Kehidupan Jenar terus berjalan seiring berjalannya waktu, dia melalui status barunya sebagai seorang ibu sekaligus istri dengan penuh perjuangan. Merasakan kehidupan sebagai ibu sambung, ternyata bukan hal mudah untuk Jenar. Melawan banyak hal termasuk keegoisannya sendiri adalah perjuangan yang harus ia lakukan. "Mau berangkat?" Jenar menyapa Julio yang baru saja keluar dari kamarnya. Julio menoleh dan menganggukkan kepalanya ringan."Ada kelas siang?" Jenar kembali mengimbuhkan, dia berjalan mendekati Julio. "Jika langsung pulang, bisa tolong jemput Jasmine sekalian?"Julio tidak langsung memberikan jawaban. Dia terdiam sembari memandang Jenar tidak percaya. "Jasmine sepertinya tadi tidak enak badan, " ucap Jenar menginformasikan. "Dia memang tidak menyuruhku untuk menjemputnya, tetapi aku khawatir jika dia pulang sendiri dalam keadaan sakit."Julio menghela nafasnya. "Kenapa kamu terus perhatian pada Jasmine, padahal dia saja tidak bisa menghargaimu?" tanya Julio. "Kamu tidak pe
Jenar panik setelah mendapat sebuah telepon dari nomor yang tak dikenal. Dia buru-buru keluar dari dalam rumah, naik taksi manapun yang mau berhenti ketika dia mencegahnya, dengan perasaan gelisah mengerubungi ketenangannya. Telepon singkat itu, membawa Jenar ke sebuah bangunan rumah sakit. Dia sesekali menghela nafasnya, mencoba membangun kembali ketenangan dan pikiran positif tentang keadaan Julio."Saya mau tanya, pasien yang baru saja datang karena kecelakaan motor namanya Julio," ucap Jenar dengan hati-hati. Dia mengulum ludahnya. "Dia dirawat di ruang mana?"Resepsionis itu mencari informasi sesuai dengan yang Jenar katakan."Bisa tolong cepat?" Jenar memohon tanpa memaksa. "Keadaan putraku sepertinya serius," ucapnya lagi. Sekarang dia tahu bagaimana kecemasan ibunya dulu ketika dia membandel. "Sudah aku bilang untuk tidak perlu datang."Jenar langsung menoleh ketika mendengar suara Julio mendekat padanya. "Julio?" Jenar memasang wajah panik melihat keadaan Julio yang babak
"Kamu mau jadi pacarku?" Untuk yang kesekian kalinya, Julio mengulang kalimatnya. Dia tidak tahu lagi kalau kemarasannya memang sudah hilang sekarang.Jenar yang awalnya terdiam, tiba-tiba saja menghela nafasnya kasar. Dia langsung menjitak kepala Julio. "Aku ini ibumu!" "Bisa-bisanya kamu bilang begitu di depanku!" Jenar marah bukan main. "Kalau bapak kamu tahu ini dia pasti akan kecewa!" Julio malah cengengesan di tempatnya. Dia kembali berjalan melangkah, menjauh dari Jenar. Jenar mengikuti langkah kaki Julio. "Kamu benar-benar tidak mau mendengarkan aku?" Dia kembali memaksa. "Aku tidak akan membiarkan kamu pergi kemanapun.""Aku juga mau pulang ke rumah!" Julio kesal pada Jenar malam ini. "Kenapa kamu jadi cerewet sekali?" ketusnya.Jenar mengulum ludah mendapatkan kata-kata itu. Hatinya sudah terbuat dari baja, hingga dia tidak perlu merasakan rasa sakit lagi.Gerimis tiba-tiba mengguyur kota, kepanikan Jenar dan keadaan mereka berdua melupakan fakta kalau langit mendung mala
Suasana pagi yang canggung. Menu sarapan yang istimewa, tetapi tidak untuk suasananya. Lambat laun semua mulai terasa begitu membosankan. Jenar hanya bisa menjalani semuanya dengan cara yang seadanya, tanpa mau banyak berharap lagi."Tiga hari ke depan aku akan ada acara di sini jadi tidak akan bisa pulang." Julian menyela keheningan makan. Fokus pandangan Julian tertuju pada dua putra dan putrinya, dia mencoba tersenyum pada Julio. "Papa harap kemarin malam adalah kesalahan terakhirmu hingga membuat Jenar kerepotan.""Aku tidak menyuruhnya untuk datang ke rumah sakit. Dia yang datang—" Julio menghentikan kalimatnya, setelah dia mendapati ayahnya memandang dirinya dengan cara yang sedikit tegas."Kamu sudah dewasa dan papa yakin kamu mengerti tentang kata terima kasih, Julio." Julian memberi penekanan. "Kamu harus mulai mengubah sikapmu."Julio tidak memberi jawaban lagi. Dia melanjutkan aktivitas makannya. Belum sempat Julian memulai pembicaraan dengan Jean, suara langkah kaki terd
"Kamu akhirnya datang lagi, Jenar." Sarah tertawa ringan sembari meletakkan menu yang dipesan Jenar di atas meja.Jenar awalnya tidak mau memprotes. Datangnya kemari bukan menginginkan perdebatan dengan siapapun."Sekarang ada masalah apa?" Sarah langsung menebak tujuan Jenar main ke tempatnya kerja. Jenar mendengus pelan. "Anggap saja kalau aku ini pelanggan yang kebetulan kamu kenal," tandasnya. "Kalau tidak mau melayani kamu bisa kembali kerja lagi."Sarah tidak bergeming di tempatnya dalam beberapa waktu. Dia hanya memandang teman lamanya itu."Kamu pikir aku tidak tahu?" Sarah akhirnya berbicara lagi. Jenar memandangnya. Sepertinya dia yang sudah melupakan Sarah dengan kebiasaannya. Mereka sudah lama tidak bersua, sejak pertemuan terakhir beberapa minggu lalu."Aku tidak bisa menyalahkan kamu, Kamu sekarang sibuk mengurus rumah tangga." Sarah mulai dengan basa-basi, berusaha menarik fokus Jenar tanpa membuatnya emosi."Banyak teman-teman kita yang terkadang menanyakan kamu ket
Pemandangan kota dari gedung paling atas sedikit meredakan perasaan resah dan pikiran gundah gelisah yang Julian rasakan. Dia berakhir di tempat ini, setelah seharian penuh melakukan segalanya untuk mendapatkan penanam sahamnya kembali. Julian tidak bisa membayangkan bagaimana jika perusahaan yang dia bangun begitu megah dan mewah di tengah pusat kota Jakarta, harus menjadi milik orang lain. "Pemandangannya indah kan?" tanya Luce. Julian tidak sendiri datang kemari. Kenyataannya dia harus memaksakan diri untuk berbohong pada keluarga barunya. Julian tidak mungkin mengadakan kalau Luce turut serta dalam perjalanan bisnis tak resminya.Julian manggut-manggut. "Cukup menghibur malam ini," ucapnya. "Setidaknya kita bisa melihat semua ini di akhir kesibukan yang terjadi," kekehnya. Luce memahami keresahan Julian, tanpa dia harus mendapatkan pernyataan langsung dari mantan suaminya. Mereka sudah hidup lebih dari 15 tahun lamanya, saling mengenal satu sama lain hampir lebih dari 20 tahun
Sepulang dari cafe tempat Sarah bekerja, Jenar tidak langsung pulang ke rumah. Dia hanya mengabari pembantunya kalau dia akan pulang terlambat. Di tengah jalan, Jenar melihat seorang pria yang tidak asing untuknya. "Pria itu ...." Jenar menunjuk ke arahnya. Kedua matanya menyipit, mencoba untuk memastikan kalau yang dia lihat itu tidak salah. "Benar! Dia!" Jenar mempercepat langkah kakinya. Buru-buru dia menyeberang jalan, untuk sampai ke warung yang ada di sudut jalan. "Dua puluh ribu?" Suara pria itu terdengar ketika Jenar mendekat. "Katanya ada promo hari ini, aku hanya bawa lima belas ribu," jawabnya pada penjual.Jenar tak pikir panjang. Dia langsung merogoh aku jaket dan mengeluarkan uang untuk membantunya."Aku yang akan bayar," ucap Jenar.Hank terkejut. Dia mau menolak, tetapi penjual sudah mengambil uang Jenar. "Kamu istrinya Julian kan?" tanya Hank. Jenar menganggukkan kepalanya. Dia sedikit lega karena Hank ternyata masih mengingat dirinya. Jenar tersenyum. "Lam
"Kamu teman baru sampai ke rumah?" Julio menegur kedatangan Jenar. Jenar awalnya tak acuh. Dia melanjutkan langkah kaki tanpa mau menatap keberadaan Julio."Jenar!" Julio memanggilnya dengan tegas. Berharap kalau sekarang dia akan diperhatikan.Sayang sekali, Jenar masih saja melangkah untuk pergi ke kamar Jean. "Kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan?" tanya Julio. "Aku sedang menanyaimu sekarang."Jenar berhenti di depan kamar Jean. Dia hampir membuka pintu, tetapi benar mengurungkan niatnya.Jenar memandang Julio. Dia diam sejenak, sebelum akhirnya membuka suara. "Jean sudah tidur?" Julio tidak menjawab. Dia hanya memandang raut wajah Jenar yang terlihat begitu asing hari ini. Sepertinya Jenar sedang menyembunyikan permasalahan di dalam matanya. "Kalau tidak menjawab ya sudah, aku akan memeriksa sendiri." Jenar berbalik badan, dia tak acuh dengan Julio yang jelas-jelas penasaran akan apa yang terjadi padanya hari ini.Julio tidak melarangnya untuk memeriksa Jean, jadi dia