Beranda / Rumah Tangga / Tuan Dingin & Nyonya Luka / Kebaikan yang Dituduh Salah

Share

Tuan Dingin & Nyonya Luka
Tuan Dingin & Nyonya Luka
Penulis: Borneng

Kebaikan yang Dituduh Salah

Penulis: Borneng
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-19 17:19:26

Kebaikan yang Dituduh Salah

Sore itu, Jifanya baru saja pulang dari kampus. Langkahnya melambat saat melihat seorang gadis kecil di pinggir jalan. Usianya mungkin belum genap sepuluh tahun. Tubuh mungilnya terbungkus kostum kartun berwarna cerah, yang kini basah oleh keringat dan debu jalanan. Ia berjoget kaku sambil melambaikan tangan ke arah kendaraan yang lewat. Mata anak itu tampak lelah, bibirnya pecah-pecah, menahan haus di bawah sengatan matahari yang terik.

Di seberangnya, seorang wanita duduk nyaman di bawah pohon rindang. Dengan santainya ia menyeruput es teh dari plastik, seolah tidak ada hubungan dengan anak yang sedang berjuang di bawah terik matahari.

Jifanya menatap keduanya dalam diam. Hatinya menegang.

Sore harinya, di kontrakan petakan yang ia tinggali, suara tangis anak itu kembali terdengar. Tangisan yang menyesakkan dada.

“Hanya ini uang yang kamu bawa?!” bentak suara perempuan dari rumah sebelah.

“Iya Ma… aku lapar, makanya aku pulang,” jawab anak itu lirih, penuh ketakutan.

“Jangan pulang kalau kamu nggak bawa banyak uang! Kamu nggak boleh makan!” teriak wanita itu disusul bunyi benda tumpul menghantam tubuh kecil. Jifanya membeku.

“Ampun Ma, sakit Ma,” sauara tangisan yang memilukan hati.

“Sudah berapa kali aku bilang! Kamu tidak boleh pulang kalau tidak membawa uang yang banyak!

Tangisan pilu itu seperti jeritan yang merobek telinganya. Ia tidak bisa tinggal diam. Hatinya yang selembut sutra menolak untuk membiarkan anak sekecil itu terus disiksa.

Sementara tetangga lainnya tetap tenang seolah hal itu sudah jadi hiburan sore biasa. Tidak ada yang keluar rumah, tidak ada yang bicara. Semua memilih bungkam.

“ibu yang jahat,” gumam Jifanya.

‘Apa aku satu-satunya manusia waras di tempat ini?’ batin Jifanya penuh kemarahan.

Dengan tekad bulat, Jifanya keluar dari rumah dan mendorong pintu rumah sebelah. Ia menyeret wanita gila itu keluar rumah sambil memeluk tubuh anak kecil yang penuh luka.

“Cukup Bu, jangan memukuli anak seperti itu.”

“Lepaskan saya! Kamu siapa hah?! Dasar sok pahlawan!” teriak wanita itu, mencoba memukul Jifanya dengan sapu.

“Ibu bisa kena pasal, kalau melakukan kekerasan pada anak-anak,” ujar Jifanya.

“Apa urusanmu dia anak saya!”

“Sekalipun dia anak Ibu tidak boleh melakukan kekerasan pada anak. Apa ibu mau saya laporkan?”

Wanita itu semakin marah. “Jangan ikut canmpur urusan saya.” Dia mengangkat gagang sapu ingin memulul Jifanya.

Beruntung, Tina—teman Jifanya datang ke kontrakan itu—langsung melambai ke arah jalan. Seorang pria yang kebetulan sedang melintas, menghentikan motornya dan turun.

“Ibu, tolong jangan kasar begitu. Astagfirullahaladzim,” ujar sang pria dengan tenang, menahan tangan sang ibu yang masih mengacungkan sapu.

“Kalian keroyokan ya?! Dasar anjing kalian semua! Mau sok jadi pahlawan, hah?!” Wanita itu menggila. Segala kebun binatang keluar dari mulutnya. Namun Jifanya tetap diam. Ia memeluk  anak kecil itu, dan membawanya masuk ke rumah.

“Jifanya! Apa yang terjadi?” tanya Tina yang sejak tadi masih belum memahami permasalahan.

“Ibu ini mukulin anaknya, Tin. Kasihan banget. Tangannya lebam.”

Tina menggeleng pelan. “Ji, kamu ikut campur  lagi masalah orang. Nanti malah kamu yang repot.”

“Tina, ini anak kecil. Apa kita harus tunggu dia mati dulu baru bergerak?”

Dari sudut lain, seorang pria datang mendekat. Ia tampaknya  kesal melihat Jifanya selalu mengurusi masalah orang lain. Sebenarnya bukan terlalu mengurusi masalah orang lain, Jifanya hanya punya rasa sosial yang tinggi.

“Jifanya, kamu baru pindah ke sini. Hati-hati kalau bersikap. Jangan ikut campur urusan rumah tangga orang,” ujarnya marah, waqjahnya terlihat kesal. Dia kekasih Jifanya.

“Tapi ini bukan sekadar urusan rumah tangga, Mas. Ini kekerasan anak,” bantah Jifanya tanpa gentar.

Tina hanya mendesah. “Kamu terlalu sering begini Ji. Aku dan Fahar udah capek menasihatin kamu.”

Memang bukan sekali ini Jifanya ikut campur dalam urusan seperti ini. Ia sudah sering menolong anak-anak korban kekerasan, meski berakhir harus berurusan dengan polisi.

Sore itu, saat Jifanya sedang membersihkan luka di tangan Anak tersebut, suara gaduh datang dari luar. Wanita gila itu datang bersama ketua RT dan RW. Wajahnya penuh amarah.

“Itu, Pak! Mereka mau menculik anak saya!” tuduhnya lantang.

Jifanya berdiri, menatap mereka dengan tenang. “Saya hanya menyelamatkan anak ini, Pak. Dia dipukul sampai lebam.”

Ketua RT, seorang pria bertubuh gempal, menatap sinis. “Mbak ini baru pindah, ya? Jangan cari masalah di sini.”

Jifanya terkejut. “Pak, ini bukan soal baru atau lama. Ini soal anak-anak yang disiksa. Masa kita diam saja?”

Pak RW ikut menimpali, “Dia ibunya, Mbak. Kalau pun keras, itu bagian dari mendidik.”

“Mendidik, Pak?” Jifanya menatap keduanya tajam. “Kalau mendidik pakai pukulan sampai biru-biru, itu bukan pendidikan, itu penyiksaan.”

Jifanya menoleh ke arah para ibu-ibu tetangga yang melihat dari kejauhan. “Ibu-ibu semua tahu kan? Tapi kenapa diam saja?”

Tak satu pun yang menjawab. Semua menunduk. Takut atau pura-pura tuli, Jifanya tak peduli.

“Sudah, Mbak. Jangan urusin keluarga orang. Mas, tolong temannya dikasih tahu temannya. Jangan bikin keributan,” kata Pak RW pada kekasih Jifanya.

Wanita itu menunjuk Jifanya dengan garang. “Kamu akan saya laporkan ke polisi karena menculik dan mukul saya!”

“Silakan, Bu. Saya nggak takut. Justru saya yang akan laporin Ibu karena menyiksa anak,” sahut Jifanya lantang.

Wajahnya dingin tapi hatinya masih gemetar karena geram. Tina menahan lengan Jifanya, “Udah, Ji. Jangan ribut. Kamu malah tambah runyam.”

Tapi perdebatan itu belum selesai. Kekasih Jifanya datang dan ikut-ikutan marah.

“Cukup, Jifanya! Aku capek! Capek banget urusin kamu yang selalu ikut campur urusan orang lain! Dulu kamu pindah kontrakan karena laporin bapak-bapak yang mukulin anaknya. Sekarang kamu dilaporin RT-RW karena ikut campur urusan orang tua yang katanya cuma ‘mendidik’. Aku beneran lelah!”

Sang Kekasih meninggalkan Jifanya tanpa menoleh. Hati Jifanya semakin sesak. Sakit rasanya saat niat baik justru dibalas dengan tuduhan.

Menjelang senja, suara motor polisi berhenti di depan kontrakan. Beberapa polisi datang. Mereka membawa surat panggilan.

“Saudari Jifanya, ikut ke kantor. Ibu Santi dan Pak RT melaporkan Anda atas dugaan penculikan anak dan pemukulan.”

Tina terkejut. “Hah? Ji, kamu serius dipanggil polisi?”

Jifanya hanya menghela napas. “Kadang, niat baik tidak selalu disambut baik. Tapi aku tidak akan pernah berhenti menolong jika melihat ketidakadilan.”

Ia melangkah maju, menatap para petugas dengan wajah tegar, meski dadanya penuh luka. Sementara anak kecil yang ia lindungi, menangis pelan memanggil namanya.

“Mbak Jifanya… jangan pergi…”

Bukankah yang menolong seharusnya dilindungi, bukan dipenjara?

Bersambung

Jangan lupa berikan dukungannya untuk karya baru saya, ya kakak terimakasih banyak

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Kepergian yang Mengguncang

    Pagi itu, mentari baru saja merangkak naik, menyinari jendela kamar Dila yang tirainya masih setengah tertutup. Suara burung yang bertengger di dahan mangga terdengar samar, namun hati Dila justru merasa berat begitu ia membuka mata. Ia menguap pelan, lalu meraih ponselnya di meja nakas. Jemarinya yang masih malas menekan layar, membuka aplikasi WhatsApp.Namun pandangannya langsung terhenti pada sebuah status yang tak biasa."Selamat jalan Oma, semoga khusnul khotimah. Aamiin."Status itu ditulis oleh Jifanya.Bola mata Dila membesar, napasnya tercekat. Seakan tubuhnya tersengat listrik, ia sontak duduk tegak.“Apa? Nenek Jifanya meninggal? Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” bisiknya, nyaris tak percaya.Tanpa menunda, ia segera menekan nomor Jifanya. Suara dering panjang membuat dadanya semakin sesak. Hingga akhirnya terdengar suara lirih di seberang sana.“Halo, Kak Dila,” suara itu parau, bergetar, seperti seseorang yang tengah menahan tangis.“Ji... apa benar nenek kamu meningg

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Di Antara Janin dan Kepergian

    Senja baru saja merayap di langit kota ketika Dila, dengan amarah yang ditahan-tahan, menelepon dua pria yang sangat dikenalnya: Kenan dan Bayu. Wajahnya pucat, matanya memerah. Ia meminta mereka segera pulang. Ada hal besar yang harus diselesaikan.Tak lama kemudian, suara langkah kaki menggema di halaman rumah keluarga besar mereka. Kenan tiba lebih dulu, duduk di kursi kayu depan rumah, matanya menatap kosong ke arah halaman, dingin seperti biasanya. Tak berselang lama, Bayu menyusul. Ia hanya menunduk, duduk tanpa kata.Dila menghampiri Kenan dengan emosi yang meledak-ledak. Di tangannya tergenggam kertas yang sudah kusut. Ia melemparkan kertas itu ke dada Kenan."Apa benar kamu menyuruh Jifanya menggugurkan kandungannya? Apa kamu sejahat itu, Mas? Lalu untuk apa kamu menikahinya?" suaranya mengguncang udara petang itu.“Aku... tidak tahu,” jawab Kenan, pelan namun tegas. Ekspresinya tetap datar, namun matanya menyimpan badai.“Pak Kenan, Pak Polisi yang terhormat!” Dila mencemooh

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Janin di Ujung Luka

    Siang itu terik luar biasa. Matahari seakan murka, membakar jalanan kota hingga aspal pun menguapkan panas menyengat. Lalu lintas ramai, klakson kendaraan bersahut-sahutan, namun di tengah hiruk pikuk itu, seorang wanita muda duduk diam di bangku taman. Wajahnya menunduk, matanya sembab, jemarinya menggenggam selembar kertas seakan nyawanya bertumpu di sana.Dia adalah Jifanya.Baru saja ia keluar dari kafe tempatnya bertemu Bayu—lelaki yang masih saja berusaha menebus kesalahan besar yang tak termaafkan. Tatapan penuh rasa bersalah itu selalu menghantuinya. Tapi Jifanya tidak butuh penyesalan, ia butuh kepastian.Selembar kertas di tangannya adalah persetujuan tertulis, ditandatangani oleh suaminya sendiri, Kenan. Persetujuan untuk sebuah tindakan pengguguran kandungan. Satu tanda tangan, tanpa banyak tanya, tanpa emosi, tanpa cinta.Jifanya menunduk, hatinya terasa diremuk. Satu tanda tangan cukup untuk menghapuskan kehidupan. Apakah aku hanya selembar kertas di mata Kenan?Angin si

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Jejak Luka Dalam Rahim

    Malam itu, langit tampak murung. Gerimis jatuh pelan, menimpa genting rumah yang dingin dan sunyi. Udara malam mengandung aroma tanah basah, seakan menjadi saksi bisu atas luka yang mengendap di hati seorang perempuan bernama Jifanya. Dengan langkah letih, ia akhirnya pulang. Ia merasa hidup tidak pernah adil padanya. Dari kecil sudah hidup menderita dan sekarang dia lebih menderita lagi.Tak disangkanya, Kenan—lelaki yang sah menjadi suaminya—sudah berada di rumah. Seketika degup jantungnya berpacu tak karuan. Ada harap yang bergetar di dalam dadanya, seolah malam itu bisa menjadi awal yang baru. Ia ingin menceritakan kabar kehamilannya, berharap meski sedikit, ada pengertian dari sang suami.Namun harapan itu cepat redup. Wajah Kenan tetap datar, sorot matanya dingin seperti danau beku.Di meja makan, hanya ada mereka bertiga: Jifanya, Kenan, dan sang ibu mertua. Meja makan yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan, justru terasa lebih dingin dari kuburan. Tatapan sinis ibu mertua m

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Aroma Dosa yang Membekas

    Matahari sore menggantung malas di langit kota. Hawa panas menyisakan gerah yang melekat pada kulit siapa saja yang melangkah di jalanan. Asap kendaraan bercampur dengan debu membuat udara semakin sesak. Namun di bawah rindang pohon kampus yang mulai meranggas, seorang perempuan berdiri mematung. Namanya Jifanya. Tubuhnya tegak, tapi hatinya rapuh. Matanya tajam, penuh bara amarah yang dipendam terlalu lama. Pandangannya tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari gedung fakultas—Bayu.Bayu, lelaki bertubuh tinggi dengan rambut undercut yang disisir ke belakang. Dengan langkah santai, ia mengibaskan jaket yang tersampir di pundaknya. Jemarinya merapikan rambut, sementara tatapannya tertuju pada Jifanya yang menunggunya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Tak lagi ia lihat kerudung yang biasanya menutupi kepala Jifanya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, wajahnya telanjang tanpa perlindungan. Ada luka di sorot matanya, tapi juga ada keberanian yang asing.Bayu berhenti, me

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Rumah Ini Bukan Untukku

    Pagi yang seharusnya hangat berubah menjadi kabut kelabu bagi Jifanya. Baru beberapa minggu tinggal sebagai menantu di rumah Kenan, tapi rasanya seperti bertahun-tahun dalam penjara dingin tanpa jendela. Setiap langkah yang ia ambil selalu salah di mata ibu mertuanya. Mulai dari cara makan yang disebut kampungan, gaya berjalan yang dianggap tak layak, hingga pilihan pakaian yang dianggap murahan.Rumah besar bercat krem yang dulu tampak megah kini terasa seperti rumah hantu. Bahkan dindingnya seakan ikut menghakimi keberadaan Jifanya. Berat badannya menyusut drastis, wajahnya pucat, dan matanya bengkak karena terlalu sering menangis diam-diam. Tapi semua itu tak membuatnya berhenti berusaha. Ia ingin diterima, diakui, dicintai… meski rasanya mustahil.Suatu pagi, keTina Jifanya membantu Bi Jum di dapur, suara tajam itu kembali mengiris telinganya.“Kamu harusnya ganti pakaian bersih dulu sebelum ke dapur,” ucap ibu mertua Jifanya dengan nada dingin dan menuduh.“Saya sudah mandi tadi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status