Compartilhar

Chapter 4

Autor: Sya Reefah
last update Última atualização: 2024-08-09 10:27:12

Eva baru saja keluar dari rumah sakit, memeriksakan kembali kondisi matanya dan menebus obat. 

Sebelum kembali ke penthouse, Eva singgah di kafe tepi jalan yang biasa ia lewati. Aroma kopi segar dan kue yang baru dipanggang menyambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Seorang Barista membawa cappucino dan kue coklat ke mejanya. “Ini pesanan Anda.”

“Terima kasih.”

Eva menyeruput cappucino miliknya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama saat suara wanita memecah keheningan.

“Oh, Eva, kita bertemu di sini rupanya.” 

Tanpa persetujuan, wanita itu duduk begitu saja di kursi sebelahnya.

Eva menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar dia bisa melihat. Ternyata wanita itu adalah Julia, sekertaris sekaligus mantan kekasih dari Henry.

Untuk apa dia berada di sini? Apakah Julia tidak bekerja?

Eva mencoba untuk bersikap tenang dan memasang senyum di depan Julia.

Ketika Julia melihat Eva, dia menyunggingkan senyum sinis. “Aku dengar, kau ingin bercerai dengan Henry.”

Eva mencoba mengatur ekspresinya. Tanpa banyak berpikir, ia tahu  dari mana Julia tahu masalah ini. Sepertinya Henry sangat terbuka dengan Julia.

“Aku tidak menyangka jika wanita sepertimu dengan beraninya meminta bercerai. Dapat keberanian dari mana kau?” Julia mencondongkan dirinya lebih dekat dengan Eva. “Sepertinya, matamu yang rabun itu juga membuat keputusanmu menjadi rabun, ya.”

Eva hanya diam, tidak tahu bagaimana menanggapi Julia. 

Julia menatap Eva terkekeh sinis. “Bagaimana rasanya menikah tapi kehadiranmu tidak diinginkan? Bahkan keluarganya juga tidak pernah menganggapmu.”

Eva merasakan campuran kemarahan dan kesedihan saat Julia melemparkan sindiran tajam. Kata-kata Julia, terutama menyinggung kondisi penglihatannya terasa seperti cambukan keras untuknya. 

Tak mau berhenti sampai di situ, Julia terus berbicara dengan tatapan mengejek. “Tapi, syukurlah jika kau sadar dengan kekuranganmu. Jika kau sudah memutuskan, lakukan dengan cepat. Buat apa kau bertahan dengan seseorang yang tidak pernah menganggap kehadiranmu?”

Tangan Eva mulai gemetar. Ia meremas ujung bajunya sendiri, melampiaskan semua perasaannya.

“Aku jadi kasihan denganmu. Selama bersamaku, dia tidak pernah mengabaikanku. Dia juga tidak mau jauh dariku, dia selalu mengutamakan kebutuhanku. Aku tahu rasanya menjadi prioritas, bukan hanya sekedar pelengkap sepertimu!” Julia melanjutkan ucapannya dengan sarkatik ke arah Eva.

Eva menjaga ketenangannya, meskipun sakit mulai menjalar di hati. 

Ejekan Julia mengenai bagaimana Henry selalu memanjakannya, dan bagaimana dia merasa dihargai membuatnya semakin tertekan dan terluka. 

Rasanya seperti dikhianati dan direndahkan, terutama ketika Julia mengatakan jika Henry selalu mengutamakan kebutuhannya. Perasaan tak dihargai dan diabaikan semakin membebani pikirannya.

Namun, Eva sendiri sadar akan kesalahannya. Dia tidak menyalahkan bagaimana sikap Henry padanya. Ia sadar bahwa dia sudah merebut Henry dari Julia. 

Dengan rasa tidak nyaman, Eva berkata dengan lembut. “Terima kasih atas sarannya, Nona Julia. Biarkan masalah ini kami yang menyelesaikan.” 

Julia menatap Eva dengan seringaian puas. Ia kembali berbicara dengan provokasinya. “Jangan biarkan dirimu terjebak terlalu lama. Apa kau mau aku membantu proses perceraianmu agar lebih cepat?”

Eva menatap ke arah Julia. Ia bisa melihat jelas bagaimana wajah licik Julia saat ini. Wajah Julia menunjukkan rasa tidak sabar dengan perceraiannya dengan Henry. 

“Terima kasih atas tawarannya, Nona. Tapi, sebaiknya kurang-kurangi ikut campur  rumah tangga orang lain.” Terdengar halus, tetapi kata-kata Eva penuh dengan sindiran.

Julia tertawa mengejek mendengar ucapan Eva. “Aku hanya menyadarkanmu, Eva. Agar kedua mata dan pikiranmu itu terbuka!”

“Ah, iya aku lupa, matamu ‘kan tidak normal. Jadi sulit untuk melihat kenyataan.” 

Setelah mengatakan itu, Julia pergi begitu saja meninggalkan bekas luka di hati Eva.

Eva mengusap air matanya yang mulai membasahi pipi. Apakah kondisi glaukoma itu begitu buruk di mata dunia? Apakah penderita glaukoma sepertinya tidak berhak bahagia?

Jika bisa memilih, ia juga tidak akan mau memiliki kondisi seperti ini. 

Eva segera bangkit, meninggalkan kafe. Meskipun kata-kata Julia terdengar sakit, ia harus tetap bersikap tegar. 

Satu jam perjalanan, Eva sampai di penthouse. Ia berjalan masuk, ternyata di dalam sana sudah ada Elise, mama mertuanya, yang duduk dengan angkuh menatap ke arahnya.

“Mama sudah lama?” 

Dengan nada sewotnya Elis berkata, “Tidak perlu bersikap sok baik kepadaku! Siapa kau? Berani-beraninya meminta cerai dengan putraku. Harusnya putrakulah yang pantas menceraikanmu!”

Eva terdiam mematung. Kabar perceraiannya sudah sampai di telinga mama mertuanya. 

“Wanita rendahan yang tidak sadar diri! Sudah untung putraku bisa membawamu masuk ke keluarga ini. Memangnya siapa yang bisa menerima wanita rendahan dan cacat mata sepertimu?” Elise kembali berkata dengan senyum sinis mengembang di wajahnya.

Ia geram dengan keberanian Eva, harga diri dari keluarganya merasa terinjak-injak. Namun, dia juga senang dan tidak sabar dengan kepergian Eva dari keluarganya.

Setelah kata-kata sarkastik dari Julia, sekarang kata-kata itu berasal dari mama mertuanya sendiri. Kata-kata dari mama mertuanya kali ini terasa lebih menyakitkan.

Eva berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Maaf jika keputusan Eva salah, Ma. Tapi Eva tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan Henry.”

Eva bisa melihat sorot tajam dari Elise. Pandangan matanya ke bawah, berusaha untuk menghindari tatapan tajam Elise padanya. 

Sekali lagi dia merasa tertekan. Dari luar dia menjaga penampilan tetap tenang dan penuh hormat. Namun, dalam hati, ia merasa hancur.

“Dari awal kau sudah menghalangi kebahagiaan putraku! Kenapa kau baru sadar sekarang?” katanya. Tak henti-hentinya Elise memandang rendah ke arah Eva. 

“Maaf, Ma.” Dari sekian banyak kata, Eva hanya bisa mengatakan kata ‘maaf’. Dia tidak tahu harus berkata apalagi saat menerima semua kata-kata sarkasme dari orang-orang.

Elise tersenyum remeh. “Baguslah jika kau mengambil keputusan sendiri. Karena aku tidak perlu susah-susah memikirkan cara untuk mengusirmu dari sini.”

Elis melangkah pergi.

Eva memandang punggung Elise yang semakin jauh dengan air mata berlinang. keputusan untuk bercerai dengan Henry semakin kuat. 

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App
Comentários (2)
goodnovel comment avatar
Non
sedih sekali
goodnovel comment avatar
Teh Nimaz
plng benci deh klw si ceweknya lemah bgtu ......
VER TODOS OS COMENTÁRIOS

Último capítulo

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 276

    Hari demi hari terlewati, hingga tanpa terasa usia kandungan Eva sudah tujuh bulan.Sejak kehamilannya, Eva banyak berubah. Bukan hanya perutnya yang semakin membesar, tetapi juga suasana hatinya sering berubah-ubah.Sore itu, Eva berada di ruang tengah dengan TV besarnya menyala. Matanya tak sengaja menangkap keberadaan Rosa yang tengah menikmati cemilan di tangannya bersama pelayan lain di dapur.Eva berharap Rosa akan melihatnya dan menawarkan cemilan itu padanya.Eva terus menunggu. Hingga cemilan itu habis di tangan Rosa.Tiba-tiba saja bibir Eva mengerucut. Tangannya menekan tombol off, lalu melangkah pergi menuju kamar.Sesampainya di kamar, tangannya meraih ponsel dan segera menghubungi Henry.Saat itu, di ruangannya, Henry sedang menerima laporan mengenai perkembangan proyek raksasa miliknya. Hingga tiba-tiba ponselnya berdering.Begitu melihat nama di layar ponselnya. Henry segera menekan tombol hijaunya. “Ada apa? Ada yang kau inginkan?”Terdengar suara tidak bersahabat dar

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 275

    Eva dan Henry masih berpelukan erat, seakan merasakan tekad baru. Henry memejamkan kedua matanya, mencium pucuk kepala Eva lagi, dan lagi. Ciuman itu turun ke bawah, berhenti di leher jenjang Eva. Eva menutup mulut Henry, menjauhkan wajah itu darinya. “Hentikan, Henry. Itu geli,” ucapnya diikuti kekehan kecil. Tiba-tiba saja, bel penthouse berbunyi, memecah momen hangat mereka. Keduanya saling pandang. Eva melepaskan pelukannya, sementara wajah Henry gusar, tak ingin lepas, tak ingin diganggu siapapun pagi ini. “Siapa yang datang?” Henry hanya menggeleng tidak tahu. Terhitung jarang sekali mereka kedatangan tamu luar. Bel berbunyi lagi. Henry memberikan isyarat agar Eva tetap di tempat, tak peduli siapa yang datang. Yang dia inginkan hanya bersama Eva. Istrinya. Salah satu pelayan yang bertugas bergegas membuka pintu. Di ambang pintu, tampaklah Martin dan Elise. Martin datang dengan senyum tulusnya, sementara Elise memasang wajah gelisah, campuran kegengsian yang terlihat

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 274

    Suasana penthouse semakin sunyi. Eva masih terjaga menunggu kedatangan Henry. Dia tampak mengantuk, tetapi matanya menyimpan kekhawatiran yang mendalam. Tiba-tiba suara bel berbunyi nyaring, memecah keheningan. Eva segera berlari ke arah pintu dan menariknya hingga pintu terbuka. Di ambang pintu, berdirilah Samuel yang memegang lengan Henry, yang kini terlihat lebih buruk daripada di bar. Henry terseok-seok, kepalanya bersandar penuh pada Samuel. Bau alkohol begitu menyengat menusuk hidung Eva. Seketika wajahnya berubah, bercampur lega sekaligus panik karena melihat kondisi Henry. “Dia mabuk?” “Seperti yang kau lihat.” Tanpa berlama-lama, Samuel segera menuntun Henry masuk. Langkah Henry tak beraturan, kakinya tersandung dengan kakinya yang lain. Samuel mengerahkan seluruh tenaganya untuk membimbing tubuh Henry yang berat sampai di sofa. Mereka mencapai sofa. Samuel dengan hati-hati merebahkan tubuh Henry di atas sofa panjang. Eva menatap ke arah Henry lalu beralih mengara

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 273

    Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan Henry belum pulang. Biasanya, suaminya akan memberi kabar jika telat, tetapi malam ini ponselnya terasa dingin, tak ada notifikasi apapun. Eva meraih ponselnya mencoba menghubungi Henry. Panggilan pertama, tidak terjawab. Panggilan kedua, tidak terjawab. Tak biasanya Henry mengabaikan panggilannya. Rasa cemas mulai merayapi hatinya. Apa terjadi sesuatu?Eva mencoba menepis pikiran negatif. Dia beralih menghubungi sopir pribadinya, terakhir, dia pergi bersama Henry.Setelah beberapa detik sambungan terhubung, dan mulai terdengar suara di ujung telepon. “Selamat malam, Nyonya.”“Apa Tuan Henry di mobil sekarang?” tanya Eva, mencoba untuk tenang. “Saya sudah di rumah, Nyonya. Tuan Henry meminta saya pulang sejak sore tadi. Tuan kata, ada urusan pribadi yang harus diselesaikan, Nyonya.”Tak berselang lama panggilan telepon berakhir. Dia mencoba menghubungi orang-orang yang bersama Henry. Nomor Ryan pun tak ada jawaban. Mengingat keberad

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 272

    Martin menepuk pundak Samuel. “Terima kasih atas bantuanmu, Sam. Uncle berhutang budi padamu.”Samuel tersenyum lalu menggeleng. “Tidak perlu sungkan, Uncle. Aku hanya tidak ingin membiarkan wanita itu terus-terusan memanipulasi keluarga kita.”“Uncle akan memberimu bonus atas kerja kerasmu.” Pandangan Martin beralih ke arah Elise yang terduduk dengan tatapan tidak percaya. “Sekarang kau tahu sendiri, ‘kan? Orang yang selalu kau bela itu justru pelaku sebenarnya. Apa kau masih ingin memusuhi orang yang tidak bersalah?”Elise hanya diam, tidak bisa menjawab. Dia merasa menyesal dan bersalah, tetapi gengsi mengalahkan semuanya. Dia hanya bisa menunduk malu di hadapan suami dan keponakannya. Malu karena sudah membela Julia dengan sepenuh hatinya. “Papa harap setelah ini Mama meminta maaf pada Eva.” Elise ingin menunjukkan protesnya, tetapi, baru saja dia membuka mulut, Martin kembali membuatnya terdiam. “Papa tidak menerima bentuk protes apapun!” Sementara di ruang kerja…Mata Henry

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 271

    Julia menggeleng panik. “Aku … tidak, itu bukan … rekaman itu hanya editan!” Jari telunjuknya mengacung ke arah Samuel. “Kau datang pasti hanya untuk mengacaukan semuanya, ‘kan? Iya, ‘kan?” Sebelum Samuel menjawab lagi, Julia dengan cepat meraih tangan Elise. “Aunty, ini semua tidak benar.” Elise terdiam tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah dia harus percaya pada Julia, atau keponakannya?Senyum sinis muncul di bibir Samuel saat melihat kepanikan Julia. Dia merasa puas. Perlahan, langkahnya semakin mendekat. “Editan?” Senyum Samuel semakin melebar. “Aku punya bukti. Aku punya saksi. Aku tahu segalanya, Julia.”“Tidak!” Suara Julia menggelegar. “Kau bohong! Kau pasti bersekongkol dengan Eva karena kau menyukainya, ‘kan?!”Mendengar nama Eva disebut, membuat Henry kembali naik pitam. “Jangan sebut nama Istriku dengan mulut kotormu!” Martin kembali menenangkan Henry sebelum benar-benar kalap. Sedari tadi, emosi putranya meluap. Pikiran Julia dipenuhi dengan ketakutan akan k

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status