"Selamat pagi," sapa Anne dengan nada lembut. Senyumnya mengembang ketika melihat Samuel melangkah dengan setelan rapi, dasi yang belum sepenuhnya terikat dengan baik, serta ekspresi wajah yang datar seperti biasa.
Samuel hanya mengangguk tipis tanpa membalas sapaannya. Dia berjalan menuju rak sepatu dan mengambil jas yang tergantung di sana.
"Aku sudah siapkan sarapan untukmu. Ada roti panggang, telur, dan sup ayam kesukaanmu. Kopinya juga masih panas," ujar Anne berusaha terdengar ceria.
Pagi itu, aroma roti panggang dan telur yang digoreng dengan hati-hati memenuhi udara di dapur kecil mereka.
Anne berdiri di depan kompor, sesekali meniup anak rambut yang jatuh di keningnya sambil terus mengaduk sup hangat di panci kecil.
Dia menyiapkan semuanya dengan telaten; roti yang renyah, telur setengah matang sesuai kesukaan Samuel, hingga kopi hitam tanpa gula yang selalu menjadi penutup sarapan suaminya.
Wajah Anne terlihat cerah, seolah dia masih berharap ada kehangatan yang bisa tercipta dari meja makan mereka pagi ini.
Ia lalu menuang kopi ke dalam cangkir putih kesukaan Samuel, menatanya di meja makan yang telah rapi. Semua sudah siap, tinggal menunggu sang suami turun dari kamar.
Samuel melirik sekilas ke arah meja makan lalu kembali merapikan dasinya di depan cermin dekat pintu.
"Tidak usah repot-repot buatkan sarapan lagi untukku," ucap Samuel datar bahkan tanpa menoleh sedikit pun ke arah istrinya itu.
Anne mengerutkan dahi. "Kenapa begitu? Apa aku salah menyiapkannya? Aku bisa buatkan yang lain jika kau tidak suka,” ucap Anne dengan hati-hati.
"Tidak perlu, Anne." Samuel kembali meluruskan dasinya. Dia bahkan berbicara dengan nada dingin dan datar seperti biasa.
"Tapi aku hanya ingin—"
"Sudahlah," potong Samuel kemudian mendesah malas. Dia akhirnya menoleh sekilas, namun tidak dengan tatapan penuh perhatian, melainkan tatapan kosong yang nyaris membuat Anne menciut.
Anne menghela napas pelan dan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Apa kau memang sengaja terus bersikap begini padaku?"
Samuel tidak menjawab. Tangannya sibuk merapikan jas di pundaknya.
“Sudah dua tahun terakhir ini kau selalu bersikap dingin padaku, seolah aku ini hanya patung di rumah ini. Dulu, kau masih sering mencium keningku sebelum berangkat.
“Kadang juga berpesan supaya aku hati-hati di rumah. Tapi sekarang ... bahkan bayanganmu saja nyaris tak pernah sempat kulihat," lanjut Anne lirih dan matanya mulai berkaca-kaca. "Apa sebenarnya salahku, Samuel?”
Samuel akhirnya memalingkan wajah ke arahnya. Tapi lagi-lagi bukan dengan ekspresi yang Anne harapkan. Wajah itu tetap datar, seperti tidak peduli.
"Apa pentingnya membahas ini, Anne? Aku merasa biasa saja. Tidak ada yang berubah dalam diriku,” ucapnya membela diri sendiri dan menyangkal akan perubahan sikapnya tersebut.
"Biasa saja?" Anne menahan getir di tenggorokannya. "Bagimu mungkin biasa saja. Tapi bagi perempuan yang setiap hari menunggumu di rumah, ini tidak biasa, Samuel. Aku tidak mengerti kenapa semua berubah. Aku tidak tahu apa yang salah dalam diriku.”
Samuel menarik napas berat, tapi tetap saja tidak menanggapi. Dia hanya menatap cermin lagi, memastikan semuanya rapi di tubuhnya.
"Kalau memang aku melakukan kesalahan, setidaknya beritahu aku agar bisa aku perbaiki," desak Anne dengan suara sedikit gemetar.
"Tidak ada yang salah, Anne," jawab Samuel dingin. "Aku hanya tidak suka membahas hal yang tidak penting."
"Bagimu ini tidak penting?" Suara Anne meninggi, tapi masih tertahan oleh kesabarannya yang tipis. "Bagimu ... perasaan istrimu ini tidak penting?"
Samuel memandang Anne beberapa detik. Lalu, tanpa sepatah kata pun, dia melangkah ke arah pintu, membuka dan menutupnya dengan suara pelan namun tegas. Tidak ada pamit, tidak ada salam. Hanya keheningan yang tertinggal.
Anne tertegun di tempatnya, matanya kosong menatap pintu yang kini tertutup rapat. Samar-samar terdengar suara mesin mobil dinyalakan, lalu perlahan menjauh.
Dapur itu kembali sunyi, hanya menyisakan suara jam dinding yang berdetak pelan.
Dia berjalan pelan ke meja makan, menarik kursi yang sedari tadi kosong di hadapannya. Dia duduk perlahan, memandangi sarapan yang masih hangat di atas meja.
Piring itu seharusnya untuk Samuel, tapi kini hanya jadi saksi bisu kesendiriannya.
Anne menunduk, kedua tangannya mengusap perutnya yang masih datar. Hampa. Seperti dirinya. Seperti rumah ini tanpa kehadiran Samuel yang sesungguhnya.
Sudah empat tahun mereka menikah. Empat tahun yang awalnya penuh harapan dan cinta.
Tapi semuanya terasa pudar, terutama dua tahun terakhir saat kehangatan Samuel perlahan memudar seperti kabut pagi yang tersapu angin.
"Empat tahun," bisiknya getir. "Empat tahun aku menanti, tapi perut ini masih kosong."
Air mata akhirnya jatuh perlahan di pipinya. Tangis yang ditahannya pecah dalam diam, hanya disaksikan piring dan cangkir kopi yang mulai mendingin.
Ia meremas perutnya pelan, seolah ingin berbicara pada rahim yang masih belum juga memberinya kehidupan baru.
"Apa karena aku tidak kunjung hamil ... maka dari itu dia bersikap seperti ini padaku?" gumam Anne pelan.
“Atau sebenarnya diam-diam dia memiliki wanita lain yang mampu memberinya anak?”
Mata Clarissa sedikit menyipit lalu senyum di bibirnya melebar tipis, seolah sedang menimbang sesuatu yang hanya ia ketahui."Oh … istri," gumamnya pelan, namun cukup jelas untuk sampai ke telinga Anne.Nada bicaranya seperti gula yang dibubuhi racun—manis di permukaan, tapi menyisakan perih di dada."Senang bertemu dengan Anda, Anne," lanjut Clarissa sambil mengulurkan tangannya pada Anne. "Samuel tidak pernah bercerita bahwa dia memiliki istri secantik ini."Anne tersenyum sopan karena berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman yang menyusup di balik kulitnya.Jabatannya singkat, tapi Anne bisa merasakan sesuatu dalam genggaman itu—bukan sekadar formalitas, melainkan semacam pengukuran kekuatan."Terima kasih," jawab Anne dengan singkat.Samuel berdiri di antara keduanya, jelas ingin mengalihkan arah pembicaraan. "Clarissa, bagaimana kabar—"Namun Clarissa memotong dan melangkah setengah inci lebih dekat, hingga aroma parfum mewahnya menguar di udara di antara mereka."Kita sempat be
“Untukmu, Samuel. Hanya untukmu. Aku tidak pernah berniat menggoda pria lain selain suamiku sendiri,” lirih Anne seraya menahan diri untuk tidak menangis di hadapan suaminya itu.Namun, tatapan mata Samuel yang begitu tajam membuat Anne tidak bisa lagi menahan diri. Baru saja tangannya hendak menyentuh dada Samuel, pria itu langsung menolaknya."Sudahlah, lupakan saja semua ini. Aku terlalu lelah dan capek malam ini, jangan ganggu dengan hal yang tidak penting!"Usai berkata, Samuel pun melangkah meninggalkan Anne tanpa ada rasa bersalah setelah apa yang dia lakukan pada istrinya itu.Anne mendengus menyaksikan semua usahanya yang menemui kegagalan lagi dan lagi.Akhirnya wanita itu berjalan menuju meja makan untuk menikmati semua hidangan yang dia siapkan sejak sore sepulang dari salon.Tatapannya nanar melihat pada satu per satu mangkuk berisi sayur favorit suaminya itu.Bibirnya mengulas senyum getir mengingat semua usahanya akhir-akhir ini. Sungguh dia merasa begitu bodoh menghara
Sarapan pagi itu begitu membekas di hati Anne, hingga membuat wanita itu makin terluka akan sikap Samuel akhir-akhir ini. Kepergian Samuel ke kantor tanpa suara juga menambah luka di hati wanita itu.Anne berjalan menuju ke jendela, menatap kepergian suaminya dalam diam. Ia hanya berani melihat dari balik tirai tanpa keluar dan mengucap selamat jalan seperti jauh sebelumnya."Apa yang membuatmu berubah sejauh ini, Samuel? Aku hanya ingin kehangatan dan kasihmu seperti dulu," gumam Anne, lalu ia berjalan berbalik arah kembali ke meja makan.Semua menu pagi ini ludes tanpa sisa, hal ini sedikit mengobati sesak di dada Anne beberapa hari lalu. Anne segera membereskan alat makan yang kotor dan membawanya ke dapur untuk dicuci.Setelah semua kembali bersih, Anne berjalan masuk ke kamar lalu duduk di depan cermin meja rias miliknya.Pandangannya tertuju pada deretan make up yang jarang dia gunakan. Bibirnya melengkung seakan sebuah ide muncul di otak kecilnya."Apa aku harus berhias diri se
Setelah malam penuh luka, Anne terbangun dengan semangat baru. Wanita itu seakan tidak pernah lelah untuk mendapatkan perhatian dari suaminya.Apa pun akan dia usahakan agar sikap suaminya berubah seperti dulu, hangat dan penuh kasih sayang.Seperti pagi sebelumnya, Anne kembali menyiapkan sarapan untuk Samuel sebelum pria itu berangkat kerja.Bahkan kali ini menu yang disajikan terlihat mewah dan spesial. Semua Anne lakukan hanya untuk membuat Samuel kembali padanya."Selamat pagi, Sayang." Bahkan panggilan sayang pun diucapkan Anne untuk memancing selera makan suaminya, tetapi wajah datar itu masih muncul di sana.Samuel berjalan menuju ke meja makan tanpa bersuara, tetapi tatapannya pada menu pagi itu terlihat sedikit bercahaya.Hal ini membuat Anne mengulum senyum, hatinya bergetar saat menangkap sinar minat di mata suaminya."Duduklah, akan aku siapkan sarapan untukmu," kata Anne dengan lembut.Wanita itu bergerak dengan cekatan dan terampil dalam menyiapkan sarapan, sepanjang ke
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi saat mentari hangat menyapa kulit lengan Anne yang sedikit tersingkap membuat wanita itu terbangun.Pertama yang dilihat adalah sisi kanannya yang biasa digunakan Samuel. Tempat itu kosong, dan membuatnya tersenyum kecut.Sejak pulang dari pesta itu, suaminya sama sekali tidak menyentuhnya bahkan untuk bersuara pun tidak ada. Anne mendengus lirih, lalu ia bangkit dan memaksa kakinya melangkah menuju ke kamar mandi.Beberapa saat setelah merasa tubuhnya segar, ia pun keluar dari kamar. Suasana rumah pagi hari terlihat rapi bahkan cenderung sepi tanpa aktivitas.Anne langsung berjalan menuju ke dapur tempat biasa ia menghabiskan waktu untuk membuang rasa sepi yang sering melanda beberapa bulan terakhir ini."Sebenarnya apa yang kau inginkan dengan pernikahan ini, Anne?""Suami yang gila kerja atau memang sudah menginginkan kehadiranmu?"Kedua lengan Anne terus bergerak meskipun bibirnya berbicara sendiri. Pikirannya pun ikut berkelana mencari sesuat
Lain hari, di sore yang cerah Anne duduk sendiri di teras rumah. Ia masih memikirkan hal yang membuat suaminya bersikap dingin.Mencari kesalahan apa yang dia perbuat hingga Samuel semakin dingin dan datar bahkan cenderung lebih banyak menghindar darinya. Suara dering ponsel miliknya yang berada di meja samping ia duduk telah menyadarkan dari lamunan itu.Perlahan diangkat panggilan dari Samuel, "Iya, ada apa, Samuel?"Untuk beberapa saat Anne terdiam, mendengarkan apa yang dikatakan oleh suaminya, ia pun mengangguk tanda mengerti dengan informasi yang diterima telinganya."Baiklah, aku akan bersiap sebelum kau datang," jawab Anne."Tidak perlu, kau langsung saja berangkat sendiri dari rumah. Aku harus mampir dulu untuk membeli kado untuk Mama." Suara Samuel masih terdengar datar dan tegas saat memberi perintah pada istrinya.Anne menghela napas panjang, dia sebenarnya tidak lupa dengan hari itu yang bertepatan hari ulang tahun ibu mertuanya.Namun, seperti tahun sebelumnya, dia selal