“Maaf Ka, kita nggak bisa terusin hubungan ini.” Ristia tertunduk di samping kekasihnya.
Sakha tak menyangka Ristia yang dicintai dan akan dinikahinya bila telah dua tahun bekerja sesuai perjanjian kontrak kerjanya berkata demikian.
“kenapa?” dingin suara Sakha menanyakan alasan Ristia meminta putus.
Bukankah mereka saling mencintai, perkenalan di awal perkuliahan yang menumbuhkan benih cinta di hati keduanya.
Sakha yang tahu batasan dan begitu menjaga wanita ini, berjanji untuk menikahinya.
Bila tak ada aturan dalam perjanjian kerja dengan kantor tempat Sakha mencari nafkah, sudah langsung dinikahinya Ristia ini.
Ibunya Sakha, ibu Marwiah pun setuju – setuju saja. Wanita manapun yang jadi pilihan anak lelakinya yang penting sopan dan baik.
“Mama terserah kamu saja nak, yang penting dia bisa menerima kekurangan yang ada di keluarga kita.”
Sakha hanya hidup berdua dengan ibunya, dia telah yatim sejak di bangku Sekolah Menengah Atas.
Ibunyalah yang bekerja menghidupi Sakha dengan membuka warung sembako sederhana.
Biasanya sepulang sekolah bila tak ada latihan karate, Sakha lah yang membantu ibunya, membeli barang ke gudang grosir dan menyusunnya di warung untuk dijual eceran.
Sakha selalu bersemangat membantu ibunya berdagang, ini bagian pembelajaran hidupnya kedepan karna akan menjadi tulang punggung untuk keluarganya nanti. Untuk ibu dan ibu anak – anaknya kelak.
“Bapak nggak restu Ka,” perkataan Ristia membuyarkan lamunan Sakha di pertemuan terakhir mereka di sebuah cafe sederhana di jalan Ahmad Yani.
“Apa karna harus menunggu dua tahun?”
“Bukan,”
“Lalu?” Sakha menuntut alasan.
“ bapak jodohin aku.”
“kamu terima?”
“Sakha....” Ristia gugup dan bingung bagaimana menjelaskan.
Dicoba menyentuh jari Sakha yang bertaut di atas meja.
Tentu saja bingung, bapak Ristia yang bekerja di salah satu kontraktor perumahan tak ingin anaknya menikah dengan Sakha yang hanya seorang yatim dan hidup sederhana dari pensiunan ayahnya yang kecil dan dari hasil warung sembako milik ibunya yang tak seberapa.
Hidup pun hanya di rumah sederhana dengan dua kamar peninggalan milik ayahnya. Dibangunnya dulu saat beliau masih hidup dan bekerja di salah satu kantor Lurah di kota mereka.
Netra Sakha memerah, menerima kenyataan bila dirinya tak berjodoh dengan Ristia.
“kamulah yang meninggalkanku dan menyudahi hubungan ini Tia, Mungkin penghasilanku yang tak seberapa menjadi pertimbangan orang tuamu.” Sakha memperjelas kembali status hubungan mereka.
“Maafin aku Sakha.” Ristia sendu menatap Sakha yang terlihat menahan kaca di netranya.
Bukan Cuma kandasanya hubungan ini yang membuatnya sedih, namun kebahagiaan ibunya yang akan segera memiliki menantu ikut pupus.
Bila sudah ada istri tentu ada yang bisa menemani dan membantu ibunya menjaga warung. Dan bersama – sama istrinya nanti akan membesarkan warung milik ibunya itu.
Namun semua kandas dengan pernikahan Ristia bersama seorang kontraktor rekan bapaknya dan sudah agak berumur dilaksanakan sebulan setelah pertemuan terakhir mereka itu.
🌿
“bro ayo sholat azhar dulu,” Rasyid kawannya menepuk pundak Sakha yang masih fokus bekerja di sore itu.
“iya bro, sholat dan minta jodohlah, siapa tahu habis sholat ini pulang – pulang lo ketemu cewek yang bisa jadi ibu anak – anak lo,” Arga menimpali yang di sambut suitan dan gurauan dari rekan yang lain.
Arga dan Rasyid inilah yang menjadi sahabat Sakha sejak dibangku Sekolah dulu.
Mereka pula yang menghibur Sakha saat patah hati kemarin.
“Nanti bilangin Nafia lah Ga, cariin temennya satu buat Sakha.” Malam saat lembur di akhir tahun Rasyid bercelutuk ringan di tengah kejaran deadline pekerjaan mereka.”
Arga tentu saja mengiyakan dengan senyum masam yang tak terlihat oleh mereka.
Sebenarnya beberapa kali Arga mendapati Ristia dan seorang pria dewasa berjalan keluar dari apotik 24 jam, tempat Nafia bekerja saat menjemput istrinya itu.
Bahkan Ristia terlihat bergelayut manja di lengan pria tersebut.
Jadi pernikahan Ristia kemarin itu bukan perjodohan sebenarnya, benak Arga demikian.
Sebenarnya Rasyid dan Arga mengetahui sepak terjang kekasih Sakha itu.
Namun mereka diam, menjaga perasaan Sakha sebagai rekan kerja mereka.
Pukul sembilan malam lewat dua puluh menit, Sakha barulah akan pulang. Seminggu ini dirinya lembur memaksa raganya bekerja, selain mengurus proyek yang akan diselesaikan akhir tahun ini, dia pun ingin menghalau penat yang mendera akibat perbuatannya sendiri.Seminggu sudah Andira tak lagi menemaninya di kamar besar mereka. istrinya itu memilih tidur di kamar tamu di lantai bawah.Baru kali ini istrinya tak membersamainya di peraduan mereka.Ah baru Sakha teringat, bukankah wanita sederhana ini yang telah membersamainya tujuh tahun lamanya.Menciptakan senyum di wajah lelahnya sepulang kerja, menjadi tempatnya melepas penat dan tempat melepaskan hasranya secara halal.Wanitanya itu tak pernah menolak. Meskipun luka di matanya tampak, namun tetap memenuhi kewajibannya. memjuaskan suaminya di peraduan mereka.“udah mas, aku sudah capek.”“koq minta lagi sih, tadi katanya Cuma sekali.”“ih bentar dulu, masa di depan tivi sih mas.”Kadang jengkel, kadang gemas Andira berusaha mengulur kei
Andira mengambil plastik martabak manis 88 kesukaannya di lantai depan kamar mereka, sepanik itu Sakha tadi hingga tak sadar meletakkan makanan kesukaan mereka berdua di lantai.Biasanya Andira akan membuatkan teh hangat dan menyajikan dengan martabak manis yang dibeli Sakha sepulang kerja. mereka berdua akan duduk sore dan bercerita sambil menikmati teh buatan Andira dan martabak manis kesukaan mereka berdua.Andira tersenyum miris mengingat kenangan itu.Hanya setahun mereka menikmati kebersamaan itu di sore hari, tahun selanjutnya dan selanjutnya Sakha paling cepat pulang di jam sepuluh malam bahkan terkadang tak pulang berhari – hari.Tak ingin berlarut dengan persaan kecewanya, Andira memilih mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas, tadi dirinya sudah merajang bahan untuk dibuat sop lalu di masukkan kembali ke dalam kulkas.Hatinya yang tak tenang membuatnya meninggalkan acara memasak itu dan menggantinya dengan mengepak baju – bajunya yang tak banyak dari dalam lemari kayu
Sakha berusaha membuka pintu kamar yang telah dikunci dari dalam.“Dira...buka pintunya sayang, mas bisa jelasin.” Tak ada jawaban.“Ra...tolong jangan giniin mas.” Sakha terduduk di depan pintu kamar mereka, seperti anak kecil yang sedang dihukum.Sementara di dalam kamar, Andira mati – matian menahan diri agar tak membuka pintu.“Ra....” Sakha tak berhenti memanggil.Dengan linangan air mata Andira akhirnya membuka pintu, lalu terhuyung dan hampir terjatuh karna mendapat pelukan yang terburu dari suaminya. Ditatapnya wajah lelaki dihadapannya ini yang penuh dengan penyesalan. Andira membenamkan wajahnya kedalam dekapan suaminya. Menangis berdua dengan ucapan permohonan yang terdengar dari mulut Sakha. Lalu mengurai rindu yang tertunda. Diiringi tangis dan sesekali tertawa miris, mereka berdua saling memagut, melepaskan emosi dari jiwa yang dibelenggu luka. Lalu pakaian keduanya teronggok di lantai. Malam itu mereka terbang dan jatuh bersama berulang kali. Meski dengan luka –
Andira masih merapihkan beberapa barang di rumah petak kecil saat terdengar azan maghrib berkumandang. Nasria kawannya memiliki rumah petak kecil yang terasnya di jadikan tempat mengaji anak – anak setelah sholat azhar. Nasria adalah kawan Andira saat masih mengajar di sekolah dulu. Dialah yang memberikan tumpangan pada Andira.“Datanglah Dir aku sama ibu tungguin kamu, kamu udah jadi sodaraku.”Lega hati Andira kemarin sore saat ditelepon oleh Nasria, memintanya tinggal bersama bila memang Andira ingin mengakhiri rumah tangganya.Selain Nafia istri Arga, Nasrialah tempatnya berbagi. Nasria pun telah yatim.Rumah petak kecil ini sebenarnya digunakan ibu Juria untuk menyimpan beberapa karung padi dari sepetak sawah yang mereka punya.Dulu rumah ini digunakan bapak dan ibu Nasria saat awal menikah, ada kamar satu dan kamar mandi. Dapurnya sudah tak ada, sudah di bongkar karna hanya untuk menyimpan padi dan peralatan petani milik bapak Nasria dulu. Terasnya pun telah di rombak ditambah k
“sayang, kasi tahu mas dimana teman kamu itu, kasian lho suaminya jadi nggak semangat kerja sampe nangis malah.” Bukan hanya bu Marwiah yang mencari Andira, tapi juga Rasyid dan Arga diminta tolong oleh Sakha agar mencari keberadaan istrinya.“aku juga nggak tahu mas, kamu koq maksa aku sih,” Cemberut Nafia menjawab suaminya.Nafia sejak beberapa hari lalu menjadi bulan – bulanan suaminya, di gangguin, diikuti kemana saja pergerakannya di dalam rumah.“jangan kaya anak kecil deh kamu mas, bilangin sama teman kamu itu makanya jangan selingkuh,” Nafia berusaha melepaskan pelukan suaminya saat dirinya sedang masak di dapur.“kasi tahu dulu sama mas, Andira dimana baru mas lepas,”“Ya Allah mas aku beneran nggak tahu, aku juga sedih mas, Dira nggak kabarin aku terakhir ketemu waktu kesini dan bilang kalau udah nyerah dengan pernikahannya.” Air mata Nafia jatuh mengingat sahabatnya itu. Terakhir waktu datang dia mengingat tubuh Andira sedikit kurus dan pucat.Arga menghapus air mata istrin
“Mbak stop berbohong kalau mengandung anak mas Sakha!” Fardi adik Ristia menggeram marah pada kakaknya yang telah tega memfitnah dan hendak menghancurkan rumah tangga orang lain. Ristia bergeming. “Apa mbak lupa, dulu mbak lah yang meninggalkan mas Sakha, sekarang dia sudah bahagia dengan istrinya, kenapa mbak tega menyakiti hati wanita lain, bagaimana kalau mbak yang di posisi mbak Andira?,” suara Fardi menggelegar penuh amarah. Di posisi Andira? Jangan ditanya, bahkan Ristia sekarang menjanda karna pernah di posisi itu, suaminya telah kembali ke pelukan mantan istrinya. Meninggalkan Ristia yang hanya butuh materi membantu usaha bapaknya kala itu. Seperti pernikahan kontrak saja. Hati Ristia tercubit sedikit. Namun besarnya rasa cinta pada Sakha membuatnya buta hati. Tak dipikirkan rasa sakit yang pasti menjejas di batin Andira. Bahkan jadi yang kedua pun Ristia tak masalah. Namun siapalah wanita yang ingin berbagi suami, bila pun ada pasti ada kecemburuan di dalamnya. “Aku ak
Mobil Avanza veloz milik Rasyid memasuki jalanan yang belum di aspal, di sekitarnya rumah penduduk tampak berdekatan namun tidak berdempetan. Di sebalah jalan tampak beberapa sawah milik penduduk yang menghijau tanaman padinya. Mobil berhenti di depan rumah sangat sederhana bercat putih dengan pagar bambu yang mengelilingi rumah itu, tampak bunga – bunga di tanam di pinggir pagar dan sebuah pohon kersen di sudut pagar sebelah kanan. Saat Nasria, turun tampak dari samping rumah muncul anak – anak kecil berbaju koko dan berbusana muslim sederhana dengan warna yang nyaris pudar. Ada sekitar sepuluh lebih anak – anak. “Bunda Nas...!” anak – anak kecil serempak berebut memeluk Nasria yang tampak kerepotan membawa kantong belanjaan berisi jajanan untuk anak – anak itu. Inilah yang dilakukan Nasria saat gajian tiba, selalu disipkan uangnya sedikit untuk membelikan cemilan anak -anak yang mengaji di rumahnya “Ayo – ayo baris yang rapi!” Perintah Nasria. “Bunda itu mobil siapa?” Seorang a
Andira berbalik dan mengerjap sesaat melihat seorang pemuda yang tadi memanggil namanya.Terlihat bingung saat sang pemuda menghampiri dirinya. Coba diingat – ingat pemuda ini pernah bertemu dimana sebelumnya.“Saya, Fardi mbak!” Fardi adik Ristia yang datang menemui Andira, seminggu yang lalu saat pulang kerja dari lokasi proyek baru bosnya, tak sengaja dia melihat Andira berjualan di batas kota ini.Andira, masih coba – coba mengingat.“Saya...adik Ristia mbak, yang dulu di bantu mas Sakha masuk kerja di kontraktor temannya. ucap fardi, yang melihat wajah bingung, Andira.Dada Andira bersebak, mendengar nama perempuan itu disebut, Namun berusaha ditutupinya dengan cara tersenyum ke pemuda di depannya.Adik Ristia, ada apa gerangan menemuinya. Andira tetap menerima keadatangan pemuda ini dengan baik.Diingatnya dulu sempat bertemu sekali saat, Fardi datang ke rumah Andira, untuk menyerahkan data dirinya ke Sakha yang waktu itu memberitahu bila ada lowongan di kantor temannya.“Ada ap