Share

Pertunangan Henry Baldwin

Henry Baldwin akhirnya terpaksa berdiri di aula yang megah dan mewah ini, mengenakan tuxedo yang dirancang oleh desainer terkenal menatap para undangan dengan mata kosong. Lelaki itu entah mengapa menuruti permintaan sang kakak, yang juga rajanya, untuk bertunangan dengan Catherine of Monaco. Putri dari kerajaan Monaco itu telah datang sebulan yang lalu, menjalani bimbingan dan pengajaran tradisi pertunangan sesuai dengan adat Arthanavia, demi bisa menyesuaikan dirinya pada saat hari H pertunangannya.

Hingar bingar pesta kali ini sama sekali tak membuat Henry tergerak. Biasanya dia adalah raja pesta, mabuk-mabukan hingga berdansa dengan penuh gairah, tetapi kali ini ia merasa kebebasannya telah dikebiri. Henry Baldwin hanya akan setia pada satu perempuan, seumur hidupnya, padahal ia belum puas untuk bersenang-senang. Baginya menikah adalah penjara seumur hidup. Lihatlah kakaknya yang menikah dengan putri dari keluarga bangsawan Arthanavia itu. Henry takkan bisa seperti sang kakak, yang bisa menyayangi dan menghormati satu orang perempuan, bahkan Reginald tidak memiliki selir satu pun. Reginald memang seorang kristen yang taat. Tak heran ia dipilih menjadi raja.

Henry mendengkus, sementara di sebelahnya, Catherine duduk tegak dengan ekspresi kaku yang sama sekali tak berubah selama satu jam terakhir. Astaga, perempuan macam apa yang dipilihkan oleh kakaknya itu? Gaun berwarna hijau zamrud itu memang bagus sekali di tubuh sang putri, tetapi tetap tak bisa membuat Henry bergairah. Lelaki itu benar-benar gusar. Jelas ia tidak yakin akan bisa tidur dengan satu perempuan yang seperti ini seumur hidupnya. Henry rasa, ia akan meminta izin memiliki selir. Bah, bahkan sebelum menikah saja, Henry sudah ingin melibatkan perempuan lain dalam kehidupan pernikahannya.

Upacara pertunangan mereka menjadi bahan pembicaraan setelah Reginald mengumumkannya sebulan yang lalu, karena itu antusiasme pengunjung kota Gaia semakin meningkat. Bahkan turis luar negeri berdatangan untuk menonton acara itu. Meski pun jumlahnya tidak sebesar saat pernikahan Reginald dua tahun yang lalu. Kala itu, permintaan visa sampai melebihi batas, karena banyak orang yang ingin melihat pernikahan bangsawan, apalagi raja.

Henry melirik ke arah Catherine yang tampaknya benar-benar bersungguh-sungguh menatap ke arah penyanyi opera yang sedang menghibur di atas panggung itu menarik. Tangan Henry segara menutup mulutnya karena kuap yang tak tertahankan. Lelaki itu nyaris mengantuk. Entah mengapa dari dulu ia tidak cocok dengan hiburan ala bangsawan yang aneh-aneh. Ia lebih suka musik zaman sekarang, electronic dance music yang sangat cocok menemaninya bergoyang di lantai dansa.

Reginald di kursinya memberikan teguran yang disampaikan melalui tatapannya kepada Henry. Sang adik hanya memutar bola mata. Sudah bagus, ia tidak kabur di hari pertunangannya yang menyebalkan ini. Sekarang, benak Henry sudah dipenuhi pertanyaan, mengapa dia harus menerima pertunangan dengan Catherine of Monaco. Sepertinya pilihan ini adalah pilihan yang sangat salah bagi hidupnya. Hubungan Monaco dan Arthanavia akan sangat erat dengan adanya pernikahan ini, tapi jelas merugikan bagi Henry.

Tak tahan lagi, Henry berdeham dan berpamitan kepada tunangannya. "Saya harus ke kamar mandi sebentar."

Catherine menoleh kemudian memberikan anggukan kecil yang sopan. Astaga, perempuan ini kaku seperti batang kayu. Bahkan perempuan itu sama sekali tak bergerak dari tempat duduknya saat melakukan itu. Henry segera bangkit dan memutar tumit, melangkah tergesa menuju toilet.

Namun, ia mendadak berbalik dan keluar dari gedung itu melalui pintu rahasia, yang ia ketahui secara tak sengaja ketika ingin mencari tempat persembunyian. Gedung istana ini sungguh besar dan berlapis-lapis, dengan banyak ruangan dan pintu rahasia. Demi pertunangan Henry yang disiarkan live di beberapa stasiun televisi Arthanavia, pintu depan istana dibuka dengan keamanan penuh, karena para rakyat dipersilakan untuk menonton tayangan selama acara berlangsung melalui layar yang ditaruh di beberapa tempat strategis di salah satu aula yang khusus untuk menampung para warga negara yang diundang secara eksklusif. Di teras dan halaman istana, penuh orang yang penasaran dengan hingar bingar pesta pertunangan kerajaan yang sangat langka ini.

Henry duduk di salah satu anak tangga halaman belakang istana, yang sepi, karena memang hanya sedikit orang yang mengetahui tempat ini. Tempat tersebut kecil, tetapi tersembunyi dari para kerumunan orang yang tak henti-hentinya datang untuk melihat acara pertunangan. Henry mendengkus geli melihat orang-orang itu. Mengapa mereka harus bersusah payah menonton acara orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka?

Kemudian terdengar langkah yang tergesa, mendekati tempat Henry. Lelaki itu terkesiap, karena merasa takut persembunyian ketahuan.

Henry bangkit berdiri tetapi malah menabrak sesuatu--mungkin seseorang bertubuh mungil yang terasa pas dalam dekapannya.

"Aduh, maaf." Suara lembut nan halus menerpa indera pendengaran Henry. Karena lokasi mereka minim cahaya, lelaki itu sampai harus memicingkan mata untuk bisa mengenali wajah perempuan yang menabraknya itu.

"Bagaimana Anda bisa sampai kemari?" tanya Henry penasaran. Namun ia lega, bahwa yang berada bersamanya sekarang bukan pengawal kerajaan atau si Arthemis, mayor yang rese itu.

"Sepertinya aku tersesat. Aku kemari bersama adikku, tapi tadi sapu tanganku terjatuh dan aku mengambilnya. Lalu aku melihat dan dia sudah tidak ada. Bisakah Anda menunjukkan jalan keluarnya? Tempat ini besar."

Meski pun minim penerangan, tapi Henry bisa melihat ekspresi kebingungan dari perempuan yang tampak lugu dan polos itu. "Ini ruangan yang tak sembarangan orang bisa masuk."

Perempuan itu terbelalak, "Ya ampun. Apa ini ruangan militer? Tapi aku bisa melihat langit terbuka dari sini. Maaf, semoga aku tidak akan mendapatkan hukuman karena salah masuk ruangan."

Henry tergelak. "Tidak, tidak ada yang akan menghukummu. Boleh aku tahu siapa namamu?"

Perempuan itu menjawab ragu-ragu. "Aku ..."

"Sepertinya kamu takut padaku." Henry tersenyum jahil. Ia bersyukur telah melepas tuxedonya yang dipenuhi emblem kerajaan, karena sekarang ia hanya mengenakan kemeja biru yang tidak menunjukkan identitasnya.

"Maaf. Tapi aku tidak boleh mudah percaya dengan orang asing."

"Baiklah. Aku mengerti. Kamu bisa keluar dari pintu tempat kamu masuk tadi, lalu belok kiri dan menyusuri lorong itu terus. Di ujung lorong adalah aula tempat pertunangan digelar. Kamu bisa bertanya pada pengawal untuk menunjukkanmu arah ke aula Peach, yang digunakan untuk undangan khusus."

"Oh, terima kasih." Gadis berambut pirang itu menunduk memegang ujung gaunnya.

Henry tersenyum kemudian kembali duduk di tangga, menatap langit berbintang.

"Kalau ... boleh, apakah Anda keberatan jika aku duduk di sini? Aku suka menatap langit berbintang." Gadis itu menatap Henry malu-malu. "Dan itu, bintang terbesar di atas langit, namanya adalah Vega."

"Selama kamu tidak menggangguku, aku tidak akan keberatan. Silakan saja. Aku sedang dalam melarikan diri dari sesuatu."

Gadis pirang itu tertegun, "Oh, apakah Anda seorang penjahat?"

Pertanyaan polos itu membuat Henry tertawa. "Bukan. Aku bukan penjahat. Hanya saja, aku ... tidak suka berada dalam kerumunan ini. Kamu tahu, tempat yang ramai orang."

"Oh. Anda mengingatkanku pada ... adikku. Adik perempuanku. Dia juga suka melarikan diri, kalau berhadapan dengan kerumunan orang banyak, apalagi yang suka berbicara omong kosong. Tapi adikku itu, dia sangat pemberani dan suka berinisiatif. Ia pandai berbicara di hadapan publik."

Henry manggut-manggut. "Oh. Namun, mengapa kamu hanya bercerita tentang adikmu, kamu juga boleh bercerita tentang dirimu. Sini, duduklah. Akan kubersihkan sehingga gaunmu tidak kotor." Tangan lelaki itu membersihkan lantai di sebelahnya, yang kemudian diduduki oleh gadis berambut pirang tersebut.

"Aku ... " Gadis itu tersenyum. "Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang diriku. Aku hanya gadis biasa saja. Dan saat ini, aku kemari karena adikku ingin mengajakku untuk menghabiskan waktu bersama, sebelum aku menikah."

"Oh, selamat." Henry mengulurkan tangan. Gadis itu menyambutnya dengan ragu. Namun, tangan gadis itu sangat halus hingga membuat jantung Henry berdesir.

"Terima kasih." Gadis itu menatap Henry dan terkejut melihat mata lelaki itu. Sinar bulan yang menerangi mereka benar-benar membuat mata Henry berkilauan dengan indah. "Anda memiliki mata yang sangat bagus."

Henry mengulum senyum. "Terima kasih. Kamu orang yang ke sejuta kalinya mengatakan itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status