Dering alarm ponsel membuat Julio kembali pada kesadarannya. Sepasang mata elang itu terbuka, lensanya berusaha menerima cahaya lampu dari langit-langit ruang kamar. "Argh—" Julio mengerang ringan. Dia merasakan nyeri luar biasa di kepalanya, lehernya sedikit sakit sebab posisi bantal yang salah. Julio jelas kebingungan saat mendapati dia bangun dalam keadaan telanjang. Yang membuat dia bingung, bukan apa yang dia lakukan semalam. Julio mengingat semua yang dia lakukan. Julio segera bangun, memakai kembali pakaiannya sebelum hari semakin siang. "Aku harus menemui Jenar." Julio bergumam pada dirinya sendiri. "Kenapa dia tidak membangunkanku?" Julio memandang dirinya sendiri dari pantulan cermin di depannya. Jelas-jelas keadaannya kacau. Dia tak ingin menghabiskan waktunya di sini tetap tujuannya adalah menemui Jenar...."Maaf karena tidak memberi kabar sejak kemarin." Julian menatap punggung istrinya. "Aku tidak bisa men
"Tentang apa yang kita lakukan semalam. Aku yakin kamu mengingat semuanya, bukan?" tanya Julio penuh harapan.Tentu, Jenar tidak bisa langsung menjawabnya. Dia bergeming cukup lama di tempatnya.Julio melangkah lagi. Sekarang jauh lebih dekat dengan Jenar. "Meskipun kamu dalam keadaan mabuk berat, aku yakin ada sedikit ingatan di dalam kepalamu."Setelah berhasil menenangkan dirinya dalam diam, Jenar mencoba untuk melengkungkan senyum. Dia menggelengkan kepalanya dengan keyakinan yang terus bertambah. "Emangnya apa yang sudah kita lakukan kemarin?" Jenar tertawa kecil dengan kalimatnya sendiri. "Aku tidak yakin kita melakukan sesuatu yang—""Hanya aku yang terbangun dalam keadaan telanjang di atas ranjang?" Julio memotong argumen Jenar. "Jadi semalaman aku hanya tidur seorang diri?"Julio kembali melangkah, tentu saja dia memangkas jarak agar suaranya tidak perlu ditinggikan. "Lalu semalam aku hanya berhalusinasi?"Jena
"Aku berangkat kerja dulu. Kamu bisa beristirahat." Julian mengusap pundak Jenar dengan lembut. "Kamu melakukan banyak hal pagi ini."Jenar tersenyum tipis. Kepalanya mengangguk tak yakin. "Itu sudah kewajibanku, Mas Julian.""Kamu benar. Kamu banyak berusaha dan aku menghargainya." Julian mencium puncak kepala Jenar. "Aku beruntung menikah denganmu."Kalimat itu tidak bisa menjadi penenang untuk Jenar setelah dia tahu apa yang terjadi di belakangnya. Benar memang tidak mengkonfirmasi bahwa itu termasuk tindak perselingkuhan di belakangnya. Bukannya Jenar tidak mau melakukan itu, tetapi dia takut untuk melakukannya. Dia belum bisa menerima kemungkinan buruk yang mungkin terjadi padanya. "Kamu hati-hati di jalan. Jangan terlalu banyak memaksakan diri untuk bekerja," ucap Jenar dengan lembut. "Kamu tidak boleh sakit. Nanti Jean jadi sedih."Julian tertawa kecil. "Kamu ini ....""Kalau begitu aku pergi dulu. Ada urusan di kantor yang harus aku lakukan sebelum jam kerja dimulai," imbuh
Jasmine tersenyum seringai ketika melihat Jenar tampak gelisah di depannya. Tanpa dia memberikan penyerangan, Jenar sudah merasa terintimidasi."Katakan saja apa yang kalian lakukan." Jasmine bersedekap di depannya. "Aku rasa pertanyaanku sederhana, kamu tidak perlu menjelaskan detail jika memang kamu tidak melakukan sesuatu yang salah."Jenar memalingkan wajahnya. Sekuat tenaga dia berusaha menyembunyikan kecemasan yang tiba-tiba datang, nyatanya dia tidak bisa membohongi gadis cerdik seperti Jasmine."Kenapa diam saja?" Jasmine mengubah nada bicaranya. "Aku melihat kalian masuk ke kamar tamu, tetapi aku tidak melihat kalian keluar setelah itu.""Awalnya aku berpikir mungkin saja kak Julio keluar setelah memastikan kamu tidur di sana," ucap Jasmine. Dia mulai mengintimidasi posisi Jenar.Jasmine tertawa kecil tiba-tiba. "Anehnya aku melihat kamu keluar dari kamar itu besok paginya, tapi aku tidak melihat Kak Julio di kamarnya."Jenar hanya bisa diam ketika Jasmine mengutarakan isi ke
"Luce?" Julian sedikit terkejut ketika melihat mantan istrinya berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. "Kenapa kemari?" tanyanya. Luce tak memberi jawaban, dia tersenyum lalu memeluk Julian. Julian tak punya pilihan lain selain membalas Luce, akan aneh jika memarahinya dan menyuruh Luce pergi begitu saja. Kenyatannya Julian berhutang banyak pada mantan istrinya ini.Luce melepas pelukan. "Aku ada kabar baik untuk kamu, Julian," ucap Luce penuh perhatian. Dari caranya tersenyum, Julian menebak itu adalah kabar baik tentang kunjung mereka kemarin malam. "Tentang Mr. Pratt?" tanya Julian menelisik. Harapannya begitu besar pada pria berkebangsaan Amerika-Indonesia itu. Luce manggut-manggut. "Aku rasa kita harus membicarakan ini di luar kantor. Aku akan cari tempat yang nyaman, Julian."Julian terdiam sesaat. Dia punya banyak pertimbangan di sini. Lelaki itu terlalu jauh melangkah bersama Luce. Sejenak melupakan kenyataan tentang Luce dan dirinya yang tidak seharusnya bermalam bersama
Julian membisu. Dia bahkan tidak berani memandang perempuan yang jauh lebih muda darinya yaitu. Sarah menangkap basah dirinya, meskipun Julian tidak yakin dia sedang berselingkuh."Aku tidak akan mengadukannya pada Jenar." Sarah membuat pembicaraan. "Itu pemikiranku sebelumnya."Alis Julian pun terangkat, melihat bagaimana Sarah mempermainkan pendiriannya."Tapi setelah mendengar kalimat dari wanita itu, aku jadi berpikir ulang untuk mengatakannya," imbuh Sarah. Senyumnya menghina keresahan Julian.Julian mengerti persahabatan mereka jauh lebih penting dari apapun. Dia tersenyum tipis pada Sarah. "Biarkan aku yang bilang sendiri padanya."Sarah yang awalnya diam tiba-tiba tertawa. Baginya, kalimat Julian menggelitik perutnya. "Aku harap kamu mengerti apa maksudnya." Julian berusaha berbicara dengan lembut. "Ini masalah rumah tanggaku. Dia sudah menjadi istriku sekarang, bukan lagi teman dekatmu."Sarah menganggukkan kepalanya. "Pak Julian berpikir kalau dia sudah menikah itu artinya
Bagi Julian dia baru saja diselamatkan dari bahaya yang besar. Sarah benar-benar mempermalukan dan mempermainkan dirinya, sepertinya memang itulah tujuannya. "Jenar. Aku ingin tanya sesuatu sama kamu," ucap Julian. Dia menghentikan Jenar yang hampir melepaskan jaketnya.Jenar memandang Julian dengan polos, seperti tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. "Kenapa kamu datang di cafe itu tadi?" Julian sedikit gagap dalam berbicara. Rasa takut mengusir kenyamanannya. Julian berharap penuh pada Jenar saat ini. "Kamu tidak seharusnya datang, karena di sana tidak ada apa-apa."Jenar yang awalnya terdiam kini perlahan-lahan melengkungkan senyum. "Karena Sarah mengirimi aku pesan, jadi aku datang ke sana."Julian masih belum dilegakan. Rasa was-was masih bergemuruh di dalam hatinya. "Emangnya dia mengirim pesan apa sama kamu, sampai-sampai kamu jauh datang ke sana dan meninggalkan rumah?"Jenar berusaha untuk terlihat biasa saja, meskipun ada pertanyaan besar di dalam kepalanya. "Sarah yan
Jenar membawa banyak makanan, kiranya dia ingin menghibur Julio yang duduk sendiri di taman belakang rumah."Tumben tidak main ke luar?" Jenar duduk tak jauh dari Julio. "Kamu jarang di rumah kalau jam segini."Julia tidak mau menggubrisnya, berusaha untuk mengabaikan Jenar saat ini. "Kamu akan segera lulus, jadi pastikan kamu melakukan semuanya dengan maksimal." Jenar berbicara sembari sibuk menata piring buang di depan Julio. "Jangan menyesali apapun.""Kenapa berpura-pura?" Julio mengubah topik. Mata elangnya berusaha membuat tatapan intens. Jenar memandang ke arahnya. Sekarang dia berpikir ulang untuk melanjutkan pembicaraan mereka. "Kamu bersikap seolah-olah tidak ada apapun di antara kita?" Julio tidak mau mengalah. "Aku yakin kamu ingat semua yang terjadi malam itu."Jenar hanya memandangnya, berdebat dengan Julio pun tidak akan ada untungnya. "Jenar, berhenti berpura-pura!" Julio kesal di tempatnya. "Aku tahu kamu menahan sesuatu dalam hatimu.""Julio, aku adalah ibumu." J