Share

Tukang Pijat Super
Tukang Pijat Super
Penulis: Frands

Bab 1

Penulis: Frands
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-31 18:33:49

“Lastri, maukah kamu menjadi pacarku?” Tiba-tiba Juned berdiri menghadang perjalanan Sulastri dan kedua temannya.

“Minggir kamu, dasar pria lemah,” ujar Sulastri dengan kasar kepada Juned.

“Kamu itu tidak cocok ya bersanding dengan Lastri.” Celetuk salah satu teman Sulastri yang berdiri di sampingnya. Juned hanya tertunduk lesu sambil menggenggam seikat bunga mawar, mendengarkan cemoohan yang menyakiti hatinya.

Juned sangat menyukai Sulastri yang merupakan anak Juragan Pasir di desa itu. Meski berkali kali cinta Juned ditolak.

Sulastri membalas cinta Juned dengan cemoohan dan hinaan belaka.

“Hei, Juned. Kamu itu harusnya berkaca dulu. Kamu itu siapa? Berani beraninya mendekati Sulastri.” Ujar teman Sulastri yang lain, sambil mendorong Juned.

Juned terjengkang ke belakang, disambut tawa yang menggema ketiga gadis itu.

“Hahaha, lihat dia teman-teman. Baru didorong begitu aja sudah jatuh.” Ucap Sulastri tertawa lepas.

Kaos yang dipakai Juned kotor terkena tanah, dia tak mampu untuk bangkit melawan.

Bukannya iba melihat kondisi Juned, Perlakuan Sulastri justru semakin menjadi-jadi. “Oh, jadi ini yang mau kamu berikan buat aku, hahaha!” Sulastri mengambil dengan kasar, seikat bunga mawar yang sedari tadi di genggam oleh Juned.

“Makan ini bunga!!” Sulastri melempar dengan sekuat tenaga bunga mawar tersebut ke wajah Juned hingga bunga itu berhamburan di tanah. Tanpa rasa bersalah Sulastri dan kedua temannya melenggang pergi sambil tertawa puas meninggalkan Juned.

Juned melangkah pulang dengan dipenuhi rasa kesal dan kesedihan. Hatinya tertembus kekecewaan dan penyesalan. “Kenapa harus aku yang seperti ini? Kenapa aku harus terlahir dari keluarga miskin? Kenapa aku terlahir dengan fisik yang lemah ini?” Pertanyaan itu yang selalu terngiang di pikiran Juned.

Kampungnya mayoritas warga laki-lakinya bekerja di tambang pasir, sementara Juned adalah satu-satunya laki-laki di sana yang berprofesi sebagai seorang mantri sekaligus tukang pijat.

Ia mewarisi sebuah klinik dan panti pijat peninggalan kakeknya. Sedangkan kualifikasi mantri ia dapatkan dari pelatihan utusan puskesmas untuk kampungnya.

Sesampainya di rumah Juned tampak murung dan tak bergairah setelah mendapat penolakan disertai hinaan dari Sulastri.

Dengan badan yang lemas dia duduk di sebuah bayang di depan rumah sambil menatap klinik yang berada di samping rumahnya.

“Juned, kamu kenapa? Kok terlihat kurang semangat.” Sapa seorang wanita yang membuyarkan lamunan Juned. Wanita itu bernama Lilis, tantenya Juned.

“Gak apa-apa kok, tante.” Balas Juned agak gelagapan karena lamunannya terhenti seketika.

Tante Lilis seolah tahu apa yang sedang ada dalam pikiran keponakan satu satunya itu.

“Apapun yang terjadi, Tante akan selalu mendukungmu.” Ucap Lilis sambil membelai dengan lembut pundak Juned, kemudian mendekap kepala Juned ke dadanya.

Bagian bawah Juned tak bereaksi sama sekali meskipun kepalanya terbenam di area yang nikmat milik Lilis.

“Terima kasih, Tante.” Ucap Juned, sambil tersenyum tipis.

“Ngga perlu berterima kasih, Juned. Sudah tugas tante untuk merawatmu dan melindungimu. Dulu ibumu juga yang merawatku dan menjagaku, meski kami hanya saudara tiri tapi ibumu begitu sangat menyayangiku.” Dengan suara bergetar Lilis mengingat masa lalu ketika bersama kakaknya, yang tak lain adalah ibu dari Juned.

"Sejak suamiku meninggal karena kecelakaan saat kerja di tambang, kamu adalah satu-satunya keluargaku." imbuh Lilis.

Setelah mendengarkan nasehat dari Lilis, Juned merasa kembali bersemangat untuk menjalani kehidupannya lagi. Namun perasaan itu tak bertahan sampai sehari lamanya. Ibarat seperti rumah yang sudah dibersihkan kembali dikotori lagi.

Sore harinya, ketika Juned hendak membeli stok obat ke apotek yang terletak di kota. Dia melewati gerombolan pemuda yang sedang asyik nongkrong di pinggir jalan.

“Woii, Lembek. Mau ke mana kamu?!, hahaha” teriak ketua geng bernama Sugeng mengejek dengan keras, seketika menghampiri Juned yang berjalan dengan cepat.

Sugeng langsung menarik tangan Juned dengan kasar. Membawanya mendekat ke arah teman temannya yang berwajah sangar dan lusuh, tak jauh beda dengan si Sugeng.

“Kawan-kawan, ini si lembek dari kampung kita.” Sugeng kembali mengejek Juned yang hanya terdiam di tengah kerumunan,

“Satu satunya pria di kampung kita yang memiliki jari lentik, hahaha.” Celetuk salah satu teman Sugeng, sambil menunjukkan tangan Juned kepada yang lain.

“Maklum, bro. Tangannya Cuma bisa pijat punggung saja, beda sama kita kita yang penuh tenaga mengangkat pasir. Lakii!!” Sahut Sugeng sambil menunjukkan lengannya ala binaraga.

Salah satu pria mendekati Juned, dan memperhatikannya dengan tatapan menghina. “Aku dengar dia menyatakan cinta kepada Sulastri. Saingan berat kamu ini, Sugeng.” Pria itu menepuk-nepuk wajah Juned.

Sugeng tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan salah satu temannya. “Hahaha, yang benar saja. Dibanding sama aku ya beda jauh, badanku gagah perkasa dan kuat. Sulastri mana mau sama pria lembek dan lemah syahwat seperti dia.” Ucap Sugeng yang semakin menjadi jadi dalam bertindak.

Perkataan Sugeng tersebut seperti petir di siang bolong bagi Juned. Semangat yang telah dibangun sebelumnya, kini runtuh seketika. Kesabaran Juned laksana magma yang telah meletup letup di perut gunung. Siap menyembur kapan saja mendengar semua hinaan mereka.

“Pria miskin, lembek, dan lemah syahwat tidak pantas buat Sulastri ...” Perkataan Sugeng terhenti seketika.

DEBUUUUKKK....

Pukulan Juned yang begitu lemah tak mampu menjatuhkan Sugeng. Bahkan untuk menghuyungkan tubuh Sugeng pun tak bisa. Sungguh terlalu sembrono bagi Juned, melawan satu lawan satu saja dipastikan tidak akan menang.

Sugeng tak terima dengan apa yang dilakukan Juned. Dengan satu pukulan balasan, tubuh Juned langsung jatuh ke tanah.

DEBUUUKKKK... DEBUUUUKKK..

Saat Juned sudah jatuh, teman-teman Sugeng yang lainnya ikut melakukan salam olahraga terhadap Juned.

Setelah dirasa cukup puas, Sugeng beserta kelompoknya pergi dari tempat itu. Meninggalkan Juned yang dalam kondisi setengah sadar berbaring di tanah. .

Juned mencoba bangkit dan berdiri dengan tubuh penuh luka. Dia berjalan menuju ke arah hutan yang ada di pinggir kampung. Sambil tertatih menahan perih, dia terus melangkah perlahan.

Sesampainya di hutan, Juned bersandar di salah satu pohon. Meratapi nasibnya yang begitu malang hidup di dunia ini. “Aaaaaaaaaaaaargh!!” Teriakan Juned menggema di dalam hutan itu.

Di tengah hutan yang mulai di selimuti gelap, Juned melihat tumbuhan tak jauh dari tempat dia duduk, Tumbuhan yang tampak begitu asing baginya. “Apa itu?” gumam Juned.

“Aku pernah melihat gambar tanaman ini, tapi di mana ya?” Juned penasaran melihat tanaman seperti jamur. Dia memetiknya, dan terus memperhatikannya dengan seksama.

Dalam hatinya, dia merasa senang telah menemukan Jamur beracun itu. Rasa frustasi yang di alaminya mendorong Juned untuk memakan Jamur itu.

Tanpa pikir panjang lagi Juned langsung memakannya dan berharap dapat mengakhiri kehidupan yang nestapa. “Daripada aku harus hidup dengan menanggung semua ejekan dan cemoohan yang begitu menyakitkan, lebih baik aku pergi dari dunia ini.” Gumam Juned sambil terus mengunyah perlahan Jamur itu.

Rasa pahit dan getir seolah tak ada apa-apanya dibanding nasibnya, hingga akhirnya dia berhasil menelannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tukang Pijat Super   Bab 341

    Rizka menutup wajah, bahunya terguncang isak tangis. “Kita... berdosa, Mas Jun!” suaranya parau di antara sedu sedan. Juned segera membuka pintu rumahnya lebar-lebar. “Masuklah,” desisnya, tangan menuntun Rizka yang limbung melewati ambang pintu. “Akan sangat rumit jika ada tetangga yang usil melihatmu menangis di sini.” Pintu terkunci. Ruang tamu yang sunyi tiba-tiba menjadi ruang pengakuan. Rizka terjatuh di sofa, jilbabnya basah oleh air mata. “Kenapa tak ada penyesalan di matamu?” tanyanya, memandangi Juned yang berdiri di depan jendela tertutup. Juned berlutut, tangan hangatnya mengangkat dagu Rizka. "Karena malam-malam bersamamu," bisiknya, napasnya berbaur dengan aroma pandan dari kue yang terbawa masuk, "adalah satu-satunya saat aku lupa bahwa Sugeng pernah membakar masa laluku." Rizka tercekat. "Bakar? Apa maksud—" "Shhh," jempol Juned menyentuh bibirnya yang gemetar. "Belum waktunya kamu tahu."Ia mengambil handuk kecil, menyeka pelan wajah Rizka. Di balik ti

  • Tukang Pijat Super   Bab 340

    Juned menyendiri di ruang tamu rumahnya yang sederhana di Perumahan. Ketiadaan Tania—yang sedang mengejar buronan di luar kota—membuat ruangan terasa lebih besar dan lebih sunyi. Hanya suara kipas angin yang berdengung menemani tumpukan dokumen rencana pembalasan dendam kepada Anton.Berita mengenai proyek besar di daerah metropolis, kliping koran tentang pembangunan bank oleh tiga perusahaan besar— Cakra Buana, Bumi Marina dan Anton Perkasa. “Kau pikir aku lupa, Anton?” bisik Juned sambil mengoleskan minyak kayu putih di pelipis.Di layar ponsel, Juned melihat sosial media milik mendiang tantenya. Foto tante Lilis yang terlihat bahagia seolah memunculkan kerinduan.“Aku akan membuat semua orang merasakan apa yang kau rasakan Tante.” Gumam Juned tanpa terasa air mata mengalir di pipinya.Saat sedang menggeser-geser layar ponselnya. Tanpa sengaja dia melihat nama Sugeng yang telah memberikan tanda suka di salah satu foto Tante Lilis.Juned dengan cekatan menelepon nomor Dinda.“H

  • Tukang Pijat Super   Bab 339

    Langit pagi masih berwarna abu-abu susu, menyisakan embun pagi yang menggantung di daun pisang dekat pintu kos. Juned menekan “pesan ojek” di aplikasinya, jari-jarinya gemetar seperti baru memegang kabel listrik yang terkelupas. “Bang, tujuan sudah sesuai yang tertera di aplikasi,” ucapnya pada pengendara ojek yang helmnya dipenuhi stiker band metal. Si pengendara mengangguk, sambil matanya menyapu tubuh Juned yang masih kusut—baju tak rapi, bau campuran keringat dan lavender. “Habis begadang, Bang?” tanyanya sambil menyodorkan helm, suaranya serak seperti gergaji tua. Juned mengabaikan pertanyaan itu, tubuhnya meringkuk di jok motor yang masih terasa dingin.Kota mulai bangun: tukang bubur dorong gerobaknya, ibu-ibu dengan tas belanja menyerbu pasar pagi, sekelompok anak SMA tertawa di halte.“Apa abang mengantuk?” teriak pengendara sambil menyerobot lampu merah, “kalau mengantuk pegangan yang kencang.” Angin pagi menerpa wajah Juned, membawa aroma khas yang menyegarkan.

  • Tukang Pijat Super   Bab 338

    Juned menutup mata, tapi jemarinya terpaku pada kulit Dinda yang hangat, bergerak pelan seperti pena yang menari di atas perkamen. Setiap lekuk tubuhnya adalah kaligrafi: bahu yang keras namun lembut di ujung sentuhan, pinggul yang bergelombang laksana bukit pasir di tengah gurun sunyi. “Kau tahu cara menyembuhkan,” desis Dinda, melengkungkan punggung saat jemari Juned menyentuh bekas luka di pinggangnya, “tapi malam ini, aku akan memberimu kesembuhan dengan hiburan.” Bibir mereka hampir bertaut—napas saling menjajaki, menggantung di ruang sempit antara keinginan dan penyesalan. Dinda merekah seperti bunga teratai di tengah rawa gelap, tangannya meraih leher Juned dan menariknya ke dalam pusaran yang tak terhindarkan. “Rasakan bagaimana ciuman seorang penghibur sepertiku,” geramnya di sela ciuman pertama yang menggigit, pahit dan manis seperti kopi tanpa gula. Pakaian yang tersisa luruh bagai dedaunan musim gugur, menyingkapkan dua tubuh yang tak lagi mengenal kata “milik”.

  • Tukang Pijat Super   Bab 337

    Bayangan Tania, tiba-tiba terlintas di pikiran Juned—wanita yang selalu terlihat tegas dengan seragam polisi dan rambut pendek sebahu. Tapi di sini, dalam gelap dan desau nafas Dinda yang pendek, ingatan itu terasa seperti asap.“Dulu, waktu kamu pijat Tante Yuni yang punya kos itu,” Dinda tiba-tiba bercerita, jarinya tak sengaja menyentuh leher Juned saat meraih botol minyak, “Aku liat kalian saat berada di dalam kamar Mbak Yuni. Bergairah banget. Aku mikir… pasti enak jadi klienmu.” Juned menelan ludah. “Dinda…” “Aku pernah bayangin,” sambung Dinda, suaranya parau, “Kalau suatu hari, kamu yang pijat aku. Bukan pijat biasa. Yang… pelan. Detail. Kayak kamu selalu lakuin ke klien cewek cantik.” Juned menghela napas. “Kita nggak boleh—” “Kenapa?” Dinda memotong. Tangannya sekarang berada di atas paha Juned, hangat dan tegas. “Karena kamu punya pacar? Atau karena takut ketahuan tetangga?” Di luar, tiba-tiba petir menggelegar. Juned menutup mata, berusaha mengingat wajah Tani

  • Tukang Pijat Super   Bab 336

    “Pastinya, tidak.” Juned menoleh ke arah Dinda sejenak.Dinda tersenyum melihat Juned yang salah tingkah. Dia mendahului Juned, berjalan di depannya.“Aku jamin kamu pasti kerasan dengan kamar kosku yang baru.”Dinda dan Juned menyusuri jalan perumahan yang tak jauh dari warung bakso tempat mereka makan.Hanya beberapa menit mereka sudah tiba di sebuah bangunan tingkat tiga. Pintu pagar warna hitam menjulang tinggi di hadapan mereka.Dinda membuka gembok pagar yang menggantung di sisi dalam, senyum tipis mengembang. “Selamat datang di istanaku,” bisiknya, menggeser pagar begitu mudah karena memang bangunan baru. Baru saja masuk terlihat sebuah basemen yang digunakan sebagai parkiran motor dan mobil, dua vespa matic warna pastel terparkir rapi. “Modelnya seperti hotel saja.” Celetuk Juned yang baru tahu ada kost yang fasilitasnya hampir mirip seperti hotel.Juned mengikuti Dinda melewati koridor berpendingin udara, aroma lavender dan desinfektan menggantikan bau pengap yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status