Matahari sore menggantung malas di langit kota. Hawa panas menyisakan gerah yang melekat pada kulit siapa saja yang melangkah di jalanan. Asap kendaraan bercampur dengan debu membuat udara semakin sesak. Namun di bawah rindang pohon kampus yang mulai meranggas, seorang perempuan berdiri mematung. Namanya Jifanya. Tubuhnya tegak, tapi hatinya rapuh. Matanya tajam, penuh bara amarah yang dipendam terlalu lama. Pandangannya tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari gedung fakultas—Bayu.
Bayu, lelaki bertubuh tinggi dengan rambut undercut yang disisir ke belakang. Dengan langkah santai, ia mengibaskan jaket yang tersampir di pundaknya. Jemarinya merapikan rambut, sementara tatapannya tertuju pada Jifanya yang menunggunya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Tak lagi ia lihat kerudung yang biasanya menutupi kepala Jifanya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, wajahnya telanjang tanpa perlindungan. Ada luka di sorot matanya, tapi juga ada keberanian yang asing.
Bayu berhenti, menatapnya. “Ada apa?” tanyanya datar. Namun aroma citrus dari parfum tubuhnya justru lebih dulu menyelinap ke hidung Jifanya. Aneh. Biasanya aroma segar seperti itu membuatnya mual. Tapi sekarang tidak. Bahkan ketika matanya menangkap gelas kopi yang sedang digenggam Bayu, lidahnya seperti ingin mencicipinya.
‘Sejak kapan aku suka kopi? Hamil sialan,’ gumamnya dalam hati, getir.
Bayu menyodorkan kopi itu. “Kamu mau?”
“Jangan sok baik!” hardik Jifanya, suaranya tajam bagai pisau.
Bayu hanya tersenyum tipis, seakan kebal terhadap amarahnya. “Baiklah. Jadi, ada apa?”
Jifanya menarik napas panjang. Setelah hari kelam itu—saat ia melepaskan kerudungnya—ia merasa bukan lagi gadis baik yang sabar dan berhati lembut. Sekarang ia hanyalah perempuan yang dipenuhi amarah, keputusasaan, dan rasa jijik pada dirinya sendiri.
“Aku ingin bicara,” katanya.
Bayu mengangguk pelan. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya—sebuah kerudung hitam, sudah disetrika rapi.
“Kamu lupa ini kemarin. Sudah aku cuci. Kamu lebih cocok memakainya,” ujarnya lembut.
Tatapan Jifanya mengeras. “Berhenti komentari penampilanku! Kenapa? Kamu ingin melakukannya lagi? Jangan sok alim, Bayu!”
Bayu melirik kanan-kiri, khawatir ada telinga lain yang mendengar. Suaranya menurun. “Kamu keterlaluan.”
“Kita bicara di tempat lain,” potong Jifanya, lalu melangkah cepat. Bayu terdiam sejenak, kemudian memberi kode pada teman-temannya untuk pergi lebih dulu, sebelum akhirnya mengikuti langkah Jifanya.
Mereka memilih taman belakang gedung fakultas. Tempat itu sepi, hanya ada suara angin yang menggesek dedaunan, sesekali diselingi kicau burung sore. Sebuah bangku kayu tua menjadi saksi bisu pertemuan itu. Bayu duduk sopan, menunggu Jifanya membuka percakapan. Sementara mata Jifanya tak henti menatap gelas kopi yang masih berembun di tangan Bayu.
“Kamu mau kopi ini, atau bicara?” tanya Bayu geli, mencoba mencairkan suasana.
Jifanya menggertakkan gigi. “Kamu bilang ingin membantuku, kan?”
Bayu mengangguk pelan. “Ya. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan karena aku membencimu. Tapi… karena aku ingin menyelamatkan diriku sendiri.”
Kalimat itu membuat dada Jifanya sesak. Ia menahan tangis, lalu dengan suara rendah tapi penuh luka, ia berkata, “Bantu aku.”
Bayu menatapnya dalam. “Bantu apa?”
“Aku ingin menggugurkan kandungan ini.” Suaranya bergetar, namun tegas. “Tapi dokter butuh persetujuan suami. Aku ingin kamu berpura-pura jadi suamiku. Kita pergi ke klinik bersama.”
Bayu membeku. Wajahnya menegang, jemarinya mengepal di atas lutut. “Kamu memintaku… membunuh anak itu?”
“Iya!” jerit Jifanya. “Karena dia adalah kesalahan! Aku tidak ingin anak ini dalam tubuhku! Aku ingin hidupku kembali normal, Bayu! Normal!”
Bayu berdiri, wajahnya pucat. “Minta itu pada Kenan!”
Nama itu membuat Jifanya meledak. Ia juga berdiri, naf asnya memburu. “Kenan? Kamu yang melakukannya! Kenapa kamu tidak bisa bertanggung jawab?!”
Bayu menggeleng. “Kalau kamu minta aku membiayai kebutuhannya, aku sanggup. Tapi kamu memintaku menghilangkan nyawa anak itu…” ia menahan napas, suaranya berat, “…aku tidak bisa.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan Jifanya yang terduduk lemas di bangku kayu. Air mata jatuh deras, membasahi wajahnya. Tangannya menutupi wajah, tubuhnya bergetar. Tapi beberapa langkah dari situ, Bayu berhenti. Rasa bersalah menahan kakinya. Perlahan ia kembali, duduk di samping Jifanya.
“Apa kamu mau?” tanya Jifanya pelan, penuh harap.
Bayu menoleh, tatapannya tegas. “Tidak.” Tapi kali ini nadanya lembut, seperti seorang kakak menolak adik kesayangannya.
Jifanya mendengus, lalu menatapnya dengan mata basah penuh kebencian. Namun tubuhnya, inderanya, bahkan janin dalam rahimnya seolah mengkhianatinya. Ia menyukai aroma tubuh pria ini. Bahkan saat marah, ia ingin menghirupnya. Aroma itu… menenangkannya.
“Kamu mengendus apa sih? Apa aku bau?” Bayu mencium bajunya sendiri, bingung.
“Kamu mirip—” gumam Jifanya, tapi buru-buru menutup mulutnya.
“Kamu meledekku?!” Bayu mengerutkan dahi.
“Tidak!” Jifanya menepis. “Sudahlah! Pergi sana!”
Bayu terkekeh, mencoba menyelamatkan suasana. “Kamu suka kopi, kan? Aku akan beli satu untukmu. Tunggu di sini. Jaga kopi dan tasku ya.” Ia menyerahkan tasnya lalu beranjak pergi.
Jifanya menatap punggung Bayu yang menjauh. Hatinya resah. Lalu matanya jatuh pada tas yang ditinggalkan. Entah setan apa yang merasukinya, tangannya bergerak membuka resleting tas itu. Di dalamnya, tersembunyi sebuah botol parfum kecil. Ia menatapnya lama, lalu menyemprotkan ke lengannya. Aroma citrus segar langsung menyeruak. Ia menghirupnya dalam-dalam. Dan entah bagaimana, hatinya merasa lebih tenang dari sebelumnya. Tenang, tapi sekaligus marah. Karena ketenangan itu datang dari lelaki yang paling ingin ia benci.
Matanya lalu beralih ke gelas kopi yang ditinggalkan Bayu. Awalnya hanya ingin mencicipi sedikit. Satu tegukan. Tapi kemudian, tanpa sadar, gelas itu kosong. Ia menyesap habis isinya.
Seketika rasa menyesal menyergap. “Aku gila…” bisiknya. “Hamil membuatku gila. Berhentilah membuatku melakukan hal gila.” Ia berdiri terburu-buru, meninggalkan taman itu begitu saja. Ia bahkan lupa Bayu menitipkan tas padanya.
Di tengah jalan pulang, langkahnya goyah. Tangan kirinya memegangi perut yang masih rata, tapi sudah menyimpan rahasia. Dengan suara lirih, ia berkata pada janin itu, “Aku membenci lelaki itu. Aku membenci ayahmu. Apa kamu tahu itu?!”
Air mata jatuh, membasahi pipi. Tapi tak ada yang peduli. Orang-orang hanya lewat, sibuk dengan dunianya sendiri. Tak ada yang berhenti. Tak ada yang melihat. Ia sendirian.
Namun di balik tangis itu, ada satu ironi: aroma tubuh Bayu masih menempel di lengannya, menenangkan jiwanya, seperti candu yang sulit ia tolak. Begitu pun rasa kopi yang kini merasuk ke lidahnya, padahal dulu ia benci. Semua itu membuatnya semakin muak pada dirinya sendiri.
Ia memilih duduk di sebuah bangku taman pinggir jalan. Langit sore perlahan meremang, lampu-lampu jalan mulai menyala. Di sana, seorang perempuan muda menangis sambil memeluk perutnya. Sendiri. Rapuh.
Namun, di suatu sudut kota, sepasang mata sedang memperhatikannya dari kejauhan. Mata itu tajam, penuh dendam. Bibir pemiliknya melengkung membentuk senyum tipis.
“Menangislah, Jifanya… semakin dalam kamu jatuh, semakin mudah aku menjatuhkanmu lagi.”
“Mereka semua menganggapmu korban. Tapi hanya aku yang tahu… rahasiamu yang sebenarnya.”
Bersambung
Pagi itu, mentari baru saja merangkak naik, menyinari jendela kamar Dila yang tirainya masih setengah tertutup. Suara burung yang bertengger di dahan mangga terdengar samar, namun hati Dila justru merasa berat begitu ia membuka mata. Ia menguap pelan, lalu meraih ponselnya di meja nakas. Jemarinya yang masih malas menekan layar, membuka aplikasi WhatsApp.Namun pandangannya langsung terhenti pada sebuah status yang tak biasa."Selamat jalan Oma, semoga khusnul khotimah. Aamiin."Status itu ditulis oleh Jifanya.Bola mata Dila membesar, napasnya tercekat. Seakan tubuhnya tersengat listrik, ia sontak duduk tegak.“Apa? Nenek Jifanya meninggal? Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” bisiknya, nyaris tak percaya.Tanpa menunda, ia segera menekan nomor Jifanya. Suara dering panjang membuat dadanya semakin sesak. Hingga akhirnya terdengar suara lirih di seberang sana.“Halo, Kak Dila,” suara itu parau, bergetar, seperti seseorang yang tengah menahan tangis.“Ji... apa benar nenek kamu meningg
Senja baru saja merayap di langit kota ketika Dila, dengan amarah yang ditahan-tahan, menelepon dua pria yang sangat dikenalnya: Kenan dan Bayu. Wajahnya pucat, matanya memerah. Ia meminta mereka segera pulang. Ada hal besar yang harus diselesaikan.Tak lama kemudian, suara langkah kaki menggema di halaman rumah keluarga besar mereka. Kenan tiba lebih dulu, duduk di kursi kayu depan rumah, matanya menatap kosong ke arah halaman, dingin seperti biasanya. Tak berselang lama, Bayu menyusul. Ia hanya menunduk, duduk tanpa kata.Dila menghampiri Kenan dengan emosi yang meledak-ledak. Di tangannya tergenggam kertas yang sudah kusut. Ia melemparkan kertas itu ke dada Kenan."Apa benar kamu menyuruh Jifanya menggugurkan kandungannya? Apa kamu sejahat itu, Mas? Lalu untuk apa kamu menikahinya?" suaranya mengguncang udara petang itu.“Aku... tidak tahu,” jawab Kenan, pelan namun tegas. Ekspresinya tetap datar, namun matanya menyimpan badai.“Pak Kenan, Pak Polisi yang terhormat!” Dila mencemooh
Siang itu terik luar biasa. Matahari seakan murka, membakar jalanan kota hingga aspal pun menguapkan panas menyengat. Lalu lintas ramai, klakson kendaraan bersahut-sahutan, namun di tengah hiruk pikuk itu, seorang wanita muda duduk diam di bangku taman. Wajahnya menunduk, matanya sembab, jemarinya menggenggam selembar kertas seakan nyawanya bertumpu di sana.Dia adalah Jifanya.Baru saja ia keluar dari kafe tempatnya bertemu Bayu—lelaki yang masih saja berusaha menebus kesalahan besar yang tak termaafkan. Tatapan penuh rasa bersalah itu selalu menghantuinya. Tapi Jifanya tidak butuh penyesalan, ia butuh kepastian.Selembar kertas di tangannya adalah persetujuan tertulis, ditandatangani oleh suaminya sendiri, Kenan. Persetujuan untuk sebuah tindakan pengguguran kandungan. Satu tanda tangan, tanpa banyak tanya, tanpa emosi, tanpa cinta.Jifanya menunduk, hatinya terasa diremuk. Satu tanda tangan cukup untuk menghapuskan kehidupan. Apakah aku hanya selembar kertas di mata Kenan?Angin si
Malam itu, langit tampak murung. Gerimis jatuh pelan, menimpa genting rumah yang dingin dan sunyi. Udara malam mengandung aroma tanah basah, seakan menjadi saksi bisu atas luka yang mengendap di hati seorang perempuan bernama Jifanya. Dengan langkah letih, ia akhirnya pulang. Ia merasa hidup tidak pernah adil padanya. Dari kecil sudah hidup menderita dan sekarang dia lebih menderita lagi.Tak disangkanya, Kenan—lelaki yang sah menjadi suaminya—sudah berada di rumah. Seketika degup jantungnya berpacu tak karuan. Ada harap yang bergetar di dalam dadanya, seolah malam itu bisa menjadi awal yang baru. Ia ingin menceritakan kabar kehamilannya, berharap meski sedikit, ada pengertian dari sang suami.Namun harapan itu cepat redup. Wajah Kenan tetap datar, sorot matanya dingin seperti danau beku.Di meja makan, hanya ada mereka bertiga: Jifanya, Kenan, dan sang ibu mertua. Meja makan yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan, justru terasa lebih dingin dari kuburan. Tatapan sinis ibu mertua m
Matahari sore menggantung malas di langit kota. Hawa panas menyisakan gerah yang melekat pada kulit siapa saja yang melangkah di jalanan. Asap kendaraan bercampur dengan debu membuat udara semakin sesak. Namun di bawah rindang pohon kampus yang mulai meranggas, seorang perempuan berdiri mematung. Namanya Jifanya. Tubuhnya tegak, tapi hatinya rapuh. Matanya tajam, penuh bara amarah yang dipendam terlalu lama. Pandangannya tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari gedung fakultas—Bayu.Bayu, lelaki bertubuh tinggi dengan rambut undercut yang disisir ke belakang. Dengan langkah santai, ia mengibaskan jaket yang tersampir di pundaknya. Jemarinya merapikan rambut, sementara tatapannya tertuju pada Jifanya yang menunggunya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Tak lagi ia lihat kerudung yang biasanya menutupi kepala Jifanya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, wajahnya telanjang tanpa perlindungan. Ada luka di sorot matanya, tapi juga ada keberanian yang asing.Bayu berhenti, me
Pagi yang seharusnya hangat berubah menjadi kabut kelabu bagi Jifanya. Baru beberapa minggu tinggal sebagai menantu di rumah Kenan, tapi rasanya seperti bertahun-tahun dalam penjara dingin tanpa jendela. Setiap langkah yang ia ambil selalu salah di mata ibu mertuanya. Mulai dari cara makan yang disebut kampungan, gaya berjalan yang dianggap tak layak, hingga pilihan pakaian yang dianggap murahan.Rumah besar bercat krem yang dulu tampak megah kini terasa seperti rumah hantu. Bahkan dindingnya seakan ikut menghakimi keberadaan Jifanya. Berat badannya menyusut drastis, wajahnya pucat, dan matanya bengkak karena terlalu sering menangis diam-diam. Tapi semua itu tak membuatnya berhenti berusaha. Ia ingin diterima, diakui, dicintai… meski rasanya mustahil.Suatu pagi, keTina Jifanya membantu Bi Jum di dapur, suara tajam itu kembali mengiris telinganya.“Kamu harusnya ganti pakaian bersih dulu sebelum ke dapur,” ucap ibu mertua Jifanya dengan nada dingin dan menuduh.“Saya sudah mandi tadi