Eva baru saja keluar dari rumah sakit, memeriksakan kembali kondisi matanya dan menebus obat.
Sebelum kembali ke penthouse, Eva singgah di kafe tepi jalan yang biasa ia lewati. Aroma kopi segar dan kue yang baru dipanggang menyambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Seorang Barista membawa cappucino dan kue coklat ke mejanya. “Ini pesanan Anda.”
“Terima kasih.”
Eva menyeruput cappucino miliknya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama saat suara wanita memecah keheningan.
“Oh, Eva, kita bertemu di sini rupanya.”
Tanpa persetujuan, wanita itu duduk begitu saja di kursi sebelahnya.
Eva menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar dia bisa melihat. Ternyata wanita itu adalah Julia, sekertaris sekaligus mantan kekasih dari Henry.
Untuk apa dia berada di sini? Apakah Julia tidak bekerja?
Eva mencoba untuk bersikap tenang dan memasang senyum di depan Julia.
Ketika Julia melihat Eva, dia menyunggingkan senyum sinis. “Aku dengar, kau ingin bercerai dengan Henry.”
Eva mencoba mengatur ekspresinya. Tanpa banyak berpikir, ia tahu dari mana Julia tahu masalah ini. Sepertinya Henry sangat terbuka dengan Julia.
“Aku tidak menyangka jika wanita sepertimu dengan beraninya meminta bercerai. Dapat keberanian dari mana kau?” Julia mencondongkan dirinya lebih dekat dengan Eva. “Sepertinya, matamu yang rabun itu juga membuat keputusanmu menjadi rabun, ya.”
Eva hanya diam, tidak tahu bagaimana menanggapi Julia.
Julia menatap Eva terkekeh sinis. “Bagaimana rasanya menikah tapi kehadiranmu tidak diinginkan? Bahkan keluarganya juga tidak pernah menganggapmu.”
Eva merasakan campuran kemarahan dan kesedihan saat Julia melemparkan sindiran tajam. Kata-kata Julia, terutama menyinggung kondisi penglihatannya terasa seperti cambukan keras untuknya.
Tak mau berhenti sampai di situ, Julia terus berbicara dengan tatapan mengejek. “Tapi, syukurlah jika kau sadar dengan kekuranganmu. Jika kau sudah memutuskan, lakukan dengan cepat. Buat apa kau bertahan dengan seseorang yang tidak pernah menganggap kehadiranmu?”
Tangan Eva mulai gemetar. Ia meremas ujung bajunya sendiri, melampiaskan semua perasaannya.
“Aku jadi kasihan denganmu. Selama bersamaku, dia tidak pernah mengabaikanku. Dia juga tidak mau jauh dariku, dia selalu mengutamakan kebutuhanku. Aku tahu rasanya menjadi prioritas, bukan hanya sekedar pelengkap sepertimu!” Julia melanjutkan ucapannya dengan sarkatik ke arah Eva.
Eva menjaga ketenangannya, meskipun sakit mulai menjalar di hati.
Ejekan Julia mengenai bagaimana Henry selalu memanjakannya, dan bagaimana dia merasa dihargai membuatnya semakin tertekan dan terluka.
Rasanya seperti dikhianati dan direndahkan, terutama ketika Julia mengatakan jika Henry selalu mengutamakan kebutuhannya. Perasaan tak dihargai dan diabaikan semakin membebani pikirannya.
Namun, Eva sendiri sadar akan kesalahannya. Dia tidak menyalahkan bagaimana sikap Henry padanya. Ia sadar bahwa dia sudah merebut Henry dari Julia.
Dengan rasa tidak nyaman, Eva berkata dengan lembut. “Terima kasih atas sarannya, Nona Julia. Biarkan masalah ini kami yang menyelesaikan.”
Julia menatap Eva dengan seringaian puas. Ia kembali berbicara dengan provokasinya. “Jangan biarkan dirimu terjebak terlalu lama. Apa kau mau aku membantu proses perceraianmu agar lebih cepat?”
Eva menatap ke arah Julia. Ia bisa melihat jelas bagaimana wajah licik Julia saat ini. Wajah Julia menunjukkan rasa tidak sabar dengan perceraiannya dengan Henry.
“Terima kasih atas tawarannya, Nona. Tapi, sebaiknya kurang-kurangi ikut campur rumah tangga orang lain.” Terdengar halus, tetapi kata-kata Eva penuh dengan sindiran.
Julia tertawa mengejek mendengar ucapan Eva. “Aku hanya menyadarkanmu, Eva. Agar kedua mata dan pikiranmu itu terbuka!”
“Ah, iya aku lupa, matamu ‘kan tidak normal. Jadi sulit untuk melihat kenyataan.”
Setelah mengatakan itu, Julia pergi begitu saja meninggalkan bekas luka di hati Eva.
Eva mengusap air matanya yang mulai membasahi pipi. Apakah kondisi glaukoma itu begitu buruk di mata dunia? Apakah penderita glaukoma sepertinya tidak berhak bahagia?
Jika bisa memilih, ia juga tidak akan mau memiliki kondisi seperti ini.
Eva segera bangkit, meninggalkan kafe. Meskipun kata-kata Julia terdengar sakit, ia harus tetap bersikap tegar.
Satu jam perjalanan, Eva sampai di penthouse. Ia berjalan masuk, ternyata di dalam sana sudah ada Elise, mama mertuanya, yang duduk dengan angkuh menatap ke arahnya.
“Mama sudah lama?”
Dengan nada sewotnya Elis berkata, “Tidak perlu bersikap sok baik kepadaku! Siapa kau? Berani-beraninya meminta cerai dengan putraku. Harusnya putrakulah yang pantas menceraikanmu!”
Eva terdiam mematung. Kabar perceraiannya sudah sampai di telinga mama mertuanya.
“Wanita rendahan yang tidak sadar diri! Sudah untung putraku bisa membawamu masuk ke keluarga ini. Memangnya siapa yang bisa menerima wanita rendahan dan cacat mata sepertimu?” Elise kembali berkata dengan senyum sinis mengembang di wajahnya.
Ia geram dengan keberanian Eva, harga diri dari keluarganya merasa terinjak-injak. Namun, dia juga senang dan tidak sabar dengan kepergian Eva dari keluarganya.
Setelah kata-kata sarkastik dari Julia, sekarang kata-kata itu berasal dari mama mertuanya sendiri. Kata-kata dari mama mertuanya kali ini terasa lebih menyakitkan.
Eva berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Maaf jika keputusan Eva salah, Ma. Tapi Eva tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan Henry.”
Eva bisa melihat sorot tajam dari Elise. Pandangan matanya ke bawah, berusaha untuk menghindari tatapan tajam Elise padanya.
Sekali lagi dia merasa tertekan. Dari luar dia menjaga penampilan tetap tenang dan penuh hormat. Namun, dalam hati, ia merasa hancur.
“Dari awal kau sudah menghalangi kebahagiaan putraku! Kenapa kau baru sadar sekarang?” katanya. Tak henti-hentinya Elise memandang rendah ke arah Eva.
“Maaf, Ma.” Dari sekian banyak kata, Eva hanya bisa mengatakan kata ‘maaf’. Dia tidak tahu harus berkata apalagi saat menerima semua kata-kata sarkasme dari orang-orang.
Elise tersenyum remeh. “Baguslah jika kau mengambil keputusan sendiri. Karena aku tidak perlu susah-susah memikirkan cara untuk mengusirmu dari sini.”
Elis melangkah pergi.
Eva memandang punggung Elise yang semakin jauh dengan air mata berlinang. keputusan untuk bercerai dengan Henry semakin kuat.
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Suasana di penthouse terasa sunyi, sepi, hanya suara jam dinding yang berdetak, semakin menegaskan waktu sudah menunjukkan tengah malam. Eva duduk di sofa ruang tengah. Matanya kosong di depan TV yang menyala, pikirannya benar-benar tidak tertuju pada televisi. Beberapa menit yang lalu, dia terbangun dari tidurnya karena tidurnya yang tidak nyenyak. Saat melihat sisi ranjang, ternyata masih kosong. Henry belum pulang. Awalnya, dia mengira pria itu berada di ruang kerjanya. Namun, ternyata tidak sama sekali. Di sana, sunyi, hanya ada udara dingin yang menyapanya. Berkali-kali dia melirik jam dinding, berharap pintu terbuka dan menunjukkan sosok Henry di ambang pintu. Namun, harapannya tak kunjung nyata. Perasaan tidak enak mulai memenuhi hatinya. Eva mencoba untuk menepisnya. Mungkin acaranya sedikit lambat. Atau mungkin dia sudah dalam perjalanan. Eva tetap mencoba untuk rasional. Akan tetapi, pikirannya tetap berkelana ke se
Henry bertanya sedikit ragu, meski dia sendiri merasakan ada perubahan pada penampilan barunya. “Apa ini tidak berlebihan?”“Sama sekali tidak,” jawab Eva, meyakinkan. “Justru kau terlihat lebih berkharisma. Cocok untuk acara malam ini.”Eva melanjutkan, “Di tambah dengan jas barumu. Kau terlihat sempurna.”Mendapat pujian dari Eva membuat senyum Henry mengembang. Senyum percaya diri itu terukir jelas di wajahnya, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Eva, dan berbisik pelan, “Suamimu memang sangat menawan. Apa kau baru menyadarinya.” Eva memutar kedua matanya malas. Geli, tingkat kepercayaan suaminya terkadang memang setinggi langit. Meski dalam hatinya menyadari jika suaminya memanglah tampan. Dia mencubit lengan Henry. “Kau sangat narsis!”Henry terkekeh, dia mengangkat tangan Eva yang mencubitnya dan mencium punggung tangannya. “Aku hanya mengiyakan fakta, Istriku. Dan berkat sentuhan tangan ajaibmu, aku lebih bersinar malam ini.”Eva menggeleng, meski senyum tidak bisa disembunyi
Henry duduk di ruangannya, matanya mengamati layar proyektor yang menunjukkan grafik dan angka proyek yang sedang berjalan. Pikirannya sepenuhnya tertuju pada pekerjaannya, menganalisis progres dan mencari potensi masalah sebelum hal itu terjadi. Suasana begitu tenang, hingga akhirnya suara ketukan pelan memecah keheningan.“Masuk,” kata Henry tanpa mengalihkan pandangannya. Ryan muncul di ambang pintu. “Tuan, ada yang ingin saya sampaikan.”Akhirnya, Henry mengalihkan pandangannya. “Ada apa? Apa ada proyek bermasalah?”“Bukan, Tuan. Ini soal yang lain,” jawab Ryan dengan ragu-ragu sabil mendekat ke meja. “Ini soal Tuan Besar dan Nyonya Helen.”Alis Henry terangkat. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi dan pandangannya sepenuhnya tertuju pada Ryan. “Apa yang kau temukan?”Ryan menarik napas, sebelum akhirnya menjelaskan, “Ada beberapa informasi yang cukup aneh.” Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Sepertinya ada semacam … hubungan di antara mereka.”Kening Henr
Saat itu juga, awan hitam seperti menyelimuti dirinya. Suasana hatinya begitu dongkol. Tak ada yang benar-benar tahu apa sebenarnya yang diinginkan wanita ini. Samuel memalingkan wajahnya, tak ingin melihat Julia. Namun, dia bisa merasakan senyum mengejek dari Julia padanya. Sebuah langkah ringan terdengar mendekat lalu berhenti di sampingnya. “Kau mencoba menghindariku.” Suara Julia terdengar lembut, tetapi nada suaranya tersirat ejekan yang kuat. “Ternyata kau memang pengecut.” “Bukan hanya pengecut saat menghadapiku, tapi juga mengenai perasaanmu!” lanjut Julia. Dia terkekeh pelan membuat Samuel menatap tajam ke arahnya. Samuel semakin jengkel dengan keberadaan Julia di sana. Dia berusaha keras untuk tidak terpancing dengan semua kata-kata Julia. Entah upaya apa yang harus dilakukan agar bisa membuat wanita itu pergi dari hadapannya. Melihat reaksi Samuel, senyum sinis semakin merekah di wajah Julia. Itu adalah reaksi yang dia inginkan. Hanya beberapa kata, pria itu sudah te
Perjalanan singkat menuju gedung teater terasa nyaman. Di dalam mobil, Henry tak membiarkan genggaman tangannya pada Eva terlepas. Mereka menghadiri pertunjukan Broadway. Begitu tiba di teater, suasana sudah ramai. Dengan sigap, Henry memimpin jalan, mencari pintu masuk yang tidak terlalu padat pengunjung. Dia sudah memilih tempat duduk yang paling strategis dan nyaman, di bagian tengah mezzanine, dengan ruang kaki yang cukup lapang dan tidak terlalu dekat dengan tangga yang curam. Begitu duduk, Eva menghela napas lega. Kursinya empuk, dan jarak pandang ke arah panggung sangat pas. Henry sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Eva dan berbisik pelan, “Bagaimana tempat dudukmu? Apa kau merasa nyaman?” Eva tersenyum simpul, menyadari sikap protektif Henry selama masa kehamilannya. “Sangat, sangat, sangat nyaman. Kau tenang saja.” Henry mengangguk. Begitu saatnya tiba, lampu teater meredup, tirai perlahan terangkat. Eva menatap panggung itu dengan mata berbinar. Di atas pa
Pagi itu baru menunjukkan pukul 09.00, tetapi suasana di ruang rapat tampak mencekam, meja panjang dalam ruangan itu dipenuhi oleh wajah-wajah tegang. Di ujung meja, Henry duduk dengan setelan jas yang rapi, tatapannya mampu membuat semua orang membeku, bahkan sebelum dia berbicara. Dia meletakkan tablet ke atas meja dengan suara ‘tak’ yang cukup nyaring, membuat kepala-kepala yang menunduk itu tersentak kaget. Ini masih pagi, tetapi emosinya sudah memuncak. Tak ada yang berani menatap wajahnya. Pria itu sangat mengerikan saat sedang marah. “Sudah dua minggu dan izin konstruksi The Halden di Hudson Yards masih belum keluar?” tanya Henry tegas, matanya menyapu semua orang yang ikut berpartisipasi dalam rapat. “Para investor bertanya-tanya, kenapa tidak ada pergerakan di lapangan. Katakan padaku, siapa yang bertanggung jawab mengurus ini?” Di sisi kanan meja, Ben—kepala legal, mencoba untuk menjelaskan, “Kami sudah ajukan sesuai prosedur, Tuan. Tapi pihak Departemen Pembangunan kot