LOGINSenja mulai turun perlahan saat mobil Kenan melaju membelah jalanan kota yang lengang. Langit sore berwarna abu-abu gelap, menyimpan ancaman hujan yang tak kunjung turun. Suasana di dalam mobil pun tak kalah kelabunya. Hening, seperti menyimpan bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Jifanya duduk gelisah di kursi penumpang. Jemarinya meremas ujung jilbab yang dikenakannya, matanya sesekali melirik Kenan yang tetap menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Kendati wajahnya selalu tenang, namun dari gerak tubuhnya Jifanya tahu—Kenan sedang menahan sesuatu.
“Bapak tahu Ibu tidak menyukaiku,” lirih Jifanya membuka percakapan.
Kenan hanya mendengus pelan. Tidak ada balasan.
“Ini minum obatnya. Wajahmu pucat lagi,” katanya, menyodorkan sebotol air mineral dan obat dari dashboard mobil.
Sentuhan kecil itu membuat dada Jifanya menghangat, meski wajah Kenan tetap tak menunjukkan emosi. Ia menerima botol itu pelan, lalu memberanikan diri untuk bicara lagi.
“Pak Kenan... tolong, kita perlu memperjelas semua ini.”
Kenan menghela napas panjang. “Ada apa lagi?”
“Bapak tidak perlu melakukan semua ini. Ini bukan salahmu. Bapak tidak pantas dihukum atas kesalahan orang lain,” ujar Jifanya, menahan isak.
“Dia adikku.”
“Aku tahu... tapi bukan berarti harus menikahiku. Apa nanti kata teman-temanmu jika tahu kamu menikahi perempuan seperti aku?”
“Lalu kamu mau apa?”
“Ayo kita berpisah... selesaikan semuanya,” suara Jifanya bergetar, namun tegas.
Tanpa berkata, Kenan menepi dan menghentikan mobil. Ia mematikan mesin, lalu perlahan menoleh. Untuk pertama kalinya, mata mereka saling bertemu begitu dalam.
“Apa kamu pikir aku menikahimu dua hari lalu hanya untuk berpisah?” suaranya tenang, tapi menyimpan bara.
Jifanya menunduk. “Bapak tidak perlu menikahiku. Sebenarnya bukan sepenuhnya salahmu. Aku yang... tidak sengaja tidur di kamarnya. Selama ini kamar itu kosong. Aku tidak tahu kalau dia akan pulang. Saat itu, aku sakit dan bibi memberiku obat efeknya membuatku merasa sangat mengantuk.”
“Aku tahu,” jawab Kenan cepat.
Jifanya menatapnya, panik. “Lalu untuk apa kamu tetap menikahiku kalau sudah tahu?”
“Karena aku tidak ingin orang brandalan seperti dia menikahi gadis baik seperti kamu,” jawab Kenan, tatapannya menusuk. “Sebenarnya, apa yang terjadi hari itu? Kenapa kamu berjalan sambil menangis?”
Pertanyaan itu membuat hati Jifanya bergetar.
‘Akhirnya... dia bertanya tentang aku.’
“Bapak tahu aku menangis?” tanyanya pelan.
“Aku punya mata. Dan semua orang juga melihat kamu menangis sepanjang jalan.”
“Fahar dan Tina... mereka berselingkuh. Dua orang yang paling aku percaya di dunia ini... mengkhianatiku. Saat aku datang ke kontrakan Tina hari itu, aku melihat mereka—” suaranya tercekat, “berhubungan badan.”
Ia mengusap pipinya dengan kasar. Air mata kembali menetes.
“Jangan menangis untuk pria brengsek seperti dia,” ujar Kenan tegas.
Jifanya menghela napas dalam. “Aku cuma kaget. Orang yang terlihat alim dan baik... ternyata bajingan.”
“Di zaman sekarang, banyak manusia seperti itu. Tapi kamu bisa membalasnya. Sekarang kamu menantu bos mereka,” ujar Kenan sambil menyalakan mesin mobil lagi.
Ucapan itu menyisakan rasa hangat di hati Jifanya. Diam-diam ia tersenyum getir.
‘Baiklah. Mungkin aku harus mencoba bertahan sedikit lagi.’
*
Setibanya di rumah, sambutan dari ibu Kenan hanya berupa tatapan tajam. Udara di rumah itu berubah tegang. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Suasana dingin seperti membeku di setiap sudut rumah.
‘Tenanglah Jifanya. Kuatkan hatimu,’ bisik Jifanya pada dirinya sendiri.
Beberapa minggu berlalu. Persiapan resepsi pernikahan berjalan cepat. Dila, adik Kenan, mengambil alih urusan gaun dan make-up.
"Ji, kamu mau gaun seperti apa?" tanya Dila ceria.
"A-aku tidak tahu, Kak," jawab Jifanya gugup, melirik Kenan yang duduk di sofa menatap mereka.
"Gimana kalau kita bikin seperti gaun Ria Ricis? Cantik dan elegan."
Jifanya mengangguk pelan. "Terserah Kak Dila saja."
Akhirnya, hari resepsi tiba. Gaun biru langit membalut tubuh Jifanya, menyulapnya seperti putri dari negeri dongeng. Wajahnya dipoles lembut oleh Dila, memunculkan pesona alami dari balik luka-lukanya.
Namun, kebahagiaan itu tidak sempurna. Ibu Kenan bersikeras agar resepsi tidak terlalu mewah. Ia mengaku malu pada rekan sosialitanya karena menantunya dari kalangan bawah. Padahal selama ini orang-orang percaya bahwa Kenan akan menikahi dokter cantik—teman Dila sendiri.
Desas-desus mulai terdengar. Tapi Kakek Kenan berdiri membela Jifanya.
“Perempuan itu sudah dijodohkan sejak kecil dengan Kenan. Aku yang memaksa mereka menikah. Jadi tak ada yang bisa mempermasalahkannya,” ucap sang Kakek dengan wibawa.
Dukungan itu menenangkan banyak pihak.
“Wah, selamat ya!” Theo datang membawa kado besar, disusul rekan-rekan Kenan lainnya.
“Gila, akhirnya nikah juga si manusia es!”
“Parah! Baru minggu lalu kita minta undangan, eh beneran dikasih undangan!”
Resepsi malam itu penuh tawa dan canda. Kenan, yang biasanya dingin, terlihat lebih santai. Ia bahkan ikut menari ala India bersama rekan-rekannya.
Jifanya memperhaTinan dari kursi pelaminan, senyumnya tipis. Tapi matanya menyimpan tanya.
‘Apa dia bahagia? Atau hanya sedang menutupi semuanya dengan senyum?’
Namun kebahagiaan semu itu terusik. Tatapan sinis dari Naya, tunangan Kenan yang dulu, menembus kulitnya. Naya dan ibunya berdiri tak jauh dari pelaminan, menatap Jifanya dengan dendam menyala.
Jifanya menunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahan.
"Apa kamu merasa capek?" Kenan tiba-tiba bertanya.
Pertanyaan sederhana itu membuat Jifanya tersentak. Ia menoleh perlahan.
“Aku malu,” bisiknya pelan.
“Angkat kepalamu, Jifanya. Bersikaplah biasa saja. Kalau kamu menganggap semuanya baik, orang juga akan berpikir demikian,” ucap Kenan dengan nada lembut.
Jifanya mengangguk kecil. "Baik... terima kasih."
‘Setidaknya Kenan tidak membenciku. Itu sudah cukup untuk membuatku kuat,’ batinnya.
Namun, suasana hangat itu tak bertahan lama. Malam itu, setelah resepsi usai, Jifanya tahu hidupnya akan kembali dingin. Wajah Kenan kembali mode awal, dingin seakan membekukan seisi ruangan.
Kenan memasuki kamar lebih dulu. Sebuah sofa panjang telah berada di sudut ruangan.
“Kamu akan tidur di ranjang. Aku tidur di sofa ini,” ucap Kenan tanpa menoleh.
Jifanya berdiri kaku. “Kenapa kita tidak tidur satu ranjang?”
“Aku tidak akan menyentuhmu.”
“Kamu jijik denganku?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Kita lihat sampai satu bulan ini. Kalau kamu hamil anak Bayu, aku tidak akan menyentuhmu sampai anak itu lahir. Tapi kalau kamu tidak hamil, kita akan tidur di ranjang yang sama.”
Jifanya tercekat. Matanya memanas. Tapi ia menahan segalanya.
‘Terima saja. Diam dan mengalah, itu yang harus kamu lakukan, Jifanya.’
“Baiklah. Tapi aku masih bisa kuliah dan bekerja, kan?”
“Terserah kamu. Aku tidak akan mengatur apapun yang kamu lakukan.”
Kenan mengeluarkan bedcover dan mulai bersiap tidur di sofa. Sementara itu, Jifanya tidak bisa memejamkan matanya.
Ia keluar kamar, duduk di balkon. Langit malam bertabur bintang.
‘Aku berharap aku tidak hamil. Kalau aku hamil, hidupku akan semakin rumit...’ batinnya lirih.
Bersambung...
Sore itu, di sebuah aula besar hotel tempat digelarnya ajang desain muda nasional, ketegangan antara Jifanya dan Bayu kembali memuncak. Di sela-sela riuh peserta yang menanti pengumuman, Jifanya berdiri dengan mata sembab, riasan wajahnya sudah luntur."Aku melakukan semua itu agar desainmu diterima!" Jifanya membela diri dengan nada yang sarat emosi."Dengan cara melakukan sesuatu yang berbahaya, Jifanya?" tanya Bayu, nadanya terdengar tajam meski matanya mengisyaratkan kekhawatiran."Aku tidak melakukan hal yang berbahaya!" bantah Jifanya cepat. Ia menjelaskan bahwa ia tidak memakai korset untuk mengecilkan perut, hanya memilih model pakaian yang menyamarkan bentuk tubuhnya. Bayu terdiam, hatinya mencelos melihat air mata Jifanya jatuh satu per satu.“Baiklah, aku minta maaf.” Dengan pelan, ia menyodorkan sapu tangan dari saku celananya, mengusap sisa riasan yang mulai luntur.“Kamu harusnya memujiku, bukan menekanku. Kamu tidak tahu bagaimana perjuanganku untuk tampil di sana. Liha
Mega Hotel sore itu dipenuhi oleh orang-orang penting bersetelan rapi. Aroma kopi dan karpet mewah menyambut setiap langkah. Di ruang presentasi, nama Jifanya sudah masuk dalam daftar giliran kelima, giliran terakhir, namun juga yang paling menegangkan.Namun, justru bukan Jifanya yang terlihat paling gugup hari itu.Bayu duduk di barisan kursi paling belakang, menggenggam tangan sendiri hingga buku-bukunya memutih. Ia sudah mencoba segalanya agar Jifanya tidak perlu naik ke panggung. Tapi panitia bersikeras: yang mengirim desain harus yang mempresentasikannya.Seandainya bisa, Bayu ingin sekali mengganTinan Jifanya. Ia sudah membujuk, memohon, bahkan menyodorkan surat kuasa. Tapi semuanya ditolak mentah-mentah. Kini ia hanya bisa menatap ke arah pintu, berharap Jifanya segera muncul.Ponselnya bergetar.[Bagaimana?] pesan dari Kenan.[Dia belum tampil. Tunggu satu nomor lagi.][Bagaimana dengan Jifanya? Masih gugup?]Bayu mengetik cepat. [Iya. Tapi jangan khawatir, dia sudah pernah p
Udara pagi hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang bersinar terang, tetapi hati Jifanya diliputi kecemasan yang membuat segala sesuatunya terasa suram. Siapa sangka, desain modifikasi yang ia kirim hanya karena keisengan dan balas dendam kecil terhadap Bayu justru dipilih menjadi juara? Bahkan kini, gambar milik Bayu dituduh sebagai penjiplakan.Ia tidak pernah berniat sejauh itu. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia juga bisa. Tapi kini, semua ini menjadi bumerang. Dengan kepala tertunduk dan suara bergetar, Jifanya akhirnya mengakui pada Kenan.“Aku salah. Tadinya aku pikir dia belum mengirim, makanya aku kirim desain yang aku ubah sedikit,” bisiknya lirih, malu bukan main.Kenan menatap Jifanya tanpa berkata-kata sejenak. Hatinya perih, tetapi juga iba. “Kamu harus bertanggung jawab sekarang. Kamu harus menjelaskannya. Jangan kabur, Jifanya.”Di seberang telepon, suara Bayu terdengar sabar meski jelas menyimpan nada kecewa. “Tidak apa-apa, nanti kita bicarakan. Se
Malam di rumah besar keluarga Mustofa tak lagi hangat. Udara di ruang tamu yang biasa menjadi tempat berkumpul kini terasa dingin dan menyesakkan. Dila berdiri membeku di balik tangga, matanya berkaca-kaca. Niat awalnya hanya ingin mengambil beberapa lembar pakaian, tetapi langkahnya terhenti ketika suara pertengkaran di ruang utama menggema."Kamu menceraikanku gara-gara gadis kampung itu!" teriak Bu Neha, matanya merah, wajahnya basah oleh air mata dan kemarahan.Pak Mustofa berdiri tegak. Pria berwibawa itu biasanya tenang, tapi kali ini suaranya bergetar penuh amarah yang tertahan selama bertahun-tahun. "Dia menantumu, dan juga menantuku. Tapi kamu, Neha, kamu kehilangan kendali. Kamu berkata dia pantas mati. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan dengan wanita yang sekejam itu?""Lalu aku ini apa? Istrimu? Boneka? Pengganti wanita yang kamu cintai dari dulu itu? Kamu selalu dingin padaku. Aku melakukan segalanya untuk mendapatkan perhatianmu. Tapi kamu hanya memikirkan wanita itu
Sore itu, di ruang tamu rumah keluarga Mustofa, suasana terasa begitu sepi meskipun tak benar-benar sunyi. Hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak lambat, seakan ikut merasakan beratnya isi hati dua pria yang tengah duduk berseberangan di sofa cokelat tua. Sinar jingga matahari menembus kaca jendela, menyapu lembut wajah Bayu yang menunduk dalam diam.Pak Mustofa menatap anak bungsunya dengan sorot mata sayu. Ada sesuatu yang telah lama ia pendam, kini perlahan menyembul ke permukaan."Bayu," ucapnya pelan. "Sudah saatnya kamu mencari pasangan hidup. Kamu butuh teman, untuk bicara, untuk pulang."Bayu tersenyum tipis, tidak menatap langsung ke ayahnya. "Tidak usah pikirkan soal jodohku, Yah. Aku baik-baik saja."Pak Mustofa menarik napas dalam. "Teman Ayah punya anak perempuan. Cantik, dokter, pintar. Aku rasa dia akan tertarik padamu saat pertama melihatmu."Bayu akhirnya menoleh, ekspresi datarnya sedikit terangkat. "Kenapa dia bisa tertarik padaku?"Dengan bangga dan senyum
Siang itu, langit kota mendung, tapi tidak hujan. Udara terasa lembab, seolah menggantungkan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Di sebuah rumah makan sederhana di seberang kampus, Jifanya dan Bayu duduk berseberangan. Jendela terbuka lebar, membiarkan angin masuk menyibak rambut Jifanya yang ia biarkan terurai.Bayu sengaja memilih meja dekat jendela agar Jifanya bisa menghirup udara segar. Wajah perempuan itu masih terkesan murung, menatap jalanan dengan pandangan kosong.“Apa kamu pakai nasi?” tanya Bayu, mencoba membuka percakapan.Jifanya mengangguk pelan tanpa menoleh.“Mau minum apa?” tanyanya lagi.“Apa saja,” jawab Jifanya cepat, masih menatap keluar.Tak ingin memperpanjang keheningan yang kaku, Bayu memesan rawon dengan nasi serta jeruk dingin untuk Jifanya. Untuk dirinya, ia memesan teh tawar panas.Setelahnya, mereka diam. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, hingga tak ada kata yang cukup pantas diucapkan.Bayu, merasa







