"Sebaiknya kamu periksakan kesehatan mentalmu juga. Sepertinya kamu mulai berhalusinasi."
Mulut Talita ternganga. Tak menyangka akan tanggapn Reynald, tapi tak sanggup membantah. Ada beban moral yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak akan bisa serta-merta dia kesampingkan begitu saja. "Aku baik-baik saja. Baiklah kita pulang sekarang." "Aku harus antar Celine ke apartemennya. Dia mengeluh mual, tapi nggak mau periksa ke dokter. Aku tahu Celine nggak mau bebani aku karena keadaanmu, jadi tolong kerjasamanya." Dengan mudahnya Reynald berkata demikian, sedangkan isi pikiran Talita semakin kalut. "Apa ... Apa Celine ... Hamil?" terlontar begitu saja pertanyaan ini dari bibir Talita. "Kalau memang seperti itu, kamu sudah tahu kan siapa yang lebih aku khawatirkan sekarang," jawaban enteng Reynald. "Cepatlah. Mama sama Clarissa sudah menunggu. Mereka tidak akan menyukai itu." Belum juga sanggup mencerna sepenuhnya pernyataan Reynald, kini di tambah bayangan akan satu mobil dengan Veronica dan juga Clarissa. Reynald sudah pergi dan tentunya kemungkinan besar akan bersama Celine dalam waktu lama, Talita hanya bisa menahan sakit batin dan fisiknya agar tidak berlama-lama membuat ibu mertua dan iparnya menunggu. "Aduh cepetan. Jalan kok ngalahin siput. Kami harus lihat kondisi rumah sama para tamu. Gara-gara kamu, mereka pasti jadi tertahan di pesta tanpa pemilik rumah. Nyusahin aja bisanya!" gerutuan Vanessa. Talita merasa sendiri, kehampaan yang dia alami selama ini hanya bisa di tahan dalam hati. "Aku harus bagaimana ini? Aku seperti orang nggak berguna banget. Yang aku lakukan cuma bisa bertahan," gumamnya sembari melangkah menahan sakit. Talita hapus air matanya baru kemudian menguatkan diri untuk menyusul Veronica dan Vanessa. Prosesi terapi baru akan di jadwalkan minggu depan, jadi untuk saat ini di perbolehkan lakukan recovery pasca trauma di rumah saja. ** "Hei, beban." Julukan baru yang di berikan Vanessa pada Talita. Talita hentikan langkah saat akan menuju ke ruang makan di pagi hari sehari setelahnya. "Selamat pagi, Vanessa." Talita masih berusaha menjaga emosi di hadapan gadis cantik seumuran dengannya ini. Terkadang ada keinginan dari Talita untuk melanjutkan kuliah S2 seperti Vanessa, tapi ia sadar diri hanya berasal dari keluarga biasa saja. Ayahnya memang dulunya seorang konsultan bisnis ternama, tapi karena usaha jahat dari rekan bisnis menjadikan namanya tenggelam. Hanya Reymond yang menaruh kepercayaan setelah pertemuan mereka kembali beberapa tahun sebelum kematiannya menyusul sang istri. "Aku mau pergi ke Australi, jadi nanti yang jaga Mama untuk sementara adalah Celine." "Apa?" Talita setengah tak percaya dengan pemberitahuan dari Vanessa ini. "Maksudmu bagaimana?" tanyanya untuk memastikan. Vanessa mendekat dengan kedua tangan bersedekap dan menatap berupa lirikan tajam. "Sebenarnya ini rencana yang baru Kakakku utarakan nanti setelah makan pagi, tapi mulutku ini sudah gatel pengen cepet kasih tahu kamu!" tandas Vanessa tajam sesuai ekspresinya kini. Setelah ditinggal Vanessa ke ruang makan, Talita kembali di kejutkan dengan kedatangan gadis lain yang baru saja jadi isi obrolan mereka. "Eh, ada kamu Talita. Bagaimana kabarmu setelah kejadian semalam?" Celine mendekat lalu memeluk hangat setelah berikan kecupan antar kedua pipi dengan Talita. "Aku tanya Reynald tapi jawabnya baik saja. Tahu sendiri, kan Rey itu orangnya nggak suka banyak bicara. Kalau aku sih masih peduli sama kamu. Walaupun aku mantan pacar Rey, tapi yakinlah aku nggak akan benci kamu kayak Mama Vero sama Vanessa." Talita berikan senyuman. Kekaguman pada Celine kembali hadir tiap kali wanita muda itu berbicara. Selain cantik, Celine pandai menarik perhatian orang lain dengan penampilannya lewat pakaian dan make-up mahal. "Iya, Rey benar. Aku sudah baikan. Makasih juga ya, kamu perhatian banget sama aku." Celine lalu menggandeng tangan Talita saat Reynald dan Veronica memasuki serambi ke arah ruang makan. "Hai, selamat pagi semua. Aku sama Talita baru saja obrolin kalian. Kata Talita, Mama lagi kurang sehat lagi. Tapi sepertinya lagi bahagia karena di temani anak laki-laki tercintanya. Iya, kan?" Veronica sempatkan berikan senyuman dan anggukan persetujuan pada Celine, tapi kemudian justru kerutkan kening pada Talita. "Ngomong kok asal aja!" ucapnya ketus. "Aku emang lagi sakit, tapi belum mau mati!" lanjutnya kesal. Talita ternganga, bahkan ucapan seperti itu tidak pernah keluar dari bibirnya. Namun Talita tak sanggup menyanggah saat Celine memeluk pundaknya erat lalu di arahkan ke ruang makan. "Sudahlah, Ma. Celine tahu Talita nggak berniat apa-apa, kok. Yuk kita makan saja sekarang, sebelum aku masukin barang-barangku ke kamar tamu." Bibir Talita hanya bisa membuka, menutup, membuka lagi tapi tak tahu harus berucap apa, jadi kemudian menutup pasrah menuruti gerakan ajakan dari Celine yang agak memaksa. "Sorry ya. Ku kirain biar kamu dapat poin tambahan di depan Mama Vero, tapi nggak nyangka tanggapannya begitu. Untung saja aku bisa cepet-cepet ajak ke ruang makan." Celine berbicara di dekat telinga Talita sambil berbisik, seraya terus mengarahkannya duduk di sebelahnya. "Iya, nggak apa-apa." Seperti biasanya, Talita tak bisa banyak memberi tanggapan dan pembelaan diri. "Oh ya, sebelum ada pengumuman yang kita obrolin semalam, aku ada berita gembira." Celine memulai dengan wajah sumringah. "Apa itu? Pasti itu membanggakan. Soalnya kamu nggak pernah gagal buat kita kagum," sahut Vanessa antusias. Talita menghela napas tertahan. Pertunjukan baru yang akan membuatnya semakin terlihat tak berarti, batinnya. "Tadi pagi aku dapat bocoran dari salah satu orang dalemnya produk skincare Glowing bakal jadi brand ambassador terbaru mereka. Wow nggak itu?" "Wow banget, Celine!" pekik Vanessa senang. "Tuh kan aku bilang juga apa. Pesta semalam itu emang ada gunanya. Apalagi kamu disebelah Kak Rey terus, jadi aura bintangmu jadi makin bersinar, nggak sih?" Vanessa memperkuat cerita Celine dengan berapi-api. Celine menarik tangan Talita kemudian menggenggamnya. "Jangan berkecil hati ya. Semua butuh proses dan usaha yang nggak mudah. Orang tuh bisa nilai kok mana yang pantas dapat kesempatan atau mana yang belum." Talita melirik ke arah Reynald yang tersenyum dengan rasa bangga akan pencapaian Celine ini. Meskipun tidak banyak ikut percakapan, tapi kilatan dari kedua matanya sudah bisa gambarkan bagaimana suaminya itu begitu mengagumi semangat dari Celine. "Dan siapa yang sebenarnya lebih pantas untuk mendampingi seorang presdir seperti Kak Rey." Kesimpulan dari Vanessa itu segera mendapatkan tanggapan Veronica yang sudah sejak awal pernikahan putranya dan Talita tidak menyetujui. "Iya. Mama yakin Reynald juga sangat bangga sama kamu. Seperti yang kamu bilang semalam, Talita dan kamu tidak dapat di sandingkan untuk jadi perbandingan." Talita semakin menyadari, wanita muda cantik disampingnya ini memang bermuka dua dan penjilat yang pandai bersilat lidah. Di balik sikap baik Celine padanya, sebenarnya adalah jalan untuk selalu membuatnya terlihat semakin buruk dan tak ada artinya, terutana di hadapan suaminya sendiri. Talita bisa menyaksikan suaminya dan Celine saling menatap berhiaskan senyuman sebagai bentuk cinta yang masih tersisa di antara keduanya. Dilema besar untuk Talita berada pada dua sisi bertahan beserta luka ataukah terus jalani demi amanat di dalam wasiat sang Ayah? "Talita." Talita terperanjat dari lamunan saat suara Reynald terdengar memanggilnya. "I iya?" sahutnya terbata. Tak sengaja tangan kirinya menyentuh mangkok berisi sayur berkuah dan langsung terjatuh dan timbulkan bunyi denting yang lumayan keras. "Auww. Sakit!" "Ma ma maaf," ucap Talita kikuk lalu mundurkan kursi sebelum berjongkok untuk cepat memungut pecahan kecil-kecil di atas punggung kaki Celine yang sempat menjerit panik. "Kamu gimana, sih?!" bentak Celine. "Besok persiapan pemotretan, kalau aku luka begini, kan bisa di batalin. Emang kamu sanggup ganti uang kontraknya, hah?!" Talita menelan salivanya kasar. Titik air di pelupuk mata jadi pertanda betapa batinnya ini semakin sesak hadapi kejadian pahit yang terus berlanjut seolah belum temui akhirnya."Cepet bersihin luka Celine! Bawa sial aja bisanya!" Talita mengangguk patuh atas perintah dari Veronica ini. "Baik, Ma." Talita segera berdiri meski sedikit susah payah. Rasa nyeri pada pinggang masih sering kali hilang timbul ketika melakukan perubahan gerakan mendadak seperti saat ini. Seorang pembantu rumah tangga masuk ke dalam ruang makan dengan tergopoh-gopoh bersama 2 lap basah dan kering. "Nyonya muda, biar saya yang bersihin," pintanya tapi di tanggapi Talita dengan gelengan kepala. "Nggak usah. Aku saja. Mama Vero pasti nggak akan ijinin kamu bantu kesalahanku. Ambilin pengki saja ya." Perintah Talita ini kemudian jadi gerak cepat pembantu rumah tangga bernama Sari ini ke area belakang rumah. Sedangkan Talita merunduk lagi untuk membersihkan punggung kaki Celine. "Maaf, Celine. Aku benar-benar nggak sengaja. Aww!" Berganti Talita menjerit tertahan karena tak melihat bagian yang di bersihkan, jadi sempat ada remahan pecahan menusuk dan hampir masuk ke dalam kulitnya. "A
Baik Talita maupun Reynald berganti tujuan ke arah single sofa tempat Veronica duduk berada. "Mama? Kenapa?!" kepanikan Reynald, segera memposisikan ibunya tidur dalam pelukannya. "Kita ke dokter sekarang!" putusnya melihat keadaan Veronica yang terlihat sulit bernapas, tapi justru mendapatkan pencegahan. "Nggak usah, Rey. Bawa Mama ke kamar saja. Kita juga perlu bicara berdua." Veronica menurunkan kaki, lalu meminta putranya ini untuk memapahnya secara perlahan. "Aku bikinin teh anget ya, Ma." Talita masih menaruh rasa peduli, namun mendapatkan tanggapan sebaliknya. "Nggak usah!" sahut Veronica sewot. "Harusnya kamu itu bikin surat laporan. Nyadar nggak, sih?! Kalau hari ini kamu sudah buat dua orang bisa saja mati. Aduhh, Tuhan toloongg. Dosa apa aku pada-Mu sampai kirim menantu bisanya buat sial teruss!" Veronica merutuki diri seolah-olah tengah mendapatkan hukuman dan hanya berakhir pada penyesalan. "Sudahlah, Ma. Kita bicara saja di dalam." Reynald lalu beralih pada Tal
Setelah beberapa hari Talita memutuskan untuk menyendiri. Tinggal bersama Vani adalah pilihan satu-satunya saat ini. "Gue jalan kerja dulu ya, Ta. Lo sudah nggak sedih lagi, kan?" tanya Vani serata menatap sahabat ini menutup bungkus nasi uduknya dengan wajah sendu. "Entahlah." "Sekarang lo tahu kalau Reynald yang membuat rencana jahat ini. Apalagi tujuannya selain agar secara perlahan bagian saham dan andil emosional Ayahmu di perusahaan itu berangsur hilang. Lo kan cuma minta cerai, tapi masih nggak mau lepasin prosentase saham itu. Iya, kan?" Vani menggiring Talita untuk menyetujui opininya. "Jadi dengan maksud rasa malu itu, lo akan dengan sukarela melepaskan." "Bagaimana lo punya pikiran seperti itu?" "Aduh, Ta. Kadar iblis di jiwa lo cuma berapa persen, sih? Heran gue. Habis baik banget. Kan ternyata benar kalau selama setahunan ini, perusahaan itu labanya sedang naik, dan otomatis kepemilikanmu juga." "Jadi menurutmu gue harus pastikan keputusan itu?" "Yups. Exac
"Benar itu nama ibu kandung saya, tapi sepertinya saya bukan orang yang Anda cari." Talita buru-buru mengajak Anna agar masuk ke dalam rumah. "Maaf saya tidak ada waktu. Kami harus ngerjain seuatu!" ucap Talita ketakutan, kemudian berjalan cepat sampai di balik pintu gerbang. "Saya sudah tahu banyak tentang Anda. Percayalah." "Ibu saya cuma orang biasa. Mungkin cuma kebetulan sama nama saja." Talita cepat-cepat menggembok pintu gerbang tersebut. "Pergilah, Pak. Saya bisa teriak minta tolong atau panggil polisi." "Akan saya jelaskan. Tolong beri saya waktu sebentar." Pria itu masih berusaha memaksa. "Maaf, Pak. Saya harus masuk." "Mbak Talita. Saya tahu perasaan Anda sekarang, tapi pastikan akan ada kiriman pembuktian dari saya nanti!" Talita mengajak asisten rumah tangganya segera masuk ke dalam dan kemudian menanyainya. "Apa saja yang sudah orang itu katakan sama kamu, Mbak?" "Orang itu datang dua hari yang lalu terus cari Mbak, tapi sebelum-sebelumnya saya sudah pernah
Setelah beberapa hari berselang, Talita mulai membuka diri dengan menerima permintaan pertemuan dengan Mario. "Tersenyumlah Talita." Kalimat pertama yang Mario ucapkan pada tamu di hadapannya ini. Talita memang berikan senyuaman, tapi jelas terlihat kikuk. Tundukan malu-malunya ini akibat baru menyadari kalau Mario adalah pria yang sangat tampan. Tatapan lembut Mario cepat membuat lawan bicara merasa nyaman. "Nah gitu dong. Lampu aja kalah terang kalau kamunya lagi senyum begini." Wanita mana yang tak akan berbunga-bunga bila ucapan seperti ini meluncur dari pria yang selalu memperlakukan dirinya layaknya penjaga bagi mutiara dalam tempurung rapuh. "Terima kasih. Kamu selalu buat aku senang." "Masa? Tapi kok aku lihat kamunya masih suka murung, terus termenung kayak pikirannya lagi bawa barbel 5 kilo?" Mario berusaha menciptakan suasana cair. Setelah bertemu Talita beberapa kali, Mario sudah dapat menyimpulkan seperti apakah sifat serta karakternya. Talita tertawa tertah
"Iya, bener itu." Jawaban Vani jelas buat Talita semakin berusaha tanamkan perasaan benci pada Reynald. "Reynald pernah hubungi Mario dan atur pertemuan hanya berdua. Kata Mario, memang nggak lama mereka ngobrolnya tapi pada intinya Reynald meminta Mario melepaskan Celine secara gentleman. Sudah kelihatan banget, kan kalau Celine jelas-jelas pilih Reynald. Sebagai laki-laki yang punya harga diri, Mario juga jelas memilih mundur. Sialan banget emang suamimu itu!" "Terus kok jadi bisa Mario kepikiran deketin aku? Katamu Dedi nggak sengaja kenal dia lewat temen gym-nya?" Vani terdengar menguap sebelum berikan jawaban. "Gue nggak tahu jelasnya. Itu obrolan para pria. Dedi juga nggak banyak kasih detil ceritanya, tapi intinya terus para cowok ini kepikiran rencana sekarang ini dari bahasan random mereka." Vani lantas terdengar kesal. "Udahan ah, Ta. Lagian semua sudah kejadian, jadi jangan bahas-bahas yang kemarin-kemarin. Yang lo harus pikirin itu sekarang sama masa depan. Mantan
"Hai." Sapaan dingin Talita, sedingin suasana ruangan kerja Reynald yang lantas berdiri menyambut wanita yang masih sah jadi istrinya ini. "Duduklah." "Apa ada yang harus aku lakukan? Katakan saja. Aku tahu waktumu tidak banyak," jawaban Talita searah dengan Reynald, tapi tatapannya tetap menurun. Talita juga mengkatup rapat bibirnya, sekuat tenaga menahan sendu. "Aku tidak mau bercerai," jawaban yang baru Reynald berikan setelah beberapa lama pernah Talita tanyakan. "Hanya demi perusahaan, kan?" Urat syaraf dahi Reynald menegang, dekapan dua tangan dan sandaran pada meja kerjanya jadi usaha Reynald meretas kekakuan. "Celine hamil. Aku berada di posisi sulit. Ada beberapa lelang proyek besar masuk, tapi yang paling aku inginkan dari keluarga Tanjung." "Keluarga Tanjung? Lalu? Apa hubungannya dengan status pernikahanmu?" Mendengar nama keluarga konglomerat ini, tanpa sadar Talita mengangkat dagu dan menatap serius pada Reynald. "Lelang proyek itu menyisakan dua nama per
Acara telah di mulai. Talita memilih berdiri di pojok ruangan aula seorang diri. Baru kali ini berada di tengah-tengah para kolega perusahaan yang Ayahnya ikut andil mendirikannya, meski hanya sebatas konsultannya saja. Tak terbesit niatan bertemu Reynald lagi, tapi tetap saja suaminya itu menghiasi tatapannya. Sebagai Presdir utama, Reynald adalah pemegang pusat perhatian. "Bu Talita, mau saya bawakan sesuatu lagi?" Alika datang menyodorkan minuman disertai senyuman. "Oh, Mbak Alika. Minuman saja nggak apa-apa," terima Talita membalas dengan sebuah sunggingan manis, trenyuh setiap kali Alika bersimpati padanya. "Setelah ini waktunya laporan tahunan bagi para pemegang saham, apa Anda tidak duduk saja di kursi yang sudah di sediain?" "Tidak. Aku disini saja. Prosentase sahamku cuma remahan cup cake hidangan penutup, Mbak, jadi cukup dengerin dari sini saja. Para tamu juga nggak perhatian. Mereka kan nggak pernah lihat aku jadi istrinya Reynald." "Anda tidak bisa seperti i
"Reynald!" "Kamu sudah mengenalku, Talita. Sekali aku memutuskan sesuatu, berarti itu akan konsisten sampai kapanpu!" Reynald tidak kalah kerasnya. Pintu ruangan di ketuk, bahkan sebelum Talita ataupun Ruhut baru saja akan memberikan tanggapan. Nama Ruhut di sebut oleh seorang wanita dari balik pintu. "Masuk," ucap Ruhut lantang. Ada kesal ketika sudah terlibat lebih dalam di sebuah percakapan penting, tapi kemudian terganggu oleh panggilan. Pintu terbuka, dan salah seorang asisten pribadi Ruhut menjulurkan kepala. "Maaf, Pak. Ada tamu," ujarnya. "Akukan sudah bilang nggak mau di ganggu!" tandas Ruhut tegas. Watak aslinya memanglah keras, tapi dalam segi keprofesionalitasan, dia adalah seorang pengacara yang dapat di andalkan. "Maaf, Pak. Tamunya maksa. Bilangnya istri Pak Reynald." Ruhut sontak beralih pada Reynald. Kebingungan baru untuknya. "Istri Pak Reynald?" pertanyaan lebih tertuju pada Reynald. "Dia ... Tidak ada hubungannya dengan pertemuan ini, jadi ..." "
"Ehem ..." Reynald berdehem, menandai keberadaannya. Talita menoleh, sedikit terkejut. Reynald berpenampilam berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu. Potongan rambut baru dan sengaja di beri pomade, sehingga terlihat klimis. "Selamat sore," sapa Reynald. Tarikan bibir tipis searah dengan tatapan tertuju lurus pada Talita. "So sore," balas Talita gugup. Tatapan sendu Reynald sangat berbeda dengan dulu saat mereka masih bersama. Semakin gugup saat Reynald berikan tangan untuk awali jalinan berkabar. "Bagaimana kabarmu?" "Aku baik-ba ..." "Kamu kelihatan pucat?" sela Reynald dalam rangkaian pertanyaan. Tangannya tak juga melepas, seperti sebuah genggaman. "Kamu pasti sakit?" pertanyaan kedua dengan ekspresi murung. "Oh, mungkin karena kecapean saja. Nggak apa-apa, kok." Talita memaksa melepaskan tangan. Walaupun iringan lembut ketika menariknya, tapi jelas tersirat perasaan tak nyaman. "Silahkan duduk. Jujur saja, saya tadi nggak mengenali Nyonya Talita. Sepertinya
"Sayang? Kamu ngagetin aja!" Celine menghambur memeluk Reynald, serasa sempat berpisah dalam waktu lama dan baru bertemu kembali. "Kita pergi dari sini sekarang." Reynald lepaskan ikatan tangan Celine dengan lembut, lalu berbalik sebagai komando untuk segera lakukan apa yang baru di ucapkan. "Tapi, Sayang. Kita sudah sejauh ini. Sekalian saja buat Talita malu. Mama Vero dan Vanessa baru saja chat aku. Mereka sudah lihat video uploadtan di medsosku, dan ..." "Hentikan, Celine. Hapus video-video itu!" perintah Reynald dingin. Langkahnya bahkan lebih cepat, namun juga tidak menggandeng Celine sebagai bantuan bagi wanita hamil seperti biasanya. "Tapi kenapa, Sayang? Talita pantas dapat perlakuan seperti itu, dan kamu berhak mempermalukannya di depan orang banyak, kok." Celine lingkarkan satu tangan pada lengan Reynald dengan manja. Tampak beberapa orang yang lewat sempat memperhatikan Reynald. Mereka memastikan bahwa pria di samping depannya adalah pebisnis muda yang sedang naik d
Di lain tempat. "Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa ya, Van." Ucapan Talita setelah selesai berdandan. Secara singkat, malam itu juga dia persiapkan diri untuk pertemuan dengan Wira. Dress sifon lengan panjang dengan panjang di atas lutut, membuat Talita semakin cantik. Warna pastel mencerminkan pribadi Talita yang kalem dan bersahaja. "Lagian, semua itu belum tentu bener," lanjutnya. "Kalau memang bener gimana?" Vani beringsut lebih mendekati Talita. Kepalanya miring, mencari celah tatapan Talita. "Lu ternyata kaya raya, Ta!" pekik Vani histeris sendiri. "Tapi kenapa selama ini mama gue nggak cerita?" Keraguan yang selalu jadi pengusik pikiran Talita untuk percaya pada Wira. "Nah itu dia. Gue juga kepikiran sampe situ." Vani terus mengikuti Talita yang sedang lakukan persiapan akhir. Sepatu sandal bertali warna nude jadi pilihan Talita kali ini. "Pokoknya lu harus tanyain semua ke Pak Wira soal asal-usul masa lalu dan keluarga ibu lu. Menurut gue juga patut di curigai. Sela
Di tempat lain, Reynald berdiri di balik kursi kerja melihat ke arah luar. Pikirannya sedang berkutat pada obrolannya dengan Celine yang tak lama berselang. "Aku yakin, Talita dan Mario sedang siapin rencana jahat sama kamu, Sayang," ucap Celine, tak lama setelah masuk ke ruangan kerja Reynald. Dress floral hitam putih yang di kenakan masih belum sepenuhnya mampu menutupi perutnya yang terlihat membuncit. "Tuduhan sama dari dulu." Celine cemberut. Jawaban santai Reynald tak sesuai harapannya. "Kan emang kenyataannya begitu!" Celine mulai meradang. Beberapa hari, di rasanya sikap Reynald berubah. "Sayang. Aku dengar desas-desus. Boleh aku tanya ke kamunya langsung?" "Desas-desus darimana?" Reynald merasa perlu mempertanyakan tentang seberapa valid Celine mendapatkan informasi. "Ada deh, itu pastinya sumber terpercaya." "Tapi aku meragukannya." Celine lebih mendekati Reynald. Perubahan Reynald yang semula hanya dugaan, namun sekarang telah jadi nyata. "Berarti kamu meragu
"Masa, sih?!" Vani tak setuju. "Kayaknya adem ayem aja." Vani berdiri, lantas menarik pegangan koper Talita. "Sudah yuk. Kita pulang," ajaknya. Rasa enggan itu tidak lagi jadi bias, sebab Vani menunjukkannya dengan jelas. Apapun pembahasan soal Reynald, Vani akan berubah murung. Talitapun akhirnya memutuskan untuk tak membahasnya. Sejak perlakuan menyakitkan Reynald padanya, sahabatnya ini seolah membuat suaminya itu sebagai antagonis pada setiap topik pembicaraan. "Iya iya. Antar aku pulang." Talita memutuskan menurut. Tekukan wajah Vani, berasa tak enak di lihat juga. Saat beberapa langkah keluar dari pintu lobby bandara, keduanya di kejutkan dengan kedatangan seorang pria berpakaian setelan safari mendekat. "Nyonya Talita. Mobil jemputan anda di sini." Pria itu memberi anggukan hormat, lalu menunjuk pada mobil tipe sedan mewah warna hitam di parkiran khusus. Talita dan Vani saling bertatapan. Raut kebingungan memunculkan pertanyaan baru dari Vani. "Maaf, bapak siapa ya?
"Apa? Kenapa dadakan?!" Dahi Mario berkerut. Tas koper kecil Talita kini jadi perhatiannya. "Kamu ke Indonesia cuma bentaran doang, kan?" tebaknya. "Iya. Nggak mungkin juga aku ijin nggak kuliah sama kerja part time lama-lama." Talita menutup resleting tas tentengnya. Memakai cara klasik ala-ala anak remaja, baru bercerita atau ijin bila mendekati hari yang di tuju. Berharap orang yang di pamiti tidak punya pilihan mencegah, selain harus menuruti. "Ada urusan apa ke Indonesia?" Mario bersandar pada lemari pantry dengan kedua tangan bertaut, satu kaki maju sebagai penopang. "Pak Wira minta aku datang, karena ada dokumen yang harus aku tanda tangani." "Pak Wira?" tanya Mario, tapi kemudian di jawab sendiri setelah teringat. "Oh, yang orang dari Tanjung, corp. itu?" "Iya, dia. Aku harus pergi ke bandara. Kamu nggak perlu anter, aku naik yellow cabs aja." Talita telah siap dengan kepergiannya. Dua tas yang di bawa merupakan cerminan harap Talita berkunjung ke Indonesia dalam wa
"Ada apa ini? Siapa dia, Talita?" Mario datang, berjalan cepat untuk memposisikan diri di antara Talita dan Robby. Bersiap pasang badan. Dari kejauhan sudah di lihatnya Talita tampak seperti sedang bersitegang dengan pria di hadapannya. Talita menuntut dirinya berpikir cepat, tapi setidaknya tidak sampai membuat gesekan dengan Mario. "Ehm, dia orang Indonesia. Kami nggak sengaja ketemu di perempatan situ. Hanya ngobrol, iya kan Pak Robby?" Mata Talita membulat penuh makna. Berharap Robby mengerti maksud drama yang sedang dia narasikan secara tersirat. "Iya. Saya Robby." Pria berpostur tinggi, tapi buncit pada perutnya menunjukkan sisa seorang pegawai keamanan, namun telah berstatus bapak-bapak. "Nggak sengaja ketemu Mbak Talita," penjelasan singkat Robby di sertai jabatan tangan berkenalan. "Oh, kamu kerja di New York?" "Iya, pastinya." "Dimana?" "Konsultan bisnis di salah satu gedung itu." "Oh, sudah lama?" Talita bergantian memperhatikan Robby dan Mario, ada sediki
Seharusnya jawabannya mudah. 'Iya, san aku juga mencintaimu.' Tapi tidak semudah itu buat Talita. Senyuman penuh harap pengertian dari Mario dia berikan. "Sabar. Kita bukan Reynald atau Celine. Aku ingin hubungan kita bisa terlepas dari bayang-bayang mereka dulu. Kamu tahu maksudku, kan?" "Maksudmu, kamu mau sudah benar-benar pegang status bercerai dari Reynald?" "Iya," sahut Talita membenarkan. "Tapi jangan kamu kira aku masih terbayang-bayang Celine. Nggak banget itu." "Kamu tahu kabar Celine sekarang? Apa dia masih aktif sosial media? Tahu sendiri, kan sekarang lagi hamil, apa dia berani tampil jualan produk kecantikan sama nge-vlog dalam kondisi begitu?" Mario kerutkan bibir, berpikir sebentar. "Hm, sepertinya sudah 2 bulanan ini dia nggak aktif. Isi sosmed dia cuma berisi iklan dan ada foto-foto terbaru, tapi cuma bagian wajah doang. Selebihnya, nggak ada live lagi." "Tuh, kan. Kamu aja kesannya masih kebayang-bayang mantan. Buktinya, tahu aja update-an sosmednya