Charlotte hanya mengingatnya samar-samar; ketika dia memutuskan untuk mendorong si gigolo yang semula ditolaknya itu kembali duduk di sofa, lalu berada di pangkuan pria tersebut.
Ciuman panas, gairah tak tertahankan, semuanya meledak tanpa bisa dicegah. Charlotte masih bisa merasakan tiap entakan yang sempat pria itu berikan, yang mana berhasil membawanya terbang di antara bintang-bintang. Wanita itu mendengkus gusar, pipinya kembali merona, padahal dia sedang melangsungkan sarapan dengan suami paruh bayanya. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia telah melarikan diri dari hotel, meninggalkan segepok uang atas 'jasa' yang akhirnya dia gunakan terhadap gigolo tersebut. Kalau boleh jujur, dia memang tidak pernah merasa senikmat itu. 'Astaga! Apa yang aku pikirkan?! Ini gara-gara Jenna! Sialan! Dia sengaja meninggalkan air minumnya yang sudah ditambah oleh obat perangsang. Mau senikmat apa pun semalam, tetap saja, aku sudah mengkhianati kepercayaan Mas Hendra.' "Sepertinya kamu sedang banyak pikiran, Charlotte," celetuk Hendra, sang kepala keluarga yang menginjak delapan puluh tahun dengan sebagian rambut memutih dan tubuh lemah yang termakan usia. Charlotte terhenyak, lantas mengukir senyum manisnya. "Tidak, Mas. Aku baik-baik saja. Semalam, aku menghabiskan banyak waktu dengan Jenna. Jadi, aku hanya berpikir, apa yang sekiranya bisa kami lakukan di pertemuan selanjutnya." Hendra, pria yang selama delapan tahun ini telah menjadi suami dari Charlotte itu, manggut-manggut. Charlotte mengulas senyum terpaksanya, tidak mau membuat Hendra curiga. Tidak mungkin juga dia berkata bila semalam dia baru saja bercinta dengan seorang gigolo 'kan? Yang ada hidupnya akan berakhir pada detik itu juga. Menghabiskan sisa sarapan, Charlotte menyadari ada yang janggal. Ditilknya seorang pelayan yang kerap membersamainya, tetapi tidak diiringi oleh seorang pengawal seperti biasa. "Lho, ke mana pengawal yang seharusnya membersamaimu, Luna?" tanya Charlotte pada pelayan pribadinya. Luna menjawab pelan dengan kepala tertunduk sopan. "Sejak kemarin, Ronald memang tidak datang bekerja, Nyonya Charlotte. Rekan pengawal yang lain juga tidak mengetahui keberadaannya." Charlotte menaikkan satu alisnya, penasaran tapi memilih untuk diam saja. Lagi pula, selama ini dia memang jarang berinteraksi dengan pengawal pribadinya yang bernama Ronald itu. Charlotte tahu, menempatkan pengawal pribadi merupakan salah satu cara Hendra untuk mengawasinya. Lantaran usianya baru menginjak dua puluh tujuh tahun, Hendra takut apabila Charlotte tertarik dengan pria lain yang lebih muda dari pria itu. Bisa dibilang, pria tua yang semestinya menjadi ayah atau kakeknya itu, tidak mau melepaskan sosok Charlotte yang sudah dirantai erat-erat sejak dulu. Charlotte telah lama dijual kepada Hendra, dengan dalih membantu finansial keluarganya yang tidak ada bagus-bagusnya. Meskipun dia hanya menjadi istri kedua Hendra, tidak bisa dimungkiri, hidup keluarganya telah meningkat pesat dan dilimpahi kekayaan yang didapat dari nafkah bulanan Charlotte. Sebagai satu-satunya penyemangat, Charlotte menganggap jika dirinya sedang 'bekerja' sebagai istri kedua Hendra. Dengan harapan, dia akan lepas dari jerat pria tua itu suatu hari nanti. Tepat setelah menghabiskan sarapan, derap langkah terdengar dari anak tangga. Tanpa perlu menengok, Charlotte mengetahui siapa orangnya. "Ah, kakak maduku sudah selesai sarapan ya? Seharusnya ajak-ajak dong!" Charlotte mengulum senyum, meletakkan sendok yang dipegangnya agak canggung. Tidak bisa mengelak, inilah kehidupan yang dijalaninya selama enam tahun belakangan; tinggal di kediaman megah Hendra Soedarso bersama empat istri pria itu—yang sama-sama mengincar harta pula. Elmira, istri ketiga yang berusia tiga puluh tahun itu keluar mengenakan setelan ketat yang sangat disukai oleh Hendra—salah satu trik Elmira agar Hendra mau memberikan apa pun yang diminta tanpa terkecuali. Dulunya, Elmira merupakan sekretaris yang bekerja di perusahaan properti milik Hendra, tetapi berhasil menjadi istri ketiga tanpa perlu banting tulang. Tidak lama setelah Elmira muncul, istri keempat yang cukup dekat dengan Charlotte—Megan—keluar kamar diikuti pelayan pribadi yang sibuk membantu merapikan pakaian wanita muda itu. Megan paling muda di antara mereka, baru berusia sekitar dua puluh empat tahun. Keadaan Megan kurang lebih sama dengan Charlotte. Dijual demi kepentingan keluarga, lalu berakhir menjadi tulang punggung dengan 'bekerja' sebagai istri dari Hendra Soedarso. Maka dari itu, Charlotte dan Megan cukup dekat untuk saling mengobrol di saat senggang. Megan mengambil duduk di samping Charlotte, tersenyum polos lalu mengambil lauk yang disukai. "Kak Charlotte, semalam pulang jam berapa? Aku menunggumu cukup lama, karena aku berpikir untuk meminta bantuan Kak Charlotte soal saran universitas mana yang mau kumasuki." Charlotte segera mencari alasan, "maaf ya? Temanku sedang tidak mau ditinggal, jadi aku pulang cukup malam. Sepertinya saat semua orang sudah tertidur. Aku sampai merasa bersalah sudah membuatmu menunggu, Megan. Bahkan, Luna saja sampai tertidur di karpet ruang tamu karena menungguku selama itu." Megan hanya mengangguk. Melihat tampang lugu Megan yang seperti terjebak di antara para serigala, membuat Charlotte selalu dirundung rasa bersalah. Mengapa gadis manis seperti Megan harus berada dalam belenggu seorang Hendra Soedarso? Sebelum Charlotte menghabiskan segelas air putih yang baru diambil, Hendra membuka suara. Walaupun sang istri pertama sengaja belum datang untuk melangsungkan sarapan, semua sudah terbiasa. "Nanti malam, tolong jangan mempermalukanku, paham? Kita akan bertemu dengan banyak mitra bisnis yang sangat berpengaruh. Kamu juga, Megan! Kalau ditanya jangan gelagapan seperti orang tidak bisa berbicara, mengerti?!" peringat Hendra. Megan tersentak, mengangguk diiringi secuil ketakutan yang susah payah disembunyikan. Charlotte mengembuskan napas perlahan. Terkadang, dia merasa kasihan terhadap Megan yang masih berusaha beradaptasi dengan kehidupan kalangan atas yang dituntut secara sempurna oleh Hendra. "Baik, kalau begitu kalian bisa pergi ke butik untuk memilih pakaian yang akan dipakai nanti malam. Pilih yang bagus! Jangan mempermalukanku dengan memilih yang jelek! Paham semua?" "Paham, Mas ...." Balasan serentak tersebut mengundang anggukan penuh kepuasan pada wajah Hendra. Selepas mengenyangkan isi perut, Hendra beranjak pergi, menyisakan tiga istrinya yang terpaku dalam pikiran masing-masing. "Satu lagi," Hendra membuat ketiga menoleh, "aku akan mencarikan pengawal baru untukmu, Charlotte. Dia akan mendampingimu saat pergi ke acara nanti malam." Charlotte mengangguk patuh. Walaupun dia tidak terlalu peduli terhadap dampingan para pengawal yang ditugaskan untuk menjaganya pada acara besar semacam itu. Akan tetapi, entah mengapa dia merasa gelisah tanpa alasan begitu saja. Seharian itu, Charlotte disibukkan oleh usaha kecil-kecilannya yang merupakan salah satu kafe di pusat kota. Meski tidak dapat dimungkiri, kejadian semalam menghantuinya tanpa henti. Selepas mentari terbenam, Charlotte telah kembali ke rumah dan mengenakan gaun yang telah dipesan secara khusus oleh Hendra untuk para istrinya. "Bagaimana penampilanku, Luna?" Luna, pelayan pribadinya yang sedang membawa heels itu tersenyum manis. "Saya rasa sekadar cantik saja tidak cukup untuk mendeskripsikan penampilan Nyonya Charlotte saat ini." "Astaga, pelayanku yang satu ini pintar sekali dalam merayu." Charlotte terkekeh, lantas menerima uluran heels yang Luna berikan. "Ah, Nyonya, pengawal barunya sudah menunggu di depan pintu kamar. Seperti biasa, semua diwajibkan membawa pengawal masing-masing demi keamanan bersama." Charlotte mendengkus pelan. "Oh, tentu saja. Mas Hendra tentunya tidak mau kalau ada pria lain yang mendekati setiap istrinya. Kalau begitu, aku akan pergi terlebih dulu, Luna. Kalau ada sesuatu, kabari saja aku." "Baik, Nyonya." Menuai langkah, Charlotte mematut dirinya di depan cermin sekali lagi sebelum membuka pintu kamar. Begitu membuka, terdapat bayangan seseorang yang berdiri di sisi barat pintu kamarnya. Sudah bisa menduga bahwa orang tersebut merupakan pengawal barunya, wanita itu berdeham. "Tenang saja, kamu tidak akan kesusahan saat menjadi pengawalku, karena aku tidak akan berbuat macam-macam." Katanya tanpa menengok, malah sibuk menilik ponsel. Namun, suara balasan dari sang pengawal membuat wanita itu terhenyak. "Oh, ya? Benarkah begitu, Nyonya Charlotte?" Spontan menoleh, Charlotte menjatuhkan rahangnya dengan mata membulat sempurna. "Ka-kamu?" •••••Tok! Tok! Tok!"Nyonya Charlotte? Sarapan sudah siap! Perlukah saya membawa sarapan ke dalam kamar? Atau apakah Nyonya Charlotte akan datang sendiri ke meja makan?"Charlotte tersentak. Wanita itu segera melepaskan diri dari jangkauan Lucas, berdeham untuk menyembunyikan kegugupan yang tengah melanda. "Ya, aku akan datang ke meja makan saja, Luna. Aku mau mandi dulu.""Perlukah saya membantu Nyonya Charlotte untuk membersihkan diri?" tawar Luna sopan, yang masih setia berdiri di balik pintu."Tidak perlu, Luna. Terima kasih! Aku akan memanggilmu saat membutuhkan bantuanmu nanti," balas Charlotte."Baik, Nyonya Charlotte. Kalau begitu, saya akan bersama dengan pelayan lain yang membantu di dapur."Sesaat setelah bayangan Luna yang terlihat dari celah bawah pintu menghilang, Charlotte mendengkus lega. Wanita itu kembali merebahkan diri sembari memikirkan apa yang sedang terjadi. Namun, sebelum membuka suara, sebuah lengan kekar telah melingkari pinggangnya lagi. "Oh, jadi kamu menyuruh
Sebelum Charlotte mampu mengutarakan protes, tahu-tahu saja dia merasakan salah satu tangan Lucas menyusup ke balik jas yang tersampir pada pundak wanita itu. Charlotte merinding, tetapi detak jantungnya yang sarat akan antisipasi itu malah membuat pipinya merona lebih dulu. Melihat tampang Charlotte yang mulai salah tingkah, Lucas kembali melayangkan tawa kecilnya dengan suara berat nan seksi. "Nah, lihat, Nyonya Charlotte. Sepertinya tubuhmu mengingat dengan benar, siapa yang mampu memuaskannya di atas ranjang ...." Cepat-cepat menggeleng, Charlotte mundur tiga langkah, menepis tangan Lucas yang masih bisa menjangkaunya. Lucas memiringkan kepala, menyeringai seakan-akan sedang mendapatkan mainan baru. "Saya tahu, Nyonya Charlotte," Lucas malah mendekatinya lagi, yang mana tepat berdiri di depan wanita itu, "siapa pun bisa melihat, pria tua seperti Hendra Soedarso tidak akan bisa memuaskan para istrinya di atas ranjang." "Ka—" "Kak Charlotte?" Lucas segera mundur dua la
Belakangan, Charlotte tidak suka diberi kejutan. Dia pikir, kejutan yang Jenna yang berikan malam itu sudah yang paling mendebarkan. Namun, seorang pria yang berdiri tiga langkah darinya dengan seragam khas pengawal keluarga Soedarso malah menjadi kejutan terhoror yang pernah ada.Bagaimana mungkin ... gigolo yang dihadiahkan oleh Jenna malam itu akan menjadi pengawal barunya?Puas dengan keterkejutan yang menghinggapi wajah cantik Charlotte, pria itu tersenyum simpul. "Selamat malam, Nyonya Charlotte. Perkenalkan, saya Lucas. Mulai malam ini, saya akan menjadi pengawal pribadi Nyonya Charlotte sampai seterusnya."Charlotte masih menganga, membayangkan kalau dunianya yang tenteram sedang tidak baik-baik saja. Omong-omong, dia tidak tahu nama pria itu. Baru sekarang dia mengetahuinya, biarpun sudah menghabiskan malam panas yang sama.Sebelum Charlotte membuka suara, tiba-tiba saja Megan datang ditemani pengawal pribadi wanita muda itu. Megan tampil manis dengan gaun yang lebih tertutup
Charlotte hanya mengingatnya samar-samar; ketika dia memutuskan untuk mendorong si gigolo yang semula ditolaknya itu kembali duduk di sofa, lalu berada di pangkuan pria tersebut. Ciuman panas, gairah tak tertahankan, semuanya meledak tanpa bisa dicegah. Charlotte masih bisa merasakan tiap entakan yang sempat pria itu berikan, yang mana berhasil membawanya terbang di antara bintang-bintang. Wanita itu mendengkus gusar, pipinya kembali merona, padahal dia sedang melangsungkan sarapan dengan suami paruh bayanya. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia telah melarikan diri dari hotel, meninggalkan segepok uang atas 'jasa' yang akhirnya dia gunakan terhadap gigolo tersebut. Kalau boleh jujur, dia memang tidak pernah merasa senikmat itu. 'Astaga! Apa yang aku pikirkan?! Ini gara-gara Jenna! Sialan! Dia sengaja meninggalkan air minumnya yang sudah ditambah oleh obat perangsang. Mau senikmat apa pun semalam, tetap saja, aku sudah mengkhianati kepercayaan Mas Hendra.' "Sepertinya kamu
"Kamu gila, Jenna? Siapa yang menyuruhmu untuk memesan 'itu'?"Mondar-mandir di salah satu kamar hotel yang berafiliasi dengan kelab eksklusif Artemis, Charlotte merasakan jantungnya seakan-akan mau meledak.Bagaimana tidak?Setelah seharian kembali melewati hari yang berat dan menegangkan, pada malam harinya dia malah mendapatkan kabar bahwa sahabatnya mau memberi secuil kejutan. Namun, kejutannya tidak masuk akal.Charlotte mendengkus pelan, mendudukkan diri di tepi ranjang kamar hotel yang terasa dingin, tetapi peluhnya bercucuran lantaran sedang kelimpungan. "Jenna, tidak bisakah kamu membatalkannya saja? Aku tidak membutuhkan hal semacam itu. Lagi pula, kalau aku memang mau melakukannya, aku tidak bisa sembarangan memesan 'itu' kan? Dengan posisiku yang rawan seperti ini, kamu pikir aku akan baik-baik saja? Bagaimana kalau 'dia' mengetahuinya? Bisa-bisa aku tidak melihat dunia untuk yang terakhir kalinya."Gerutuan Charlotte membuat bahu Jenna melemas. Sahabat yang telah members