Eva baru saja keluar dari rumah sakit, memeriksakan kembali kondisi matanya dan menebus obat.
Sebelum kembali ke penthouse, Eva singgah di kafe tepi jalan yang biasa ia lewati. Aroma kopi segar dan kue yang baru dipanggang menyambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Seorang Barista membawa cappucino dan kue coklat ke mejanya. “Ini pesanan Anda.”
“Terima kasih.”
Eva menyeruput cappucino miliknya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama saat suara wanita memecah keheningan.
“Oh, Eva, kita bertemu di sini rupanya.”
Tanpa persetujuan, wanita itu duduk begitu saja di kursi sebelahnya.
Eva menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar dia bisa melihat. Ternyata wanita itu adalah Julia, sekertaris sekaligus mantan kekasih dari Henry.
Untuk apa dia berada di sini? Apakah Julia tidak bekerja?
Eva mencoba untuk bersikap tenang dan memasang senyum di depan Julia.
Ketika Julia melihat Eva, dia menyunggingkan senyum sinis. “Aku dengar, kau ingin bercerai dengan Henry.”
Eva mencoba mengatur ekspresinya. Tanpa banyak berpikir, ia tahu dari mana Julia tahu masalah ini. Sepertinya Henry sangat terbuka dengan Julia.
“Aku tidak menyangka jika wanita sepertimu dengan beraninya meminta bercerai. Dapat keberanian dari mana kau?” Julia mencondongkan dirinya lebih dekat dengan Eva. “Sepertinya, matamu yang rabun itu juga membuat keputusanmu menjadi rabun, ya.”
Eva hanya diam, tidak tahu bagaimana menanggapi Julia.
Julia menatap Eva terkekeh sinis. “Bagaimana rasanya menikah tapi kehadiranmu tidak diinginkan? Bahkan keluarganya juga tidak pernah menganggapmu.”
Eva merasakan campuran kemarahan dan kesedihan saat Julia melemparkan sindiran tajam. Kata-kata Julia, terutama menyinggung kondisi penglihatannya terasa seperti cambukan keras untuknya.
Tak mau berhenti sampai di situ, Julia terus berbicara dengan tatapan mengejek. “Tapi, syukurlah jika kau sadar dengan kekuranganmu. Jika kau sudah memutuskan, lakukan dengan cepat. Buat apa kau bertahan dengan seseorang yang tidak pernah menganggap kehadiranmu?”
Tangan Eva mulai gemetar. Ia meremas ujung bajunya sendiri, melampiaskan semua perasaannya.
“Aku jadi kasihan denganmu. Selama bersamaku, dia tidak pernah mengabaikanku. Dia juga tidak mau jauh dariku, dia selalu mengutamakan kebutuhanku. Aku tahu rasanya menjadi prioritas, bukan hanya sekedar pelengkap sepertimu!” Julia melanjutkan ucapannya dengan sarkatik ke arah Eva.
Eva menjaga ketenangannya, meskipun sakit mulai menjalar di hati.
Ejekan Julia mengenai bagaimana Henry selalu memanjakannya, dan bagaimana dia merasa dihargai membuatnya semakin tertekan dan terluka.
Rasanya seperti dikhianati dan direndahkan, terutama ketika Julia mengatakan jika Henry selalu mengutamakan kebutuhannya. Perasaan tak dihargai dan diabaikan semakin membebani pikirannya.
Namun, Eva sendiri sadar akan kesalahannya. Dia tidak menyalahkan bagaimana sikap Henry padanya. Ia sadar bahwa dia sudah merebut Henry dari Julia.
Dengan rasa tidak nyaman, Eva berkata dengan lembut. “Terima kasih atas sarannya, Nona Julia. Biarkan masalah ini kami yang menyelesaikan.”
Julia menatap Eva dengan seringaian puas. Ia kembali berbicara dengan provokasinya. “Jangan biarkan dirimu terjebak terlalu lama. Apa kau mau aku membantu proses perceraianmu agar lebih cepat?”
Eva menatap ke arah Julia. Ia bisa melihat jelas bagaimana wajah licik Julia saat ini. Wajah Julia menunjukkan rasa tidak sabar dengan perceraiannya dengan Henry.
“Terima kasih atas tawarannya, Nona. Tapi, sebaiknya kurang-kurangi ikut campur rumah tangga orang lain.” Terdengar halus, tetapi kata-kata Eva penuh dengan sindiran.
Julia tertawa mengejek mendengar ucapan Eva. “Aku hanya menyadarkanmu, Eva. Agar kedua mata dan pikiranmu itu terbuka!”
“Ah, iya aku lupa, matamu ‘kan tidak normal. Jadi sulit untuk melihat kenyataan.”
Setelah mengatakan itu, Julia pergi begitu saja meninggalkan bekas luka di hati Eva.
Eva mengusap air matanya yang mulai membasahi pipi. Apakah kondisi glaukoma itu begitu buruk di mata dunia? Apakah penderita glaukoma sepertinya tidak berhak bahagia?
Jika bisa memilih, ia juga tidak akan mau memiliki kondisi seperti ini.
Eva segera bangkit, meninggalkan kafe. Meskipun kata-kata Julia terdengar sakit, ia harus tetap bersikap tegar.
Satu jam perjalanan, Eva sampai di penthouse. Ia berjalan masuk, ternyata di dalam sana sudah ada Elise, mama mertuanya, yang duduk dengan angkuh menatap ke arahnya.
“Mama sudah lama?”
Dengan nada sewotnya Elis berkata, “Tidak perlu bersikap sok baik kepadaku! Siapa kau? Berani-beraninya meminta cerai dengan putraku. Harusnya putrakulah yang pantas menceraikanmu!”
Eva terdiam mematung. Kabar perceraiannya sudah sampai di telinga mama mertuanya.
“Wanita rendahan yang tidak sadar diri! Sudah untung putraku bisa membawamu masuk ke keluarga ini. Memangnya siapa yang bisa menerima wanita rendahan dan cacat mata sepertimu?” Elise kembali berkata dengan senyum sinis mengembang di wajahnya.
Ia geram dengan keberanian Eva, harga diri dari keluarganya merasa terinjak-injak. Namun, dia juga senang dan tidak sabar dengan kepergian Eva dari keluarganya.
Setelah kata-kata sarkastik dari Julia, sekarang kata-kata itu berasal dari mama mertuanya sendiri. Kata-kata dari mama mertuanya kali ini terasa lebih menyakitkan.
Eva berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Maaf jika keputusan Eva salah, Ma. Tapi Eva tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan Henry.”
Eva bisa melihat sorot tajam dari Elise. Pandangan matanya ke bawah, berusaha untuk menghindari tatapan tajam Elise padanya.
Sekali lagi dia merasa tertekan. Dari luar dia menjaga penampilan tetap tenang dan penuh hormat. Namun, dalam hati, ia merasa hancur.
“Dari awal kau sudah menghalangi kebahagiaan putraku! Kenapa kau baru sadar sekarang?” katanya. Tak henti-hentinya Elise memandang rendah ke arah Eva.
“Maaf, Ma.” Dari sekian banyak kata, Eva hanya bisa mengatakan kata ‘maaf’. Dia tidak tahu harus berkata apalagi saat menerima semua kata-kata sarkasme dari orang-orang.
Elise tersenyum remeh. “Baguslah jika kau mengambil keputusan sendiri. Karena aku tidak perlu susah-susah memikirkan cara untuk mengusirmu dari sini.”
Elis melangkah pergi.
Eva memandang punggung Elise yang semakin jauh dengan air mata berlinang. keputusan untuk bercerai dengan Henry semakin kuat.
“Henry.” Henry menoleh saat Eva memanggilnya. Senyum miring terbit di wajahnya. Ia sudah menduga, pasti istrinya itu akan mengubah keputusannya.Tak mungkin Eva berani dengan keputusan sebesar itu. “Kau mau merubah keputusanmu?” Henry bertanya dengan penuh percaya diri.“Aku sudah mengurus perceraian kita. Semua dokumen sudah diproses, aku juga sudah menghubungi pengacara untuk membantu mempercepat prosesnya. Kita hanya menunggu keputusan resmi dari pengadilan.” Eva berbicara dengan tenang tanpa beban.Seketika, ekspresi Henry berubah drastis. Rahangnya mengeras, matanya membesar karena terkejut. Apa yang dikatakan Eva bukan kebohongan. Henry melangkah, mendekat ke arah Eva dengan penuh amarah. “Katakan sekali lagi apa alasanmu meminta bercerai? Apa karena uang yang kau terima dariku sudah cukup untuk membuatmu seberani ini padaku?”Eva menggeleng cepat. “Tidak ada yang perlu dipertahankan dalam rumah tangga kita.” Eva menjawab dengan santai. Ada rasa geram saat suaminya selalu me
Dokumen itu ternyata adalah surat perceraiannya dengan Eva. Di dalam dokumen itu sudah dibumbui tanda tangan dari Eva. Henry menatap dokumen itu dengan acuh tak acuh. “Apa Anda benar-benar akan menandatangani surat itu, Tuan?” Ryan ingin memastikan bagaimana keputusan Henry. “Aku akan menandatangani nanti.” Henry kembali menyimpan dokumen tersebut.Ryan bisa melihat ketidak pedulian Tuannya pada Eva. Ia kembali bertanya untuk lebih lanjut. “Apa Tuan sudah mengetahui keberadaan Nyonya Eva?” Henry hanya mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Tanpa peduli di mana keberadaan atau bagaimana keadaan Eva. “Dia sendiri yang memutuskan pergi. Biarkan dia sendiri yang merasakan kejamnya dunia luar.” “Bagaimana jika-”“Henry!”Tiba-tiba saja Julia menerobos masuk ke dalam ruangan Henry tanpa permisi. Membuat Ryan menghentikan ucapannya.Henry memberikan kode agar Ryan keluar meninggalkan ruangan. Ryan memahami kode Henry. Ia pun berpamitan sopan. “Kalau begitu, saya permisi, Tuan.” Ryan melang
Samuel tersenyum puas, akhirnya idenya itu membuat Eva tertarik. Ia memainkan cangkir di tangannya. “Mengatur jadwal dan membantu dengan beberapa dokumen lainnya.” “Itu terlihat menarik.” Eva menunjukkan minatnya. Namun, beberapa detik berikutnya, ia terlihat lesu. “Tapi, aku tidak tahu bagaimana pekerjaan kantor.” Samuel melihat keterbatasan yang dimiliki Eva. Namun, ia tidak ingin berhenti begitu saja. Apapun itu, ia akan mengusahakan untuk Eva. “Kau tidak perlu khawatir, aku bisa menjelaskan lebih lanjut. Aku juga akan mengajarimu.” “Sungguh?” Wajah Eva merona bahagia. “Tapi, apa kau tidak sibuk dengan pekerjaanmu?” Samuel mengangguk santai. “Aku bisa menggunakan waktuku saat beristirahat.” Mata Eva berbinar-binar. Wajahnya cerah dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Eva mengangguk, tampak bersemangat. “Terima kasih, Samuel.” Samuel tersenyum lebar. Ia senang melihat antusiasme Eva. Eva menoleh saat lonceng di atas pintu berbunyi. Dengan buru-buru Eva menyudahi percakapann
“Kau mau ke mana Henry?” Julia menyapa Henry yang tampak terburu-buru. Henry menampilkan senyumnya sekilas. “Aku sedang ada urusan.” Tak lama kemudian, Henry kembali melangkah. Julia berdecak. Ia melihat jika hari ini Henry sedikit cuek padanya. Julia berbicara pada diri sendiri dengan nada kesal. “Memangnya urusan apa sih? Tidak jelas sekali.” “H-halo, Asiten Ryan. Ke mana Henry pergi?” Julia tergeragap, terkejut saat dia berbalik melihat Ryan keluar dari ruangan Henry. Namun, detik berikutnya ia teringat jika saat ini sedang dalam jam kerja. “Maksud saya, Tuan Henry.” Ryan memandang Julia tanpa ekspresi. “Tuan Henry sedang ada urusan mendesak. Jika ada urusan, Anda bisa mengatakan pada saya.” Sebenarnya dia sendiri tidak tahu ke mana Henry akan pergi. Namun, dia harus menjawabnya dengan masuk akal. Ryan sedikit risih dengan Julia yang selalu menempel pada Henry. Seperti permen karet. Julia memandang dokumen yang ada di dekapannya. Memberikan pada Ryan. “Oh, iya. Ini a
Malam hari, sebelum tidur Eva termenung. Teringat dengan pertanyaan Samuel mengenai perceraiannya. Sampai sekarang, perceraiannya tidak ada kabar.Eva bergumam pelan. “Apa aku menghubunginya?”Eva menatap layar ponselnya dengan ragu. Nama Henry terpampang di layar. Selama dia pergi, sama sekali tidak terlibat komunikasi dengan Henry.Dengan satu sentuhan, Eva memanggil nomor Henry.Setelah beberapa deringan, suara Hnery terdengar di ujung telepon. “Hallo.”Eva berkesiap. Ia pikir jika Henry tidak akan menerima telepon darinya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu mengenai dokumen perceraian itu. Apa kau sudah menandatanganinya?”Eva bisa mendengar suara Henry yang tertawa keras di sana. Bisa dibayangkan bagaimana wajah Henry saat ini.“Kau menanyakan ini karena aku menghambat jalanmu untuk dekat dengan laki-laki lain? Jangan harap kau menerima kemudahan.”“Henry, Ak-,”Belum juga dia menyelesaikan ucapannya. Henry sudah memutusk
Henry keluar dari mobilnya. Berjalan tegap menuju pethouse miliknya.Dia mepelas setelan jas dan kemeja yang ia kenakan. Dia berdiri dengan tenang di bawah guyuran shower yang deras.20 menit berlalu, Henry keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. Langkah kakinya tertuju pada ponsel yang berada di atas meja.Nama Ryan tertera di layar ponselnya. Dengan segera Henry menekan tombol hijaunya.Suara Ryan terdengar di ujung telepon. “Ada yan bisa saya bantu, Tuan?”“Cari tahu apa hubungan Eva dan Samuel! Cari tahu semuanya apa saja yang sudah mereka lakukan di belakangku.”Henry memberitahu dengan nada tegas dan tidak bisa dibantah.Nada suara Ryan terdengar bingung, tidak mengerti apa maksud Henry saat ini. “Nyonya Eva dan Tuan Samuel?”Henry kembali berbicara dengan nada dingin. “Apa perintahku kurang jelas?”“Ti-tidak, Tuan.”Henry memutus panggilan teleponnya secara sepihak. Ia menuju ruang ganti dan berpakaian santai.Malam semakin larut. Henry berdiri di Malam harinya, Henry berdi
Di dalam rumah dengan suasana tenang dan elegan, Elise, Mama Henry duduk dengan tenang.Jendela besar membiarkan cahaya matahari masuk. Aroma teh segar melengkapi suasana damai.Elise tiba-tiba saja teringat mengenai perceraian anatara Eva dan Henry. Dia merasa penasaran bagaimana kelanjutannya. Sudah berhari-hari ia tidak mendengar kabar selanjutnya.Dengan cepat, tangannya meraih ponsel dan menghubungi Henry.Suara Henry terdengar di ujung telepon. “Halo, ada apa, Ma?”Sebelum menjawab, Elise melirik ke sekeliling. Namun, pada akhirnya dia melangkah pergi sedikit menjauh agar tidak ada yang mendengar pembicaraannya.Elise bertanya dengan rasa ingin tahu. “Halo, Henry. Mama hanya ingin menanyakan bagaiamana perceraianmu dengan Eva? Apa ada kemajuan?”Di ujung telepon, Henry menjawab dengan tenang. “Semua masih dalam proses, Ma.”Elise kembali berbicara dengan nada mendesak. “Untuk apa kau menunda-nunda, Henry? Gunakan uang-uangmu untuk mengurus semuanya. Mama sudah muak melihat wanit
Eva menarik tangannya dari Henry. “Lepas, Henry!”Tangannya berhasil lepas dari genggaman tangan Henry.Henry memandang ke arah Eva tajam. Cukup lama dia memandang Eva. “Kau harus ikut aku sekarang.”Eva berbicara dengan nada tegas. “Kau tidak bisa memaksa orang begitu saja, Henry!”Henry menghela napasnya.Eva bisa melihat wajah Henry yang sangat menyebalkan saat ini.Dengan wajah datar Henry berkata, “Papa memintamu datang. Papa memintamu untuk menjelaskan perceraian yang kau ajukan.”Eva membeku ketika Henry mengatakan itu. Penjelasan apa yang akan ia katakan pada papa mertuanya?Henry meninggikan suaranya. “Kenapa kau terdiam?”Suara Henry membuatnya terkejut. “Emm … apakah tidak bisa lain waktu saja?”Eva meremas, memainkan jari-jarinya. Ia merasakan cemas yang medalam. Matanya juga menyiratkan rasa bingung.Henry tersenyum sinis melihat ekspresi Eva. “Bukankah ini keputusanmu? Kenapa kau terlihat cemas dan takut sendiri?”Eva menunduk.Henry kembali melanjutkan. “Kau jangan hany
Sekali lagi, tubuh mereka saling bersentuhan dan menyatu. Mata Henry menyala saat melihat Eva yang berada di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya, setiap helai rambutnya, dan setiap ekspresinya memancarkan daya pikat tak bisa ditolak.Eva yang berada di bawahnya tampak rapuh dan kuat secara bersamaan. Desahan kecil lolos dari bibirnya, mengundang senyum di wajah Henry. Henry menyukainya. Semua yang ada pada Eva, dia menyukainya. Dan saat ini, atau nanti, Eva hanyalah miliknya. Dia terus memberikan sentuhan lembut pada Eva. Dan setiap kali tubuh mereka bersentuhan, rasanya seperti meneguk air setelah berjalan di padang tandus. Namun anehnya, bukan rasa lega yang dia rasakan, melainkan dahaga yang semakin menyerang. Baginya, Eva seperti oasis di tengah-tengah gurun yang tak cukup dia sentuh. Setiap suara lirih yang keluar membuat Henry semakin tenggelam di dalamnya. Eva pun merasakan demikian. Pelukan dan sentuhan-sentuhan Henry membuatnya seperti terlempar ke dalam sumur tak berdasar.
Malam harinya, Henry melangkah keluar, menuju ruang tamu, masih menggunakan handuk kimononya yang melilit tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, tetesan air sesekali jatuh ke lantai saat dia berjalan pelan.Di ruang tamu itu, Elise sudah duduk menunggunya. Wajahnya terlihat masam, dan kedua tangannya terlipat di depan dadanya. “Untuk apa Mama datang ke sini?”“Kenapa kau tidak pernah menjawab telepon dari Mama?” Henry diam, memilih tidak menanggapinya. Dengan sikap acuh tak acuhnya dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa, membiarkan tubuhnya bersandar malas tanpa memerdulikan ekspresi kesal Elise yang menatapnya tajam. Dia tahu bahwa saat ini, mamanya tengah marah padanya.Namun, apa pedulinya? “Bagaimana bisa sampai kau keracunan makanan saat di Swiss?” Elise mengomel tanpa jeda. Henry menghela napas panjang. Satu tangannya menjadi tumpuhan kepalanya, malas menanggapi Elise yang terus mengomel tanpa henti. Dengan tangan lainnya memegang gelas berisi air putih. “Ini pasti karen
Perlahan, Eva mengerjap. Dia tak tahu sudah berapa lama tertidur. Cahaya senja masuk melalui celah tirai, menandakan waktu sore. Sudah sore?Seketika, mata Eva terbuka lebar. Ternyata, dia tertidur dalam waktu yang lama. Dia berniat untuk bangun, tapi gerakannya terhenti saat menyadari ada tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Dia menoleh perlahan dan melihat sosok di sampingnya. Sudah pulang? Sunyi beberapa saat.Dia memerhatikan wajah Henry yang masih tidur dengan napas teratur dan wajah tenang. Pria itu masih mengenakan baju kantornya, dengan kancing kemeja atasnya terbuka. Saat tidur, pria ini begitu pulas seperti bayi, tapi saat terbangun, sikapnya begitu menyebalkan. Entah mengapa, pria ini membingungkan, terkadang tak masuk akal bahwa ada orang sepertinya di dunia ini. Masih dengan mata terpejam, Henry bergumam, suaranya serak khas seseorang yang baru bangun tidur. “Apa kau selalu menatapku diam-diam seperti itu?”Eva terkejut, tidak menyangka jika pria itu sudah ban
Ryan meringis, lalu menjawab, “Tuan … apakah Anda tahu berapa banyak laporan yang saya kerjakan saat Anda liburan?”Henry menatapnya datar. “Itukan memang tugasmu sebagai Asisten,” jawabnya santai dan bodo amat. “Berarti saya tidak bermalas-malasan, Tuan ….” Ryan menjawab dengan suara merendah. “Kalau tidak malas, kenapa dokumen ini masih menumpuk di mejaku?” Henry ngotot menyalahkannya.Ahirnya Ryan terdiam sejanak, meratapi nasibnya. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya-tanya, kenapa hari ini Henry begitu menyebalkan? Biasanya, bosnya itu biasa saja mengatasi semua dokumen itu dan asik tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, kenapa hari ini berbeda sekali? Dia seperti serba salah di mata Henry. Pasti gara-gara tadi pagi aku menerornya!Tapi, itukan karena Nyonya Besar. Kenapa tidak marah saja padanya? “Baiklah, maafkan saya, Tuan,” katanya pasrah.Tak ada yang menang berdebat dengan Henry. Henry menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya melirik ke arah ponselnya yang ada di s
“Kurang ajar sekali mereka mengganggu waktuku!” gerutunya, di selah-selah memasang dasinya. Waktu paginya yang indah itu terganggu, semua orang menghubunginya dengan hal-hal yang tidak penting menurutnya. Dia merasa belum puas menghabiskan waktu bersama Eva.Benar-benar menyebalkan!Eva mendekat, mengambil alih untuk mengikat dasinya. “Mungkin ada hal yang benar-benar mendesak,” katanya dengan suara menenangkan. Pandangan matanya turun menatap Eva. Dia meletakkan tangannya di pinggang istrinya dengan nyaman. Hanya butuh satu menit dasi itu terpasang dengan rapi. Eva mendongak, matanya bertemu mata gelap Henry. “Jangan terlalu keras pada dirimu, kau baru saja sembuh,” katanya penuh perhatian. Henry menarik napas panjang. “Kau tidak mau menahanku?”Eva memandangnya malas. Pria ini mulai bersikap dramatis. “Untuk apa?”Seketika Henry memasang wajah serius. “Kau benar-benar tidak peka dengan keadaan.”Eva mengedipkan matanya cepat. “Memangnya apa yang harus kulakukan?” Wajah Henry s
Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.
Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Yang kulakukan …?” Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep
Eva membalas dengan tatapan bingung. “Kenapa? Apa kau perlu sesuatu?”Henry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. “Aku ambilkan makan malam untukmu.” Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. “Kenapa kau buru-buru sekali?” Suaranya pelan dan sedikit serak. “Aku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.” Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Jangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.” Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. “Memangnya kenapa jika mereka melihat?” jawabnya dengan acuh tak acuh. “Mereka tahu kalau kau Istriku.” Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped
“Ayolah … tidak ada yang salah jika kita melakukannya. Kenapa wajahmu seperti itu? Kau bahkan sering menuntut lebih,” ucapnya dengan penuh percaya diri.Tatapan mata Eva menjadi tajam. Pria ini benar-benar tidak punya malu dan terlalu percaya diri!Pintar sekali membalikkan fakta!“Racun itu bersarang di perutmu, tapi kenapa jadi otakmu yang bermasalah?” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Eva. Ekspresinya yang datar dan tanpa emosi itu membuat setiap kata yang diucapkan terdengar lebih tajam dan menusuk. Henry tidak mau kalah. Dia terus melayangkan serangannya menggoda Eva. “Aku hanya bicara sesuai fakta.” Eva membantah cepat, “Tapi fakta yang kau katakan justru sebaliknya.” “Coba katakan di mana kebohongannya? Setiap kau membalas, aku selalu kuwalahan.” Eva terdiam. Melihat wajah dan senyum nakal Henry itu membuatnya semakin jengkel. Rasanya dia ingin keluar dan mengambil sesuatu untuk memukul kepalanya yang sedang bermasalah. Dasar pria mesum!“Aku rasa, racun itu