Share

Bab 2

Author: Musim Semi Sanai
Malam itu, Nash tidak pulang.

Quinn berendam di dalam bak mandi, menggosok tubuhnya berulang kali, berusaha keras menghapus semua jejak kotor yang menempel. Sayangnya, meskipun kulitnya sampai lecet dan berdarah, semua yang terjadi semalam tetap seperti pisau yang menyayat dirinya tanpa henti.

Quinn menangis sampai pingsan. Dalam kesadarannya yang samar, dia merasakan sepasang tangan hangat mengangkatnya.

"Quinn!" Suara yang familier terus memanggil namanya.

Quinn membuka matanya dengan susah payah, mendapati bahwa entah sejak kapan Nash telah kembali. Wajahnya yang biasanya dingin kini penuh kepanikan.

"Quinn, jangan tidur! Aku bawa kamu ke rumah sakit!"

Quinn menatapnya. Dalam kesadaran yang lemah, dia seolah-olah merasa dirinya kembali ke masa lalu.

Saat mereka berusia 17 tahun, gempa besar melanda ibu kota. Saat balok beton kelas mereka ambruk, Nash mempertaruhkan nyawanya untuk melindunginya.

Mereka terjebak di reruntuhan selama lima hari penuh. Tak ada setetes air pun yang masuk ke tubuh mereka. Quinn bahkan mulai berhalusinasi, kehilangan keinginan untuk bertahan hidup.

Namun, Nash terus menyemangatinya, memanggil-manggilnya saat dia hampir tertidur.

Setelah lolos dari maut, mereka pun bersama. Saat itu, Quinn yakin hubungan mereka yang sudah melewati batas antara hidup dan mati, akan abadi. Apa pun rintangannya, mereka pasti bisa melewatinya.

Yang tak dia sangka, di tahun ketiga pernikahan mereka, Nash berselingkuh.

Saat Quinn sadar, dia sudah berada di rumah sakit. Begitu membuka mata, dia melihat Nash sedang tertidur di pinggir ranjangnya.

Pakaian yang dipakainya masih sama seperti kemarin. Wajahnya pucat, kantong matanya hitam. Dia tampak sangat letih.

Quinn menatapnya lama, lalu perlahan mengangkat tangan untuk menyentuh pipinya. Nash langsung terbangun. Begitu melihat Quinn sadar, dia langsung memeluknya erat-erat.

"Quinn, kamu buat aku ketakutan setengah mati! Untung kamu nggak kenapa-napa! Kemarin aku nggak seharusnya bicara seperti itu ke kamu!"

Pagi tadi saat Nash pulang ke rumah, dia menemukan Quinn terbaring di dalam bak mandi. Mata terpejam, air dingin yang mengelilinginya sampai berubah merah. Saat itu, Nash hampir kehilangan akal sehatnya.

Air mata jatuh satu per satu. Quinn mendorongnya sambil tersenyum pucat. Dengan suara terisak, dia memohon, "Nash, kita ngobrol baik-baik ya?"

Nash langsung mengangguk. "Oke! Kita ngobrol baik-baik! Tapi, kamu jangan pernah lakuin hal bodoh lagi ya?"

"Sebenarnya semalam aku ...."

Tiba-tiba, ponsel Nash berdering. Dia melihatnya sekilas, lalu langsung mematikan. Ekspresinya tampak agak canggung. "Quinn, kamu ngomong saja."

Saat berikutnya, ponselnya berbunyi lagi. Quinn sempat melirik dan melihat nama kontak di layar, "Sachi Sayang".

Dalam sekejap, semua energi dalam tubuhnya hilang. "Nggak apa-apa, angkat saja. Aku lagi capek. Mau istirahat dulu," katanya pelan sambil kembali berbaring.

Nash menatapnya sejenak, lalu diam-diam keluar dari ruang rawat.

Beberapa detik kemudian, Quinn menerima pesan dari nomor tak dikenal.

[ Berani ke basemen? ]

Quinn mengepalkan tangan dengan erat. Awalnya dia ingin mengabaikannya, tetapi kakinya malah membawanya ke sana.

Di basemen, Sachi mencengkeram lengan baju Nash sambil menangis tersedu-sedu. "Apa aku boleh mempertahankan anak ini? Ini anak pertama kita, aku nggak mau gugurin!"

Nash mengerutkan kening, suaranya dingin. "Aku dan Quinn bahkan belum punya anak. Mana mungkin kamu punya duluan. Setelah aku dan Quinn punya anak, kamu mau lahirin berapa pun silakan."

Sachi menangis semakin keras. "Tapi, aborsi itu sakit! Aku takut! Waktu kamu tidur sama aku, kamu bilang mau tanggung jawab!"

Nash hanya bisa menghela napas, lalu memeluknya sambil membujuk, "Aku temani kamu nanti. Terus, aku beliin kamu beberapa apartemen. Aku kasih semua yang kamu mau."

Sachi memeluk leher Nash. "Aku mau kamu lamar aku sekali saja. Kalau nggak bisa nikah benaran, pura-pura nikah nggak apa-apa, 'kan?"

Nash diam, keningnya berkerut. Sachi langsung cemberut. "Kamu ini nggak pernah tepati janji!"

"Ya, ya, aku janji deh!" Melihat gadis itu begitu sedih, hati Nash pun luluh.

Sachi langsung tersenyum cerah. "Cincin dan gaunnya harus sama kayak yang kamu kasih ke Kak Quinn ya!"

"Oke, nggak masalah."

"Aku juga mau ke kastel!"

"Ya, ya, terserah kamu."
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 27

    Quinn terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Tunanganku diperkenalkan oleh teman ibuku. Latar belakang kami setara dan kami akan segera menikah."Nash mengepalkan tangan, masih belum menyerah. "Dari caramu bicara, sepertinya kalian nggak punya dasar perasaan yang kuat?"Quinn tersenyum. "Punya atau nggak, apa bedanya? Kalaupun ada, mungkin hasilnya tetap sama."Nash tak sanggup berkata apa pun lagi. Dia terdiam lama, lalu memaksakan senyum sambil berkata lirih, "Kalau begitu, semoga kamu bahagia.""Kamu juga." Quinn tersenyum sopan sekaligus asing, lalu berbalik dan pergi meninggalkan kafe.Nash menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Air mata pun menetes dari matanya. Jadi, hubungan mereka benar-benar sudah berakhir.Dalam perjalanan pulang dengan mobil, Quinn melihat sosok yang familier sekaligus asing.Seorang wanita dengan wajah letih dan pakaian yang sudah pudar warnanya sedang bertengkar hebat dengan pedagang kaki lima. Di sampingnya, dua anak kecil menangis tanpa henti.Itu adala

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 26

    Quinn tidak lagi memedulikannya dan naik mobil bersama kedua orang tuanya. Sang kepala pelayan yang menyaksikan semuanya hanya bisa menghela napas dan berkata, "Tuan Nash, lebih baik pulang saja. Jangan menyiksa tubuh sendiri."Namun, Nash tidak mendengar apa pun. Tubuhnya yang membeku terus gemetar. Dia bergumam lirih, "Aku sangat menyesal .... Kenapa semuanya jadi seperti ini ...."Suara mesin mobil segera menariknya kembali ke kenyataan. Matanya membelalak saat dia buru-buru berlari mengejar. "Quinn, jangan pergi!"Namun, tubuhnya yang lemah tidak mampu lagi menahan beban itu. Baru mengambil beberapa langkah, Nash ambruk ke tanah dan muntah darah sebelum akhirnya pingsan.Dari dalam mobil, Quinn secara refleks menoleh ke belakang dan tepat melihat Nash jatuh dengan lemas di salju.Tubuh kurusnya terlihat sangat menyedihkan di tengah putihnya salju, tetapi itu semua bukan lagi urusannya.Quinn menenangkan diri dan memejamkan matanya.Kehidupan di Yunan sangat tenang. Setelah masuk se

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 25

    Brak! Pintu kelas terbuka dengan keras, Nash menerobos masuk. Dia langsung menarik gantungan jimat dari tas Quinn dan melemparkannya ke lantai!Quinn segera mendorongnya. "Kamu belum selesai juga? Apa hubungannya urusanku denganmu?"Setelah berkata begitu, dia memungut gantungan itu dari lantai dan meminta maaf kepada Vin.Mata Nash memerah. "Sekarang kamu mau terima dia ya? Kamu sengaja bikin aku sesakit ini? Kenapa sih nggak bisa kasih aku satu kesempatan?"Quinn memutar bola matanya. "Pergi periksa ke rumah sakit jiwa sana!"Tubuh Nash bergetar karena marah. Dia menoleh dan memelototi Vin. "Asal kamu tahu ya, dia itu milikku! Jangan pernah mimpi bisa mendapat Quinn!"Vin mengernyit. "Nash, Quinn itu bukan barang. Dia manusia. Nggak ada yang namanya milik. Kalau kamu benar-benar suka dia, kamu harus hormati dia."Nash pun membentak, "Apa hakmu ajari aku? Jangan pikir aku nggak tahu niat busukmu. Jauh-jauh dari Quinn!"Tepat saat itu, bel pelajaran berbunyi. Guru masuk ke kelas dan la

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 24

    Tanpa ragu, Quinn langsung menunjuk ke arah Sachi. "Ayah, Ibu, semua boleh dibantu, kecuali dia."Ayah dan Ibu Quinn langsung mengangguk. "Oke."Sachi awalnya mengira bahwa nilai akademisnya yang cemerlang akan membuatnya terpilih untuk mendapatkan bantuan. Tak disangka, hanya dengan satu kalimat dari Quinn, harapannya pupus. Dia langsung menangis tersedu."Tolong ... aku benar-benar butuh kesempatan ini! Aku suka belajar, aku nggak mau putus sekolah!"Quinn bisa melihat bahwa Sachi tidak bereinkarnasi seperti dirinya. Dengan ekspresi datar, dia berkata, "Kalau begitu, cari bantuan ke orang lain. Aku kasih saran, cari saja Nash, putra Keluarga Suwandi. Mungkin kalau kamu minta tolong ke dia, dia bakal bantu."Sachi langsung berlutut di tempat. "Kumohon ... kalian kaya raya. Pasti sanggup kalau tambah aku lagi."Quinn tak ingin melihatnya lagi, jadi segera memerintahkan pengawal, "Bawa dia ke rumah sakit. Suruh dia temui Nash!"Bukankah Nash menyukai Sachi? Ya sudah. Di kehidupan ini, d

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 23

    "Putra keluarga orang kaya itu sampai-sampai lompat ke danau demi Quinn! Sampai jidatnya berdarah segala, benar-benar cinta mati ya!""Umur baru belasan, mana ngerti cinta. Anak-anak paling gampang bertindak nekat, nanti kalau sudah dewasa pasti nyesal!""Menurutku Quinn itu hatinya keras banget! Sudah begini pun tetap nggak tersentuh!""Mungkin dia nggak suka orang yang menyiksa diri sendiri. Sekarang si Nash malah pingsan dan demam tinggi."Quinn baru saja kembali ke kamar rawat saat mendengar beberapa perawat sedang membicarakan kejadian malam ini.Dia pura-pura tak mendengar. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, dia langsung beristirahat.Di sisi lain, Nash terus demam tinggi. Tubuhnya seperti terjebak di antara sadar dan tidak.Menjelang tengah malam, Nash mulai berhalusinasi. Dia melihat Quinn dari kehidupan sebelumnya, berdiri sambil menatapnya dengan mata merah.Pakaian Quinn tampak compang-camping, di dadanya tertancap sebilah belati berkilat dingin. Setetes demi setetes d

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 22

    Saat ini sudah memasuki akhir musim gugur. Cuaca mulai dingin dan suhu malam hari tak berbeda dengan musim dingin. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu pun tak bisa menahan diri untuk berbisik-bisik."Anak laki-laki itu masih sakit. Tega banget!""Jangan asal ngomong, kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka"Seperti yang dikatakan para penonton, Nash memang masih sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit tadi, dia mulai mengalami demam ringan dan sekarang tubuhnya sangat tidak nyaman.Angin dingin bertiup, membuatnya batuk beberapa kali. Wajahnya pun tampak semakin pucat. "Quinn, kamu serius sama omonganmu tadi?"Quinn menjawab dengan dingin, "Terserah kamu mau percaya atau nggak."Nash mengepalkan tangannya dan memaksakan senyuman. "Karena kamu sudah ngomong begitu, aku bakal loncat!"Usai berkata begitu, dia langsung berlari menuju danau buatan!"Gawat! Dia benaran mau nyebur ke danau!""Cepat tarik dia! Bisa mati kalau nekat!"Orang-orang yang melihat sontak p

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status