"Sebaiknya kamu periksakan kesehatan mentalmu juga. Sepertinya kamu mulai berhalusinasi."
Mulut Talita ternganga. Tak menyangka akan tanggapn Reynald, tapi tak sanggup membantah. Ada beban moral yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak akan bisa serta-merta dia kesampingkan begitu saja. "Aku baik-baik saja. Baiklah kita pulang sekarang." "Aku harus antar Celine ke apartemennya. Dia mengeluh mual, tapi nggak mau periksa ke dokter. Aku tahu Celine nggak mau bebani aku karena keadaanmu, jadi tolong kerjasamanya." Dengan mudahnya Reynald berkata demikian, sedangkan isi pikiran Talita semakin kalut. "Apa ... Apa Celine ... Hamil?" terlontar begitu saja pertanyaan ini dari bibir Talita. "Kalau memang seperti itu, kamu sudah tahu kan siapa yang lebih aku khawatirkan sekarang," jawaban enteng Reynald. "Cepatlah. Mama sama Clarissa sudah menunggu. Mereka tidak akan menyukai itu." Belum juga sanggup mencerna sepenuhnya pernyataan Reynald, kini di tambah bayangan akan satu mobil dengan Veronica dan juga Clarissa. Reynald sudah pergi dan tentunya kemungkinan besar akan bersama Celine dalam waktu lama, Talita hanya bisa menahan sakit batin dan fisiknya agar tidak berlama-lama membuat ibu mertua dan iparnya menunggu. "Aduh cepetan. Jalan kok ngalahin siput. Kami harus lihat kondisi rumah sama para tamu. Gara-gara kamu, mereka pasti jadi tertahan di pesta tanpa pemilik rumah. Nyusahin aja bisanya!" gerutuan Vanessa. Talita merasa sendiri, kehampaan yang dia alami selama ini hanya bisa di tahan dalam hati. "Aku harus bagaimana ini? Aku seperti orang nggak berguna banget. Yang aku lakukan cuma bisa bertahan," gumamnya sembari melangkah menahan sakit. Talita hapus air matanya baru kemudian menguatkan diri untuk menyusul Veronica dan Vanessa. Prosesi terapi baru akan di jadwalkan minggu depan, jadi untuk saat ini di perbolehkan lakukan recovery pasca trauma di rumah saja. ** "Hei, beban." Julukan baru yang di berikan Vanessa pada Talita. Talita hentikan langkah saat akan menuju ke ruang makan di pagi hari sehari setelahnya. "Selamat pagi, Vanessa." Talita masih berusaha menjaga emosi di hadapan gadis cantik seumuran dengannya ini. Terkadang ada keinginan dari Talita untuk melanjutkan kuliah S2 seperti Vanessa, tapi ia sadar diri hanya berasal dari keluarga biasa saja. Ayahnya memang dulunya seorang konsultan bisnis ternama, tapi karena usaha jahat dari rekan bisnis menjadikan namanya tenggelam. Hanya Reymond yang menaruh kepercayaan setelah pertemuan mereka kembali beberapa tahun sebelum kematiannya menyusul sang istri. "Aku mau pergi ke Australi, jadi nanti yang jaga Mama untuk sementara adalah Celine." "Apa?" Talita setengah tak percaya dengan pemberitahuan dari Vanessa ini. "Maksudmu bagaimana?" tanyanya untuk memastikan. Vanessa mendekat dengan kedua tangan bersedekap dan menatap berupa lirikan tajam. "Sebenarnya ini rencana yang baru Kakakku utarakan nanti setelah makan pagi, tapi mulutku ini sudah gatel pengen cepet kasih tahu kamu!" tandas Vanessa tajam sesuai ekspresinya kini. Setelah ditinggal Vanessa ke ruang makan, Talita kembali di kejutkan dengan kedatangan gadis lain yang baru saja jadi isi obrolan mereka. "Eh, ada kamu Talita. Bagaimana kabarmu setelah kejadian semalam?" Celine mendekat lalu memeluk hangat setelah berikan kecupan antar kedua pipi dengan Talita. "Aku tanya Reynald tapi jawabnya baik saja. Tahu sendiri, kan Rey itu orangnya nggak suka banyak bicara. Kalau aku sih masih peduli sama kamu. Walaupun aku mantan pacar Rey, tapi yakinlah aku nggak akan benci kamu kayak Mama Vero sama Vanessa." Talita berikan senyuman. Kekaguman pada Celine kembali hadir tiap kali wanita muda itu berbicara. Selain cantik, Celine pandai menarik perhatian orang lain dengan penampilannya lewat pakaian dan make-up mahal. "Iya, Rey benar. Aku sudah baikan. Makasih juga ya, kamu perhatian banget sama aku." Celine lalu menggandeng tangan Talita saat Reynald dan Veronica memasuki serambi ke arah ruang makan. "Hai, selamat pagi semua. Aku sama Talita baru saja obrolin kalian. Kata Talita, Mama lagi kurang sehat lagi. Tapi sepertinya lagi bahagia karena di temani anak laki-laki tercintanya. Iya, kan?" Veronica sempatkan berikan senyuman dan anggukan persetujuan pada Celine, tapi kemudian justru kerutkan kening pada Talita. "Ngomong kok asal aja!" ucapnya ketus. "Aku emang lagi sakit, tapi belum mau mati!" lanjutnya kesal. Talita ternganga, bahkan ucapan seperti itu tidak pernah keluar dari bibirnya. Namun Talita tak sanggup menyanggah saat Celine memeluk pundaknya erat lalu di arahkan ke ruang makan. "Sudahlah, Ma. Celine tahu Talita nggak berniat apa-apa, kok. Yuk kita makan saja sekarang, sebelum aku masukin barang-barangku ke kamar tamu." Bibir Talita hanya bisa membuka, menutup, membuka lagi tapi tak tahu harus berucap apa, jadi kemudian menutup pasrah menuruti gerakan ajakan dari Celine yang agak memaksa. "Sorry ya. Ku kirain biar kamu dapat poin tambahan di depan Mama Vero, tapi nggak nyangka tanggapannya begitu. Untung saja aku bisa cepet-cepet ajak ke ruang makan." Celine berbicara di dekat telinga Talita sambil berbisik, seraya terus mengarahkannya duduk di sebelahnya. "Iya, nggak apa-apa." Seperti biasanya, Talita tak bisa banyak memberi tanggapan dan pembelaan diri. "Oh ya, sebelum ada pengumuman yang kita obrolin semalam, aku ada berita gembira." Celine memulai dengan wajah sumringah. "Apa itu? Pasti itu membanggakan. Soalnya kamu nggak pernah gagal buat kita kagum," sahut Vanessa antusias. Talita menghela napas tertahan. Pertunjukan baru yang akan membuatnya semakin terlihat tak berarti, batinnya. "Tadi pagi aku dapat bocoran dari salah satu orang dalemnya produk skincare Glowing bakal jadi brand ambassador terbaru mereka. Wow nggak itu?" "Wow banget, Celine!" pekik Vanessa senang. "Tuh kan aku bilang juga apa. Pesta semalam itu emang ada gunanya. Apalagi kamu disebelah Kak Rey terus, jadi aura bintangmu jadi makin bersinar, nggak sih?" Vanessa memperkuat cerita Celine dengan berapi-api. Celine menarik tangan Talita kemudian menggenggamnya. "Jangan berkecil hati ya. Semua butuh proses dan usaha yang nggak mudah. Orang tuh bisa nilai kok mana yang pantas dapat kesempatan atau mana yang belum." Talita melirik ke arah Reynald yang tersenyum dengan rasa bangga akan pencapaian Celine ini. Meskipun tidak banyak ikut percakapan, tapi kilatan dari kedua matanya sudah bisa gambarkan bagaimana suaminya itu begitu mengagumi semangat dari Celine. "Dan siapa yang sebenarnya lebih pantas untuk mendampingi seorang presdir seperti Kak Rey." Kesimpulan dari Vanessa itu segera mendapatkan tanggapan Veronica yang sudah sejak awal pernikahan putranya dan Talita tidak menyetujui. "Iya. Mama yakin Reynald juga sangat bangga sama kamu. Seperti yang kamu bilang semalam, Talita dan kamu tidak dapat di sandingkan untuk jadi perbandingan." Talita semakin menyadari, wanita muda cantik disampingnya ini memang bermuka dua dan penjilat yang pandai bersilat lidah. Di balik sikap baik Celine padanya, sebenarnya adalah jalan untuk selalu membuatnya terlihat semakin buruk dan tak ada artinya, terutana di hadapan suaminya sendiri. Talita bisa menyaksikan suaminya dan Celine saling menatap berhiaskan senyuman sebagai bentuk cinta yang masih tersisa di antara keduanya. Dilema besar untuk Talita berada pada dua sisi bertahan beserta luka ataukah terus jalani demi amanat di dalam wasiat sang Ayah? "Talita." Talita terperanjat dari lamunan saat suara Reynald terdengar memanggilnya. "I iya?" sahutnya terbata. Tak sengaja tangan kirinya menyentuh mangkok berisi sayur berkuah dan langsung terjatuh dan timbulkan bunyi denting yang lumayan keras. "Auww. Sakit!" "Ma ma maaf," ucap Talita kikuk lalu mundurkan kursi sebelum berjongkok untuk cepat memungut pecahan kecil-kecil di atas punggung kaki Celine yang sempat menjerit panik. "Kamu gimana, sih?!" bentak Celine. "Besok persiapan pemotretan, kalau aku luka begini, kan bisa di batalin. Emang kamu sanggup ganti uang kontraknya, hah?!" Talita menelan salivanya kasar. Titik air di pelupuk mata jadi pertanda betapa batinnya ini semakin sesak hadapi kejadian pahit yang terus berlanjut seolah belum temui akhirnya.Setelah beberapa jam. "Aku senang kamu jadi tegas seperti ini." Mario melingkarkan kedua tangannya pada pinggul ramping Talita dari arah belakangnya. "Kamu jadi ke rumah sakit?" pertanyaan ini bersamaan dengan tarikan untuk memutar tubuh Talita agar menghadap padanya. Mario sangat tak menyukai bila melihat Talita melamun seperti tal menyadari akan keberadaannya. "Iya. Sudah di buatkan janji sama sekretarisnya Pak Wira. Bagaimana denganmu? Apa kamu jadi ke tempat temenmu?" Talita teringat pembicaraan mereka berdua selama perjalanan menuju kantor Tanjunh, corp tadi. "Iya jadi." Mario berganti duduk di tempat presdir utama yang baru saja di siapkan untuk Talita. "Cuma obrolan temu kangen aja. Setelah aku antar kamu ke rumah sakit, aku tinggal sebentar ya. Nanti kalau kamu selesai ketemu dokter, baru jemput kamu. Kita harus segera balik ke New York, selesaikan ujian musim panas kita lalu balik ke sini. Tidak baik terlalu andalkan Pak Wira. Kamu dan aku sekarang punya tanggung jawab
"Celine cerita kalau dia itu cowok mokondo. Sukanya numpang sama cewek-cewek yang dia dekati, tapi tujuannya buat naikin pasaran dia. Orang kayak begini kok dipercaya jalanin proyek besar. Pasti merugikan!" Pernyataan pedas Veronica ini langsung mendapatkan pertentangan Mario. "Terus bagaimana dengan anak anda?" tatapan sinisnya tertuju pada Reynald. "Seenaknya mencampakkan istrinya, tapi setelah tahu siapa dan latar belakang keluarga Talita, sekarang dia mau deketin Talita lagi. Anda nggak tahu gimana kelakuan anak anda tiap kali ke Amerika. Dia seperti penguntit amatiran buat cari perhatian Talita. Tanya sendiri saja sama dia!" tuduhan Mario tidak kalah keras. "Hentikan! Tolong jangan kekanakan!" dengan keberanian demi suasana kondusif, Talita menengahi. "Tolong segera tanda tangani. Kamu nggak mau situasi ini jadi semakin nggak terkendali, kan?" kali ini Talita tertuju pada Reynald. Permintaan sekaligus harapan suaminya itu akan berpikiran sama dengannya. "Baiklah. Akan aku
Beberapa hari telah berlalu, Talita berusaha menutup segala kemungkinan adanya komunikasi dengan Reynald. Menata lagi rencana yang sudah di pikirkan jauh-jauh hari, sampai berganti minggu kemudian baru di realisasikan. "Kamu sudah siap?'" tanya Mario. Ada rasa penasaran setelah memperhatikan Talita lebih cepat dari biasanya. "Kamu bawa kopernya satu doang?" Agak terheran ketika tempat pakaian dan keperluan pribadi yang di bawa Talita itu justru terpilih berukuran kecil, sedangkan rencana perjalanan mereka ke Jakarta adalah dua minggu lamanya. "Iya begitulah. Aku punya segalanya sekarang, dan sudah di siapkan Pak Wira di Jakarta." Walaupun mengungkapkan tanpa gerak angkuh, tapi cukup menggambarkan bagaimana Talita tengah menikmati perubahan besar dari hidupnya sekarang. "Oh, begitu." Mario mendekat, lalu menarik pinggang ramping Talita. "Jadi sekarang kamu benar-benar telah berubah jadi wanita miliarder?" kemudian Mario lebih merapatkan pelukannya, sehingga Talita sampai mendonga
"Aku sudah belajar mencintainya, seperti halnya kamu mulai buka hati lagi untuk Celine." Reynald angguk-anggukkan kepala. "Lalu bagaimana dengan kesehatanmu sendiri? Kamu masih rajin kontrol setelah program fisioterapi?" "Aku akan jawab pertanyaanmu itu, tapi berjanjilah dulu kamu bakal menjawab juga. Dokter Willy pengen kamu sendiri yang cerita padaku." Reynald menghela napas panjang, lalu berikan jawaban cepat. "Tapi kamu juga janji mau temani aku ke rumah sakit rekomendasi dokter Willy, kan?" "Emang kamu sakit apa? Serius, kah?" Reynald mengangguk, tanpa berikan kalimat jawaban. Tak pernah di lihat Reynald begitu rapuh seperti ini. "Dimana Celine? Bukannya dia juga butuh kamu disana? Bagaimana dengan anaknya? Perutnya sudah besar, pasti nggak lama lagi melahirkan." Reynald diam tak menjawab, hanya berikan senyuman tipis. "Apa kanker?" tebak Talita tak menyerah, tapi di tanggapi Reynald dengan gelengan. "Jantung?" lanjutnya, tapi juga mendapatkan jawaban berupa tanda
"Dr.Willy?" Talita peras otak untuk mengingat-ingat. Selama ini memang jarang di libatkan dalam segala hal oleh Reynald, Talitapun lebih cenderung memaksa diri untuk jadi introvert. "Iya, Nyonya. Kita orang yang gantikan Profesor Winoto." "Ah iya. Anda yang datang ke rumah sewaktu Reynald sakit malam-malam itu?" "Iya, benar. Tapi waktu itu anda di minta Nyonya Veronica balik ke kamar. Sepertinya anda juga kurang sehat, ya?" "Oh ya, sekarang saya ingat bener. Mungkin karena sekarang anda pake kacamata sama sedikit brewokan, jadi saya baru ngeh." "Iya, tak apa Nyonya. Saya senang anda temani Pak Reynald disini, karena itu yang memang dia butuhkan sekarang." "Sa sa saya menemani Reynald? Maksud anda bagaimana ya, dok?" Talita jelas terlihat bingung, membuat Willy lebih heran lagi. "Anda mau ke apartemen sewaan Pak Reynald di atas, kan? Saya kira nanti suami anda itu bakal segera kasih tahu anda. Saya sendiri nggak bisa lama-lama. Rujukan sudah bisa di lakukan kapanpun dia
Jejak kenangan membaur di pikiran. Tatapan dan senyuman Reynald mendadak menghiasi lensa bening mata Talita. "Merayumu? Itu cuma agar kamu senang atau pembuktian perasaan cinta?" Kepercayaan diri Talita pada kenaikan levelnya. "What?" Mario ungkapkan keheranan. "Tunggu. Apa ini Talita yang aku sudah kenal?" tanyanya. Bukan pada sesungguhnya, tapi kiasan akan sebuah perubahan besar pada Talita. "Maaf. Aku cuma pengen tahu jawabanmu." Mario tarik tangannya dari atas sandaran sofa, lalu menghela napas agar lebih terlihat rileks. "Ck. Sudahi saja. Kesini saja, dan kita bicarakan hal lain saja." Mengalah adalah akhir dari usaha Mario. Talita tersenyum, lalu mendekati sofa. Di raih tangan Mario, untuk di lingkarkan pada pundaknya. Talita beringsut memeluk Mario dengan menyandarkan kepala di dadanya. "Aku selalu pengen lakuin ini. Please, jangan di protes." Dibelai lembut rambut Talita yang sudah berantakan. Tali-tali rambut anak menyembul keluar dari ikatan yang sudah mulai long