Tok! Tok! Tok!
"Nyonya Charlotte? Sarapan sudah siap! Perlukah saya membawa sarapan ke dalam kamar? Atau apakah Nyonya Charlotte akan datang sendiri ke meja makan?" Charlotte tersentak. Wanita itu segera melepaskan diri dari jangkauan Lucas, berdeham untuk menyembunyikan kegugupan yang tengah melanda. "Ya, aku akan datang ke meja makan saja, Luna. Aku mau mandi dulu." "Perlukah saya membantu Nyonya Charlotte untuk membersihkan diri?" tawar Luna sopan, yang masih setia berdiri di balik pintu. "Tidak perlu, Luna. Terima kasih! Aku akan memanggilmu saat membutuhkan bantuanmu nanti," balas Charlotte. "Baik, Nyonya Charlotte. Kalau begitu, saya akan bersama dengan pelayan lain yang membantu di dapur." Sesaat setelah bayangan Luna yang terlihat dari celah bawah pintu menghilang, Charlotte mendengkus lega. Wanita itu kembali merebahkan diri sembari memikirkan apa yang sedang terjadi. Namun, sebelum membuka suara, sebuah lengan kekar telah melingkari pinggangnya lagi. "Oh, jadi kamu menyuruh Luna untuk pergi terlebih dahulu, karena kamu mau bersama dengan saya seperti ini ya, Nyonya Charlotte?" goda Lucas. Charlotte terkesiap, berusaha melepaskan diri dari jeratan Lucas sekali lagi. Hanya saja, kali ini Lucas malah mengunci Charlotte menggunakan kakinya pula. "Hei, lepas! Kamu tidak bisa bersikap seperti ini, Lucas! Lepaskan atau saya teriak?!" ancam Charlotte, malah mengundang kekehan kecil dari pria itu. Lucas memutuskan untuk melepaskan jeratannya pada Charlotte. Pria itu menopang kepala dengan lengan kanannya, memandang Charlotte yang serentak berdiri—seakan-akan menghindar dari monster langka. "Sebenarnya, tidak masalah kalau kamu berteriak, Nyonya Charlotte. Dengan begitu, orang-orang akan tahu kalau kita baru saja menghabiskan malam bersama. Saya penasaran dengan reaksi suami tuamu itu, begitu juga dengan para istri yang sama-sama mengintai harta si Hendra. Bukankah mereka akan sangat tidak terima dan memutuskan untuk menghukummu, hm?" Charlotte mematung, menelan ludah susah payah sebab yang dikatakan Lucas memang ada benarnya. Dia tidak berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk mengekspos Lucas sekarang ini. Lantaran tidak mau terlihat telah mengaku kalah, Charlotte melipat tangan di depan dada sembari berdeham. Dengan sorot yang dibuat setangguh mungkin, wanita itu menatap sosok Lucas yang masih dengan santai berada di atas ranjangnya. "Baiklah. Untuk sekali ini saja, saya akan mengampuni perbuatanmu ini. Dan ingat! Jangan diulangi lagi, atau saya akan benar-benar berteriak sampai seluruh orang di rumah ini mengeroyokmu. Paham?" Lucas mengerling, terhibur melihat sikap Charlotte yang menurutnya menggemaskan. Namun, sepasang mata pria itu memindai Charlotte yang masih berada dalam balutan gaun tidur tipisnya. Tanpa sadar, Lucas membasahi bibir. "Nyonya Charlotte, kalau kamu berdiri di situ dan tidak kunjung berpakaian, mungkin saya akan menerkamnu tanpa keraguan sedikit pun." Menyadari ke mana arah tatapan Lucas, Charlotte segera menyilangkan lengannya untuk menutupi bagian belahan dada gaun tidur yang dikenakannya itu. "Heh! Mata dijaga ya!" Lucas kembali terkekeh. "Astaga, kenapa? Malu? Saya kan sudah melihat semuanya, Nyonya Charlotte. Tapi, saya tidak akan menolak kalau kamu mau mempertontonkan diri kamu pada saya lagi." Charlotte melotot, rasanya ingin sekali menendang pria itu dari kamarnya sekarang juga. Namun, bagaimana jika terdapat orang lain yang berkeliaran di sekitar rumah seperti pembantu atau Megan? Bisa-bisa dia kena masalah. "Baiklah, kalau begitu kamu tunggu di sini saja sementara saya mandi. Jangan keluar dulu kalau belum saya beri aba-aba!" putusnya. "Oh, kita tidak mandi bersama sekalian?" "Lucas!" pekiknya kesal. "Jangan berbicara yang aneh-aneh!" "Baik, baik, Nyonya Charlotte. Silakan! Saya tidak akan mengganggu kamu, tapi saya akan berlari secepat mungkin kalau kamu menginginkan saya di dalam sana juga." Terlalu kesal dan lelah berhadapan dengan Lucas, wanita itu memutuskan untuk memutar haluan menuju kamar mandi. Tidak bisa dibiarkan! Entah bagaimana caranya, Charlotte akan mencari cara supaya pria itu tidak betah bekerja menjadi pengawal pribadinya dan keluar dari kediaman Soedarso. Menghabiskan dua puluh menit di kamar mandi, Charlotte tak lagi mendapati Lucas di kamarnya. Wanita itu nyaris memekik panik. Bagaimana jika Lucas keluar di saat yang tidak tepat? "Dasar! Pria yang satu itu sukanya mencari gara-gara saja. Dia keluar dari sini seenaknya, tidak memedulikan perkataanku, huh?!" gerutunya. Setelah beberapa saat, Charlotte keluar mengenakan pakaian kasual yang lebih pantas. Wanita itu menuju meja makan, dia sendiri merasa lapar lantaran terbangun lebih siang dari biasanya. Luna telah berada di sana, berdiri patuh bagai robot yang menanti tuannya. Pada sisi lain ruang makan, Charlotte baru menyadari jika Lucas juga sudah siap sedia dengan setelan jas yang berbeda dari sebelumnya. Disebabkan berada di antara beberapa pembantu dan pengawal pribadi yang tersebar di sepenjuru rumah, Lucas tetap memasang tampang datarnya. Melahap makanan yang telah dikategorikan sebagai makan siangnya, diam-diam Charlotte melirik sosok Lucas yang terlihat dingin dan berbahaya bila tidak membuka suara. "Omong-omong, ke mana semua orang? Kenapa rasanya sepi sekali?" tanyanya pada Luna. "Tuan Besar sedang pergi dengan Nyonya Miriam untuk pertemuan bisnis. Lalu, Nyonya Elmira baru saja pergi berbelanja lima belas menit yang lalu. Hanya tersisa Nyonya Megan yang masih berada di kamarnya, sepertinya belajar seperti biasa, Nyonya Charlotte." Charlotte manggut-manggut. Masih tersisa dua jam lagi sebelum dia datang ke kafe miliknya untuk melakukan inspeksi. Dalam kurun waktu tersebut, sepertinya dia harus mencari cara agar tidak cepat bosan. "Ah, Nyonya, saya lupa, tapi ada dessert yang sudah dipersiapkan oleh Tuan Besar. Apakah Nyonya Charlotte mau mencobanya sekarang?" tawar Luna. Mendengar kata 'dessert', Charlotte sontak mengangguk. Dia menyukai yang manis-manis melebihi apa pun. Melihat reaksi menggemaskan Charlotte, Luna sempat tersenyum simpul meski sedetik kemudian lenyap di balik topeng profesionalismenya. Luna pun memerintahkan dua pembantu pemula yang bertugas di dapur untuk membantu melayani tuan serta nyonya rumah. Tidak lama kemudian, sepotong kue stroberi yang terlihat menggugah selera. Selepas berterima kasih kepada pembantu pemula yang mengantarkan dessert tersebut, Charlotte meraih sendok untuk mulai melahapnya. Namun, pergerakan tangan wanita itu terhenti setelah menyadari ada yang aneh dengan potongan kue stroberi tersebut. "I-ini—" •••••Tok! Tok! Tok!"Nyonya Charlotte? Sarapan sudah siap! Perlukah saya membawa sarapan ke dalam kamar? Atau apakah Nyonya Charlotte akan datang sendiri ke meja makan?"Charlotte tersentak. Wanita itu segera melepaskan diri dari jangkauan Lucas, berdeham untuk menyembunyikan kegugupan yang tengah melanda. "Ya, aku akan datang ke meja makan saja, Luna. Aku mau mandi dulu.""Perlukah saya membantu Nyonya Charlotte untuk membersihkan diri?" tawar Luna sopan, yang masih setia berdiri di balik pintu."Tidak perlu, Luna. Terima kasih! Aku akan memanggilmu saat membutuhkan bantuanmu nanti," balas Charlotte."Baik, Nyonya Charlotte. Kalau begitu, saya akan bersama dengan pelayan lain yang membantu di dapur."Sesaat setelah bayangan Luna yang terlihat dari celah bawah pintu menghilang, Charlotte mendengkus lega. Wanita itu kembali merebahkan diri sembari memikirkan apa yang sedang terjadi. Namun, sebelum membuka suara, sebuah lengan kekar telah melingkari pinggangnya lagi. "Oh, jadi kamu menyuruh
Sebelum Charlotte mampu mengutarakan protes, tahu-tahu saja dia merasakan salah satu tangan Lucas menyusup ke balik jas yang tersampir pada pundak wanita itu. Charlotte merinding, tetapi detak jantungnya yang sarat akan antisipasi itu malah membuat pipinya merona lebih dulu. Melihat tampang Charlotte yang mulai salah tingkah, Lucas kembali melayangkan tawa kecilnya dengan suara berat nan seksi. "Nah, lihat, Nyonya Charlotte. Sepertinya tubuhmu mengingat dengan benar, siapa yang mampu memuaskannya di atas ranjang ...." Cepat-cepat menggeleng, Charlotte mundur tiga langkah, menepis tangan Lucas yang masih bisa menjangkaunya. Lucas memiringkan kepala, menyeringai seakan-akan sedang mendapatkan mainan baru. "Saya tahu, Nyonya Charlotte," Lucas malah mendekatinya lagi, yang mana tepat berdiri di depan wanita itu, "siapa pun bisa melihat, pria tua seperti Hendra Soedarso tidak akan bisa memuaskan para istrinya di atas ranjang." "Ka—" "Kak Charlotte?" Lucas segera mundur dua la
Belakangan, Charlotte tidak suka diberi kejutan. Dia pikir, kejutan yang Jenna yang berikan malam itu sudah yang paling mendebarkan. Namun, seorang pria yang berdiri tiga langkah darinya dengan seragam khas pengawal keluarga Soedarso malah menjadi kejutan terhoror yang pernah ada.Bagaimana mungkin ... gigolo yang dihadiahkan oleh Jenna malam itu akan menjadi pengawal barunya?Puas dengan keterkejutan yang menghinggapi wajah cantik Charlotte, pria itu tersenyum simpul. "Selamat malam, Nyonya Charlotte. Perkenalkan, saya Lucas. Mulai malam ini, saya akan menjadi pengawal pribadi Nyonya Charlotte sampai seterusnya."Charlotte masih menganga, membayangkan kalau dunianya yang tenteram sedang tidak baik-baik saja. Omong-omong, dia tidak tahu nama pria itu. Baru sekarang dia mengetahuinya, biarpun sudah menghabiskan malam panas yang sama.Sebelum Charlotte membuka suara, tiba-tiba saja Megan datang ditemani pengawal pribadi wanita muda itu. Megan tampil manis dengan gaun yang lebih tertutup
Charlotte hanya mengingatnya samar-samar; ketika dia memutuskan untuk mendorong si gigolo yang semula ditolaknya itu kembali duduk di sofa, lalu berada di pangkuan pria tersebut. Ciuman panas, gairah tak tertahankan, semuanya meledak tanpa bisa dicegah. Charlotte masih bisa merasakan tiap entakan yang sempat pria itu berikan, yang mana berhasil membawanya terbang di antara bintang-bintang. Wanita itu mendengkus gusar, pipinya kembali merona, padahal dia sedang melangsungkan sarapan dengan suami paruh bayanya. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia telah melarikan diri dari hotel, meninggalkan segepok uang atas 'jasa' yang akhirnya dia gunakan terhadap gigolo tersebut. Kalau boleh jujur, dia memang tidak pernah merasa senikmat itu. 'Astaga! Apa yang aku pikirkan?! Ini gara-gara Jenna! Sialan! Dia sengaja meninggalkan air minumnya yang sudah ditambah oleh obat perangsang. Mau senikmat apa pun semalam, tetap saja, aku sudah mengkhianati kepercayaan Mas Hendra.' "Sepertinya kamu
"Kamu gila, Jenna? Siapa yang menyuruhmu untuk memesan 'itu'?"Mondar-mandir di salah satu kamar hotel yang berafiliasi dengan kelab eksklusif Artemis, Charlotte merasakan jantungnya seakan-akan mau meledak.Bagaimana tidak?Setelah seharian kembali melewati hari yang berat dan menegangkan, pada malam harinya dia malah mendapatkan kabar bahwa sahabatnya mau memberi secuil kejutan. Namun, kejutannya tidak masuk akal.Charlotte mendengkus pelan, mendudukkan diri di tepi ranjang kamar hotel yang terasa dingin, tetapi peluhnya bercucuran lantaran sedang kelimpungan. "Jenna, tidak bisakah kamu membatalkannya saja? Aku tidak membutuhkan hal semacam itu. Lagi pula, kalau aku memang mau melakukannya, aku tidak bisa sembarangan memesan 'itu' kan? Dengan posisiku yang rawan seperti ini, kamu pikir aku akan baik-baik saja? Bagaimana kalau 'dia' mengetahuinya? Bisa-bisa aku tidak melihat dunia untuk yang terakhir kalinya."Gerutuan Charlotte membuat bahu Jenna melemas. Sahabat yang telah members