"Kamu gila, Jenna? Siapa yang menyuruhmu untuk memesan 'itu'?"
Mondar-mandir di salah satu kamar hotel yang berafiliasi dengan kelab eksklusif Artemis, Charlotte merasakan jantungnya seakan-akan mau meledak. Bagaimana tidak? Setelah seharian kembali melewati hari yang berat dan menegangkan, pada malam harinya dia malah mendapatkan kabar bahwa sahabatnya mau memberi secuil kejutan. Namun, kejutannya tidak masuk akal. Charlotte mendengkus pelan, mendudukkan diri di tepi ranjang kamar hotel yang terasa dingin, tetapi peluhnya bercucuran lantaran sedang kelimpungan. "Jenna, tidak bisakah kamu membatalkannya saja? Aku tidak membutuhkan hal semacam itu. Lagi pula, kalau aku memang mau melakukannya, aku tidak bisa sembarangan memesan 'itu' kan? Dengan posisiku yang rawan seperti ini, kamu pikir aku akan baik-baik saja? Bagaimana kalau 'dia' mengetahuinya? Bisa-bisa aku tidak melihat dunia untuk yang terakhir kalinya." Gerutuan Charlotte membuat bahu Jenna melemas. Sahabat yang telah membersamai sejak sekolah menengah itu memindai penampilan Charlotte dari ujung kepala hingga ujung kaki beberapa kali. "Kamu tahu, Charlotte? Sayang sekali kamu menikah dengan si tua bangka itu. Kamu bisa mendapatkan pria tampan mana pun yang akan tergila-gila padamu hanya dengan sebatas lirikan saja." Gumam Jenna santai, refleks mendapatkan pelototan dari Charlotte. "Beruntung kita hanya berdua sekarang ini, Jenna. Kalau sampai salah satu mata-mata Mas Hendra tahu, yang ada aku yang bakal kena getahnya!" peringat Charlotte. Jenna merotasikan bola matanya malas. "Sungguh, istri yang sangat berbakti sekali. Kamu memanggilnya seperti itu, padahal usianya tidak lebih dari ayah kandungmu sendiri? Terkadang aku menyayangkan pilihan keluargamu, Charlotte." "Sudahlah, Jenna. Itu bukan saat yang tepat untuk membahasnya. Sekarang, bisakah kamu membatalkan 'pesanan' yang sedang dalam perjalanan itu? Sungguh, aku tidak akan bisa melakukannya di saat kepalaku berasap seperti ini." Charlotte kembali mengangkat topik sebelumnya. Mendengar hal tersebut, Jenna duduk di sofa terdekat sembari mengambil ponselnya. "Sebentar, kalau begitu aku—eh?" "Ada apa?" Dengan rahang terjatuh, Jenna menatap Charlotte seraya memperlihatkan layar ponselnya. "Gigolonya sudah ada di depan pintu kamar hotel ini, Charlotte." Bagus. Sekarang Charlotte yang harus mencari cara untuk mengirim kembali gigolo pesanan sahabatnya itu. "Baiklah, mau tidak mau aku harus tetap membayarnya 'kan? Dia sudah jauh-jauh ke sini. Biarpun kami tidak akan melakukan apa pun. Kamu bisa menjadi saksinya, Jenna." Jenna terlihat ingin protes, tetapi tatapan tajam Charlotte membuat wanita itu mengembuskan napas, mengalah. "Baiklah, aku akan menyuruhnya masuk supaya kamu bisa 'membayarnya' secara pantas." Charlotte merebahkan diri sejenak, mengambil napas perlahan-lahan. Dunianya memang berada dalam lingkaran harta yang berlimpah, tetapi ada harga yang harus dibayar untuk semua kenikmatan serta materi yang didapuknya selama ini. "Kamu sudah siap, Nyonya? Kenapa tidak melepas blazer yang kamu kenakan terlebih dahulu? Jadi, saya tidak perlu kesusahan saat menelanjangimu nantinya, Nyonya." Charlotte tersentak, segera saja kembali mendudukkan diri seraya mencari asal suara tersebut. Berdiri di samping sofa yang sempat Jenna duduki tadi, seorang pria bersetelan rapi bersandar pada dinding, melipat tangan di depan dada. Sepasang mata biru pria itu memindai penampilan Charlotte, seolah-olah tengah merencanakan sesuatu yang nakal dalam isi kepalanya. "A-apa yang kamu katakan tadi? Asal kamu tahu saja, Tuan, aku tidak akan melakukannya. Omong-omong, di mana Jenna? Kenapa dia tidak ikut ma—" "Tidak akan melakukannya? Bukankah Nona Jenna barusan berkata jika kamu sudah siap, Nyonya? Untuk itulah Nona Jenna meninggalkan saya di sini—" pria itu menuai langkah, berhenti tepat di hadapan Charlotte yang masih terduduk di tepi ranjang, "—untuk 'menghiburmu', Nyonya Charlotte." Charlotte menganga, tidak menyangka bila sahabatnya akan se-kurang ajar itu. Mendesah lelah, Charlotte membuka dompetnya. "Maaf, Tuan, tapi aku—" "Tunggu sebentar! Desahanmu tadi, saya ingin mendengarnya lagi, Nyonya Charlotte." Charlotte berjengit tak percaya. "Astaga, itu karena aku tidak sadar! Aku terlalu lelah dengan situasi yang sudah kulewati ini, Tuan. Dan lagi, kamu adalah seorang gigolo 'kan? Kenapa kamu bersikap seolah-olah kamu ini adalah orang yang lebih berkuasa daripada diriku? Kamu tidak tahu siapa aku?" "Ah," pria itu menyeringai, "maafkan atas kelancangan saya ini, Nyonya Charlotte. Jadi, bisakah kita mulai saja? Kamu bisa melepaskan semua pakaian saya terlebih dahulu jika kamu mau." "Tidak! Tidak! Aku tidak akan melakukannya!" tolak Charlotte yang berada di ujung kesabaran. Tergesa-gesa menghitung lembaran uang, wanita itu lantas menyodorkan nominal dalam jumlah yang cukup banyak. Pria di hadapannya terbelalak selama beberapa detik, sebelum kembali memasang seringainya. "Ah, mau membayar terlebih dahulu?" Charlotte menggeram, merasa lelah berkali-kali lipat. 'Kenapa pula Jenna memanggil gigolo yang menyebalkan seperti ini?' "Tuan, aku akan membayarmu—betul, aku akan membayarmu karena kamu sudah jauh-jauh datang ke sini. Tapi, aku tidak akan melakukan 'itu' denganmu, paham?" Pria itu mengernyit, tak mampu menyembunyikan kebingungannya lagi. "Kenapa? Apakah saya kurang menarik?" Charlotte mengamati penampilan pria di hadapannya itu dengan kening berkerut. Kalau boleh jujur, pria itu lebih dari sekadar menarik. Bahkan, rasanya dia sedang berhadapan dengan seorang atasan dari pemilik perusahaan besar. Mulai dari setelan, tatanan rambut, jam tangan mewah, bahkan parfum yang terendus, pria itu tidak seperti gigolo biasa. 'Ah, bisa saja dia membeli semua barang-barang mahal itu dari hasil pekerjaannya ini. Tidak heran. Dia tampan, pastinya ada banyak wanita yang mau membayarnya lebih meskipun hanya untuk satu jam saja.' "Aku akui, kamu memang tampan, Tuan. Tapi, aku mempunyai prinsip untuk tidak berselingkuh dari suamiku sekarang ini, apa pun masalahnya." Balasnya, lebih seperti meyakinkan diri sendiri. "Ah, istri yang setia," pria itu mengangguk, "baiklah, kalau begitu, saya tidak akan menerima uang darimu sepeser pun, Nyonya Charlotte. Karena saya tidak melakukan 'tugasku' sama sekali denganmu untuk malam ini." "Sungguh? Padahal kamu sudah jauh-jauh kemari," Charlotte memiringkan kepala. Namun, bila dipikir-pikir lagi, pastinya biaya kendaraan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nominal yang pria tampan itu dapatkan dari 'servis'nya. Menghela napas, Charlotte mengangguk. Sepertinya gigolo yang ditemuinya sekarang ini tidak terlalu menyebalkan. "Baiklah," Charlotte kembali menyimpan dompetnya. Wanita itu berdiri dari tepi ranjang, bersedekap dengan mata memicing. Hendak mengatakan sesuatu, tapi tertahan. "Hufft, lupakan saja." Merasa haus, Charlotte mengambil sebotol air mineral yang semula merupakan milik Jenna. Sedangkan pria di hadapannya memutuskan untuk duduk di sofa, menunggu Charlotte membuka suara atau memberi intruksi. Akan tetapi, hanya dalam beberapa saat setelah meneguk sebanyak tiga kali, Charlotte merasakan panas yang tak tertahankan. Charlotte menatap tajam botol air mineral yang berada di atas meja bundar, mulai menyadari apa yang sedang terjadi. "Sial!" Alis kanan si gigolo meninggi, "ada apa, Nyonya Charlotte?" Charlotte meneguk ludah susah payah, pipinya bersemu merah begitu bertemu tatap dengan sang pria yang menatapnya penuh kekhawatiran. "A-aku ...." Setelahnya, Charlotte benar-benar bercinta dengan gigolo yang berniat ditolaknya itu. •••••Charlotte mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Tidak. Dia tidak marah pada Lucas. Justru, dia sangat berterima kasih karena pria itu telah menyelamatkannya. Hanya saja, dia menginginkan kesendirian melebihi apa pun saat ini.Menginjak tengah malam, Charlotte terbangun dari tidur panjangnya. Beberapa saat lalu, dia sempat mendengar gumaman dari luar kamarnya bahwa Lucas telah menginformasikan insiden tadi pada Hendra. Kemudian, Charlotte tidak mendengar apa-apa lagi lantaran terlalu lelah.Akan tetapi, wanita itu merasakan cacing pada perutnya meronta-ronta meminta asupan. Dengan malas, Charlotte mengenakan kimono tidur untuk menutupi gaun malam tanpa lengannya sembari keluar kamar.Begitu membuka pintu, dia dikejutkan oleh sosok tegap Lucas yang bertahan di depan pintu kamarnya bagai patung. Melirik sekitar untuk memastikan tidak ada orang lain, Charlotte menepuk lengan pria itu."Lucas? Kenapa kamu ada di sini? Bukankah seharusnya kamu tidur atau berganti shift dengan yang lain?" tan
"Ada apa, Nyonya? Apa terjadi sesuatu?!" panik Luna saat mendengar seruan Charlotte atas nama Lucas.Salah tingkah, Charlotte cepat-cepat menggeleng. "Ti-tidak ada, Luna. Maaf, tadi aku hanya melihat ada serangga yang lewat, karena Lucas ada di sampingku, jadi aku menyerukan namanya secara spontan saja. Ma-maaf sudah mengejutkanmu, Luna."Luna mengembuskan napas lega, manggut-manggut. "Tidak apa-apa, Nyonya Charlotte. Mungkin ini juga efek dari penjagaan ketat yang mulai diberlakukan. Jadi, saya juga ikutan panik lebih dari yang saya kira. Omong-omong, serangga apa, Nyonya? Saya ingat, Nyonya Charlotte tidak takut serangga semacam apa pun.""Oh?"Manik mata Charlotte bergerak gelisah, tidak menyangka bila Luna akan melayangkan pertanyaan semacam itu. Namun, Lucas membuka suara sembari menahan senyum akibat tingkah Charlotte barusan."Luna, sepertinya Nyonya Charlotte hanya melihat sesuatu yang melintas tadi. Lebih baik, kita meneruskan perjalanan mengelilingi kebun saja," ucap Lucas.
"Menurut penyelidikan, seseorang yang berniat memasuki gudang Barat sepertinya paham tentang keamanan yang terbiasa diterapkan di kediaman Soedarso—atau setidaknya pernah mengetahui bagaimana Tuan Besar menyuruh para arsitek saat menyerahkan cetak biru beberapa gudang secara bersamaan."Lucas menyimak ucapan Kepala Pengawal yang bernama Danni itu dengan saksama. Selepas memastikan seluruh penghuni vila terlelap di kamar masing-masing, Danni meminta para pengawal yang tersebar untuk berkumpul sejenak di halaman belakang vila.Danni, pria bertubuh tegap yang berusia empat puluh tahun itu menghampiri salah satu bawahan yang turut membersamai saat pergi bersama Hendra Soedarso seharian ini. "Yang jelas, telah ditemukan sebuah jeriken yang tergeletak di bagian belakang gudang, seolah-olah orang yang berniat membakar gudang itu meletakkannya karena terburu-buru ingin kabur sebelum para pengawal yang ada di sana memergokinya. Tapi, yang menjadi pertanyaan besar; mengapa harus ditinggalkan b
Charlotte terperanjat, berbalik sembari mendesah panjang. "Astaga, kamu mengejutkanku, Lucas!"Lucas menyeringai, tanpa rasa bersalah berhenti tepat di hadapan Charlotte. Pandangan pria itu jatuh pada belahan dada sang nyonya yang tampak menggoda. Kalau tidak ingat apa yang telah Charlotte lewati beberapa saat lalu, mungkin pria itu akan menerkam sang nyonya pada detik yang sama.Berdeham, Lucas berusaha menjauhkan pandangannya pada belahan dada Charlotte. "Kepala Anda, Nyonya Charlotte. Apakah sakit? Ah, tapi saya berani menjamin kalau rasanya sakit sekali. Benar? Nyonya Miriam tidak tanggung-tanggung saat menggenggam rambut Anda tadi."Charlotte terpejam begitu merasakan elusan tangan Lucas yang bersarang pada kepalanya. Entah karena terlalu lelah atau memang tidak mau mengomel, Charlotte hanya mampu menikmati sentuhan hangat yang Lucas berikan.Selama beberapa saat, tidak ada yang membuka suara. Keduanya seakan-akan menikmati keheningan yang melingkupi dengan berbagai pikiran serta
Makan malam kali itu, dihadiri oleh empat istri Hendra Soedarso—sedangkan sang kepala keluarga belum menjejaki vila sama sekali seharian ini.Suasananya bisa dipastikan tegang luar biasa. Sebagai yang termuda, Megan berusaha mencairkan suasana dengan bertanya penuh kepolosan, tetapi malah mendapat pelototan dari Miriam maupun Elmira. Charlotte hanya mampu mendesah lelah, berharap makan malam akan segera selesai. Masalahnya, semua orang entah mengapa sengaja melahap secara perlahan-lahan. Entah karena perjalanan jauh membuat tidak nafsu makan, atau memang sedang malas mencerna sesuatu.Bukan hanya para istri yang merasakan ketegangan tersebut, para pengawal serta pelayan pribadi masing-masing pun melempar lirikan yang seakan-akan meminta pertolongan agar seseorang membawa topik ringan yang bisa mengendurkan ketegangan di antara mereka.Merasa muak dengan atmosfer yang ada, Elmira berdiri. Seluruh pasang mata tertuju padanya, sedangkan Elmira mulai bersenandung ringan dengan harapan un
"Ah, makanya itu mereka tidak terlihat bahkan di rest area tadi," Charlotte meringis selepas mendengar penjelasan Megan, bahwa Miriam dan Elmira sedang berseteru di mini market sebelah rest area.Oleh karena itu, Charlotte tidak melihat keduanya padahal mobil yang memuat dua orang itu berbelok terlebih dahulu di tempat parkir rest area. Belum lagi, dia tidak bisa terlalu fokus akibat kejadian dengan pria asing yang nyaris mendapatkan foto tidak senonoh atas dirinya itu.Telah menaiki mobil dan kembali meneruskan perjalanan ke daerah Barat, Charlotte menyandarkan diri sembari menatap punggung tegap Lucas yang duduk di kursi samping kemudi.Lucas memang menyebalkan. Namun, dia tidak bisa berbohong kalau pria itulah yang telah membantunya saat berada di rest area tadi. Jika tidak—ah, Charlotte tidak mau memikirkannya. Membayangkan untuk sedetik saja sudah membuatnya kesal bukan main.Sementara itu, diam-diam Lucas mengamati pergerakan Charlotte melalui spion luar yang sedikit memergoki n