Home / Rumah Tangga / Tuan Dingin & Nyonya Luka / Aroma Dosa yang Membekas

Share

Aroma Dosa yang Membekas

Author: Borneng
last update Last Updated: 2025-08-26 17:26:13

Matahari sore menggantung malas di langit kota. Hawa panas menyisakan gerah yang melekat pada kulit siapa saja yang melangkah di jalanan. Asap kendaraan bercampur dengan debu membuat udara semakin sesak. Namun di bawah rindang pohon kampus yang mulai meranggas, seorang perempuan berdiri mematung. Namanya Jifanya. Tubuhnya tegak, tapi hatinya rapuh. Matanya tajam, penuh bara amarah yang dipendam terlalu lama. Pandangannya tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari gedung fakultas—Bayu.

Bayu, lelaki bertubuh tinggi dengan rambut undercut yang disisir ke belakang. Dengan langkah santai, ia mengibaskan jaket yang tersampir di pundaknya. Jemarinya merapikan rambut, sementara tatapannya tertuju pada Jifanya yang menunggunya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Tak lagi ia lihat kerudung yang biasanya menutupi kepala Jifanya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, wajahnya telanjang tanpa perlindungan. Ada luka di sorot matanya, tapi juga ada keberanian yang asing.

Bayu berhenti, menatapnya. “Ada apa?” tanyanya datar. Namun aroma citrus dari parfum tubuhnya justru lebih dulu menyelinap ke hidung Jifanya. Aneh. Biasanya aroma segar seperti itu membuatnya mual. Tapi sekarang tidak. Bahkan ketika matanya menangkap gelas kopi yang sedang digenggam Bayu, lidahnya seperti ingin mencicipinya.

‘Sejak kapan aku suka kopi? Hamil sialan,’ gumamnya dalam hati, getir.

Bayu menyodorkan kopi itu. “Kamu mau?”

“Jangan sok baik!” hardik Jifanya, suaranya tajam bagai pisau.

Bayu hanya tersenyum tipis, seakan kebal terhadap amarahnya. “Baiklah. Jadi, ada apa?”

Jifanya menarik napas panjang. Setelah hari kelam itu—saat ia melepaskan kerudungnya—ia merasa bukan lagi gadis baik yang sabar dan berhati lembut. Sekarang ia hanyalah perempuan yang dipenuhi amarah, keputusasaan, dan rasa jijik pada dirinya sendiri.

“Aku ingin bicara,” katanya.

Bayu mengangguk pelan. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya—sebuah kerudung hitam, sudah disetrika rapi.

“Kamu lupa ini kemarin. Sudah aku cuci. Kamu lebih cocok memakainya,” ujarnya lembut.

Tatapan Jifanya mengeras. “Berhenti komentari penampilanku! Kenapa? Kamu ingin melakukannya lagi? Jangan sok alim, Bayu!”

Bayu melirik kanan-kiri, khawatir ada telinga lain yang mendengar. Suaranya menurun. “Kamu keterlaluan.”

“Kita bicara di tempat lain,” potong Jifanya, lalu melangkah cepat. Bayu terdiam sejenak, kemudian memberi kode pada teman-temannya untuk pergi lebih dulu, sebelum akhirnya mengikuti langkah Jifanya.

Mereka memilih taman belakang gedung fakultas. Tempat itu sepi, hanya ada suara angin yang menggesek dedaunan, sesekali diselingi kicau burung sore. Sebuah bangku kayu tua menjadi saksi bisu pertemuan itu. Bayu duduk sopan, menunggu Jifanya membuka percakapan. Sementara mata Jifanya tak henti menatap gelas kopi yang masih berembun di tangan Bayu.

“Kamu mau kopi ini, atau bicara?” tanya Bayu geli, mencoba mencairkan suasana.

Jifanya menggertakkan gigi. “Kamu bilang ingin membantuku, kan?”

Bayu mengangguk pelan. “Ya. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan karena aku membencimu. Tapi… karena aku ingin menyelamatkan diriku sendiri.”

Kalimat itu membuat dada Jifanya sesak. Ia menahan tangis, lalu dengan suara rendah tapi penuh luka, ia berkata, “Bantu aku.”

Bayu menatapnya dalam. “Bantu apa?”

“Aku ingin menggugurkan kandungan ini.” Suaranya bergetar, namun tegas. “Tapi dokter butuh persetujuan suami. Aku ingin kamu berpura-pura jadi suamiku. Kita pergi ke klinik bersama.”

Bayu membeku. Wajahnya menegang, jemarinya mengepal di atas lutut. “Kamu memintaku… membunuh anak itu?”

“Iya!” jerit Jifanya. “Karena dia adalah kesalahan! Aku tidak ingin anak ini dalam tubuhku! Aku ingin hidupku kembali normal, Bayu! Normal!”

Bayu berdiri, wajahnya pucat. “Minta itu pada Kenan!”

Nama itu membuat Jifanya meledak. Ia juga berdiri, naf asnya memburu. “Kenan? Kamu yang melakukannya! Kenapa kamu tidak bisa bertanggung jawab?!”

Bayu menggeleng. “Kalau kamu minta aku membiayai kebutuhannya, aku sanggup. Tapi kamu memintaku menghilangkan nyawa anak itu…” ia menahan napas, suaranya berat, “…aku tidak bisa.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan Jifanya yang terduduk lemas di bangku kayu. Air mata jatuh deras, membasahi wajahnya. Tangannya menutupi wajah, tubuhnya bergetar. Tapi beberapa langkah dari situ, Bayu berhenti. Rasa bersalah menahan kakinya. Perlahan ia kembali, duduk di samping Jifanya.

“Apa kamu mau?” tanya Jifanya pelan, penuh harap.

Bayu menoleh, tatapannya tegas. “Tidak.” Tapi kali ini nadanya lembut, seperti seorang kakak menolak adik kesayangannya.

Jifanya mendengus, lalu menatapnya dengan mata basah penuh kebencian. Namun tubuhnya, inderanya, bahkan janin dalam rahimnya seolah mengkhianatinya. Ia menyukai aroma tubuh pria ini. Bahkan saat marah, ia ingin menghirupnya. Aroma itu… menenangkannya.

“Kamu mengendus apa sih? Apa aku bau?” Bayu mencium bajunya sendiri, bingung.

“Kamu mirip—” gumam Jifanya, tapi buru-buru menutup mulutnya.

“Kamu meledekku?!” Bayu mengerutkan dahi.

“Tidak!” Jifanya menepis. “Sudahlah! Pergi sana!”

Bayu terkekeh, mencoba menyelamatkan suasana. “Kamu suka kopi, kan? Aku akan beli satu untukmu. Tunggu di sini. Jaga kopi dan tasku ya.” Ia menyerahkan tasnya lalu beranjak pergi.

Jifanya menatap punggung Bayu yang menjauh. Hatinya resah. Lalu matanya jatuh pada tas yang ditinggalkan. Entah setan apa yang merasukinya, tangannya bergerak membuka resleting tas itu. Di dalamnya, tersembunyi sebuah botol parfum kecil. Ia menatapnya lama, lalu menyemprotkan ke lengannya. Aroma citrus segar langsung menyeruak. Ia menghirupnya dalam-dalam. Dan entah bagaimana, hatinya merasa lebih tenang dari sebelumnya. Tenang, tapi sekaligus marah. Karena ketenangan itu datang dari lelaki yang paling ingin ia benci.

Matanya lalu beralih ke gelas kopi yang ditinggalkan Bayu. Awalnya hanya ingin mencicipi sedikit. Satu tegukan. Tapi kemudian, tanpa sadar, gelas itu kosong. Ia menyesap habis isinya.

Seketika rasa menyesal menyergap. “Aku gila…” bisiknya. “Hamil membuatku gila. Berhentilah membuatku melakukan hal gila.” Ia berdiri terburu-buru, meninggalkan taman itu begitu saja. Ia bahkan lupa Bayu menitipkan tas padanya.

Di tengah jalan pulang, langkahnya goyah. Tangan kirinya memegangi perut yang masih rata, tapi sudah menyimpan rahasia. Dengan suara lirih, ia berkata pada janin itu, “Aku membenci lelaki itu. Aku membenci ayahmu. Apa kamu tahu itu?!”

Air mata jatuh, membasahi pipi. Tapi tak ada yang peduli. Orang-orang hanya lewat, sibuk dengan dunianya sendiri. Tak ada yang berhenti. Tak ada yang melihat. Ia sendirian.

Namun di balik tangis itu, ada satu ironi: aroma tubuh Bayu masih menempel di lengannya, menenangkan jiwanya, seperti candu yang sulit ia tolak. Begitu pun rasa kopi yang kini merasuk ke lidahnya, padahal dulu ia benci. Semua itu membuatnya semakin muak pada dirinya sendiri.

Ia memilih duduk di sebuah bangku taman pinggir jalan. Langit sore perlahan meremang, lampu-lampu jalan mulai menyala. Di sana, seorang perempuan muda menangis sambil memeluk perutnya. Sendiri. Rapuh.

Namun, di suatu sudut kota, sepasang mata sedang memperhatikannya dari kejauhan. Mata itu tajam, penuh dendam. Bibir pemiliknya melengkung membentuk senyum tipis.

“Menangislah, Jifanya… semakin dalam kamu jatuh, semakin mudah aku menjatuhkanmu lagi.”

 “Mereka semua menganggapmu korban. Tapi hanya aku yang tahu… rahasiamu yang sebenarnya.”

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Melodi Luka di Balik Cinta

    Sore itu, di sebuah aula besar hotel tempat digelarnya ajang desain muda nasional, ketegangan antara Jifanya dan Bayu kembali memuncak. Di sela-sela riuh peserta yang menanti pengumuman, Jifanya berdiri dengan mata sembab, riasan wajahnya sudah luntur."Aku melakukan semua itu agar desainmu diterima!" Jifanya membela diri dengan nada yang sarat emosi."Dengan cara melakukan sesuatu yang berbahaya, Jifanya?" tanya Bayu, nadanya terdengar tajam meski matanya mengisyaratkan kekhawatiran."Aku tidak melakukan hal yang berbahaya!" bantah Jifanya cepat. Ia menjelaskan bahwa ia tidak memakai korset untuk mengecilkan perut, hanya memilih model pakaian yang menyamarkan bentuk tubuhnya. Bayu terdiam, hatinya mencelos melihat air mata Jifanya jatuh satu per satu.“Baiklah, aku minta maaf.” Dengan pelan, ia menyodorkan sapu tangan dari saku celananya, mengusap sisa riasan yang mulai luntur.“Kamu harusnya memujiku, bukan menekanku. Kamu tidak tahu bagaimana perjuanganku untuk tampil di sana. Liha

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Saat Jantung Berdegup karena Cinta

    Mega Hotel sore itu dipenuhi oleh orang-orang penting bersetelan rapi. Aroma kopi dan karpet mewah menyambut setiap langkah. Di ruang presentasi, nama Jifanya sudah masuk dalam daftar giliran kelima, giliran terakhir, namun juga yang paling menegangkan.Namun, justru bukan Jifanya yang terlihat paling gugup hari itu.Bayu duduk di barisan kursi paling belakang, menggenggam tangan sendiri hingga buku-bukunya memutih. Ia sudah mencoba segalanya agar Jifanya tidak perlu naik ke panggung. Tapi panitia bersikeras: yang mengirim desain harus yang mempresentasikannya.Seandainya bisa, Bayu ingin sekali mengganTinan Jifanya. Ia sudah membujuk, memohon, bahkan menyodorkan surat kuasa. Tapi semuanya ditolak mentah-mentah. Kini ia hanya bisa menatap ke arah pintu, berharap Jifanya segera muncul.Ponselnya bergetar.[Bagaimana?] pesan dari Kenan.[Dia belum tampil. Tunggu satu nomor lagi.][Bagaimana dengan Jifanya? Masih gugup?]Bayu mengetik cepat. [Iya. Tapi jangan khawatir, dia sudah pernah p

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Desain yang Mengubah Takdir

    Udara pagi hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang bersinar terang, tetapi hati Jifanya diliputi kecemasan yang membuat segala sesuatunya terasa suram. Siapa sangka, desain modifikasi yang ia kirim hanya karena keisengan dan balas dendam kecil terhadap Bayu justru dipilih menjadi juara? Bahkan kini, gambar milik Bayu dituduh sebagai penjiplakan.Ia tidak pernah berniat sejauh itu. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia juga bisa. Tapi kini, semua ini menjadi bumerang. Dengan kepala tertunduk dan suara bergetar, Jifanya akhirnya mengakui pada Kenan.“Aku salah. Tadinya aku pikir dia belum mengirim, makanya aku kirim desain yang aku ubah sedikit,” bisiknya lirih, malu bukan main.Kenan menatap Jifanya tanpa berkata-kata sejenak. Hatinya perih, tetapi juga iba. “Kamu harus bertanggung jawab sekarang. Kamu harus menjelaskannya. Jangan kabur, Jifanya.”Di seberang telepon, suara Bayu terdengar sabar meski jelas menyimpan nada kecewa. “Tidak apa-apa, nanti kita bicarakan. Se

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Cinta yang Terpecah

    Malam di rumah besar keluarga Mustofa tak lagi hangat. Udara di ruang tamu yang biasa menjadi tempat berkumpul kini terasa dingin dan menyesakkan. Dila berdiri membeku di balik tangga, matanya berkaca-kaca. Niat awalnya hanya ingin mengambil beberapa lembar pakaian, tetapi langkahnya terhenti ketika suara pertengkaran di ruang utama menggema."Kamu menceraikanku gara-gara gadis kampung itu!" teriak Bu Neha, matanya merah, wajahnya basah oleh air mata dan kemarahan.Pak Mustofa berdiri tegak. Pria berwibawa itu biasanya tenang, tapi kali ini suaranya bergetar penuh amarah yang tertahan selama bertahun-tahun. "Dia menantumu, dan juga menantuku. Tapi kamu, Neha, kamu kehilangan kendali. Kamu berkata dia pantas mati. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan dengan wanita yang sekejam itu?""Lalu aku ini apa? Istrimu? Boneka? Pengganti wanita yang kamu cintai dari dulu itu? Kamu selalu dingin padaku. Aku melakukan segalanya untuk mendapatkan perhatianmu. Tapi kamu hanya memikirkan wanita itu

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Luka yang Terbongkar

    Sore itu, di ruang tamu rumah keluarga Mustofa, suasana terasa begitu sepi meskipun tak benar-benar sunyi. Hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak lambat, seakan ikut merasakan beratnya isi hati dua pria yang tengah duduk berseberangan di sofa cokelat tua. Sinar jingga matahari menembus kaca jendela, menyapu lembut wajah Bayu yang menunduk dalam diam.Pak Mustofa menatap anak bungsunya dengan sorot mata sayu. Ada sesuatu yang telah lama ia pendam, kini perlahan menyembul ke permukaan."Bayu," ucapnya pelan. "Sudah saatnya kamu mencari pasangan hidup. Kamu butuh teman, untuk bicara, untuk pulang."Bayu tersenyum tipis, tidak menatap langsung ke ayahnya. "Tidak usah pikirkan soal jodohku, Yah. Aku baik-baik saja."Pak Mustofa menarik napas dalam. "Teman Ayah punya anak perempuan. Cantik, dokter, pintar. Aku rasa dia akan tertarik padamu saat pertama melihatmu."Bayu akhirnya menoleh, ekspresi datarnya sedikit terangkat. "Kenapa dia bisa tertarik padaku?"Dengan bangga dan senyum

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Cinta yang Terjaga dari Belakang

    Siang itu, langit kota mendung, tapi tidak hujan. Udara terasa lembab, seolah menggantungkan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Di sebuah rumah makan sederhana di seberang kampus, Jifanya dan Bayu duduk berseberangan. Jendela terbuka lebar, membiarkan angin masuk menyibak rambut Jifanya yang ia biarkan terurai.Bayu sengaja memilih meja dekat jendela agar Jifanya bisa menghirup udara segar. Wajah perempuan itu masih terkesan murung, menatap jalanan dengan pandangan kosong.“Apa kamu pakai nasi?” tanya Bayu, mencoba membuka percakapan.Jifanya mengangguk pelan tanpa menoleh.“Mau minum apa?” tanyanya lagi.“Apa saja,” jawab Jifanya cepat, masih menatap keluar.Tak ingin memperpanjang keheningan yang kaku, Bayu memesan rawon dengan nasi serta jeruk dingin untuk Jifanya. Untuk dirinya, ia memesan teh tawar panas.Setelahnya, mereka diam. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, hingga tak ada kata yang cukup pantas diucapkan.Bayu, merasa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status