menu hasil jerih payahnya sama sekali tidak disentuh oleh Samuel.
Lalu pandangannya teralih pada kalender yang tergantung di sisi lemari pendingin.
Bibir mungil Anne bergerak menimbulkan suara lirih. "Satu minggu lagi ulang tahunku. Apakah Samuel masih ingat? Mungkin sikap dinginnya beberapa bulan ini untuk membawa kejutan di hari ulang tahunku nanti.”
Gedung tua itu berderit setiap kali angin malam menyelinap melalui celah-celah kusamnya.Lampu redup bergoyang, menorehkan bayangan panjang di dinding yang retak — saksi bisu pada rahasia yang tak seharusnya hidup di dunia yang terbuka.Di sebuah ruangan kecil bertutup selimut kotor, Jeane duduk terhimpit, mata tajamnya mengamati setiap gerak penjaga yang lewat.Ia tahu waktu adalah musuhnya; namun keganasan pikiran adalah sekutu yang selalu setia.Jeane menarik napas panjang, menahan sakit yang sebenarnya setengah pura-pura.Sekian hari disekap membuat tubuhnya lelah, tapi otaknya malah menyala. Ia harus keluar.Harus — bukan hanya untuk kebebasannya sendiri, tetapi untuk melanjutkan rencananya: menghancurkan Samuel dan Anne, sekali untuk selamanya.Di luar pintu, dua penjaga bergantian berjaga. Mereka berpakaian gelap, wajah kebanyakan kosong — orang yang melakukan tugas karena upah, bukan karena kesetiaan.Jeane mengamati mereka seperti predator mengamati mangsa; dia tahu tepat tit
Malam di lorong rumah sakit terasa dingin, lampu-lampu remang membuat bayangan panjang menari di dinding.Di dalam kamar perawatan intensif, suara mesin berdenyut lembut, menandai napas dan detak jantung Anne yang mulai stabil.Samuel duduk di kursi samping ranjang, matanya merah karena kurang tidur, namun wajahnya dipenuhi rasa syukur yang tak terkatakan.Di pangkuannya, handuk kecil yang dipakai Anne untuk mengelap bibirnya masih tersampul.Anne, yang tubuhnya masih lemah, menoleh perlahan saat mendengar suara-suara wajah yang akrab di luar.Ia sengaja membuka mata samar, ingin merekam setiap nada suara Samuel yang menenangkan itu.Namun, ia tidak sengaja mendengar cuplikan percakapan yang bukan untuk telinganya — sebuah bisik yang berubah menjadi pengakuan dan sumpah.“Daryl… aku sudah urus semuanya,” gumam Samuel pelan, suaranya hanya untuk orang di dekatnya.“Dokumen legal, bukti transaksi, saksi-saksi — aku akan membersihkan nama Anne sampai bersih. Kalau itu berarti aku harus m
Suasana kamar ICU dipenuhi suara mesin yang berdengung pelan. Bau antiseptik yang khas memenuhi udara, dingin dan menusuk.Di samping ranjang putih bersih itu, Samuel duduk dengan tubuh yang sedikit membungkuk.Wajahnya tampak lelah, mata merah karena berhari-hari tidak tidur. Tangannya tak lepas menggenggam jemari Anne yang terasa dingin dan lemah.Sudah hampir seminggu Anne koma setelah kecelakaan mengerikan di panti asuhan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan bagi Samuel.Ia hanya bisa memohon pada Tuhan agar perempuan yang dia cintai kembali membuka matanya.Samuel mengusap rambut Anne dengan lembut.Suaranya parau ketika ia berbisik,“Anne tolong, bangunlah. Aku tidak peduli seberapa marah kau padaku, seberapa kecewamu padaku, asalkan kau tetap di sini bersamaku.”Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia merasa hancur, merasa gagal melindungi wanita yang selama ini menjadi pusat dunianya.Tiba-tiba, jemari Anne bergerak pelan di genggamannya. Samuel terhenyak dan jan
“Apa ini benar, Samuel?” teriak Tyas dengan wajah amarah dan luka. “Kau anakku sendiri, mencopot ibumu dari perusahaan yang kubangun bersama ayahmu?!”Samuel menatapnya tanpa gentar dan raut wajahnya penuh ketegasan. “Benar, Ma. Mulai hari ini, kau bukan lagi bagian dari perusahaan ini. Semua wewenangmu telah dicabut secara hukum.”Ruangan langsung riuh. Beberapa direksi saling berbisik, sebagian tampak terkejut, sebagian lagi tersenyum tipis karena sudah lama ingin melihat Tyas jatuh.Namun, sebagian direksi yang setia pada Tyas justru terlihat panik dan marah.Tyas berdiri dengan gerakan kasar hingga kursinya terjungkal ke belakang. “Apa kau sudah gila?!” teriaknya dengan wajah merah padam.Ia meraih tumpukan berkas di meja dan melemparkannya ke arah Samuel. Beberapa kertas berhamburan di udara dan jatuh berserakan di lantai.“Kau pikir kau bisa menghancurkan aku begitu saja? Aku yang membesarkanmu! Aku yang menjaga perusahaan ini saat kau belum bisa apa-apa!”Samuel tetap berdiri t
Ruang kerja Samuel dipenuhi oleh ketegangan. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja kayu mahoni, layar laptop menampilkan grafik, rekaman video, dan data transaksi keuangan.Lampu meja menyinari wajah Samuel yang tampak letih namun penuh tekad. Matanya merah karena kurang tidur, tetapi genggamannya pada pena tetap kuat.Di hadapannya, Daryl berdiri sambil membawa beberapa map tebal. Ia menatap tuannya dengan ekspresi khawatir.“Tuan Samuel,” katanya pelan, “ini semua bukti yang berhasil saya kumpulkan. Rekaman panggilan telepon, transfer dana ke rekening Jeane, dan dokumen yang menunjukkan Nyonya Tyas menggunakan wewenangnya untuk mengalihkan dana perusahaan. Tapi ….”Samuel mengangkat kepalanya dan sorot matanya menatap tajam Daryl. “Tapi apa, Daryl?”Daryl menelan ludah sebelum menjawab. “Tapi langkah ini berbahaya. Nyonya Tyas memiliki banyak pendukung di jajaran direksi. Jika Anda salah langkah, mereka bisa membalikkan keadaan dan menyerang Anda balik. Anda akan dianggap sebagai
Setelah beberapa jam berlalu. Samuel akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruang ICU di mana sang istri masih berada di sana karena mengalami kritis dan kondisinya terus menurun.Samuel berdiri di sisi ranjang, tubuhnya kaku namun jemarinya menggenggam tangan Anne erat-erat.Jemari itu dingin, rapuh, seakan hanya sehelai benang yang menahan hidupnya.“Anne?” panggil Samuel dengan suara lirih namun penuh rasa sakit. “Kumohon, jangan tinggalkan aku.”Air mata yang selama ini dia tahan jatuh juga membasahi kulit tangan Anne. Ia menunduk dan keningnya menempel pada punggung tangan istrinya.“Aku tidak tahu bagaimana hidupku tanpamu, Anne. Kau satu-satunya alasan aku bertahan menghadapi semua ini. Jika aku pernah membuatmu terluka, kumohon, maafkan aku.”Di balik kelopak matanya yang tertutup, Samuel membiarkan pikirannya terhanyut pada kenangan-kenangan mereka.Anne yang pertama kali dia temui di kafe kecil, senyumnya hangat namun malu-malu.Anne yang memeluknya erat saat mereka