Seorang laki-laki yang terlihat sebaya dengan Arya, berdiri dengan napas terengah-engah.
“Lo siapa?” tanya Arya penuh curiga. Jujur saja dia merasa terkejut dan takut. Dia benar-benar tak mengenali siapa pun yang ada di dalam tempat asing itu.
“Ah … akhirnya nemu orang yang seumuran.” Seketika laki-laki jangkung dan hitam manis itu memeluk Arya. Wajahnya terlihat berbinar.
Mata Arya membulat ketika mendapatkan kontak fisik yang sangat tidak biasa. Buru-buru dia mendorong laki-laki itu menjauh darinya.
“Dih, apaan, sih, peluk-peluk? Gak jelas banget,” sindir Arya sembari berusaha melepaskan pelukan laki-laki itu. Dia tidak suka ketika mendapatkan perlakuan intim seperti itu, apalagi dari seorang laki-laki.
Laki-laki itu melepaskan pelukannya, kemudian berdiri tepat di depan Arya. Dia menarik sudut bibirnya, menampilkan senyuman di hadapan Arya. Sedangkan Arya, dia memindai tubuh laki-laki itu dari atas sampai bawah.
Merasa sedang diamati oleh Arya, laki-laki itu akhirnya buka suara. “Sorry, sorry. Kenalin aku Idun, kamu siapa?” tanyanya sambil mengelurkan tangannya.
Arya sedikit ragu untuk menjabat tangan laki-laki yang ada di hadapannya itu. Bisa saja dia ini sebenarnya orang jahat, tapi berpura-pura baik. Ah, sejak kapan Arya memiliki prasangka pada seseorang? Biasanya dia tidak pernah peduli dan acap kali abai.
“Kamu siapa?” Idun bertanya sekali lagi. Mungkin saja tadi Arya tak mendengar ucapannya.
“Arya,” jawab Arya singkat. Tapi dia tidak membalas uluran tangan Idun. Terpaksa Idun menarik kembali tangannya, kemudian mereka berjalan berdampingan.
“Kamu sudah lama di sini? Maksudnya terakhir kali kamu bangun, apa sudah lama?” tanya Idun lagi.
Arya menggeleng. “Gue baru bangun. Dan btw, jangan ngomong aku kamu lah, geli gue dengernya,” ucap Arya.
“Ah, aku bukan orang kota. Jadi gak biasa ngomong gue elo,” ucap Idun merendah.
Benar dugaan Arya. Idun memang terlihat bukan seperti orang dari kota metropolitan. Penampilannya sedikit ... udik. Terlihat juga dia bukan orang yang rajin merawat dirinya. Arya sampai menarik sudut bibir atasnya tanpa sadar.
“Ya udah terserah.” Arya berusaha tak peduli, walau dia agak geli, ketika mendengar dua orang laki-laki berkata dengan sebutan ‘aku-kamu’.
“Kayaknya aku duluan yang masuk ke sini. Soalnya pas aku bangun nggak seramai ini, masih sepi. Tiba-tiba aja sekarang jadi banyak manusia yang masuk ke sini,” papar Idun.
Arya menghentikan langkahnya, kemudian dia menoleh ke arah Idun. “Berarti, lo udah tahu ini tempat apa?” tanya Arya.
Menggelengkan kepala dan memasang wajah yang memelas. “Sejujurnya aku nggak tahu, tapi aku bisa menebak kira-kira kita ada di mana,” jawab Idun.
“Di mana?” Arya membulatkan matanya, dia terlihat harap-harap cemas menanti jawaban dari Idun.
“Isekai.”
“Hah?” Arya membuka mulutnya setengah. “Wah, lo wibu, nih! Masa di Isekai? Hey, negara kita tuh negara ber-flower, mana ada teknologi macem beginian? Lagian, Isekai itu nggak ada! Lo cuman lagi ngehalu,” sarkas Arya. Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Idun.
Ya, isekai sendiri identik dengan dunia lain. Dunia yang sebenarnya tidak ada sama sekali di dunia nyata. Biasanya istilah isekai ini akrab di kalangan; para pencinta animasi, game, atau manga dari negara matahari terbit.
“Terus, kenapa ada hologram-hologram yang kemudian jadi manusia itu?” Idun menunjuk beberapa hologram yang baru saja muncul di hadapan mereka.
“Kita juga awalnya begitu. Dan … kamu pasti belum tahu apa fungsi jam yang melingkar di pergelangan tangan kirimu, kan?” tanya Idun sembari melirikkan matanya pada jam digital yang melingkar di pergelangan tangan kiri Arya.
Arya langsung melihat jam yang dimaksud oleh Idun. Dia melihat dengan saksama, sampai-sampai dia menautkan alisnya.
“Coba kamu pijit tombol di sebelah kanan,” perintah Idun.
Arya mengikuti instruksi dari Idun, dan dia melihat angka seratus persen di sana. Dia langsung melirik meremehkan ke arah Idun. Ini bukan sesuatu yang aneh bagi Arya.
Idun tersenyum miring, seolah dia paham dengan maksud lirikkan mata Arya. “Tunggu dulu. Sekarang pijit sebelah kiri,” ucap Idun lagi.
Tanpa sanggahan, lagi-lagi Arya mengikuti instruksi dari Idun. Saat dia menekan tombol di sebelah kiri, sebuah layar transparan muncul di hadapannya. Arya terkejut sampai dia memundurkan langkahnya. Matanya kini membulat melihat apa yang ada di hadapannya.
Sejak kapan ada teknologi seperti ini? Memangnya sudah semaju dan sehebat apa negaranya? Jantung Arya tiba-tiba berdetak begitu cepat, saat melihat tulisan dan bar yang ada di sebelah kiri layar.
Di sana terletak foto dirinya dan juga nama lengkapnya, Arya Kusuma. Dia mengerutkan keningnya. Selama dia bermain game, dia tidak pernah menggunakan nama aslinya. Tapi kenapa di sini tertera nama asli Arya? Kemudian dia melihat tiga bar berwarna; hijau dengan tulisan HP—Healt Point—status darah seorang player, merah dengan tulisan stamina, dan warna biru dengan tulisan EXP—Experience—pengalaman, atau aksi pemain untuk naik ke level yang lebih tinggi.
Mata Arya memindai setiap item yang ada pada layar itu. Sungguh, ini mirip dengan di dalam dunia game. Apa yang dikatakan Idun itu benar? Arya langsung melihat ke arah Idun dengan ekspresi terkejut dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“See? Aku nggak bohong dan nggak halu kalau ini isekai, kan?” kata Idun. Kini dirinya puas ketika melihat Arya sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Arya mendadak gugup. Bagaimana ini? Kenapa dia ada di sini? Memangnya di Indonesia sudah ada game dengan teknologi tinggi seperti ini? Dia memindai tubuhnya sendiri, memastikan bahwa itu memamg dirinya.
Namun tiba-tiba suara sirine mengejutkan Arya dan Idun. Mereka berdua mencoba menilik dan mencari dari mana asal suara sirine itu. Kedua kakinya tiba-tiba melangkah, membawa tubuh mereka menuju sebuah tempat.
“Kita ke mana?” tanya Idun panik.
“Gue juga nggak tahu. Gue ngerasa badan gue gerak sendiri. Mungkin kita mau ke tempat suara sirine itu berasal,” jawab Arya.
Ketika para manusia sudah berkumpul disatu titik, tiba-tiba saja sirine itu berhenti. Kini mereka sedang berdiri menghadap ke sebuah bukit besar.
Arya mencoba mendongak, dia berusaha mencari sirine di atas bukit itu. Tapi ternyata nihil, tak ada apa pun di atas sana.
“Hello, Player.”
Terdengar suara seorang perempuan menggema di tempat itu. Suaranya sangat terdengar lucu dan imut. Mereka mencoba memindai sekeliling, mencari dari mana suara itu berasal. Namun usaha mereka tidak membuahkan hasil, tidak ada apa pun di sana.
“Welcome to Let’s Purify Game.”
Sontak mata Arya membulat ketika mendengar suara perempuan itu. Game? Jadi … memang benar Arya sedang di dalam sebuah permainan? Tapi kenapa bisa?
BERSAMBUNG ….
“Welcome to Let’s Purify Game.”‘Oh, shit! Serius ini di dalam game? Terus ini game apa?’ Arya hanya bisa membatin kesal sambil membelalakan matanya.Semua orang di sana mulai gaduh, mencari dari mana sumber suara itu berasal. Begitupun dengan Arya dan Idun yang kini sedang berdiri bersebelahan.Seorang laki-laki tiba-tiba berteriak dengan kencang. “Woy! Tunjukin muka, lo! Di mana lo, anj—”Belum juga selesai laki-laki itu berbicara. Suara seorang perempuan langsung menyela ucapan laki-laki itu. Suara itu adalah milik perempuan yang tadi menyapa mereka semua.“Wah, manusia-manusia ini sudah tidak sabar, ya?"Mendengar perkataan itu Arya memicingkan matanya. Walau banyak pertanyaan di dalam otaknya, tapi dia tak ingin gegabah. Dia harus mendengarkan dengan saksama. Arya mencoba untuk menahan emosi yang mulai bergejelok di dalam dadanya.“Bener! Tunjukin mukamu!” seru ora
Arya membelalak, badannya kini terasa dingin, tubuhnya seolah membeku. Terkejut, ketika melihat foto sang ibu ada di dalam daftar orang yang mengirimnya ke sini. “Ibu?!” ucap Arya dengan nada bergetar. Mata itu kini berkaca. Arya kini merasakan lututnya lemas, dia ingin ambruk seketika. Namun, dia berusaha menahannya. “Kenapa ada Ibu di sini? Ini bohong, kan?” teriak Arya. Dirinya kini frustrasi ketika tahu ibunya setega itu kepada anak semata wayangnya. “Kenapa Ibu? Kenapa harus ada Ibu di daftar ini?” raung Arya. Seketika Idun langsung memegang pundak Arya, mencoba menenangkan partner-nya. “Tenang. Jangan marah dan emosi. Siapa tahu dia hanya ingin memprovokasi,” ucap Idun, yang berusaha berlaku tenang. Padahal kenyataannya dia sendiri sedang panik. Laki-laki jangkung itu tak menyangka, karena teman sekolahnya yang mengirim dirinya ke sana. Bahkan wali kelasnya pun mengirim Idun ke dalam game sialan ini. Menoleh ke arah Idun
“Woah! Kamu pilih swordsman?” tanya Idun yang kegirangan dengan role yang dipilih Arya. Arya hanya menarik sudut bibirnya, tersenyum dengan percaya diri. Walau sebenarnya tidak ada yang terjadi pada Arya, setelah dia memilih role tersebut. “Lo apa?” tanya Arya. Idun menggeleng. Laki-laki itu bingung harus memilih role apa. Dia tidak memiliki pengalaman banyak dengan game RPG. Arya mencoba memindai postur tubuh Idun. 'Tinggi dan badannya pun sedikit berisi.' Arya hanya berbicara dalam hati. Kemudian terdengar sebuah bunyi peringatan dari layar dashboard milik Idun. Ternyata waktu yang dimilikinya hanya tiga puluh detik lagi. “Lo pilih guardian aja!” perintah Arya yang mendadak panik. “Hah?” “Cepet! Waktu lo nggak banyak. Lo nggak mau mati konyol gara-gara telat milih role, kan?” paksa Arya. Mendadak Idun pun panik. Benar, dia tidak ingin mati konyol hanya karena telat memilih role dalam game. Alhasil, tanpa
"Jadi, buat apa kita ke hutan?" tanya Idun. Saat ini Arya dan Idun sedang berjalan memasuki hutan belantara. Dengan bermodalkan senjata knife yang Arya beli dan rope yang Idun beli. Mereka mencoba mencari peruntungan untuk bisa membeli senjata yang sesuai dengan role mereka. "Berburu." Arya menjawab dengan singkat. Matanya mencoba melihat ke beberapa titik. Dia sedang mencari hewan, yang sekiranya bisa tangkap dengan alat sederhana miliknya. "Hah? Untuk? Bukannya tugas kita itu memiliki senjata. Kenapa harus berburu?" Arya mendengar sayup-sayup suara dari semak-semak yang berjarak sekitar dua meter darinya. "Ssst!" Laki-laki itu memberikan kode pada Idun untuk diam; tidak bersuara dan berjalan pelan mendekat ke arah sema
Dari semak itu muncul seorang wanita berambut panjang bergelombang. Matanya berwarna cokleat. Tubuhnya ramping dan tinggi, lebih tinggi dari Arya. Jika dilihat secara saksama, sepertinya perempuan itu berumur sekitar 28 tahun.“Aku dengar, di sini ada yang mau berlaku curang, ya?” ucap perempuan itu sembari menyeringai.Arya dan Idun mendadak terpaku di tempat. Mereka tak bisa bergerak sama sekali. Perasaan takut kini menjalar di setiap jengkal tubuhnya. Sesekali mereka saling melemparkan pandang, memberi isyarat untuk tetap tenang dan tidak gegabah.“Aku dengar, di sini ada yang mau berlaku curang, ya?” Karena tidak ada jawaban, baik dari Arya atau Idun, perempuan itu kembali mengulangi pertanyaannya.Menggigit bibir bawahnya, Arya tak bisa lagi
Langit sudah terlihat mulai menggelap. Untung saja perangkap untuk burung kasuari itu selesai sebelum matahari benar-benar terbenam.“Mana lokasi pohonnya?” pinta Idun.Arya yang sedang menyantap makanan, yang dia dapatkan dari hutan, hanya bisa menghela napas. “Lo mau ke sana malem-malem begini?” tanya Arya.“Ngg ... nggak, sih,” jawab Idun.“Ya udah, tunggu. Setelah besok kita dapat hasil buruan, kita ke sana. Sekalian jalan buat jual tu burung.”“Ah, tadi habis bikin perangkap. Sekarang habis dapat buruan. Kamu sengaja, ya, Arya?”Arya tak menanggapi, dia langsung membaringkan tubuhnya. Lalu memiringkan ke sebelah kanan, agar Idun tak melihatnya.Setelah hening sejenak, Arya pun akhirnya bersuara. “Gue ngerasa ada yang aneh sama Tomochi. Mending lo ikuti apa kata gue, kalau lo mau selamat,” tukasnya. Namun, Idun tak menggubris ucapan Arya, dia hanya mende
Kaki itu terasa berat untuk melangkah, seolah sudah menyatu dengan tanah yang dipijaki Arya. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat, ketika melihat seekor burung kasuari berlari menghampiri dirinya.Arya menutup matanya, seketika rasa keberanian yang tadi tertanam di dalam dirinya hilang begitu saja. Dia merasa tidak bisa beranjak. Apa dia sedang dihipnotis? Entahlah, tapi Arya mendadak pasrah jika harus mati konyol gara-gara diseruduk atau ditendang seekor burung.“Arya!” Idun meneriaki Arya lagi.“Kyaaaakk!” pekik sang burung kasuari.Ternyata burung itu masuk ke salah satu perangkap yang dibuat Arya. Namun, karena di sana tidak dipasang tali untuk menjebak dan mengikat kaki si burung. Alhasil burung itu hanya terjerembab dan masih bisa untuk bangkit.“Arya, lari!” Idun berteriak lagi, meminta partner-nya itu segera berlari dan meninggalkan tempatnya sekarang.Arya yang mendengar namanya dipanggil dua k
Arya masih ingat betul dengan suara perempuan itu. Benar saja, saat dia menoleh, matanya mendapati sosok Tomochi.“Ayo, kalian bertiga ikut denganku. Akan aku buktikan bahwa dengan menyimpan uang di Pohon Kitos, uang kalian akan bertambah dengan sendirinya,” papar Tomochi.“Cih!” Gadis yang bersama Arya dan Idun mendengus. “Urusan gue udah selesai, ya. Gue pamit duluan,” kata gadis itu. Dia langsung berjalan meninggalkan Arya dan juga Idun. Namun, tiba-tiba anak gadis itu berbalik dan kembali menghampiri Arya.Gadis itu mendekatkan dirinya pada Arya, lalu berbisik. “Hati-hati, jangan percaya siapa pun di sini. Ingat satu hal lagi, jangan menjadi pemalas.”Setelah itu gadis berambut pendek itu benar-benar pergi meninggalkan Arya dan Idun. Arya langsung tertegun saat mendengar kalimat yang baru saja dikatakan gadis yang tak ia ketahui namanya.“Ah, kamu!” Idun nampak sumringah saat melihat k