"Lihat ke sini?" Jenar berusaha untuk menarik fokus Jasmine. Sesekali dia menarik dagu lancip Jasmine agar mereka saling memandang. Jasmine menggerutu. "Aku bisa mengobati lukaku sendiri." "Tidak ada bantahan kali ini!" Jenar mulai meninggikan nada bicaranya. Dia tak bisa tidur nyenyak jika belum memastikan Jasmine baik-baik saja. Jenar mulai mengambil kain basah untuk membersihkan luka Jasmine. Dia menatap sudut bibir Jasmine yang memerah, bekas tonjokan kuat dari Julian. "Lagian kenapa juga kamu harus bertengkar sama papa kamu?" Jenar terus aja mengutarakan pertanyaan yang sama. Dia sudah menanyakan itu tadi. Jasmine tidak memberi jawaban. Dia menoleh ke arah lain. "Kalau hanya karena uang jajan kamu kurang, kamu bisa minta padaku. Aku dapat uang bulanan yang berlebih, jadi kamu bisa memintanya." Jenar berucap. Suaranya dibuat begitu lembut agar tidak mengintimidasi Jasmine. Jenar tidak mau kalau dirinya malah menambah luka di hati Jasmine malam ini. "Kamu tidak perlu berteng
"Kamu membolos dan pergi ke mana?" tanya Julian lagi. Sekarang ini pandangan matanya benar-benar tidak ramah. Jenar mulai ketakutan dengan kemarahan Julian malam ini.Jenar masih ingat bagaimana Julian menendang tubuh Julio dan menonjok wajah Jasmine. Nyatanya, pria ini tidak benar-benar ramah seperti yang dia duga."Mas," ucap Jenar dengan lirih. "Biarkan dia beristirahat dulu dan aku juga yakin kamu lelah bekerja seharian.""Berhenti untuk ikut campur, Jenar!" Julian akhirnya mau menjawab kata-katanya. "Ini adalah urusanku dengan putriku. Aku yang akan mendidiknya dengan caraku."Julian menatap Jenar. "Selama ini aku sudah terlalu lunak padanya. Aku seharusnya tidak melakukan hal seperti itu. Dia menja
"Pada akhirnya kamu mengadukan aku sama papa?" Jasmine mendekati Jenar yang sedang menyiram tanaman. Dia memandang dengan tak suka, sisa kejadian kemarin malam. Jenar menatapnya. Dia hanya mengembangkan senyum yang begitu manis. "Jadi pada akhirnya kamu mulai menunjukkan sisi asli dalam dirimu?" tanya Jasmine lagi. Jasmine memendam amarah. Dia jengkel semalaman penuh. Jasmine mengerjap kasar. "Aku kira kamu akan memihak aku sesuai dengan janjimu. Namun, pada akhirnya kamu malah mengkhianatiku.""Kapan aku berjanji kalau aku akan memihakmu?" tanya Jenar. Jenar tertawa kecil menutup kalimatnya. "Aku rasa aku tidak pernah mengatakan itu sebelumnya."Jasmine berdecak. Amarahnya tidak bisa dia olah lagi. Jasmine sudah menunggu Papanya untuk berangkat kerja, meskipun ini adalah akhir pekan. Itulah Julian Liandra, si pekerja keras yang tak kenal lelah. "Lagian kenapa juga kamu selalu menentang papa kamu?" tanya Jenar. Dia meletakkan penyiram tanaman di sisi kakinya. "Dia berharap kamu me
Julio mengobati luka bakar Jenar dengan begitu hati-hati, seakan dia takut jika itu akan merusak kulit indah milik Jenar.Jenar sedari tadi tidak berani berkata-kata, Bahkan dia sesekali menahan napasnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan badai. Petir tidak menyambar-nyambar dan semua keadaan baik-baik saja. Namun, anehnya Julio berubah begitu drastis hanya dalam satu malam."Sudah selesai," kata Julio memecah keheningan. Pandangan matanya tertuju pada Jenar. "Sudah selesai," katanya lagi mengulang. Sepertinya Julio tahu Jenar gagap dan kikuk tiba-tiba.Jenar langsung menggeser posisi duduknya, sedikit menjauh dari Julio saat dirinya kembali mendapati Julio yang ketus dan dingin."Terimakasih," ujar
Luce menunggu di depan kantor Julian. Katanya, Julian sedang menemui seorang klien untuk urusan yang penting. Cukup lama dia menunggu, akhirnya mobil Julian terlihat menepi di sisi trotoar tak jatuh dari tempatnya menunggu. Anehnya, alih-alih kembali ke kantor di memilih berhenti di restoran Jepang di sisi jalanan.Luce keluar dari dalam mobilnya. Dia menyeberang jalan, menghampiri Julian. "Julian!" Luce mempercepat langkah kaki. Julian berhenti di ambang pintu masuk restoran. "Aku sudah menunggumu, tetapi kamu malah mampir ke sini," kekehnya. Luce memandang raut wajah Julian yang tak seperti biasanya. Luce mencoba menerka. "Kamu ... sedang ada masalah?" Julian menghela napas. "Aku belum makan siang. Aku lapar," sahut Julian seadanya. "Kamu mau makan siang bersamaku?" Julian tiba-tiba bersifat lunak padanya. Tak ketus seperti biasanya.Luce awalnya hanya terdiam, sesekali dia menatap keadaan sekitar. Seakan dirinya sedang memastikan, tidak ada yang melihat mereka. "Kalau tidak
"Perusahaanmu akan bangkrut?" Luce memandang mantan suaminya dengan penuh kecemasan. "Kamu jangan main-main kalau berbicara! Kamu punya beberapa cabang di dunia, bagaimana bisa itu semua bangkrut dalam bersamaan?"Julian menghela napas. "Tidak semuanya. Namun, aku tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan jika salah satu pondasi sudah mulai goyah," ucap Julian lagi.Julian tidak punya semangat hari ini. Pertemuannya dengan kliennya adalah hal yang paling buruk yang dialami sekarang."Perusahaan yang ada di Indonesia punya masalah, aku mengalami kerugian besar." Julian menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini aku tidak punya cara untuk menutup kerugian itu, selain menutup perusahaan sementara."
Jenar mendorong pintu kaca di depannya. Pandangan matanya menelusuri setiap sudut ruangan. Jenar tersenyum setelah dia melihat Sarah duduk di paling pojok, dekat tangga naik ke lantai dua."Sarah!" Jenar menghampirinya sambil melambaikan tangan. Dia menarik kursi di depan Sarah. "Kenapa mengajakku bertemu sore ini?" Jenar langsung menyerobot ke inti pembicaraan. Padahal napasnya saja masih terkesan ngos-ngosan. "Ada yang penting?"Sarah juga tidak berbasa-basi. Dia meletakkan ponsel di depan Jenar. Layar menunjukkan apa yang dia dapat siang ini. "Lihatlah kelakuan suamimu, Jen."Jenar mengerutkan kening. "Pak Julian?" "Memangnya kamu punya suami lain?" kekeh Sarah, tawanya jelas-jelas dipaksakan. Tidak datang dari dalam hati.Jenar mengambil ponsel Sarah. Melihat isinya, dia membelalakkan matanya. "Ini ...." Jenar tergagap di tempatnya. "Ini Nyonya Luce?""Syukurlah kalau kamu langsung mengenali mereka." Sarah ketus pada Jenar. Sarah menggebrak meja dengan ringan, berharap bisa mem
"Mbak Jenar!" Alif meneriaki nama Jenar ketika melihat perempuan itu berjalan menelusuri trotoar jalanan.Jenar berhenti, menoleh pada Alif yang berlari menuju ke arahnya."Mbak Jenar dari mana?" tanya Alif seraya mengatur kembali napasnya. "Tumben jalan kaki.""Memangnya aku biasanya naik helikopter?" kekeh Jenar. Dia kembali menatap jalanan di depannya. Jenar memilih duduk di kursi halte, padahal Julian memberikan uang saku yang banyak, bahkan cukup untuk menyewa puluhan taksi demi menghantarkan dirinya pulang.Jenar tidak bisa mengabaikan kebiasaan lamanya naik bus."Mbak Jenar sudah jadi istrinya orang kaya, jadi sedikit aneh melihat M