“Berhenti sebentar!” Suara Devina seketika membuat sang sopir menginjak rem secara mendadak. “Devina.. kenapa–”Ujar Juned lirih ketika Devina turun dari mobil lalu mendekati salah satu baris pusara.Juned dan Tania mencoba mengikuti langkah Devina dari belakang.Mereka melihat Devina berlutut di antara dua nisan, tangannya gemetar menyentuh batu marmer yang dingin. Air mata jatuh tanpa suara, menembus tanah kering di bawahnya. “Mereka... pergi seminggu setelah pernikahanku,” suaranya parau, hancur. Tania dan Juned berdiri beberapa langkah di belakangnya, terkunci dalam keheningan yang berat. “Ibu... meninggal karena kanker paru yang tak terobati,” Devina menghirup napas dalam, “Ayah... ayah gantung diri tiga hari kemudian di dapur rumah kami.” Angin sore berhembus, membawa daun kering mengitari mereka. “Surat terakhirnya... isinya hanya satu kalimat,” Devina memejamkan mata, “Maafkan Ayah, Devi.”Juned tidak tahan lagi, langkahnya mendekat, tapi Tania menghentikannya de
Pak Haryo tersedak, wajahnya berubah dari merah menjadi pucat pasi. “D-Devi... jangan—“ Tapi Devina sudah menengok ke Bu Ratna di telepon, kepalanya tegak: “Aku terima tawaran kalian. Tapi ada syaratnya—aku hanya wanita biasa, jangan libatkan aku dengan konflik kalian yang lebih besar.”“Baiklah.”Suara Bu Ratna terdengar singkat dan tegas sebelum telepon dimatikan. Devina menghela napas panjang, lalu dengan gerakan penuh wibawa, ia memunguti bajunya yang terserak di lantai. Satu per satu, ia mengenakan kembali pakaiannya.Tania tersenyum kecil, lalu berbalik menuju pintu, hak tingginya berdetak tegas di lantai. Juned masih diam sejenak, matanya menatap Haryo yang terpaku di sudut ruangan. “Semoga kau belajar sesuatu hari ini,” ucapnya dengan nada datar, sebelum mengikuti kedua perempuan itu. Pintu tertutup perlahan hanya menyisakan Pak Haryo yang terduduk lemas di lantai. Dengung suara alat bantu yang masih bergetar lemah di atas meja menjadi penanda kekalahan Pak Haryo
Layar ponsel menyala, memperlihatkan rekaman di kamar Bu Ratna yang remang-remang.Dalam video itu Pak Haryo tergeletak lemas di kasur, baju terbuka, dada masih berkeringat. Sementara Bu Ratna duduk di tepi kasur, wajahnya pucat tapi matanya tajam. Tiba-tiba terdengar jelas suara Pak Haryo yang mengigau. “Aku akan menghamili Ratna agar aku bisa menguasai perusahaannya. Setelah itu, Anton akan memberi bonus besar setelah aku hancurkan Cakra Buana dari dalam.”Ruangan itu mendadak senyap ketika rekaman itu berlangsung.“HAHAHAHA—!” Tawa Bu Ratna menggema keras dari speaker ponsel Tania, mengisi ruangan yang sempat hening. “Kau naif sekali, Haryo berkata kau mau menghamiliku?” suaranya penuh sarkasme, “Tapi... Selamat ya... karena aku memang hamil sekarang.” Pak Haryo tiba-tiba tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. “Aku TAHU! AKU TAHU!” teriaknya dengan euforia, melompat kegirangan. “Akhirnya rencanaku berhasil! Kau hamil anakku, Ratna!” Ruangan kembali senyap sejen
Pak Haryo berdiri seperti patung, wajahnya yang tadi memerah kini pucat pasi. “A-Apa?” Devina mengangkat kepala dengan susah payah, matanya berkaca-kaca tapi penuh keyakinan. “Kau dengar aku,” desisnya dengan suara serak, “Aku tidak bisa lagi... hidup dengan lelaki yang bahkan tidak bisa memuaskan istrinya sendiri.”Pak Haryo menggeram seperti binatang terluka, tanpa peringatan ia melompat ke depan—tangan terkepal siap menghantam wajah Juned yang masih berada di atas istrinya. “KAU—!” Tapi Juned bereaksi dengan cepat. Dengan gerakan terlatih, ia menangkis serangan Pak Haryo sambil tetap mempertahankan posisinya di antara paha Devina. Satu tangan Juned dengan mudah menangkap pergelangan Pak Haryo, memelintirnya hingga pria itu meringis kesakitan. “Jangan jadi konyol, Pak Haryo,” Juned menggerutu dengan nada dingin, sambil menekan lebih kuat hingga Haryo terpaksa berlutut di lantai. “Kau pikir bisa mengalahkanku? Meski dalam keadaan seperti ini?” Devina terdiam, tubuhnya masih
“Deal,” ujar Tania pendek, tangan terulur untuk bersalaman profesional. “Tanpa syarat tambahan. Kau dapat akses penuh pada Juned, kapan saja, di mana saja.” Juned tersedak. “Tunggu, apa—” “Diam, Sayang,” Tania menepuk paha suaminya tanpa menoleh, fokus tetap pada Devina. “Tapi ingat—” Suaranya tiba-tiba dingin seperti baja. “Ini murni transaksi. Tidak ada cinta, tidak ada drama.”Devina mengangguk, genggaman tangannya mantap. “Aku hanya butuh tubuhnya, bukan hatinya.” Tiba-tiba, Tania menarik tangan Devina mendekat, memaksanya membungkuk hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. “Dan satu hal lagi,” bisik Tania dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri. “Kalau kau sampai jatuh cinta pada suamiku...” “Jangan khawatir,” Devina menyela, senyumnya getir. “Aku sudah belajar tidak pernah mencintai pria yang tidak bisa memuaskanku sepenuhnya.” Tiba-tiba, Tania meraih vibrator berbentuk lingga dari lantai, mengusapnya dengan handuk basah sebelum menyerahkannya ke Devina.
“Devina,” ujar Tania pelan, tangan dengan santai mengusap punggung Juned yang masih berbaring lemas, “Bagaimana jika kita atur jadwal rutin? Misalnya... setiap Rabu sore?” Devina mengerutkan kening. “Maksud Mbak...?” “Kau butuh lebih dari ini, bukan?” Tania menyentuh pergelangan tangan Devina. “Juned bisa memberimu apa yang tak bisa diberikan suamimu. Dan aku...” Senyumnya melebar, “Aku dapat memastikan Pak Haryo tidak akan mengganggu.” Juned tersedak. “Tania! Kita tidak bisa—” “Kita bisa,” potong Tania tegas. “Ini solusi sempurna. Devina puas, bisnis Cakra Buana lancar, dan...” Jarinya menunjuk dokumen saham 50% di saku blazernya, “Aku dapat jaminan keamanan finansial.” Devina menelan ludah, matanya berpindah antara Juned yang terlihat bingung dan Tania yang penuh keyakinan. “Tapi Pak Haryo...” “Suruh saja dia berkebun saat jadwal kita,” usul Tania sambil terkekeh. “Atau aku bisa mengajaknya main golf. Pria seusianya pasti suka golf.”Devina mengusap air matanya, dagu sedi