Setelah malam penuh luka, Anne terbangun dengan semangat baru. Wanita itu seakan tidak pernah lelah untuk mendapatkan perhatian dari suaminya.
Apa pun akan dia usahakan agar sikap suaminya berubah seperti dulu, hangat dan penuh kasih sayang.
Seperti pagi sebelumnya, Anne kembali menyiapkan sarapan untuk Samuel sebelum pria itu berangkat kerja.
Bahkan kali ini menu yang disajikan terlihat mewah dan spesial. Semua Anne lakukan hanya untuk membuat Samuel kembali padanya.
"Selamat pagi, Sayang." Bahkan panggilan sayang pun diucapkan Anne untuk memancing selera makan suaminya, tetapi wajah datar itu masih muncul di sana.
Samuel berjalan menuju ke meja makan tanpa bersuara, tetapi tatapannya pada menu pagi itu terlihat sedikit bercahaya.
Hal ini membuat Anne mengulum senyum, hatinya bergetar saat menangkap sinar minat di mata suaminya.
"Duduklah, akan aku siapkan sarapan untukmu," kata Anne dengan lembut.
Wanita itu bergerak dengan cekatan dan terampil dalam menyiapkan sarapan, sepanjang kegiatan itu, bibirnya selalu melengkung indah menampilkan senyuman ceria.
Hati Anne sedikit berbunga, dia begitu bahagia mendapati suaminya mau menyendok makanan yang disiapkan.
Setelah melihat Samuel nyaman memulai sarapannya, Anne perlahan ikut duduk di kursi samping suaminya. Jemarinya mulai bergerak untuk menyiapkan sarapannya sendiri.
"Bagaimana rasanya? Aku sengaja membuat menu ini khusus untukmu,” ucap Anne penuh harap mendapat respon baik dari Samuel.
"Biasa saja."
Anne menatap wajah suaminya dengan raut wajah muram. Dia tahu pasti bahwa sejujurnya Samuel puas dengan masakannya pagi ini, hanya saja pria itu tidak mau terbuka. Hal ini terlihat dari cara makan yang pelan seakan menikmati rasa.
"Apa perlu aku bawakan untuk makan siangmu, Samuel?" tanya Anne dengan ragu.
Samuel mengangkat kepalanya menatap manik mata Anne, lalu kepalanya menggeleng. Setelahnya dia kembali fokus pada piringnya yang masih menyisakan sedikit.
"Jika begitu, apa perlu aku isi lagi menu yang lain pada piringmu?" tanya Anne lagi dengan suara lembut.
"Tidak. Katakan saja apa tujuanmu menyajikan semua ini dan sikapmu yang sok itu!"
Jleb! Susunan kata yang begitu dingin dan menekan membuat Anne menunduk.
Di bawah sana kedua tangannya saling bertaut dengan ibu jari bergerak gelisah. Hatinya seketika berubah pedih, dia mendengus perlahan agar Samuel tidak mendengar kegelisahan itu.
"Saat di pesta Mama kemarin begitu membuat hatiku sakit. Apa kau tidak tergerak untuk menyentuhku?" tanya Anne dengan keraguan di sana.
Perlahan wanita itu menoleh menghadap Samuel hanya ingin tahu bagaimana reaksi suaminya dengan kalimat tanya yang frontal itu.
Namun, dia kembali kecewa. Samuel sama sekali tidak merubah pola pada wajahnya, tetap datar.
Anne menelan salivanya, tiba-tiba dia merasa kenyang dengan suasana dingin yang selalu dihadirkan suaminya itu.
Peristiwa di pesta itu masih membekas di hatinya. Untuk alasan itu Anne harus menguatkan niat bertanya pada suaminya meskipun hasil akhir sudah dapat ditebak, tetapi dia tidak mau mundur sebelum berjuang.
"Aku tidak mandul, Samuel. Andai kau mau menyentuhku mungkin bisa hamil lebih cepat, aku ingin kita ke dokter," kata Anne dengan nada rendah.
Samuel menatap Anne sekilas lalu kembali tenggelam pada sisa makanan yang masih di piring. Setelahnya, dia meraih cangkir berisi kopi dan mulai meneguk perlahan. "Terserah!" jawabnya.
"Aku hanya ingin membuktikan pada seluruh keluargamu bahwa aku tidak mandul. Kau harus ikut, Samuel."
Anne berkata dengan tegas, kali ini wanita itu berani menaikkan nada bicaranya agar suaminya menanggapi kalimatnya itu.
"Ambilkan aku koran pagi ini di sana," perintah Samuel mengalihkan topik pembicaraan.
Anne lalu bangkit dari duduknya sambil menghembuskan napas panjang, dia mencoba bersabar dengan interaksi pagi itu.
Langkahnya yang panjang membuat Anne cepat kembali ke tempatnya semula. Pandangannya masih tertuju pada Samuel yang fokus pada berita bisnis pagi.
"Bagaimana dengan ingnku tadi, Samuel?" kejar tanya Anne.
Samuel tetap diam, tangan dan kedua matanya sibuk pada lembar koran itu membuat Anne mengusap dadanya.
Ia merasa diabaikan. Dengan kasar jemari Anne menyentak ujung koran itu dan menatap tajam pada Samuel.
"Tidak bisakah kau untuk sesaat memperhatikan percakapan ini, Samuel?" ujar Anne dengan nada sedikit lebih tinggi.
Samuel menatap dingin istrinya tanpa bersuara. Tatapan itu membuat tubuh Anne kaku, lengannya yang masih memegang ujung koran pagi perlahan turun. "Apa yang kau inginkan, Anne? Lakukan saja apa pun yang membuatmu puas!"
Anne menghela napas panjang berulang kali, saat ini dia terus berusaha menenangkan hatinya agar tetap sadar dengan sikap suaminya itu.
Namun, apa daya semua terhenti dan terputus begitu saja dengan kalimat yang keluar dari mulut Samuel.
Wanita itu menunduk, mencoba menetralkan perasaannya. Menata ulang kepingan cinta yang masih tersisa, lalu berusaha mengeluarkan suara lagi memohon pada suaminya.
"Lalu, kapan kau bisa datang ke dokter itu bersamaku?" tanya Anne dengan nada sedikit lebih rendah dari sebelumnya.
"Terserah."
"Bagaimana jika sore ini?"
"Hem."
Jawaban pendek dan datar membuat dada Anne sesak. Wanita itu kembali menekan emosinya agar tidak meledak yang akan berakibat fatal pada hubungan mereka. Anne tidak mau hal buruk terjadi pada pernikahannya, ia masih mencintai Samuel sama seperti dulu.
"Mama begitu ingin segera menggendong cucu dari kita, Samuel. Tidakkah hatimu tergerak untuk membuat beliau bahagia?"
Samuel tidak merespon kalimat Anne, pria itu justru bangkit dari duduknya sambil melipat koran pagi lalu mulai melangkah meninggalkan Anne dengan tatapan penuh emosi.
Brakk!
Telapak tangan Anne menggebrak meja dengan keras membuat tubuh Samuel berbalik menghadapnya. Pria itu tetap bungkam dan dingin menatap istrinya yang terlihat terbalut emosi.
"Apa aku ini hanya kaset rusak di hadapanmu hingga tak satu pun kalimat yang kuutarakan kau respon? Aku seperti bicara dengan tembok, kau tahu?"
Mata Clarissa sedikit menyipit lalu senyum di bibirnya melebar tipis, seolah sedang menimbang sesuatu yang hanya ia ketahui."Oh … istri," gumamnya pelan, namun cukup jelas untuk sampai ke telinga Anne.Nada bicaranya seperti gula yang dibubuhi racun—manis di permukaan, tapi menyisakan perih di dada."Senang bertemu dengan Anda, Anne," lanjut Clarissa sambil mengulurkan tangannya pada Anne. "Samuel tidak pernah bercerita bahwa dia memiliki istri secantik ini."Anne tersenyum sopan karena berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman yang menyusup di balik kulitnya.Jabatannya singkat, tapi Anne bisa merasakan sesuatu dalam genggaman itu—bukan sekadar formalitas, melainkan semacam pengukuran kekuatan."Terima kasih," jawab Anne dengan singkat.Samuel berdiri di antara keduanya, jelas ingin mengalihkan arah pembicaraan. "Clarissa, bagaimana kabar—"Namun Clarissa memotong dan melangkah setengah inci lebih dekat, hingga aroma parfum mewahnya menguar di udara di antara mereka."Kita sempat be
“Untukmu, Samuel. Hanya untukmu. Aku tidak pernah berniat menggoda pria lain selain suamiku sendiri,” lirih Anne seraya menahan diri untuk tidak menangis di hadapan suaminya itu.Namun, tatapan mata Samuel yang begitu tajam membuat Anne tidak bisa lagi menahan diri. Baru saja tangannya hendak menyentuh dada Samuel, pria itu langsung menolaknya."Sudahlah, lupakan saja semua ini. Aku terlalu lelah dan capek malam ini, jangan ganggu dengan hal yang tidak penting!"Usai berkata, Samuel pun melangkah meninggalkan Anne tanpa ada rasa bersalah setelah apa yang dia lakukan pada istrinya itu.Anne mendengus menyaksikan semua usahanya yang menemui kegagalan lagi dan lagi.Akhirnya wanita itu berjalan menuju meja makan untuk menikmati semua hidangan yang dia siapkan sejak sore sepulang dari salon.Tatapannya nanar melihat pada satu per satu mangkuk berisi sayur favorit suaminya itu.Bibirnya mengulas senyum getir mengingat semua usahanya akhir-akhir ini. Sungguh dia merasa begitu bodoh menghara
Sarapan pagi itu begitu membekas di hati Anne, hingga membuat wanita itu makin terluka akan sikap Samuel akhir-akhir ini. Kepergian Samuel ke kantor tanpa suara juga menambah luka di hati wanita itu.Anne berjalan menuju ke jendela, menatap kepergian suaminya dalam diam. Ia hanya berani melihat dari balik tirai tanpa keluar dan mengucap selamat jalan seperti jauh sebelumnya."Apa yang membuatmu berubah sejauh ini, Samuel? Aku hanya ingin kehangatan dan kasihmu seperti dulu," gumam Anne, lalu ia berjalan berbalik arah kembali ke meja makan.Semua menu pagi ini ludes tanpa sisa, hal ini sedikit mengobati sesak di dada Anne beberapa hari lalu. Anne segera membereskan alat makan yang kotor dan membawanya ke dapur untuk dicuci.Setelah semua kembali bersih, Anne berjalan masuk ke kamar lalu duduk di depan cermin meja rias miliknya.Pandangannya tertuju pada deretan make up yang jarang dia gunakan. Bibirnya melengkung seakan sebuah ide muncul di otak kecilnya."Apa aku harus berhias diri se
Setelah malam penuh luka, Anne terbangun dengan semangat baru. Wanita itu seakan tidak pernah lelah untuk mendapatkan perhatian dari suaminya.Apa pun akan dia usahakan agar sikap suaminya berubah seperti dulu, hangat dan penuh kasih sayang.Seperti pagi sebelumnya, Anne kembali menyiapkan sarapan untuk Samuel sebelum pria itu berangkat kerja.Bahkan kali ini menu yang disajikan terlihat mewah dan spesial. Semua Anne lakukan hanya untuk membuat Samuel kembali padanya."Selamat pagi, Sayang." Bahkan panggilan sayang pun diucapkan Anne untuk memancing selera makan suaminya, tetapi wajah datar itu masih muncul di sana.Samuel berjalan menuju ke meja makan tanpa bersuara, tetapi tatapannya pada menu pagi itu terlihat sedikit bercahaya.Hal ini membuat Anne mengulum senyum, hatinya bergetar saat menangkap sinar minat di mata suaminya."Duduklah, akan aku siapkan sarapan untukmu," kata Anne dengan lembut.Wanita itu bergerak dengan cekatan dan terampil dalam menyiapkan sarapan, sepanjang ke
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi saat mentari hangat menyapa kulit lengan Anne yang sedikit tersingkap membuat wanita itu terbangun.Pertama yang dilihat adalah sisi kanannya yang biasa digunakan Samuel. Tempat itu kosong, dan membuatnya tersenyum kecut.Sejak pulang dari pesta itu, suaminya sama sekali tidak menyentuhnya bahkan untuk bersuara pun tidak ada. Anne mendengus lirih, lalu ia bangkit dan memaksa kakinya melangkah menuju ke kamar mandi.Beberapa saat setelah merasa tubuhnya segar, ia pun keluar dari kamar. Suasana rumah pagi hari terlihat rapi bahkan cenderung sepi tanpa aktivitas.Anne langsung berjalan menuju ke dapur tempat biasa ia menghabiskan waktu untuk membuang rasa sepi yang sering melanda beberapa bulan terakhir ini."Sebenarnya apa yang kau inginkan dengan pernikahan ini, Anne?""Suami yang gila kerja atau memang sudah menginginkan kehadiranmu?"Kedua lengan Anne terus bergerak meskipun bibirnya berbicara sendiri. Pikirannya pun ikut berkelana mencari sesuat
Lain hari, di sore yang cerah Anne duduk sendiri di teras rumah. Ia masih memikirkan hal yang membuat suaminya bersikap dingin.Mencari kesalahan apa yang dia perbuat hingga Samuel semakin dingin dan datar bahkan cenderung lebih banyak menghindar darinya. Suara dering ponsel miliknya yang berada di meja samping ia duduk telah menyadarkan dari lamunan itu.Perlahan diangkat panggilan dari Samuel, "Iya, ada apa, Samuel?"Untuk beberapa saat Anne terdiam, mendengarkan apa yang dikatakan oleh suaminya, ia pun mengangguk tanda mengerti dengan informasi yang diterima telinganya."Baiklah, aku akan bersiap sebelum kau datang," jawab Anne."Tidak perlu, kau langsung saja berangkat sendiri dari rumah. Aku harus mampir dulu untuk membeli kado untuk Mama." Suara Samuel masih terdengar datar dan tegas saat memberi perintah pada istrinya.Anne menghela napas panjang, dia sebenarnya tidak lupa dengan hari itu yang bertepatan hari ulang tahun ibu mertuanya.Namun, seperti tahun sebelumnya, dia selal