Pagi yang seharusnya hangat berubah menjadi kabut kelabu bagi Jifanya. Baru beberapa minggu tinggal sebagai menantu di rumah Kenan, tapi rasanya seperti bertahun-tahun dalam penjara dingin tanpa jendela. Setiap langkah yang ia ambil selalu salah di mata ibu mertuanya. Mulai dari cara makan yang disebut kampungan, gaya berjalan yang dianggap tak layak, hingga pilihan pakaian yang dianggap murahan.
Rumah besar bercat krem yang dulu tampak megah kini terasa seperti rumah hantu. Bahkan dindingnya seakan ikut menghakimi keberadaan Jifanya. Berat badannya menyusut drastis, wajahnya pucat, dan matanya bengkak karena terlalu sering menangis diam-diam. Tapi semua itu tak membuatnya berhenti berusaha. Ia ingin diterima, diakui, dicintai… meski rasanya mustahil.
Suatu pagi, keTina Jifanya membantu Bi Jum di dapur, suara tajam itu kembali mengiris telinganya.
“Kamu harusnya ganti pakaian bersih dulu sebelum ke dapur,” ucap ibu mertua Jifanya dengan nada dingin dan menuduh.
“Saya sudah mandi tadi setelah salat, Bu,” jawab Jifanya pelan.
Tatapan wanita itu menajam. “Kamu tidak perlu menyindir aku sudah salat atau belum.”
“Bu… bukan begitu maksud saya—”
“Sudah! Beginilah kalau menantu datang dari kampung. Tak tahu sopan santun.”
Wanita itu meninggalkan dapur tanpa menoleh, meninggalkan Jifanya dengan luka yang kembali menganga. Jifanya menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia menatap Bi Jum, yang hanya mengangguk perlahan—seakan meminta Jifanya bersabar sedikit lagi. Tapi sampai kapan?
‘Apa semua ini salahku? Kalau bisa memilih, aku ingin pergi dari rumah ini… menghilang,’ batin Jifanya sambil mengusap dadanya yang sesak.
Pagi itu, Jifanya dan Bi Jum menyajikan sarapan di meja makan panjang di ruang tengah. Aroma roti bakar dan teh melati memenuhi ruangan. Kenan sudah duduk dengan seragam dinasnya yang gagah, sementara Kakek Ali, Dila, dan ibu mertuanya juga telah berkumpul.
“Kakek dengar kamu naik jabatan, Fan?” tanya Kakek Ali dengan bangga.
“Iya, Kek,” jawab Kenan singkat sambil tersenyum kecil.
“Selamat ya, Mas!” ucap Dila tulus.
“Oh, anak Umi memang hebat.” Ibu mertua itu mencium kepala Kenan dengan lembut, penuh kasih sayang.
Jifanya berdiri diam, mengamati dari balik nampan. Ia merasa asing di tengah keluarga suaminya sendiri. Tapi di dalam hati, ia ikut bahagia. ‘Aku ikut senang mendengarnya, Mas,’ batinnya. Dengan lembut, ia meletakkan roti bakar di depan Kenan.
“Terima kasih,” ujar Kenan singkat, tetap tak menoleh.
“Sama-sama, Mas,” balas Jifanya pelan.
“Ji, kamu duduk, ayo sarapan,” bujuk Dila.
Dengan langkah hati-hati, Jifanya menarik kursi dan duduk di samping ibu mertuanya. Tapi belum sempat menyentuh makanan, suara mengejek itu kembali menyayat hatinya.
“Kamu bau banget. Pakaianmu itu-itu saja, nggak pernah ganti, ya?”
Jifanya spontan mencium pakaiannya. “Enggak, Bu. Saya mandi, kok.”
“Pakaianmu itu terus dari kemarin. Apa kamu nggak punya baju lain?”
Wanita itu berdiri dan menutup hidungnya, membuat suasana pagi itu kaku dan mencekam.
“Umi, jangan begitu,” tegur Dila dengan halus.
Tatapan Kenan hanya datar, dan ayah mertuanya memilih diam. Jifanya ingin berteriak, ingin membela diri, tapi ia hanya menggigit bibir, menahan semua luka.
“Jangan dibawa hati, Umi cuma butuh waktu,” ucap Dila mencoba menenangkan.
“Tapi pakaianku bersih, Kak,” bisik Jifanya.
“Aku tahu, Ji. Sudahlah, duduk.”
Di rumah itu, hanya Dila dan Kakek Ali yang masih bersikap hangat padanya. Selebihnya seperti dinding dingin tanpa emosi. Kenan pun, meski tak pernah berkata kasar, sikap acuhnya terasa seperti paku yang menghujam perlahan.
“Aku berangkat,” ucap Kenan dingin, tanpa menoleh ke arah Jifanya.
“Ayah juga pamit,” ucap ayah mertuanya.
Yang tersisa hanya Jifanya dan Bi Jum di meja makan yang mendadak sepi dan hampa.
“Sabar ya, Mbak Jifanya,” kata Bi Jum, suaranya lembut dan tulus.
“Pakaianku memang nggak banyak, Bi. Tapi aku selalu cuci, selalu kering. Nggak mungkin bau,” ujar Jifanya sambil menahan air mata.
“Aku tahu, Mbak. Nyonya cuma butuh waktu,” ucap Bi Jum, meski suaranya sendiri terdengar ragu.
‘Tapi butuh waktu nggak harus menghina…’ Jifanya mengusap pipinya yang mulai basah lagi. Entah berapa liter air mata yang ia tumpahkan sejak tinggal di rumah itu.
Saat melihat ibu mertuanya sedang mengurus tanaman di halaman, Jifanya memberanikan diri mendekat.
“Bu, Jifanya ingin bicara.”
“Apa lagi?” sahut wanita itu ketus tanpa menoleh.
“Saya ingin tetap kuliah, Bu.”
Wanita itu menghenTinan gerakannya, lalu menatap tajam. “Biaya kuliah mahal. Siapa yang kamu harap biayai? Jangan pikir jadi menantu di sini hidupmu jadi enak.”
“Iya, Bu. Saya akan bekerja untuk membiayai kuliah saya sendiri.”
“Bagus. Jangan bergantung. Lagipula, dari awal kamu nggak cocok jadi menantu di rumah ini. Yang cocok itu dr. Naya. Gadis dari keluarga terhormat, bukan kayak kamu. Nggak jelas asal-usulnya, nggak tahu orang tuanya siapa!”
“Saya nggak pernah berniat merusak siapa-siapa. Semua ini terjadi di luar kehendak saya, Bu.”
“Berhenti! Kamu sengaja ngincer anak-anak saya. Tidur di kamar Kenan, lalu pura-pura polos.”
“Bukan begitu, Bu. Saya masuk kamar itu karena kepala saya pusing. Cuma kamar itu yang terbuka. Ibu sendiri yang suruh saya istirahat di atas. Bi Jum juga tahu.”
Air mata Jifanya jatuh lagi. Luka lama yang terus digores tanpa ampun. Ia tak hanya kehilangan masa depan, tapi juga harga diri dan kebebasan.
“Cukup drama kamu. Air mata buaya nggak mempan di depanku!” gertak wanita itu sebelum masuk ke rumah dan menutup pintu dengan keras.
Jifanya berdiri mematung. Tubuhnya gemetar, tak sanggup menahan sakit di dada. Setelah mandi dan mengenakan baju paling rapi yang ia punya, Jifanya berangkat kuliah. Ia naik angkot, duduk di pojok belakang dengan wajah kosong. Hatinya gelap. Saat angkot berhenti di dekat rel kereta api, pandangan Jifanya menerawang.
Dalam pikirannya muncul satu hal: mati.
Ia turun dari angkot dan mulai berjalan ke arah rel. Di pikirannya, tidak ada lagi yang tersisa. Tatapan jijik ibu mertuanya, sikap dingin Kenan, tuduhan, dan kebencian. Semua itu seperti duri yang menusuk-nusuk dadanya.
Mungkin… mungkin kalau ia mati, semuanya akan selesai.
Ia berjalan perlahan ke rel. Langkahnya seperti melayang. Saat ingin melompat, tiba-tiba ia melihat sesuatu.
Sebuah motor berhenti di depan rel. Seorang laki-laki dan perempuan berboncengan. Mereka tertawa dan berpelukan mesra. Jifanya terpaku. Itu Fahar dan ATina.
Dua orang yang mengkhianatinya. Dua orang yang merusak hidupnya. Darahnya berdesir. Matanya menyipit menatap keduanya.
‘Aku tidak akan mati sia-sia hanya karena ulah dua manusia jahat ini,’ gumamnya dalam hati.
Langkah Jifanya berubah. Ia membalikkan badan dan berjalan menyusuri sisi rel, menjauh dari niatnya semula. Ia ingin menghilang, tapi bukan dalam bentuk kematian.
Namun, langkahnya yang tak tentu arah membuat orang-orang mulai memperhaTinannya. Dua polisi yang tengah istirahat di sebuah warung curiga melihat gadis itu. Salah satunya bangkit dan berjalan cepat ke arahnya.
“Eh! Tunggu… bukannya kamu istri Kenan?”
Jifanya mendongak, wajahnya kosong.
“Bukan. Salah orang,” jawabnya lalu berbalik dan berjalan menjauh.
Namun polisi itu mulai merasa ada yang tak beres. Ia segera menghubungi rekan kerjanya.
Dan sore itu, tanpa disadari Jifanya, satu rahasia akan segera terbongkar—tentang seorang istri yang mulai hilang arah, dan seorang suami yang diam-diam mencarinya.
"Namun polisi itu mulai merasa ada yang tak beres. Ia segera menghubungi rekan kerjanya... dan sore itu, tanpa disadari Jifanya, satu rahasia akan segera terbongkar."
Bersambung
Pagi itu, mentari baru saja merangkak naik, menyinari jendela kamar Dila yang tirainya masih setengah tertutup. Suara burung yang bertengger di dahan mangga terdengar samar, namun hati Dila justru merasa berat begitu ia membuka mata. Ia menguap pelan, lalu meraih ponselnya di meja nakas. Jemarinya yang masih malas menekan layar, membuka aplikasi WhatsApp.Namun pandangannya langsung terhenti pada sebuah status yang tak biasa."Selamat jalan Oma, semoga khusnul khotimah. Aamiin."Status itu ditulis oleh Jifanya.Bola mata Dila membesar, napasnya tercekat. Seakan tubuhnya tersengat listrik, ia sontak duduk tegak.“Apa? Nenek Jifanya meninggal? Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” bisiknya, nyaris tak percaya.Tanpa menunda, ia segera menekan nomor Jifanya. Suara dering panjang membuat dadanya semakin sesak. Hingga akhirnya terdengar suara lirih di seberang sana.“Halo, Kak Dila,” suara itu parau, bergetar, seperti seseorang yang tengah menahan tangis.“Ji... apa benar nenek kamu meningg
Senja baru saja merayap di langit kota ketika Dila, dengan amarah yang ditahan-tahan, menelepon dua pria yang sangat dikenalnya: Kenan dan Bayu. Wajahnya pucat, matanya memerah. Ia meminta mereka segera pulang. Ada hal besar yang harus diselesaikan.Tak lama kemudian, suara langkah kaki menggema di halaman rumah keluarga besar mereka. Kenan tiba lebih dulu, duduk di kursi kayu depan rumah, matanya menatap kosong ke arah halaman, dingin seperti biasanya. Tak berselang lama, Bayu menyusul. Ia hanya menunduk, duduk tanpa kata.Dila menghampiri Kenan dengan emosi yang meledak-ledak. Di tangannya tergenggam kertas yang sudah kusut. Ia melemparkan kertas itu ke dada Kenan."Apa benar kamu menyuruh Jifanya menggugurkan kandungannya? Apa kamu sejahat itu, Mas? Lalu untuk apa kamu menikahinya?" suaranya mengguncang udara petang itu.“Aku... tidak tahu,” jawab Kenan, pelan namun tegas. Ekspresinya tetap datar, namun matanya menyimpan badai.“Pak Kenan, Pak Polisi yang terhormat!” Dila mencemooh
Siang itu terik luar biasa. Matahari seakan murka, membakar jalanan kota hingga aspal pun menguapkan panas menyengat. Lalu lintas ramai, klakson kendaraan bersahut-sahutan, namun di tengah hiruk pikuk itu, seorang wanita muda duduk diam di bangku taman. Wajahnya menunduk, matanya sembab, jemarinya menggenggam selembar kertas seakan nyawanya bertumpu di sana.Dia adalah Jifanya.Baru saja ia keluar dari kafe tempatnya bertemu Bayu—lelaki yang masih saja berusaha menebus kesalahan besar yang tak termaafkan. Tatapan penuh rasa bersalah itu selalu menghantuinya. Tapi Jifanya tidak butuh penyesalan, ia butuh kepastian.Selembar kertas di tangannya adalah persetujuan tertulis, ditandatangani oleh suaminya sendiri, Kenan. Persetujuan untuk sebuah tindakan pengguguran kandungan. Satu tanda tangan, tanpa banyak tanya, tanpa emosi, tanpa cinta.Jifanya menunduk, hatinya terasa diremuk. Satu tanda tangan cukup untuk menghapuskan kehidupan. Apakah aku hanya selembar kertas di mata Kenan?Angin si
Malam itu, langit tampak murung. Gerimis jatuh pelan, menimpa genting rumah yang dingin dan sunyi. Udara malam mengandung aroma tanah basah, seakan menjadi saksi bisu atas luka yang mengendap di hati seorang perempuan bernama Jifanya. Dengan langkah letih, ia akhirnya pulang. Ia merasa hidup tidak pernah adil padanya. Dari kecil sudah hidup menderita dan sekarang dia lebih menderita lagi.Tak disangkanya, Kenan—lelaki yang sah menjadi suaminya—sudah berada di rumah. Seketika degup jantungnya berpacu tak karuan. Ada harap yang bergetar di dalam dadanya, seolah malam itu bisa menjadi awal yang baru. Ia ingin menceritakan kabar kehamilannya, berharap meski sedikit, ada pengertian dari sang suami.Namun harapan itu cepat redup. Wajah Kenan tetap datar, sorot matanya dingin seperti danau beku.Di meja makan, hanya ada mereka bertiga: Jifanya, Kenan, dan sang ibu mertua. Meja makan yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan, justru terasa lebih dingin dari kuburan. Tatapan sinis ibu mertua m
Matahari sore menggantung malas di langit kota. Hawa panas menyisakan gerah yang melekat pada kulit siapa saja yang melangkah di jalanan. Asap kendaraan bercampur dengan debu membuat udara semakin sesak. Namun di bawah rindang pohon kampus yang mulai meranggas, seorang perempuan berdiri mematung. Namanya Jifanya. Tubuhnya tegak, tapi hatinya rapuh. Matanya tajam, penuh bara amarah yang dipendam terlalu lama. Pandangannya tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari gedung fakultas—Bayu.Bayu, lelaki bertubuh tinggi dengan rambut undercut yang disisir ke belakang. Dengan langkah santai, ia mengibaskan jaket yang tersampir di pundaknya. Jemarinya merapikan rambut, sementara tatapannya tertuju pada Jifanya yang menunggunya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Tak lagi ia lihat kerudung yang biasanya menutupi kepala Jifanya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, wajahnya telanjang tanpa perlindungan. Ada luka di sorot matanya, tapi juga ada keberanian yang asing.Bayu berhenti, me
Pagi yang seharusnya hangat berubah menjadi kabut kelabu bagi Jifanya. Baru beberapa minggu tinggal sebagai menantu di rumah Kenan, tapi rasanya seperti bertahun-tahun dalam penjara dingin tanpa jendela. Setiap langkah yang ia ambil selalu salah di mata ibu mertuanya. Mulai dari cara makan yang disebut kampungan, gaya berjalan yang dianggap tak layak, hingga pilihan pakaian yang dianggap murahan.Rumah besar bercat krem yang dulu tampak megah kini terasa seperti rumah hantu. Bahkan dindingnya seakan ikut menghakimi keberadaan Jifanya. Berat badannya menyusut drastis, wajahnya pucat, dan matanya bengkak karena terlalu sering menangis diam-diam. Tapi semua itu tak membuatnya berhenti berusaha. Ia ingin diterima, diakui, dicintai… meski rasanya mustahil.Suatu pagi, keTina Jifanya membantu Bi Jum di dapur, suara tajam itu kembali mengiris telinganya.“Kamu harusnya ganti pakaian bersih dulu sebelum ke dapur,” ucap ibu mertua Jifanya dengan nada dingin dan menuduh.“Saya sudah mandi tadi