LOGINRuangan itu perlahan menjadi sunyi. Satu per satu orang yang tadi memenuhi kamar VIP kini telah pergi. Leon, Revan, Rosa, Nicky, Rowman, bahkan Dicky, semuanya meninggalkan ruangan dengan kepala tertunduk. Tidak ada yang berani menoleh kembali, seolah takut tatapan Nathan akan menyusul mereka. Tinggallah Laras sendirian. Berdiri di tempatnya dengan tubuh yang masih gemetar, Laras menatap kosong ke arah pintu yang telah tertutup. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan perasaan yang asing dan menyakitkan, 'ditinggalkan.' Bukan karena ia tidak penting, tetapi karena ia keliru menilai segalanya. Semua orang yang selama ini ia banggakan, semua yang ia yakini sebagai 'lingkungan yang tepat', pergi meninggalkannya tepat saat ia terpuruk. Harga dirinya runtuh perlahan. “Ma…” suara itu lirih, nyaris tak terdengar. Gina yang sejak tadi berdiri di sampingnya dengan wajah cemas segera meraih tangan Laras. Dengan hati-hati ia membantu putrinya berdiri lebih tegak, menopan
Melihat Laras yang jatuh pingsan, Rowman dengan panik kembali menangkapnya, lalu Gina segera mendekat dan menepuk-nepuk lembut pipi putri tunggalnya itu. “Ras, bangun, Nak. Sayang…” suara Gina cemas. Dengan cepat, Nicky, Rosa, Leon, dan Revan juga mendekat. Nicky segera mengeluarkan minyak kayu putih dari tasnya dan membiarkan Laras menghirupnya. Tak lama kemudian, Laras pun sadar dari pingsannya. Laras segera melirik ke arah meja Nathan, lalu ia melirik orang-orang di sekelilingnya. Dia baru tersadar sekarang, jika latar belakang yang coba ia bandingkan dengan Nathan sebelumnya, semua hanyalah lelucon dari sudut pandang Nathan. Tiba-tiba perhatiannya tertuju pada percakapan Nathan dan Dicky. “Kau ini siapa? Aku tidak bisa mengingatmu.” “Bos besar, saya Dicky… anak buah Kak Braga. Kita pernah bertemu sekali di rumah makan milik ayah bos besar,” jawab Dicky sedikit canggung. Nathan terdiam sejenak seolah mencoba mengingat sesuatu. “Ah… iya, aku ingat. Jadi sedang apa kau di sin
Mendengar teriakan Billy, Laras dengan cepat menoleh dengan ekspresi kesal karena seseorang berani memotongnya saat berbicara. Namun belum sempat ia mengucapkan sesuatu, matanya menangkap sosok Gina yang sedang menggelengkan kepala dengan wajah pucat, seolah memberi kode agar Laras tidak mengatakan apa pun. Laras segera memperbaiki ekspresinya dan bertanya, "Maaf, Tuan Muda, Anda siapa? Mengapa Anda masuk ke ruangan kami secara tiba-tiba?!" tanya Laras setengah memberi teguran. Belum sempat Billy menjawab, tiba-tiba suara seorang pria lain terdengar, "Nona Narone, sepertinya kau sedang sangat kesal, ya?! Tenangkan dirimu sejenak, bagaimana kalau kita duduk berbincang bersama," ujar pria itu yang tentu saja adalah Richard. "Siapa lagi kau? Mengapa kau tahu namaku? Sepertinya aku tidak mengenalmu!" tanya Laras sedikit bingung, dengan ekspresi kesal masih terlihat jelas di wajahnya. "Lihat, dasar playboy cap kadal, bahkan kau tahu nama belakang seorang gadis yang sama sekali ti
Tanpa membuang waktu, mereka masuk ke dalam restoran. Tepat di koridor utama, Bela menghentikan langkahnya sejenak. Dari kejauhan, ia melihat Billy berjalan tergesa dengan ekspresi serius, diikuti Gina yang wajahnya mulai pucat. Empat pria lain menyusul di belakang mereka dengan langkah canggung. Bela dan Richard saling pandang. “Mungkin akan ada pertunjukan menarik,” gumam Bela pelan. Sementara itu, Billy telah berhenti di depan satu pintu terakhir. Tangannya terangkat, bersiap membuka pintu. “Billy, tunggu!” panggil Richard setengah berteriak. Billy menoleh saat mendengar suara panggilan yang cukup familiar di telinganya. Ia segera tersenyum saat melihat siapa yang datang. “Richie, Bela, kalian juga makan di sini?” tanya Billy. “Tidak, Bil. Kami baru saja tiba. Salah satu anak buahku memberi informasi jika bos berada di sini. Apa itu benar?” “Itu benar. Aku juga sedang mencarinya. Rania memberi tahuku jika mereka dalam masalah,” jawab Billy cepat. Deg… Mendengar nama Rania
Saat perdebatan antara Mila dan Laras makin sengit. Ponsel di tangan Rania bergetar. Saat ia menyadarinya, ponsel itu sudah bergetar untuk ketiga kalinya. Nama Billy kembali muncul di layar, sama seperti dua panggilan sebelumnya yang tidak disadari Rania. Ia menghela napas kecil sebelum akhirnya menjawab panggilan itu. “Ran, kenapa lama sekali? Di mana Nathan? Orang tuaku sudah tidak sabar ingin segera bertemu lagi dengan Nathan,” omel Billy dari seberang telepon. Setelah Billy kembali dari rumah keluarga Middleton, tentu saja dengan mulut embernya, dia langsung menceritakan semua yang terjadi pada ayah dan ibunya. Ekspresi keduanya saat itu sangat terkejut hingga tak mampu berkata-kata. Franky mulai menghubungkan kejadian lima tahun lalu, saat keluarga Middleton mengerahkan seluruh kekuatan keluarganya untuk mencari perahu Norman. Sekarang dia tahu alasannya, tentu saja karena Nathan, putra Norman, adalah cucu lelaki tunggal Reynand. “Maaf, aku belum bisa ke sana,” ucap Rania
Sayangnya, sebentar lagi kenyataan pahit akan memukul mereka semua. Dan benar saja, Gina segera mengatakan sesuatu yang menghancurkan harapan mereka. "Mama juga sebenarnya ingin mengajaknya kemari, sayangnya... Mila datang bersama pacarnya, dan juga keempat sahabatnya. Jadi jika mereka datang ke ruangan ini, maka ruangannya tidak akan cukup," ucap Gina sambil mendesah tak berdaya. "Kalau begitu beri tahu aku di kamar mana mereka. Aku akan menemui Mila. Aku juga ingin melihat seperti apa pria yang berani memacari adik sepupuku. Jika dia adalah orang bodoh yang mencoba memanfaatkan adikku, aku akan segera memisahkan mereka." Suara Laras sedikit bergetar karena kesal. Tanpa seorang pun berniat menghentikan Laras, dia langsung menarik tangan ibunya dan meminta Gina menunjukkan ruangan Mila. Sementara di ruangan F2-07, Nathan, Mila, dan yang lainnya sedang menikmati makanan yang tersaji di depan mereka. Keenamnya bersantap dengan lahap karena sekarang memang sudah cukup siang, sedangka







