Malam itu udara terasa pekat dengan aroma anggur merah dan cahaya lilin yang masih tersisa di meja makan.Samuel menutup botol anggur sementara pandangannya tak lepas dari Anne yang sedang membereskan piring dengan senyum lembut.“Biarkan saja,” ucap Samuel serak dan berat oleh sesuatu yang lebih dari sekadar kehangatan.Anne menoleh dan menatapnya dengan alis terangkat. “Kalau tidak dibereskan sekarang, besok pagi kita—”Kata-katanya terhenti ketika Samuel mendekat. Tangannya terulur dan menahan jemari Anne yang masih menggenggam piring. Tatapan matanya dalam, seakan menyimpan bara yang tak lagi bisa dipadamkan.“Besok bisa menunggu. Malam ini, aku hanya ingin kau.”Anne tercekat. Piring di tangannya diletakkan begitu saja di meja. Dalam detik berikutnya, Samuel menariknya hingga tubuh mereka rapat.Dada bidangnya menempel pada dada Anne hingga membuatnya bisa merasakan detak jantung pria itu yang berdegup kencang, seirama dengan debar miliknya.Lelaki itu menunduk lalu bibirnya meny
Aroma harum memenuhi udara rumah megah itu. Di dapur yang bersih dan tertata rapi, Anne tampak sibuk memotong sayuran dan memeriksa kuah kaldu yang tengah mendidih.Malam ini ia ingin menyiapkan makan malam yang spesial untuk Samuel, suaminya.Bukan hanya sekadar hidangan, tapi juga bentuk cintanya, permintaan maaf, dan harapannya agar hubungan mereka kembali hangat seperti dulu.Anne bersenandung pelan, bibirnya tersungging senyum tipis. Tangannya cekatan menuangkan saus rahasia ke dalam wajan, kemudian mengaduknya dengan penuh perhatian.Ia memilih menu berbeda dari makan siang tadi—jika siang tadi ia membuatkan makanan favorit Samuel berupa steak dengan saus jamur, kali ini ia memasak pasta seafood yang Samuel sukai sejak mereka pertama kali berkencan.Di sudut dapur, seorang pelayan wanita bernama Rina memperhatikan sambil tersenyum geli. Ia lalu menggoda majikannya.“Wah, Nyonya Anne kelihatan sumringah sekali malam ini,” ujarnya sambil menyandarkan tubuh ke meja.“Masakan ini pa
“Papa,” panggil Jeane dengan mata yang berkilat penuh rasa ingin tahu. “Bagaimana? Apa Papa sudah bicara dengan Samuel?”James menghela napas panjang lalu mengangguk. “Ya. Aku sudah bicara dengannya, Jeane.”Wajah Jeane langsung berseri. Dia melangkah maju, seolah sebentar lagi akan mendengar kabar baik yang sudah lama ia tunggu.“Lalu? Bagaimana? Apa dia … akhirnya mau mendengar penjelasan kita? Atau … dia bersedia melepaskan Anne?”Namun, yang keluar dari bibir James membuat senyum Jeane runtuh dalam sekejap.“Samuel tidak akan pernah menceraikan Anne,” ujar James dengan nada datar namun pasti.Seolah petir menyambar di siang bolong, Jeane membeku. “A-apa?” suaranya bergetar penuh ketidakpercayaan.“Papa, itu tidak mungkin! Samuel! Dia … dia harusnya sadar siapa yang terbaik untuknya!”James menatap anaknya dengan tatapan dalam lalu menggeleng pelan. “Tidak, Jeane. Dari cara Samuel bicara, aku bisa melihat betapa dia mencintai Anne.“Dia bahkan tidak memberikan celah sedikit pun unt
Lima belas menit kemudian, Anne tiba di kafe Elena.Namun, senyumnya langsung memudar ketika melihat Elena berdiri di balik meja kasir dengan tangan terlipat di dada, wajahnya tegang dan mata menyipit penuh amarah.“Elena?” Anne mencoba membuka percakapan dengan suara hati-hati.Namun, Elena sudah lebih dulu menghentakkan tangannya ke meja.“Anne Margareth Davis! Ke mana saja kamu kemarin?!” suaranya meninggi dan membuat beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi menoleh penasaran.“Kenapa tidak pulang? Kenapa tidak angkat telepon? Kenapa tidak membalas pesan siapa pun, termasuk aku?!”Anne terdiam seolah merasa seperti seorang anak kecil yang ketahuan berbuat salah. Dia kemudian menghela napas kasar menatap Elena yang tengah memarahinya.“Aku … aku minta maaf, Elena,” ucapnya dengan pelan nyaris tak terdengar.“Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu khawatir. Aku hanya butuh waktu sendiri. Aku salah karena tidak memberitahumu ke mana aku pergi.”Elena mengembuskan napas keras,
Anne duduk dengan tangan bertumpu di pangkuannya dan matanya hangat memandang Samuel yang tengah menyantap makan siang yang dia siapkan sendiri.Melihat suaminya menikmati setiap suapan dengan lahap membuat dada Anne terasa penuh oleh rasa haru.Ini pertama kalinya setelah sekian lama Samuel memakan masakannya tanpa komentar apa pun, hanya diam dan menikmati.‘Sungguh … ini terasa seperti mimpi,’ batin Anne hingga senyum tipis terlukis di wajahnya.Samuel akhirnya meletakkan sendok dan garpu lalu mengambil serbet untuk mengusap bibirnya. “Habis,” katanya singkat, namun jelas.Anne tersenyum lebar. “Benarkah? Aku senang sekali kamu menyukainya.”Suaranya dipenuhi rasa bangga sekaligus lega. Dia hampir lupa bagaimana rasanya saat masakannya benar-benar dihargai oleh Samuel.Baru saja Anne hendak berbicara lebih jauh, suara dering ponsel memecah kehangatan itu.Samuel merogoh sakunya dan melihat nama yang tertera di layar, lalu berdiri untuk menerima panggilan tersebut.“Ya, ini Samuel,”
“Kau ... membawakan makan siang untukku?” tanyanya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.Anne menganggukkan kepalanya. Namun, baru saja Anne hendak bersuara lagi, Clarissa menimpali.“Anne, sayang sekali kau datang di waktu yang kurang tepat,” ucap Clarissa sambil merapikan rambutnya.“Sebenarnya, aku sudah melakukan reservasi di restoran mahal untuk makan siang bersama Samuel. Bahkan dia sudah setuju untuk pergi denganku.”Anne yang tengah berdiri dengan kotak bekal di tangan seketika membeku. Kata-kata itu menghujam tepat di dadanya.Senyum yang tadinya dia pertahankan perlahan memudar, berganti dengan ekspresi terkejut dan sedih. Jemarinya yang menggenggam kotak bekal terasa lemah, hampir terlepas.“Setuju ... untuk makan siang denganmu?” Anne berbisik lirih.Clarissa mengangguk dan senyumnya semakin lebar dan menusuk. “Tentu saja. Bukankah wajar? Kami punya proyek yang sedang berjalan, dan ada banyak hal penting yang harus dibicarakan di luar kantor. Aku rasa,