Home / Rumah Tangga / Tuan Dingin & Nyonya Luka / Di Balik Dingin Kenan, Ada Luka yang Tersembunyi

Share

Di Balik Dingin Kenan, Ada Luka yang Tersembunyi

Author: Borneng
last update Last Updated: 2025-08-22 19:01:41

Senja mulai turun perlahan saat mobil Kenan melaju membelah jalanan kota yang lengang. Langit sore berwarna abu-abu gelap, menyimpan ancaman hujan yang tak kunjung turun. Suasana di dalam mobil pun tak kalah kelabunya. Hening, seperti menyimpan bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Jifanya duduk gelisah di kursi penumpang. Jemarinya meremas ujung jilbab yang dikenakannya, matanya sesekali melirik Kenan yang tetap menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Kendati wajahnya selalu tenang, namun dari gerak tubuhnya Jifanya tahu—Kenan sedang menahan sesuatu.

“Bapak tahu Ibu tidak menyukaiku,” lirih Jifanya membuka percakapan.

Kenan hanya mendengus pelan. Tidak ada balasan.

“Ini minum obatnya. Wajahmu pucat lagi,” katanya, menyodorkan sebotol air mineral dan obat dari dashboard mobil.

Sentuhan kecil itu membuat dada Jifanya menghangat, meski wajah Kenan tetap tak menunjukkan emosi. Ia menerima botol itu pelan, lalu memberanikan diri untuk bicara lagi.

“Pak Kenan... tolong, kita perlu memperjelas semua ini.”

Kenan menghela napas panjang. “Ada apa lagi?”

“Bapak tidak perlu melakukan semua ini. Ini bukan salahmu. Bapak tidak pantas dihukum atas kesalahan orang lain,” ujar Jifanya, menahan isak.

“Dia adikku.”

“Aku tahu... tapi bukan berarti harus menikahiku. Apa nanti kata teman-temanmu jika tahu kamu menikahi perempuan seperti aku?”

“Lalu kamu mau apa?”

“Ayo kita berpisah... selesaikan semuanya,” suara Jifanya bergetar, namun tegas.

Tanpa berkata, Kenan menepi dan menghentikan mobil. Ia mematikan mesin, lalu perlahan menoleh. Untuk pertama kalinya, mata mereka saling bertemu begitu dalam.

“Apa kamu pikir aku menikahimu dua hari lalu hanya untuk berpisah?” suaranya tenang, tapi menyimpan bara.

Jifanya menunduk. “Bapak tidak perlu menikahiku. Sebenarnya bukan sepenuhnya salahmu. Aku yang... tidak sengaja tidur di kamarnya. Selama ini kamar itu kosong. Aku tidak tahu kalau dia akan pulang. Saat itu, aku sakit dan bibi memberiku obat efeknya membuatku merasa sangat mengantuk.”

“Aku tahu,” jawab Kenan cepat.

Jifanya menatapnya, panik. “Lalu untuk apa kamu tetap menikahiku kalau sudah tahu?”

“Karena aku tidak ingin orang brandalan seperti dia menikahi gadis baik seperti kamu,” jawab Kenan, tatapannya menusuk. “Sebenarnya, apa yang terjadi hari itu? Kenapa kamu berjalan sambil menangis?”

Pertanyaan itu membuat hati Jifanya bergetar.

‘Akhirnya... dia bertanya tentang aku.’

“Bapak tahu aku menangis?” tanyanya pelan.

“Aku punya mata. Dan semua orang juga melihat kamu menangis sepanjang jalan.”

“Fahar dan Tina... mereka berselingkuh. Dua orang yang paling aku percaya di dunia ini... mengkhianatiku. Saat aku datang ke kontrakan Tina hari itu, aku melihat mereka—” suaranya tercekat, “berhubungan badan.”

Ia mengusap pipinya dengan kasar. Air mata kembali menetes.

“Jangan menangis untuk pria brengsek seperti dia,” ujar Kenan tegas.

Jifanya menghela napas dalam. “Aku cuma kaget. Orang yang terlihat alim dan baik... ternyata bajingan.”

“Di zaman sekarang, banyak manusia seperti itu. Tapi kamu bisa membalasnya. Sekarang kamu menantu bos mereka,” ujar Kenan sambil menyalakan mesin mobil lagi.

Ucapan itu menyisakan rasa hangat di hati Jifanya. Diam-diam ia tersenyum getir.

‘Baiklah. Mungkin aku harus mencoba bertahan sedikit lagi.’

*

Setibanya di rumah, sambutan dari ibu Kenan hanya berupa tatapan tajam. Udara di rumah itu berubah tegang. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Suasana dingin seperti membeku di setiap sudut rumah.

‘Tenanglah Jifanya. Kuatkan hatimu,’ bisik Jifanya pada dirinya sendiri.

Beberapa minggu berlalu. Persiapan resepsi pernikahan berjalan cepat. Dila, adik Kenan, mengambil alih urusan gaun dan make-up.

"Ji, kamu mau gaun seperti apa?" tanya Dila ceria.

"A-aku tidak tahu, Kak," jawab Jifanya gugup, melirik Kenan yang duduk di sofa menatap mereka.

"Gimana kalau kita bikin seperti gaun Ria Ricis? Cantik dan elegan."

Jifanya mengangguk pelan. "Terserah Kak Dila saja."

Akhirnya, hari resepsi tiba. Gaun biru langit membalut tubuh Jifanya, menyulapnya seperti putri dari negeri dongeng. Wajahnya dipoles lembut oleh Dila, memunculkan pesona alami dari balik luka-lukanya.

Namun, kebahagiaan itu tidak sempurna. Ibu Kenan bersikeras agar resepsi tidak terlalu mewah. Ia mengaku malu pada rekan sosialitanya karena menantunya dari kalangan bawah. Padahal selama ini orang-orang percaya bahwa Kenan akan menikahi dokter cantik—teman Dila sendiri.

Desas-desus mulai terdengar. Tapi Kakek Kenan berdiri membela Jifanya.

“Perempuan itu sudah dijodohkan sejak kecil dengan Kenan. Aku yang memaksa mereka menikah. Jadi tak ada yang bisa mempermasalahkannya,” ucap sang Kakek dengan wibawa.

Dukungan itu menenangkan banyak pihak.

“Wah, selamat ya!” Theo datang membawa kado besar, disusul rekan-rekan Kenan lainnya.

“Gila, akhirnya nikah juga si manusia es!”

“Parah! Baru minggu lalu kita minta undangan, eh beneran dikasih undangan!”

Resepsi malam itu penuh tawa dan canda. Kenan, yang biasanya dingin, terlihat lebih santai. Ia bahkan ikut menari ala India bersama rekan-rekannya.

Jifanya memperhaTinan dari kursi pelaminan, senyumnya tipis. Tapi matanya menyimpan tanya.

‘Apa dia bahagia? Atau hanya sedang menutupi semuanya dengan senyum?’

Namun kebahagiaan semu itu terusik. Tatapan sinis dari Naya, tunangan Kenan yang dulu, menembus kulitnya. Naya dan ibunya berdiri tak jauh dari pelaminan, menatap Jifanya dengan dendam menyala.

Jifanya menunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahan.

"Apa kamu merasa capek?" Kenan tiba-tiba bertanya.

Pertanyaan sederhana itu membuat Jifanya tersentak. Ia menoleh perlahan.

“Aku malu,” bisiknya pelan.

“Angkat kepalamu, Jifanya. Bersikaplah biasa saja. Kalau kamu menganggap semuanya baik, orang juga akan berpikir demikian,” ucap Kenan dengan nada lembut.

Jifanya mengangguk kecil. "Baik... terima kasih."

‘Setidaknya Kenan tidak membenciku. Itu sudah cukup untuk membuatku kuat,’ batinnya.

Namun, suasana hangat itu tak bertahan lama. Malam itu, setelah resepsi usai, Jifanya tahu hidupnya akan kembali dingin. Wajah Kenan kembali mode awal, dingin seakan membekukan seisi ruangan.

Kenan memasuki kamar lebih dulu. Sebuah sofa panjang telah berada di sudut ruangan.

“Kamu akan tidur di ranjang. Aku tidur di sofa ini,” ucap Kenan tanpa menoleh.

Jifanya berdiri kaku. “Kenapa kita tidak tidur satu ranjang?”

“Aku tidak akan menyentuhmu.”

“Kamu jijik denganku?” suaranya nyaris tak terdengar.

“Kita lihat sampai satu bulan ini. Kalau kamu hamil anak Bayu, aku tidak akan menyentuhmu sampai anak itu lahir. Tapi kalau kamu tidak hamil, kita akan tidur di ranjang yang sama.”

Jifanya tercekat. Matanya memanas. Tapi ia menahan segalanya.

‘Terima saja. Diam dan mengalah, itu yang harus kamu lakukan, Jifanya.’

“Baiklah. Tapi aku masih bisa kuliah dan bekerja, kan?”

“Terserah kamu. Aku tidak akan mengatur apapun yang kamu lakukan.”

Kenan mengeluarkan bedcover dan mulai bersiap tidur di sofa. Sementara itu, Jifanya tidak bisa memejamkan matanya.

Ia keluar kamar, duduk di balkon. Langit malam bertabur bintang.

‘Aku berharap aku tidak hamil. Kalau aku hamil, hidupku akan semakin rumit...’ batinnya lirih.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Cinta di Ujung Senja

    Saat Jifanya berjalan menjauh Bayu menemuinya lagi. Ia tidak ingin wanita hamil itu kenapa-kenapa. Jifanya menutup mata menatap ke pantai Ancol ia sangat berharap Bayu berubah pikiran dan membawanya pergi bersamanya.‘Aku berharap ada keajaiban’ gumamnya dalam hati.Mentari senja menyapu langit Ancol dengan semburat jingga yang menggantung lesu, seakan melukis kanvas alam dengan perasaan yang penuh ketegangan. Ombak berdebur, datang dan pergi, seperti hati Jifanya yang tak tenang. Angin laut berhembus lembut, menebar aroma asin yang bercampur getir, seperti nasib yang tengah dipikulnya.Jifanya berdiri di bibir pantai. Rambut hitamnya terurai berantakan, tertiup angin, namun tubuhnya tetap tegak. Meski hatinya berguncang, ia mencoba bertahan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan kecil yang harus ia jaga, meski batinnya koyak oleh dilema cinta dan tanggung jawab.“Tunggu di sini. Sebentar lagi dia akan datang.”Suara Bayu terdengar lirih namun mantap. Tatapannya penuh pergolakan, seolah d

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Di Ujung Perpisahan, Ada Luka yang Tak Terucapkan

    Senja menggantung malu-malu di langit Jakarta. Cahaya jingganya mewarnai pantai Ancol, memantul di permukaan air yang tenang. Di sebuah kafe di pinggir pantai, Jifanya dan Bayu duduk berdua. Udara mulai dingin, angin laut menyapa perlahan, seakan ikut merasakan keruwetan hati mereka."Kenapa kamu diam?" tanya Jifanya setelah mereka selesai makan. Matanya menatap Bayu penuh tanya. Tak seperti biasanya, pria itu terlihat lesu dan sulit didekati."Jifanya, aku sangat capek. Kita bicara lagi besok pagi, ya? Aku akan pesan satu kamar hotel untuk kamu. Istirahatlah di sana," ujar Bayu sambil melirik ke arah hotel di seberang jalan."Kenapa harus hotel? Aku bisa tidur di rumahmu. Di sana banyak kamar, bukan?""Kamu istri Kenan, Jifanya. Tinggal berdua dengan pria yang bukan suamimu hanya akan menimbulkan fitnah," tutur Bayu dengan suara lirih namun mantap."Lalu kamu bagaimana?""Jangan pikirkan aku. Aku bisa tidur di mana saja. Malam ini, aku akan tidur di mobil."Dengan langkah berat, Bayu

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Cinta yang Tertinggal di Tengah Hati yang Remuk

    Langit Ancol sore itu mendung, seakan ikut menyimpan rahasia yang menggantung di antara mereka. Angin laut berembus pelan, menyibak rambut Jifanya yang setengah terikat, saat ia dan Bayu duduk di sebuah kafe pinggir pantai. Keduanya memesan minuman, namun tak satupun yang menyentuh gelasnya.Jifanya tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Wajah Bayu yang tegang, rahangnya mengeras, matanya tajam menatap ufuk jauh. Sebuah badai akan segera datang, bukan dari langit, tapi dari masa lalu mereka.Jifanya menata napas, lalu berbicara, “Aku tahu kamu belum pernah bicara berdua dengan Ayahmu. Aku sengaja mengatur ini.”Bayu menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Beberapa saat kemudian, langkah tegap Pak Mustofa muncul. Rambutnya disisir rapi, kemeja putihnya sedikit kusut. Ia menatap Bayu, lalu duduk tanpa bicara.Hening.Debur ombak jadi musik latar.Akhirnya, suara berat itu terdengar, dingin dan tegas.“Tidak pantas kamu membawa istri abangmu sendiri kabur.”Bayu mengerutkan d

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Rumah yang Tak Pernah Kembali

    Bayu menyetir tanpa arah, membiarkan malam menelan keheningan dalam mobil. Lampu-lampu kota Jakarta menyala bagai kilau luka yang tak bisa disembuhkan. Ia menatap jalan kosong di depannya, tapi pikirannya penuh. Tidak ada rencana, tidak ada tujuan. Ia hanya tahu satu hal, ia tak sanggup membiarkan Jifanya menangis seperti tadi, dremehkan, diusir secara halus oleh wanita yang seharusnya menjadi ibu.Angin malam berdesir lembut dari ventilasi mobil, menyapu wajah Jifanya yang pucat. Ia duduk diam, menunduk, memeluk perutnya yang mulai membuncit. Tatapannya kosong, namun sesekali mencuri pandang ke arah wajah Bayu yang luka-luka. Bibirnya ingin bergerak, ingin berkata sesuatu, tapi rasa bersalah dan ketakutan menahannya. Ia tahu Bayu kehilangan kendali karena dirinya. Tapi ia juga tahu, Bayu hanya ingin melindunginya.Setelah menempuh jalan panjang, mobil perlahan melambat. Bayu menepikan kendaraan di sebuah kawasan elit di Ancol, Jakarta Utara. Di depannya berdiri sebuah rumah dua lan

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Luka yang Tak Terlihat

    Hujan baru saja reda sore itu. Langit mendung seperti perasaan yang menggantung di dalam rumah keluarga Mustofa. Jifanya duduk di ruang belakang, diapit oleh Dila yang terus berusaha menenangkannya. Isak tangis pelan terdengar di sela-sela helaan napasnya yang berat.“Aku tidak ingin tinggal di rumah ini, Kak Dila. Aku tidak sanggup lagi. Lebih baik aku kost. Ibu-ibu bilang aku dan anak ini hanya benalu yang menumpang hidup. Aku merasa sangat sedih,” ucap Jifanya lirih, menunduk, menggenggam perutnya yang mulai membuncit, seolah ingin melindungi buah hatinya dari dunia yang terlalu kejam.Dila mengelus punggung Jifanya dengan lembut. “Ji, tolong jangan menangis. Kalau Kakek dan Ayah tahu Umi bicara seperti itu lagi, mereka akan marah besar. Tadi malam saja, pertengkaran antara Ayah dan Umi sudah sangat hebat.”Tangis Jifanya semakin tak terbendung. “Aku tidak ingin jadi penyebab keributan di rumah ini, Kak. Itulah kenapa aku memilih kost dari awal.”“Ji, aku janji, aku akan bicara den

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Luka yang Tak Pernah Diobati

    Senja mulai turun pelan-pelan, membalut langit dengan warna keemasan yang mengabur, seiring bergulirnya waktu di rumah keluarga Kenan. Udara terasa lembab, seolah menyimpan banyak rahasia yang belum terucap. Suasana rumah besar itu tampak tenang di permukaan, namun ada percikan-percikan bara yang sewaktu-waktu bisa menyala menjadi api.Bayu menoleh pada Kenan yang berdiri tak jauh darinya di ruang tengah.“Bang, aku sama Jifanya duduk di luar, ya,” ucap Bayu sopan, tetap menjaga tata krama di hadapan kakaknya.Kenan mengangguk singkat. “Baiklah.”Jifanya pun ikut bangkit dan menyusul Bayu menuju meja kerja di halaman belakang, tepat di tepi kolam renang yang memantulkan cahaya langit senja. Suasana di luar terasa lebih lega, lebih lapang, dan lebih jauh dari luka-luka yang selama ini menghimpit Jifanya di dalam rumah itu.Dari lantai dua, Kenan berdiri di balik tirai jendela kamarnya. Matanya menatap lurus ke arah halaman. Bayu dan Jifanya duduk berdampingan, masing-masing sibuk di dep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status