"Benar itu nama ibu kandung saya, tapi sepertinya saya bukan orang yang Anda cari." Talita buru-buru mengajak Anna agar masuk ke dalam rumah. "Maaf saya tidak ada waktu. Kami harus ngerjain seuatu!" ucap Talita ketakutan, kemudian berjalan cepat sampai di balik pintu gerbang.
"Saya sudah tahu banyak tentang Anda. Percayalah." "Ibu saya cuma orang biasa. Mungkin cuma kebetulan sama nama saja." Talita cepat-cepat menggembok pintu gerbang tersebut. "Pergilah, Pak. Saya bisa teriak minta tolong atau panggil polisi." "Akan saya jelaskan. Tolong beri saya waktu sebentar." Pria itu masih berusaha memaksa. "Maaf, Pak. Saya harus masuk." "Mbak Talita. Saya tahu perasaan Anda sekarang, tapi pastikan akan ada kiriman pembuktian dari saya nanti!" Talita mengajak asisten rumah tangganya segera masuk ke dalam dan kemudian menanyainya. "Apa saja yang sudah orang itu katakan sama kamu, Mbak?" "Orang itu datang dua hari yang lalu terus cari Mbak, tapi sebelum-sebelumnya saya sudah pernah lihat mobilnya mondar-mandir di depan rumah." "Kan sudah aku bilang kalau ada orang nggak kenal ya jangan di bukakan pintu." "Tapi sepertinya orangnya baik. Selalu senyum, gitu. Cuma selama ini lihatnya dari balik kaca mobil yang di turunin. Pak itu nanya bener ini rumah Mbak Talita, terus nanya-nanya soal orang tua Mbak juga. Saya bilang cuma di bayar buat jaga rumah ini, bersihin dua hari sekali, jadi kerjanya nggak pake nginep. Rumah saya juga sekitar sini, buat jaga-jaga biar Pak itu nggak macam-macam kalau saya kenal banyak orang sini." "Bagus. Kalau orang itu kesini lagi, bilang saja aku nggak mau berurusan sama orang yang nggak aku kenal, ya." "Siap, Mbak." Talita kemudian beranjak masuk ke dalam kamar kedua orangnya. Rumah itu memang terbilang lumayan besar, tapi secara keseluruhan semuanya tampak sederhana. Perabot dan dekorasinyapun tidak ada unsur yang menonjolkan sebuah kemewahan, tapi sebuah kehangatan hadir ketika setiap senyuman dari tiap foto terpampang di dinding adalah bentuk kebahagiaan yang selalu jadi kenangan indah tak terlupakan, terutama bagi Talita yang kini hidup sendiri. "Tanjung. Kenapa selama ini aku nggak pernah kepikiran kalau nama belakang ibuku itu sama dengan keluarga konglomerat itu, ya?" gumam Talita. "Tapi mama hanya cerita kalau orang tuanya jauh darinya." Talita lalu kibaskan tangan. "Ah, sudahlah. Jaman sekarang orang suka lakuin apapun buat menipu." Baru saja Talita akan keluar kamar, tapi asisten rumah tangganya juga sudah berada di hadapan dengan ekspresi panik. "Mbak, barusan ada orang kasih amplop ini." "Buat aku?" tanya Talita seraya meraih amplop coklat besar, lalu membukanya dengan tangan bergetar. "Apa dari orang tadi ya, Mbak Anna?" duganya. "Katanya sih iya. Nama orang tadi Pak Wira, kan?" Talita mengangguk lemah, lebih tertarik pada foto-foto yang terjatuh saat tumpukan kertas itu dikeluarkan. "Apa ini?" Talita spontan duduk jongkok dan terbelalak. Beberapa menunjukkan wajah kecil sampai remaja ibunya bersama dua orang yang tak di kenal tapi pernah dia lihat di TV pada berita bisnis. "Bukannya itu Bu Lina, Mamanya Mbak Talita. Jangan-jangan orang itu ngomong sebenarnya, Mbak?" Anna kini jadi bagian keraguan Talita. "Entahlah. Jaman sekarang pasti gampang buat ngedit-ngedit foto kayak gini, Mbak. Aku sih masih ragu ini beneran asli. Biarin saja lha. Malah nanti bikin aku sedih aja jadi keinget Mama." "Tapi, Mbak. Apa kertas-kertas itu nggak di baca dulu aja?" harap Ana sebenernya penasaran. "Nanti aja. Setelah bantu bersih-bersih, aku mau keluar. Kamu ikut juga ya." Talita memutuskan merapikan foto-foto dan dokumen ke dalam amplop besar coklat itu lagi. Bukan berniat membuang dan mengacuhkan, hanya saja saat ini pikirannya sedang ruwet tak karuan dengan masalah pernikahannya. "Baik, Mbak. Saya siap-siap dulu." Anna bergegas ke dalam untuk bersiap-siap, sedangkan Talita memasukkan dokumen itu ke dalam tas lalu berganti membaca tiap hasil laboratorium kesehatannya. Gundah itu kembali menghantui, ketika kemungkinan untuk hamil itu ada namun harus disertai beberapa usaha. Salah satu saran dokter adalah adanya kerjasama serta kemauan besar pasangan. Apa Reynald pasangan yang dimaksud? Talita skeptis akan hal ini. Setelah jalani terapi, Talita di kejutkan oleh bukti tanggungan yang sudah terbayar. Tapi pihak administrasi justru memberikan sebuah kartu debit platinum berataskan namanya. "Ini punya saya?" tanya Talita setengah tak percaya. "Iya. Tadi ada orang yang kasih, katanya punya Mbaknya tapi masih di ruang rehab. Ini sudah terdebit ya. Bisa di lanjutkan ke bagian apotek." Talita berikan anggukan, sambil tertegun memikirkan siapa kira-kira orang pemberi kartu debit yang ada di genggamannya ini. "Apa dari Rey, ya An?" ucapnya pada Ana di tengah ramainya pasien yang menunggu antrian panggilan apotek rumah sakit. "Tapi ini kartu tertinggi. Suamiku aja nggak punya lho." "Coba tanya suamimu, Mbak. Kali aja emang dia. Siapa tahu karena nggak bisa anterin, jadi kasih kartu itu. Kan katanya suami Mbak Talita kaya." Talita jadi tertunduk sedih. "Masa, sih? Apa dia masih perhatian sama aku ya?" Talita berubah ke GR-an sendiri. "Eh, itu. Mas tampan itu bukannya suami, Mbak Talita?" tunjuk Anna setengah tak yakin. Talita mengikuti jari telunjuk Ana, hingga tertuju pada kerumunan orang dan salah satunya memang dia kenal. "Aku nggak mungkin lupa sama wajah suami Mbak yang ganteng itu. Bener itu, kan?" Ana terlihat antusias sampai berdiri menilik fokus pada pria yang di maksudkan. "Itu lho, Mbak Talita. Sampe di datengin. Pasti cinta dan sayang banget ya. Aduh sweetnya. Mas suami. Ini nih disini Mbak Talitanya!" Ana seolah tak sabar menunggu momen pertemuan antara Talita dan Reynald. Aksi norak Ana ini jelas menarik perhatian Reynald yang ternyata tidak datang sendiri. Selain Veronica, Reynald juga di temani oleh Celine. "Eh, Talita. Ternyata ketemu lagi sama kamu disini." Celine menyapa tapi juga sengaja mengalungkan tangan ke lengan kiri Reynald dengan manja. "Kamu sudah selesai terapi, ya. Syukur deh kalau misal sudah baikan." Seperti biasanya, Celine berwujud dua muka. Seolah-olah baik, tapi sebenarnya penuh siratan makna. "Ini aku mau cek ulang soal kehamilanku." "Dia itu sudah nggak mungkin punya anak. Sekarang Reynald beruntung banget sudah pisahan sama dia, tinggal tunggu waktu ngesahin aja!" timpal Veronica semakin membuat suasana menjadi panas. "Mama. Sudah. Kita pergi cari rumah sakit lain saja," perintah Reynald. Tak sedikitpun menatap Talita. "Jangan, Rey. Rumah sakit ini paling bagus juga mahal. Palingan dia bayarnya pake uang bulanan dari kamu. Nggak tahu malu banget. Ngebet minta cerai tapi masih mau uangnya!" Veronica memulai babak baru hinaan untuk Talita. "Saya sudah bayar, Ma, dan itu bukan dari uang Reynald." "Halah!" Veronica meremehkan. "Ayo cepet kita daftar. Buang-buang waktu saja ngobrol sama menantu nggak guna ini!" Veronica meminta Reynald memegangi tangannya sebagai bantuan berjalan, dan tanpa sengaja menyenggol bahu Talita. Talita segera menunduk seraya turunkan kaki untuk mengambil kartu debit platinum barunya ini, dan hal ini sempat di perhatikan Reynald yang sontak kerutkan kening. Reynald sadar tak mungkin juga bertanya kartu tersebut, bila kata pisah itu sudah jadi dirinya dan Talita seperti orang asing."Siapa?" Talita mengulang pertanyaannya lagi. "Bangunlah." Reynald memegang kedua lengan Talita untuk membimbingnya berdiri. "Yang pasti bayi itu bukan anakku." Reynald kemudian berbalik menuju pantry. Dibasuh wajah dalam tangkupan kedua tangan. Suara gemericik air dari wash basin jadi pengisi hening ruangan. "Sejak kapan kamu tahu soal ini?" Tak ada lagi paksaan Talita untuk pergi, tapi kini ia justru terjebak rasa penasaran. Reynald meraih tissu kering dari tangan Talita. Dari sini pula Talita menyadari kalau ada perubahan dari diri Reynald. Kedua matanya lebih cekung, begitu pula bobot tubuh berkurang, belum lagi tatapan kuyu Reynald jelas berbeda dari dulu saat mereka bersama. "Kamu belum makan malam ya?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul dalam pikiran Talita. Teori bilang kalau dalam keadaan kenyang, kemungkinan besar orang akan lebih mudah di ajak bicara. "Kamu simpen bahan makanan nggak? Mie instan atau apa kek?" Talita kesampingkan ego dan harga dirinya demi meng
Mario segera menjemput saat Talita mengabarkan telah selesai dengan sesi medical check up dengan dokter yang menangani bcederanya waktu itu. "Kita nggak bisa berlama-lama disini. Aku mau pesan tiket pesawat, kamu jadi tunda balik ke New York?" Mario menoleh bergantian secara singkat-singkat antara Talita dan fokus ke jalanan depan. "Kenapa? Ada hal baru dari hasil check up tadi? Kok kamu jadi pendiam dari tadi?" tanyanya. "Oh, nggak kok," sanggah Talita. "Syukurnya, semua baik-baik saja. Sudah nggak ada keluhan apa-apa. Masa recovery itu juga sudah berlalu. Aku merasa jadi orang baru dengan tubuh lebih fit sekarang." "Karena kamu bahagia dengan keadaanmu sekarang. Nggak tertekan lagi sama orang-orang toxic itu." "Iya. Kamu betul banget!" Talita menyetujui sampai angguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. "Dan aku ingin tetap di Jakarta." "Oke. Tak apa. Oh ya, klausula baru itu sudah di setujui Reynald, kan? Dia juga sudah tanda tangan, kan?" "Oh, itu." Talita jadi baru kep
Setelah beberapa jam. "Aku senang kamu jadi tegas seperti ini." Mario melingkarkan kedua tangannya pada pinggul ramping Talita dari arah belakangnya. "Kamu jadi ke rumah sakit?" pertanyaan ini bersamaan dengan tarikan untuk memutar tubuh Talita agar menghadap padanya. Mario sangat tak menyukai bila melihat Talita melamun seperti tal menyadari akan keberadaannya. "Iya. Sudah di buatkan janji sama sekretarisnya Pak Wira. Bagaimana denganmu? Apa kamu jadi ke tempat temenmu?" Talita teringat pembicaraan mereka berdua selama perjalanan menuju kantor Tanjunh, corp tadi. "Iya jadi." Mario berganti duduk di tempat presdir utama yang baru saja di siapkan untuk Talita. "Cuma obrolan temu kangen aja. Setelah aku antar kamu ke rumah sakit, aku tinggal sebentar ya. Nanti kalau kamu selesai ketemu dokter, baru jemput kamu. Kita harus segera balik ke New York, selesaikan ujian musim panas kita lalu balik ke sini. Tidak baik terlalu andalkan Pak Wira. Kamu dan aku sekarang punya tanggung jawab
"Celine cerita kalau dia itu cowok mokondo. Sukanya numpang sama cewek-cewek yang dia dekati, tapi tujuannya buat naikin pasaran dia. Orang kayak begini kok dipercaya jalanin proyek besar. Pasti merugikan!" Pernyataan pedas Veronica ini langsung mendapatkan pertentangan Mario. "Terus bagaimana dengan anak anda?" tatapan sinisnya tertuju pada Reynald. "Seenaknya mencampakkan istrinya, tapi setelah tahu siapa dan latar belakang keluarga Talita, sekarang dia mau deketin Talita lagi. Anda nggak tahu gimana kelakuan anak anda tiap kali ke Amerika. Dia seperti penguntit amatiran buat cari perhatian Talita. Tanya sendiri saja sama dia!" tuduhan Mario tidak kalah keras. "Hentikan! Tolong jangan kekanakan!" dengan keberanian demi suasana kondusif, Talita menengahi. "Tolong segera tanda tangani. Kamu nggak mau situasi ini jadi semakin nggak terkendali, kan?" kali ini Talita tertuju pada Reynald. Permintaan sekaligus harapan suaminya itu akan berpikiran sama dengannya. "Baiklah. Akan aku
Beberapa hari telah berlalu, Talita berusaha menutup segala kemungkinan adanya komunikasi dengan Reynald. Menata lagi rencana yang sudah di pikirkan jauh-jauh hari, sampai berganti minggu kemudian baru di realisasikan. "Kamu sudah siap?'" tanya Mario. Ada rasa penasaran setelah memperhatikan Talita lebih cepat dari biasanya. "Kamu bawa kopernya satu doang?" Agak terheran ketika tempat pakaian dan keperluan pribadi yang di bawa Talita itu justru terpilih berukuran kecil, sedangkan rencana perjalanan mereka ke Jakarta adalah dua minggu lamanya. "Iya begitulah. Aku punya segalanya sekarang, dan sudah di siapkan Pak Wira di Jakarta." Walaupun mengungkapkan tanpa gerak angkuh, tapi cukup menggambarkan bagaimana Talita tengah menikmati perubahan besar dari hidupnya sekarang. "Oh, begitu." Mario mendekat, lalu menarik pinggang ramping Talita. "Jadi sekarang kamu benar-benar telah berubah jadi wanita miliarder?" kemudian Mario lebih merapatkan pelukannya, sehingga Talita sampai mendonga
"Aku sudah belajar mencintainya, seperti halnya kamu mulai buka hati lagi untuk Celine." Reynald angguk-anggukkan kepala. "Lalu bagaimana dengan kesehatanmu sendiri? Kamu masih rajin kontrol setelah program fisioterapi?" "Aku akan jawab pertanyaanmu itu, tapi berjanjilah dulu kamu bakal menjawab juga. Dokter Willy pengen kamu sendiri yang cerita padaku." Reynald menghela napas panjang, lalu berikan jawaban cepat. "Tapi kamu juga janji mau temani aku ke rumah sakit rekomendasi dokter Willy, kan?" "Emang kamu sakit apa? Serius, kah?" Reynald mengangguk, tanpa berikan kalimat jawaban. Tak pernah di lihat Reynald begitu rapuh seperti ini. "Dimana Celine? Bukannya dia juga butuh kamu disana? Bagaimana dengan anaknya? Perutnya sudah besar, pasti nggak lama lagi melahirkan." Reynald diam tak menjawab, hanya berikan senyuman tipis. "Apa kanker?" tebak Talita tak menyerah, tapi di tanggapi Reynald dengan gelengan. "Jantung?" lanjutnya, tapi juga mendapatkan jawaban berupa tanda